Monday, May 26, 2008

Jurig Hore Datang Deui

DEUH, kieu tah mun jurig hore datang deui teh. Nyeta jurig hoream tea geuning. Pangaruhna, nya jadi aranglangka nulis di blog. Teungeutan we tulisan kuring. Ngan sababaraha hiji tina sababara minggu. Atawa bulan kitu. Ah, tempo we ku sorangan.

Sagala rupa karasa hese rek nuliskeunana. Padahal mah rea pisan kajadian atawa bahan tulisan mah. Ngan nyaeta, ari geus kaserang ku jurig hore teh, hoream weh saeuneung-euneung. Hayang na mah, kabeh nu karandapan, nu karasa, nu katingali, nu kadenge, ku kuring, boh di imah, di tempat pagawean, di jalan, dina koran, majalah, buku, kabeh bisa dituliskeun dina ieu blog. Nya saeutikna, sapoe hiji wae mah kitu nu ditulis. Komo ari keur rajin jeung sumanget mah, jigana bisa dua atawa tilu tulisan.

Geus ah, sakieu we heula ngacapruk acakadut peuting ieu, kaburu datang jurig hore na. Sugan we, isuk mah geus nyinglar si jurig teh. Jadi nulis bisa lancar deui. Cag. (*)

Saturday, May 24, 2008

Kebangkitan yang Membangkrutkan

PERINGATAN Seabad Kebangkitan Nasional, disambut dengan demonstrasi antikenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di sejumlah kota di tanah air. Hari bersejarah yang seharusnya bisa membanggakan bangsa Indonesia itu memang lebih banyak dihiasi hari- hari muram dan kelam.

Tak lama lagi, harga BBM akan naik, begitu pula harga barang kebutuhan pokok pun mulai merayap mengiringi. Minyak tanah langka, jumlah warga miskin meningkat, antrean panjang warga membeli gas, atau kerumunan warga miskin menanti bantuan tunai langsung (BLT). Realitas itu yang terjadi di masyarakat saat ini. Belum lagi kalau bicara soal moralitas bangsa yang juga amburadul. Kondisi seperti inilah yang membuat Amien Rais berani menyebut pemerintahan dan bangsa ini sudah broken, bangkrut.

Tapi apa yang ditunjukkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla beserta pejabat tinggi negara lainnya untuk memeringati 100 Tahun Kebangkitan Nasional itu tidaklah mencerminkan sebuah keprihatinan terhadap kebangkrutan negeri ini. Di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, Selasa (20/5) malam, SBY menonton sebuah pergelaran megah dan kolosal, melibatkan puluhan ribu orang dengan biaya, konon mencapai belasan miliar rupiah. Di penghujung acara, SBY menyampaikan pidato dan menyerukan slogan Indonesia Bisa. Teriakan "Indonesia" oleh SBY, disambut teriakan "Bisa" oleh ribuan peserta pergelaran megah itu.

Di malam yang sama, namun tempat berbeda, Slank, band papan atas asal Gang Potlot Jakarta, menggelar konser tunggal, juga untuk memeringati Hari Kebangkitan Nasional. Simak apa yang Kaka, vokalis Slank, deklarasikan di tengah-tengah konser.  Kaka menyerukan belasan poin deklarasi ala Slank yang diikuti secara serempak ribuan Slanker, penggemar setia band Slank. Seruan Slank itu antara lain hidup sederhana, tidak korupsi, hidup merdeka, jaga solidaritas, eratkan persahabatan, berjiwa sosial, kritis, mandiri dan menjadi diri sendiri. Sebuah seruan yang lebih membumi, ketimbang Indonesia Bisa yang serba absurd. Bahasa yang dipakai Kaka lebih tajam, menukik, menohok, siapapun orang Indonesia yang masih memiliki jiwa keindonesiaan.

Bukan zamannya lagi menunjukkan Indonesia itu besar, bangsa yang berdaya, dengan seremonial megah. Ibarat mercu suar, hanya diterangi adalah tempat-tempat yang jauh, sementara di dekat mercu suar sendiri dilingkupi kegelapan. Yang rakyat butuhkan, bukanlah tontonan kemegahan, tapi bagaimana mendapatkan papan, sandang, dan papan, yang murah. Tak lebih.

Sejatinya, seruan Slank lah yang harus menjadi pedoman dan karakter rakyat Indonesia. Rakyat yang sederhana, antikorupsi, dan mandiri, bukan menjadi rakyat yang absurd. Jika itu yang dilakoni, sebagai sebuah bangsa besar, kita masih memiliki peluang dan harapan untuk benar-benar besar dan maju. Optimisme dan kepercayaan pada diri sendiri harus itu tetap dijaga. Dan harapan itu selalu ada, walau terlihat sulit. Tinggal bagaimana kita menggerakkan seluruh potensi yang ada untuk membangkitkan kembali bangsa ini dan berdiri di atas kaki sendiri. (*)

Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar, Kamis 22 Mei 2008.

Monday, May 12, 2008

Dan Matahari Pun Bersujud

BEBERAPA waktu belakangan ini, saya lagi senang memotret pemandangan alam, termasuk di dalamnya matahari, bulan, langit, gunung, dan sebagainya. Ini hanya salah satu jalan bagi saya, untuk mengingat kebesaran Allah SWT. Dan betapa kecilnya diri ini.

Matahari adalah inti tata surya kita. Menjadi pusat peredaran bumi dan planet-planet lainnya. Al Qur'an beberapa kali bercerita tentang matahari dan penciptaannya, dalam beberapa surat. Namun ada satu surat khusus tentang matahari, yaitu Surat Asy Syams, surat ke 91.

Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, matahari pun menaati segala perintah Allah. Matahari selalu bertasbih dalam setiap geraknya. Dan matahari pun bersujud kepada Allah. Simak hadits berikut:

Nabi SAW berkata kepada Abu Dzar ketika matahari terbenam. “Apakah engkau tahu ke mana dia pergi?” Abu Dzar menjawab, “Allah dan rasulnya lebih mengetahui.” Nabi berkata, “Sesungguhnya dia pergi bersujud di bawah Arsy dan meminta izin lalu diizinkan. Dan dia meminta izin dan tidak diizinkan. Kemudian dikatakan, kembalilah ke tempat kamu muncul dan terbenamlah dari arah baratnya.”

Indah bukan? Matahari yang terlihat perkasa di atas kepala kita, menyinari dunia dan planet lainnya, ternyata juga bersujud di hadapan Allah SWT. Apalagi kita, manusia yang terbuat dari saripati tanah, tentu harus lebih pol dalam bersujud kepada Sang Khalik.

Foto yang saya jepret tentu bukan foto seorang profesional. Ini hanya sekadar jepret sana jepret sini, jepret sebanyak mungkin, lalu ambil yang saya anggap paling bagus. Kamera yang dipakai pun hanya kamera digital poket, Canon Ixus 30. Tapi walau tidak memadai, saya senang memakai kamera ini. Simpel.
Sunset lagi
Foto ini diambil dari sisi lapangan golf Brigif II Kujang, dekat kampus Unjani, Jumat 9 Mei sekitar pukul 17.27.
Terhalang Mendung
Yang kedua ini diambil dari depan rumah, saat mendung menghalangi sinar matahari, Selasa (6/5) pagi sekitar jam 10.10.
Langit sore Dermayon
Foto yang satu ini diambil di Sumber, Kab Cirebon, Sabtu (19/5) sore.
Dermayon
Pemandangan matahari menjelang sore ini diambil dari arah Terminal Indramayu, Minggu (20/5) sore.
Matahari di Bungkirit
Ini foto diambil dari hutan kota Bungkirit Kab Kuningan, Jumat (18/5) sore, ke arah Gunung Ciremai.
Slowly, down to the earth
Foto Sunset ini diambil dari dekat lapangan golf Brigif II/Kujang, di belakang kampus Unjani, Jumat (9/5) sekitar pukul 17.25.

Foto ini diambil di Sumber Alam Cipanas, akhir April 2008.

Wednesday, May 07, 2008

Potong Rambut

SETELAH hampir satu tahun memanjangkan rambut, akhirnya Selasa (6/5), saya pun menyerah. Rambut lurus sebahu itu dipangkas habis tukang cukur di dekat kantor. Sebenarnya sejak Kamis pekan lalu, saya mau memotong rambut. Setelah menunggu lama, rupanya tukang cukur mau salat dulu. Karena malas menunggu lebih lama lagi, saya tinggal pergi saja si tukang cukur.

>Kini, model potongan rambut saya, pendek rapi (itu kata tukang cukurnya), tapi bukan cepak. Saya mewanti-wanti ke tukang cukur supaya tidak memotong rambut cepak ala tentara. Maklum, tukang cukur di dekat kantor ini memang langganan para tentara, jadi sudah biasa main potong habis ABCD (Abri Bukan Cepak Doang).

Rambut gondrong, panjang, adalah ciri khas saya. Minimalnya, rambut sampai di kerah baju. Dan biasanya sebahu, atau lebih. Kalau dihitung-hitung, saya memotong rambut memang hanya setahun sekali. Jadi rambut ini memang antigunting. Saat kemarin dipotong pun, si tukang cukur kesulitan memotong. Padahal rambut saya lurus dan lemas. Itu memang guntingnya yang tumpul.

Saya berambut gondrong sebahu itu bukanlah hal yang salah. Saya hanya mencontoh Rasulullah Muhammad SAW. Rambut beliau dibiarkan gondrong menjela sampai sebahu. Ya setidaknya saya bisa mengikuti gaya rambut Rasulullah, keren kan?. Hanya karena Bu Eri terus mengingatkan rambut sudah panjang saja, saya memotongnya. Tapi biasanya, tiga bulan juga rambut saya sudah panjang lagi. Entah kenapa, rambut ini memang cepat tumbuhnya. Kalau sudah gondrong begitu, berarti baru tahun depan rambut saya ketemu gunting tukang cukur lagi. (*)

Monday, May 05, 2008

Tak Ada Kawan dan Lawan yang Abadi

POLITIK adalah dunia intrik, begitu pandangan umum mendefinisikan. Pandangan itu tentu tidak salah, karena masyarakat melihat berdasarkan pengalaman, seperti itulah dunia politik.
Jargon terkenal dalam dunia politik adalah tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Bisa jadi hari ini, si A dan si B adalah kawan senasib sepenanggungan, berjuang habis-habisan, untuk meraih cita-cita bersama. Tapi jangan salah, besok lusa si A dan si B akan saling berhadapan, saling menumbangkan, untuk meraih kepentingan yang lain lagi.

Contoh paling mudah adalah pemilihan gubernur Jabar kemarin. Bukankah Danny Setiawan dan Nu'man A Hakim adalah dua sekawan yang bahu-membahu membangun Jabar lima tahun terakhir? Tapi keduanya harus berhadapan saat pemilihan berikutnya, tentu dengan tujuan dan kepentingan yang tidak sama lagi dengan sebelumnya.



Yang lebih gres lagi adalah pasangan pemenang Pilgub Jabar, Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Mereka begitu solid pada pemilihan kemarin. Tapi sangat mungkin dua pemimpin muda ini pun "berpisah".

Kemarin, Gubernur Jabar terpilih, Ahmad Heryawan, bersilaturahmi dengan kader dan saksi dari PKS, di Parongpong. Heryawan pun bersua dengan pasangan calon bupati dan wakil bupati, Agus Yasmin dan Haris Yuliana, yang diusung Partai Golkar dan PKS. Di tempat terpisah, wakil gubernur Jabar terpilih, Dede Yusuf, juga bertemu dengan pasangan Abubakar-Ernawan yang didukung PDIP dan Koalisi Partai Islam Bandung Barat Bersatu (Kibbar) dan PAN termasuk di dalamnya.

Bagaimanapun kemenangan Hade yang begitu fenomenal akan dimanfaatkan partai-partai yang bakal bertarung pada Pilkada Kabupaten Bandung Barat, Mei mendatang. Sangat mungkin, kubu Partai Golkar-PKS dan Kibbar-PDIP akan menarik dua tokoh muda itu ke pusaran perebutan kursi bupati sebagai vote getter.

Di sinilah menariknya, Pilkada KBB akan menjadi pertarungan sekaligus pertaruhan antara efektivitas mesin politik dan popularitas. Mesin politik adalah cerminan soliditas PKS, sementara popularitas adalah cerminan Dede Yusuf. Akankah keduanya turun gelanggang kembali untuk memenangkan calon yang diusung partai masing-masing, kita tinggal melihat saja.

Bayangkan, sebelum dilantik saja, dua pemimpin Jabar itu sudah harus bertempur untuk kepentingan partai. Kalau saja ada pemikiran dan pertimbangan yang lebih bijaksana, lebih baik mereka tidak turun panggung turut dalam kampanye Pemilihan Bupati KBB. Benar, bahwa mereka belum dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur Jabar, yang menjadi alasan mereka untuk kampanye di Pilbup. Tapi pandangan masyarakat, dan penetapan KPU Jabar, sudah menahbiskan mereka sebagai Gubernur dan Wagub Jabar terpilih. Artinya, mereka sudah menjadi milik umat, masyakarat Jabar secara keseluruhan, bukan hanya milik umat PKS atau PAN.

Jadi sesungguhnya, dalam politik, kepentingan yang bisa merekatkan dua orang atau lebih, atau dua partai atau lebih, adalah kursi kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah menjadi tujuan, dan ada kesepahaman untuk meraihnya, seorang lawan bisa berbalik menjadi kawan, atau sebaliknya, kawan bisa menjadi lawan.

Persoalannya, kalau hal seperti ini tidak dikelola dengan baik, dalam artian, tidak ada pendidikan politik yang bisa diterima secara mudah oleh logika awam, bisa membuat bingung masyarakat. Kemarin kok bersatu padu, sekarang malah berbeda, mungkin begitu gerundel masyarakat.
Hal semacam ini tidak akan dijumpai di Amerika Serikat, karena mereka hanya mengenal dua partai, yaitu Republik dan Demokrat. Di pemilihan tingkat manapun, mulai wali kota/bupati hingga presiden, partai yang bertarung hanya dua.

Semoga saja, bukan kebingungan yang didapat masyarakat dengan proses Pilkada ini. Tapi justru kesejahteraan yang menjadi tujuan bersama semua pihak. (*)

* Sorot, dimuat di Tribun Jabar, Senin 28 April 2008.