Saturday, March 12, 2011

Koalisi BBM

ENDING yang sudah terbaca akhirnya terungkap juga. Partai Golkar tetap berada di koalisi bersama Partai Demokrat. Meski Golkar mbalelo dari rapat paripurna hak angket panitia kerja mafia pajak, nyatanya SBY takut juga kehilangan dukungan partai ini.

Tanpa Golkar di koalisi, perjalanan SBY menyelesaikan masa jabatan 2014 bakal menemui batu terjal. Apalagi setelah Megawati Soekarnoputri tetap kukuh membawa PDI Perjuangan di luar pemerintahan, Golkar menjadi kian bernilai di mata SBY.

Pertemuan SBY dengan Ical, Selasa (8/3) di Istana Kepresidenan, seolah melumerkan nyala perbedaan di antara para politikus dua partai. Seusai pertemuan, Ical menyatakan partai berlambang pohon beringin itu tetap bertahan di koalisi.

Jadi, selama ini masyarakat hanya disuguhi dagelan-dagelan politik melalui talkshow-talkshow di televisi, perang pernyataan baik di media online maupun di surat kabar, soal resafel, soal koalisi atau oposisi.

Boleh jadi, PKS pun akan tetap berada di lingkaran koalisi. Mungkin SBY menganggap ultimatumnya tempo hari dalam sebuah pidato di Istana soal partai politik yang tidak sejalan seirama sudah cukup sebagai hukuman.

Padahal ribut-ribut soal resafel kabinet dan mundur tidaknya Golkar dan PKS dari koalisi selama nyaris satu bulan terakhir ini membuat tidak nyaman sejumlah pihak. Tak cuma politikus dua partai yang tentu ketar-ketir soal nasibnya di kabinet, para pengusaha pun demikian. Mereka menginginkan SBY secara tegas menyatakan resafel atau tidak, tanpa perlu pidato berlika-liku sehingga makin menunjukkan keraguan seorang SBY.

Bagaimanapun, pengusaha membutuhkan ketegasan dan kepastian, agar iklim investasi membaik. Para investor punya keyakinan bahwa membuat usaha di Indonesia tidak akan dirugikan persoalan nonbisnis, seperti sosial dan politik.

Terlebih kondisi perekonomian Indonesia pasti agak tertekan dengan kondisi minyak dunia saat ini. "Revolusi" di Libya, yang ternyata tak semudah di Mesir dan Tunisia, menyebabkan harga minyak melambung ke tangga tertinggi, menembus angka 130 dolar AS per barrel. Angka yang katanya tertinggi dalam sejarah minyak dunia.

Daripada ribet dan pusing memikirkan koalisi dan resafel yang tidak jadi- jadi, pemerintah SBY lebih baik memikirkan wacana pembatasan bahan bakar minyak (BBM). Bagaimanapun, ini isu yang lebih berdampak ke masyarakat, daripada isu bola panas resafel kabinet.

Bayangkan saja, tim kajian yang dipimpin Anggito Abimanyu telah membuat tiga skenario soal pembatasan BBM ini. Dan salah satunya adalah menaikkan harga BBM, terutama premium, Rp 500 per liter. Kenaikan ini akan menghemat anggaran hingga Rp 15 triliun.

Lima ratus rupiah mungkin kecil bagi sebagian kecil orang, tapi bagi sebagian besar nilai ini sangat besar. Ini berarti pengeluaran biaya untuk bensin bagi para tukang ojek, pekerja rendahan, angkutan kota, bakal naik. Jika BBM naik, ongkos transportasi pun bakal ikut terkerek. Kalau ongkos naik, harga-harga pangan dan teman-temannya sudah tak mungkin dibendung agar tidak ikut naik.

Sebetulnya ini yang harus jadi fokus SBY, bagaimana caranya kebijakan jangka pendek pembatasan BBM ini tidak memberatkan masyarakat. Kalaupun kenaikan harga BBM adalah sebuah keniscayaan, harus dibuat sedemikian rupa supaya tidak bergejolak yang bisa memicu kenaikan harga kebutuhan yang lain. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 9 Maret 2011.