PAGI jam 8, Kaka Bila telepon. "Ayah sudah bangun belum. Ini nih Adik bau cucut, Kaka bau cucut, ibu juga bau cucut. Pada belum mandi," teriak Kaka. Saya sigap menjawab,"Sudah dong Ka, sudah bangun, sudah harum. Kok bau cucut nya sampai ke sini yah," seloroh saya.
Terdengar suara Bu Eri,"Iya nih Yah, pada bau cucut semua. Adik apalagi, keringatan terus dari tadi malam. Di sini panas terus, gerah jadinya". Soal gerah sih, saya sudah dua bulan ini gerah melulu. Tidur keringatan, duduk keringatan. Baaatam, puaaannass..
Sebelum percakapan di telepon pagi tadi, Bu Eri sempat telepon tadi malam. Bu Eri menawarkan kepada saya untuk mencoba jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Kata Bu Eri, Kabupaten Bandung Barat, kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Bandung, kan butuh personel pegawai. Memang personel PNS sudah didrop sebagian besar dari Kabupaten Bandung. "Tapi kan masih banyak yang kosong. Nah mau gak jadi PNS. Nanti minta tolong sama Bang Wachdan supaya bisa masuk," kata Bu Eri. Bang Wachdan ini masih kerabat jauh dengan saya. Dia mantan Camat di Lembang, Cipeundeuy, lalu sekarang sudah jadi Asisten I Pemerintahan Kab Bandung.
Saya ketawa waktu Bu Eri menuturkan soal PNS ini. Ini bukan tawaran yang pertama, tapi sudah berkali-kali. Saya pun lalu menjelaskan , kalau masuk itu tidak langsung jadi PNS, tapi jadi TKK (Tenaga Kerja Kontrak) atau honorer. Kalau mau jadi PNS, tetap mesti ikut tes. Nah sekarang tuh pemerintah lebih mengutamakan pegawai honorer untuk diangkat sebagai PNS. Jatah non honorer hanya 30 persen. Itu pun pesaingnya tentu puluhan ribu. Saya bukannya takut untuk bersaing. Ayo kalau mau bersaing, kita ngadu.
Tapi persoalannya bukan itu. Saya memikirkan perekonomian keluarga. Jika saya jadi pegawai honorer, apa bisa mencukupi semua kebutuhan keluarga. Lha saya tahu sendiri, yang namanya honorer, ya sekadarnya saja gajinya juga.
"Tapi kan bisa cari sampingan," sergah Bu Eri. Saya lalu memberi contoh, Kang Dani, staf Humas di Pemkot Cimahi itu statusnya masih honorer. Beberapa kali ikut tes PNS, gagal. Jadi bukan jaminan pegawai honorer bisa langsung jadi PNS. Terus saya tahu, Kang Dani ini mesti cari sampingan, sabet sana sabet sini, untuk menambal kebutuhan keluarga
"Kalau sabetannya halal, sih oke. Tapi gimana kalau sabetannya tidak halal. Ibu tahu sendiri kan seperti apa di Pemkot. Apa keluarga kita harus dihidupi dengan uang tidak halal. Kalau harus seperti itu, Ayah jelas tidak rela. Lebih baik begini saja, jadi wartawan. Biar gajinya kecil, tapi hasil keringat sendiri. Cukup tidak cukup kita syukuri saja. Kalau kita pandai mensyukuri, Allah pun pasti menambah rezeki kita. Dan rezeki itu bisa datang dari tempat yang tidak kita duga sama sekali," jelas saya panjang lebar.
"Saya tahu, tawaran jadi PNS itu karena Ibu sayang sama Ayah. Tidak mau melihat Ayah kecapean, atau jauh dari keluarga. Justru harusnya, kalau Ibu sayang sama Ayah, biarkan Ayah berjihad untuk menafkahi keluarga dengan tetes keringat sendiri. Walau hasilnya tak seberapa, Allah akan senang kalau kita sekeluarga makan dari kerja yang halal, caranya halal, hasilnya pun halal," papar saya.
Saya menambahkan,"Kalau mau, kalau memang ada lowongan PNS, kasih tahu Neng Diah. Dia baru lulus dan pasti sedang cari kerja. Tentu lebih membutuhkan, ketimbang Ayah," kata saya lagi. (*)
No comments:
Post a Comment