Wednesday, December 14, 2016

MULUDAN (Seri Sejarah Cimahi)

HARI kelahiran Nabi Muhammad shollallohu alaihi wassalam diperingati sebagai Maulid Nabi. Lidah orang Sunda menyebutnya sebagai Muludan.

Setiap daerah memiliki tradisi masing-masing untuk memperingati Maulid ini. Di Jogja misalnya, ada Grebek Mulud. Di Bumi Alit Arjasari, ada tradisi memandikan sejumlah senjata pusaka. Tradisi yang sama juga dilakukan di Panjalu.


Bagaimana di Cimahi, adakah tradisi-tradisi semacam itu? Sependek ingatan saya, Cimahi tidak memiliki tradisi yang khas seperti daerah lain. Tapi konon dulu, kabarnya pernah ada tradisi kuda kosong, mirip di Cianjur, yang digelar setiap Muludan.

Yang dimaksud Kuda Kosong adalah seekor kuda yang dihias secantik mungkin dan dibiarkan berjalan tanpa penunggang. Memang tidak ada penunggangnya. Namun si kuda itu seperti kelelahan, capai, seolah-olah ada yang menungganginya. Siapa yang menungganginya? Tidak ada yang tahu.

Yang saya alami semasa kecil, Muludan itu berarti pergi berombongan ke Pesantren Hegarmanah Cibabat. Namanya pergi ke pesantren tentu saja untuk pergi mengaji, mendengarkan ceramah atau tausiyah dari ajengan, ulama, atau habib.

Selain ceramah dari Aa Maftuh, ajengan Hegarmanah, yang  paling ditunggu adalah ceramah dari Habib Ali. Saya lupa apa nama belakang Habib Ali dari Kwitang ini. Apakah Assegaf, Aljufri, Alatas, atau Al yang lain.

Setiap tahun, Habib Ali rutin datang ke Hegarmanah. Malahan beberapa kali Habib Ali ini singgah ke rumah bapak saya. Ya, benar, singgah di rumah saya di Cibabat. Saya tidak tahu bagaimana bapak saya bisa kenal dengan Habib Ali dan habib-habib yang lain.

Mungkin karena bapak saya ini dulunya pernah masantren di Hegarmanah dan Sentral, sehingga kenal para ajengan dan habib.  Yang pasti, Habib Ali inilah yang menjadi penceramah saat saya dan dua kakak saya disunat.

Namanya dikunjungi seorang Habib, ibarat kejatuhan bulan. Seluruh makanan terbaik dikeluarkan untuk menjamu Habib. Zaman itu  Fanta bukanlah minuman biasa, tapi mahal, karena tidak semua orang bisa beli. Fantalah yang jadi minuman Habib.

Nah, kalau ada sisa minuman Habib, giliran saya dan kakak-kakak saya yang harus menghabiskan. Kadang-kadang suka berebutan untuk mendapatkan sisa minum Habib ini. Biar barokah kata bapak saya mah.

Kembali ke Muludan di Pesantren Hegarmanah. Jamaah yang datang ke Masjid Hegarmanah ini jumlahnya bisa ribuan orang. Masjid penuh sesak. Gang-gang kecil, teras dan halaman orang pun diduduki jemaah yang datang dari seantero Cimahi dan daerah lain.

Mengapa bisa begitu? Ya karena santri Aa Maftuh dan Aa Anom atau Aa Emen (ajengan Hegarmanah pengganti Aa Maftuh) itu banyak dan tersebar di berbagai daerah. Namanya harum di kalangan para ulama, sehingga menjadi jugjugan para santri untuk mencari ilmu.

Karena ketika itu saya masih kecil, saya tidak begitu ingat apa saja ceramah Aa Maftuh ataupun Habib Ali. Yang lebih saya ingat adalah apabila ceramah dan doa selesai, maka mengalirlah makanan berekat yang dibungkus dalam pipiti (besek), dari rumah Ajengan ke dalam masjid dan tempat lain yang ada jamaahnya.

Ya ribuan berekat itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, sampai semua kebagian. Jadilah mesjid dan sekitarnya menjadi arena botram massal. Isi berekat itu sangat menggiurkan. Ada sepotong daging, tahu tempe, kentang, bihun. Kadang ada ikan asin. Ditambah dengan kerupuk. Nikmat sekali.

Mungkin itu juga  yang menyebabkan orang hadir di acara Muludan: mencari berekat gratis. Ilmu agama dapat, perut pun kenyang. (*)

Monday, December 12, 2016

Sejarah 212

MERINDING. Bulu kuduk ini merinding. Hati siapa yang tak akan bergetar, mata siapa yang tidak akan melelehkan air mata, saat menyaksikan jutaan orang menjadi lautan putih. Memutihi lapangan Monas dan ruas-ruas jalan di sekitarnya. Mirip seperti putihnya Padang Arafah di saat puncak musim haji. Dan jutaan mulut kemudian bertakbir bersama, melafazkan kalimat tauhid, mendaraskan doa-doa yang mengguncangkan jiwa orang-orang yang beriman dan berakal.




Tanggal 2 Desember 2016 bakal dicatat dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah pergerakan umat Islam Indonesia. Hari yang kemudian disingkat menjadi 212, dan ini lebih dikenal luas, ini patut dikenang sebagai sebuah hari ketika jutaan orang keluar dari rumah mereka, baik dengan berjalan kaki, berkendaraan maupun naik pesawat, menuju Lapangan Monas Jakarta. Setelah reformasi 1998, baru kali ini ada kumpulan massa yang jumlahnya begitu banyak dan berlangsung damai.

Dalam rentang sejarah dunia, tidak banyak momentum sejarah yang kemudian ditulis dan dikenang dengan menggunakan angka. Sebut saja yang paling terkenal adalah 911. Angka ini untuk menyebutkan tragedi serangan teroris ke jantung Amerika Serikat di World Trade Center New York pada 11 September 2001. 

Angka 212 layak pula ditulis dalam tinta emas sejarah sebagai aksi massa penuh damai terbesar di dunia. Bagi masyarakat Indonesia, setidaknya untuk angkatan 80an-90an yang lekat dengan cerita silat, angka 212 merupakan simbol dari pendekar Kapak Naga Geni Wiro Sableng. Sebuah cerita silat yang kemudian juga difilmkan dan disinetronkan, sehingga lekat dalam ingatan masyarakat.
 

Yang membuat takjub adalah gerakan ini sudah dicibir, diawasi, dan bahkan "difitnah" sejak awal. Setelah aksi 4 November yang berakhir rusuh, aparat keamanan begitu ketat menjaga setiap pergerakan kelompok-kelompok Islam ini. Sesaat muncul tudingan ditunggangi aktor politik, muncul pula tudingan makar dari Kapolri, tanpa menyebutkan siapa kelompok yang akan berbuat makar.
 

Namun menjelang pelaksanaan aksi 212, tudingan makar meredup. Presiden Jokowi kemudian menyebut aksi ini sebagai doa bersama. Bahkan Polri menyebutnya sebagai ibadah. Upaya untuk mengkerdilkan gerakan ini pun tak putus-putusnya. Ketika massa Islam memutuskan tetap ke Jakarta, muncul larangan bagi PO bus untuk mengangkut massa ke Jakarta.
 

Tapi selalu ada semangat dan jalan pertolongan bagi gerakan umat Islam ini. Dari tanah Priangan, tepatnya Ciamis, bergelombanglah santri-santri dan ulama yang menyatakan tekad untuk berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta. Aksi ini mendapat simpati yang luar biasa dari masyarakat di sepanjang daerah yang dilewati. Sodoran makanan dan minuman yang diimbuhi hujan air mata dari masyarakat tak henti-hetinya diberikan untuk para mujahid Ciamis ini.
 

Di tanggal yang sama pula, aparat kepolisian menangkap sejumlah orang tenar yang dituding bakal melakukan permufakatan jahat alias makar. Ada nama musisi Ahmad Dhani, Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, dan Sri Bintang Pamungkas, di sana. Konon, mereka sudah diintai selama beberapa minggu oleh pihak kepolisian gara-gara punya niatan untuk mengganti pemerintahan.
 

Pada momen yang sama juga, warga Cimahi dikejutkan dengan berita penggeledahan rumah Wali Kota nonaktif Atty Suharti dan suaminya, Itoc Tochija. Keduanya kemudian digelandang ke kantor KPK di Jakarta. Belum jelas benar apa kasus yang menyergap mereka. Tapi banyak pihak yang terkejut, karena Atty sedang berkampanye agar bisa menjadi wali kota untuk kedua kalinya. Sementara Itoc membantu sang istri untuk meneruskan kekuasaan di Cimahi. (*)

Tulisan ini dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 3 Desember 2016.

Tuesday, February 09, 2016

Catatan Kecil Tjimahi Heritage Trail: Telusur Jejak Kebon Kopi

Tak Ada Nyi Mas Entjeh di Sana
 
ANTUSIASME untuk mengunjungi rumah tua nan unik dan eksotik di Kebon Kopi Cibeureum, sudah menggebu-gebu sejak setahun lalu. Bahkan jauh sebelum itu. Sayang ketika itu, saya hanya bisa memandang dari pinggir jalan atau selintas saat melewati Jalan Cibeureum. Selain tidak kenal dengan penghuni rumah, ada perasaan takut campur penasaran setiap melihat rumah yang terkesan suram, sanget, seram, karena rerimbunan pohon-pohon tua.
 

 Tahun lalu, saya dan Kang Iwan mencoba bersilaturahmi sekaligus minta izin untuk mengadakan jelajah di kawasan Kebon Kopi ini. Sayang, ketika itu kami tidak mendapat izin untuk jelajah, karena alasan privasi keluarga.
 

Ketika manajemen BlueBird, yang membeli lahan dan rumah tua ini tahun lalu, mengizinkan Tjimahi Heritage untuk berkunjung, senangnya tiada tara. Walau kami tahu, perabotan tua di dalam rumah pasti sudah tidak ada, penghuni pun sudah pindah, tapi bisa masuk ke dalam rumah saja sudah cukup.
 

Sebelum mengunjungi rumah ini, memori kami dipenuhi dengan cerita-cerita soal Nyi Mas Siti Aminah atau Nyi Mas Entjeh Al Osah (selanjutnya ditulis NME), yang dinikahi pengusaha Belanda John Hendri van Blommestein. Mengapa begitu? Karena hanya informasi itu yang kami peroleh. Entah dari cerita orang, entah dari blog-blog, situs, atau portal yang pernah membahas rumah tua ini. Semuanya menyebut nama NME sebagai empunya tanah dan rumah. Cerita soal sengketa tanah di Cibeureum yang berkepanjangan juga memperkuat kesan bahwa memang Kebon Kopi ini berada dalam kuasa NME. Dalam cerita-cerita itu, disebutkan NME meninggal sekitar tahun 1970 dan dimakamkan di Cibeureum.
 

Ternyata, dengan mendatangi langsung rumah ini dan mendapat sedikit informasi dari anggota keluarga yang disampaikan melalui manajemen BlueBird, kita bisa sedikit menguak tabir yang menutupi sejarah rumah Kebon Kopi. Dan kami tak menemukan NME d sana. Tak ada kaitannya NME dengan rumah ini. 

Mungkin dulu, penghuni rumah ini bertetangga dengan NME. Karena tanah miik NME memang ada di sebelah barat rumah Kebon Kopi yang sekarang menjadi Pusat Niaga Cimahi yang tak kunjung terwujud itu. Tanah NME pun berada pula di seberang PNC, yaitu Kipal dan sekitarnya hingga ke utara berbatasan dengan rel kereta api.
 

Kami berkesempatan untuk menziarahi kompleks makam Kebon Kopi ini yang berada di belakang rumah tua. Tak kami temukan nisan dengan penanda nama NME atau Siti Aminah. Di sini, justru kami temukan makam yang cukup tua dengan penanda tahun 1855 atas nama Wangsadimarta. 

Sangat mungkin Wangsadimarta ini adalah generasi pertama penghuni rumah Kebon Kopi. Karena pada generasi berikutnya muncul nama Wangsadikrama dan Wangsakoesoemah. Dan keluarga besar Kebon Kopi ini lebih dikenal sebagai sebagai keluarga Wangsadikrama, seperti pernah dikatakan seorang penghuni rumah saat kami berkunjung tahun lalu.
 

Kabarnya mereka ini berasal dari Trenggalek Jawa Timur. Kalau kita lihat catatan sejarah, migrasi warga Jawa Wetan sudah terjadi sejak masa Mataram Sultan Agung. Mereka ikut menyerang Batavia, namun karena kalah, akhirnya memilih menetap di Priangan. Kisah keturunan-keturunan Mataram yang mukim di Cimahi juga terdengar dari daerah Cigugur.
 

Dari kunjungan singkat ini saja, kami bisa memperoleh banyak pengetahuan baru. Soal sejarah Kopi di Priangan, sejarah Kebon Kopi berikut keluarga penghuni rumah. Menjelajah untuk mengungkap sejarah itu memang mengasyikkan. Tentu rasa penasaran kami belum tuntas. Kami ingin suatu saat bisa berbincang dengan keluarga keturunan Wangsadikrama ini.(*)

Monday, January 04, 2016

Candi Bentar Makam Pak Jenderal - Bagian 1 (Seri Sejarah Cimahi)

TEMPATNYA tersembunyi di balik warung-warung makan dan bengkel di Jalan Daeng Moh Ardiwinata, persis di seberang jalan masuk ke kawasan perkantoran Pemkot Cimahi. Tak heran jika banyak yang tidak tahu mengenai tempat ini. Sebuah gerbang berbentuk candi bentar menghiasi kompleks makam yang tidak begitu besar ini. Pagar paling luar, berupa pagar bambu yang pintunya dikancingkan seutas kawat.


Kondisi sekitar kompleks permakaman itu kurang terawat. Rumput liar tumbuh sesukanya. Di bagian selatan kompleks ini, tengah dibangun lapak-lapak, konon katanya akan dijadikan Pasar.

Saya mengenalnya sebagai makam Pak Jenderal, seperti halnya warga di sekitar Jati dan Leuwidadap menyebutnya. Saya masih ingat ketika Pak Jenderal meninggal. Sebagai anak kecil ketika itu, pertengahan 80-an, saya berdesak-desakan ingin melihat dari dekat prosesi pemakaman. Tapi barisan tentara yang mengadang di dekat kompleks makam mengurungkan niat saya untuk terus menerobos mendekati makam.
Tembakan salvo memecah udara mengagetkan saya dan bocah-bocah lainnya ketika peti mati Pak Jenderal diusung memasuki komplek makam. Itulah letusan peluru yang pertama kali singgah di telinga saya.

Waktu berlalu, situasi pun sudah jauh berubah. Tanah Pak Jenderal yang luas, kini sudah berganti wajah. Sawah-sawah yang hijau, kebun cengkeh yang teduh, bedeng yang seram, kolam-kolam yang tenteram, kini sudah berganti wajah menjadi Duta Regency, SPBU, Borma, bengkel, serta warung-warung makan.
Lalu siapakah Pak Jenderal yang jasadnya berbaring di tempat ini? (*)