Monday, February 25, 2008

Mirip Ricky Ullman dan Patrick Swayze

SAYA iseng-iseng mencoba myheritage, sebuah situs yang bisa mengenali struktur wajah kita dan membandingkannya dengan artis. Paling mirip siapa kita. Ternyata setelah saya upload foto, dan hasilnya: Saya mirip Ricky Ullman, aktor drama dan film, 67 persen dan Patrick Swayze, pemeran film Ghost tea, dengan tingkat kemiripan 62 persen. He he...



Saya juga dibilang mirip dengan Paul Walker, aktor dan mantan peragawan, sebesar 57 persen. Filmnya yang beken adalah "The Fast and The Furious". Lalu Joshua Jackson, aktor di film "Tombstone" dan "Urban Legends" dengan tingkat kemiripan 56 %, Mark Harmon 56 % dan Michel Stipe 54 persen.

Yang mengejutkan, saya pun dibilang memiliki kemiripan dengan aktris Julia Stiles dengan persentase 61 persen. Juga dengan Rachel McAdams 60 % dan Vivian Leigh 56 %. Yang lebih mengejutkan lagi, saya pun dikenali memiliki kemiripan dengan bintang bola basket NBA, Michael "Air" Jordan dengan tingkat kemiripan 57 %. Wah... kalau basketnya sih mungkin mirip ( he he..), tapi hitamnya mah enggak atuh...(*)
http://www.myheritage.com/collage

Iwan Sulandjana Mampir

CALON Wakil Gubernur Jabar, Iwan Ridwan Sulandjana, tak mau ketinggalan dari cagub/cawagub yang lain yang sudah mampir ke kantor Tribun. Rabu (20/2), mantan Pangdam III Siliwangi itu disertai rombongan "pakar dan penasihat" berkunjung ke Malabar no 5.

Sosok Pak Iwan Sulandjana tidak asing bagi saya. Saat menjabat jadi Pangdam III Siliwangi, tahun 2004, saya pernah mewawancarai Pak Iwan secara khusus, terkait Siliwangi dan eksistensi ke depan. Juga permasalahan sosial yang saat itu berlangsung, yaitu PHK besar-besaran karyawan PTDI. Selain Pak Iwan, Pangdam Siliwangi yang pernah saya wawancarai khusus adalah Pak Darsono, pendahulu Iwan.

Saya tahu Pak Iwan akan ke kantor sehari sebelumnya. Bu Eri yang memberi tahu. "Pak Iwan mau ke Tribun besok jam 2," katanya. Maklum, Bu Eri memang tengah bertugas
menempel pasangan cagub-cawagub Danny Setiawan-Iwan Sulandjana. Jadi setidaknya tahu kemana saja agenda mereka ini.

Lalu Rabu pagi, sebuah pesan singkat mampir. "Ini Mahmud? Saya Dadan, dulu PR. Skrang bantu tim media DAI. IS mau ke Tribun jam 2 hr ini. Apa bs?". Oh, rupanya Kang Dadan Hendaya, senior saya di kuliahan dulu, yang ilubiung dalam tim sukses Danny-Iwan.
Pukul 13.40, rombongan Iwan Sulandjana sudah datang. Yang dibawanya memang tak tanggung-tanggung. Ada Ipong Witono, anak mantan Pangdam Siliwangi 60-an yang sekarang giat di Rumah Nusantara. Lalu Ada Herman Ibrahim, mantan Kapendam III, Kabiro Humas Depdagri. Pensiunan kolonel AD, teman seangkatan Wiranto dan Agum Gumelar. Juga pengamat politik dan intelijen, sekaligus pengurus Majelis Mujahidin Indonesia. Tak cuma itu, ikut pula Abah Iwan Abdulrahman, sesepuh Wanadri. Juga akademisi Budi Radjab, antropolog Unpad. Tak ketinggalan, sesepuh politisi Jabar, Kang Tjetje H Padmadinata, serta yang lain-lainnya.

Karena yang berkumpul adalah orang-orang yang biasa menulis, berdebat, berdiskusi. Jadilah pertemuan cawagub dengan Tribun itu sebagai arena diskusi hangat. Segala macam isu dibahas. Mulai persoalan independensi koran, isu tentang NU Jabar, pemetaan politik Jabar, isu tentang Jenderal Bintang 2 dan Bintang 4, isu Siliwangi, sipil militer, kekuatan dan strategi Iwan, dan sebagainya.

Luar biasa, semua dikupas. Tapi tentu tak untuk diekspos. Cuma kami, awak Tribun yang mengetahui seluk-beluk di balik layar Iwan Sulandjana. 2 jam lebih pertemuan itu berlangsung. Di penghujung pertemuan, seperti biasa, ada pertukaran cenderamata. Iwan menyerahkan jam bergambar Danny-Iwan dan bibit pohon. Ini pasti idenya Abad Iwan, sebagai pecinta lingkungan. Sementara Tribun, seperti biasa pula, memberikan koran mini edisi pertemuan hari itu lengkap dengan foto hasil jepretan saya. (*)

Sunday, February 24, 2008

23 Februari: Bu Eri dan Sewindu Tribun

SABTU, 23 Februari 2008. Adalah ulang tahun Bu Eri yang ke-32. Tentu ini hari yang membahagiakan, bagi saya khususnya. Kok? iya, karena beberapa persoalan yang menerpa, bisa selesai. Sejak Jumat, saya sudah berencana membeli kue ultah. Sore hari saya ajak Kaka ke Kartika Sari, beli Blackforest untuk ulang tahun. Tak lupa beli lilin 32. Saya sudah wanti-wanti pada Kaka. "Ka, jangan bilang ibu atau yang lainnya ya. Ini suprise, kejutan lho. Besok kan ibu ulang tahun, nah kita kasih kue ulang tahun ini besok pagi. Oke?," kata saya. Kaka sih mengangguk-angguk saja sambil tertawa ditahan. "Oh besok ibu ulang tahun yah," kata dia. Saya memang tidak membelikan kado yang lain. Bukan apa-apa. Saya bukan orang yang biasa dan bisa belanja. Jadi pilih yang gampang saja. Kue tart ulang tahun.

Sejak malam, Kaka sudah gelisah. Waktu mandi sore, dia sempat berbisik pada Mbah Uti, kalau besok Ibu ulang tahun. Mungkin Kaka tidak sabar ingin memberi kejutan untuk ibunya. Waktu Bu Eri pulang ke rumah, sebenarnya Kaka sudah tidur. Tapi dia langsung bangun, begitu dengar suara Bu Eri. Dari situ, mulai Kaka bertingkah. Sekali-kali dia melirik saya sambil menahan tawa. Saya kasih kode kedipan mata dan telunjuk di mulut, agar Kaka tidak membocorkan rencana kejutan itu. Cuma ya namanya anak-anak, waktu ngelendot manja di pangkuan ibunya, Kaka sudah tidak tahan. "Ibu, ibu, sini geura. Dikasih tahu," kata dia sambil mendekatkan mulut ke telinga Bu Eri dan matanya melihat saya. "Wah, bocor deh," pikir saya. Tak lama, Bu Eri dan Kaka masuk kamar dan tidur.

Usai salat Subuh, saya sudah bersiap keluarkan kue blackforest berlapis tart. Waktu Bu Eri masih tergolek, juga Kaka, saya bawa kue ke kamar dan menyalakan lilin. Lalu saya nyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun", sambil setengah berbisik. Suprised...!! Sambil setengah sadar, Bu Eri menerima ucapan selamat ulang tahun dari saya. Dan Bu Eri pun meniup lilin angka 32.

Sementara Kaka yang awalnya semangat untuk memberi kejutan, masih tidur. Baru setelah itu, saya bangunkan dia. Begitu tahu lilinnya sudah ditiup, Kaka pun minta dia yang memotong kue dan menyantapnya. Alhamdulillah, Ya Allah, atas berkah dan rahmat mu kepada kami sekeluarga. Jadikan kami keluarga yang pandai bersyukur atas segala nikmat-Mu.

Di hari dan tanggal yang sama pula. Tribun Jabar merayakan Sewindu Tribun Jabar. Tak terasa, saya sudah menjadi bagian peusahaan ini selama 8 tahun. Hal yang membahagiakan, tanpa diduga, saya didapuk jadi employee of the year 2007 kategori B. Dengan penghargaan, mendapatkan tambahan gaji 100 persen dari kenaikan gaji 10 persen. Jadi 20 persen, bos... Nuhun pisan.

Selain itu, di akhir acara, nomor undian doorprize saya, 045, ternyata muncul sebagai pemenang Grand Prize berupa Sepeda Gunung. Wah, ini lebih tak terduga lagi. Impian saya untuk ke kantor dan jalan-jalan naik sepeda akhirnya bisa kesampaian. Dan berarti, saya batal beli sepeda dari kantor secara kredit. Alhamdulillah, Engkau memberi rezeki dari tempat yang tak pernah diduga. Jadikan aku sebagai hamba-Mu yang pandai bersyukur. (*)

Sunday, February 17, 2008

Ingatkan Aku Tentang Mati

LANGKAH malaikat maut tak pernah bisa ditebak, apalagi diketahui kepastiannya. Pagi hari, seseorang masih bisa tertawa lepas, sore harinya nyawa sudah tercabut dari raga. Malam hari masih segar-bugar, esok paginya terbujur kaku. Siapakah yang bisa menentukan kapan akhir hikayatnya di dunia berakhir? No one. Itu urusanku, kata Tuhan.

Pagi tadi (Sabtu 16/2), aku dengar kabar tetanggaku, H Amir Sumirat, meninggal dunia. Tiga hari koma di RS Dustira, subuh tadi sudah mencapai titik akhir. Padahal, sebelumnya Mang Amir, begitu kami para tetangga menyebutnya, sehat walafiat. Setiap pagi, aku pasti bertemu dengannya saat mengantar anakku ke sekolah. Pakaiannya khas. Berkaus oblong, kadang kaus berkerah, dan celana pendek selutut. Kadang memakai topi, sambil menyedot rokok dalam-dalam. Rabu subuh lalu, Mang Amir jatuh di kamar mandi, pingsan. Dan sejak itu, tak pernah sadarkan diri lagi, hingga akhirnya berpisah dengan dunia fana ini.

Sungguh kematian, dan juga hari kiamat, adalah rahasia yang hanya Allah SWT sendiri yang menggenggamnya. Tidak pula seorang Muhammad SAW, mengetahuinya. Nabi Muhammad mengetahui ia akan dijemput Malaikat Izrail, justru saat ia akan terbaring mendekati waktu terakhir. Memang tanda-tanda beliau akan meninggalkan ummat, terlihat sebelumnya. Saat khutbah Subuh, Rasulullah menyampaikan wasiat singkat: “Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertaqwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua perkara pada kalian, Al Qur’an dan sunnahku. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan masuk surga bersama-sama aku".

Dan setelah itu, Rasullullah jatuh sakit, hingga ia tidak ikut salat subuh berjamah hari berikutnya. Ketika beliau berbaring lemah ditemani cahaya hatinya, Fatimah Azzahra, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?” “Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut roh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi. “Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan kuatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan roh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat Penghantar Wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat rasa maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan-akan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya, “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku” - “Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan, “Ummatii, ummatii, ummatiii” - “Umatku, umatku, umatku…” Dan, berakhirlah hidup manusia mulia itu.

Sungguh proses kematian yang begitu indah. Di saat ajal menjelang, masih mengingat nasib ummatnya. Apakah kita layak atau akan seperti itu saat meregang ajal? Sudah siapkah kita menemui kedahsyatan malaikat maut. Hanya satu hal yang harus terus terngiang di kepala: Ingatkan Aku tentang Mati. Supaya aku ingat, setiap makhluk itu pasti berakhir dan mengalami mati. Jangan sampai terjerembab, ke dalam golongan manusia yang cinta dunia, dan takut akan mati. Merasa diri akan hidup selamanya. Padahal, esok lusa pun aku tak tahu, masih bernafas atau tidak. (*)

Monday, February 11, 2008

Pesan dari Beside


SABTU 9 FEBRUARI 2008, boleh jadi merupakan hari terburuk bagi dunia musik underground Bandung. 10 orang tewas terinjak-injak dalam konser tunggal launching album pertama Beside, Against Ourselves, yang digelar di Gedung Asia Africa Cultural Centre (AACC) Jalan Braga.

Tentu ini berita mengejutkan. Seheboh-hebohnya konser musik underground, rasanya jarang terdengar sampai ada penonton yang tewas. Malahan yang justru sering tersiar adalah penonton yang tewas ketika menyaksikan konser band papan atas, seperti Sheila On 7, Ungu, Slank, dan PAS Band.

Terus terang, saya memiliki "keterikatan" secara emosional dengan dunia underground ini. Saya memang suka mengamati perjalanan musik underground di Bandung. Referensi saya tentang musik ini di tahun 90-an adalah Radio GMR (Generasi Muda Radio) 104,4 FM. Saya masih ingat betul suara berat Samuel Marudut (almarhum). Juga penyiar lainnya, Tata. Lalu ada Muti dan Arin. Kalau Muti, lengkapnya Mutiara, itu saudara jauh saya. Dia vokalis Wachdah band. Juga ada Tita. Nah yang ini, adik kelas saya di SMA.

Lalu referensi lain saya dapat dari Majalah Hai. Masa itu, Hai paling sering mengupas musik-musik metal. Sepultura, Megadeth, dan tentu Metallica, dikupas habis Hai. Ketika band underground dan indie Bandung menyerbu telinga musik penikmat musik di Indonesia, Hai pun menurunkan liputan berjudul: Bandung Invasion!!!. Itu karena hampir seluruh grup musik yang bercokol saat itu semua dari Bandung. Dari unsur Pop, ada Kahitna, ME Voice. Juga ada Gigi Band. Dari indie, muncul PAS Band, Pure Saturday, Cherryl Bombshell, Puppen, dll.

Setiap ada konser musik indie label, dulu belum meng-underground, saya selalu mengusahakan hadir. Berteriak kencang di tengah jibaku penonton seakan melepaskan seluruh kepenatan dan kekecewaan hati. Protes terhadap keadaan yang tidak memihak pada diri.

Lalu ketika trash metal menjadi tren, sejumlah pemusik lokal pun mengikutinya. Rotor adalah penggeraknya. Mereka band dari Jakarta. Irvan Sembiring, Jodi Gondokusumo, satu lagi drummernya saya lupa, adalah jagoan underground yang menjadi idola anak muda saat itu. Mereka sempat manggung di San Fransisco, AS. Waktu Metallica ke Jakarta, mereka jadi band pembuka. Gagah banget rasanya melihat Ivan berdiri tegak di speaker besar panggung Metallica di Lebak Bulus. Lalu ada juga Sucker Head, dengan Krisna Sadrah-nya, teman seangkatan Rotor.

Di Bandung, nama PAS Band tak bisa dilepaskan dari kemunculan komunitas indie dan
underground. Dalam pandangan saya, PAS lahir dari rahim GMR. Samuel Marudut punya peran besar. Juga Richard Mutter, sang drummer, yang juga penyiar GMR. Kehadiran PAS band seakan membuka keran indie dan underground yang mampat.

Dari situ, bermunculankah band indie dengan musik yang lebih cadas lagi. Death Metal, Brutal Death, Hard Core, Grind Core dll. Close Minded, Rotten to The Core, dll menggerakkan lokomotif underground Bandung. Termasuk di dalamnya Jasad, Sacrilligeous dll. Hullabalo, Bandung Berisik, Bandung Underground, hanyalah sedikit dari even yang mempersolid kaum underground Bandung. Musik seperti bunyi gergaji dan gerinda membilas besi itu semakin menjadi anutan anak-anak muda Bandung.

Perkembangan selanjutnya, memang antara indie label dan underground terpecah. Itu terjadi setelah sejumlah band indie label, seperti PAS Band, direngkuh major label. Mulailah ada friksi di antara indie dan underground. Jenis musik pun kian membedakan. Indie label terbilang musik yang ringan, seperti underground lebih cepat dan berat. Dan kedua kubu pun melahirkan grup-grup yang luar biasa. Pure Saturday, Cherryl Bombshell, lalu yang kekinian, Mocca, Laluna, Dll. Dari kubu underground, mungkin nama Burgerkill yang pantas dikedepankan. Mereka memang sempat digaet Sony Music. Tapi idealisme musik undergroundnya tetap berurat berakar.

Persinggungan saya dengan dunia underground kian intens, ketika saya satu bangku kuliah dengan Yuli Jasad. Juga ada Eri Sacrillegious, kakak angkatan. Lalu di bawah saya, ada Iman "Kimung", bassist Burgerkill. Walau begitu, saya tidak pernah larut dalam dunia underground secara sungguh-sungguh. Ini hanya persinggungan saja, sekadar mengamati dunia mereka. Cuma karena persentuhannya cukup lama, saya jadi hapal siapa saja orang-orang underground. Jadinya nyambung ketika berbicara dengan Yuli Jasad soal musik ini. Dialah pemusik underground yang lulus jadi sarjana dengan skripsi tentang dunia musik underground di Bandung dan Surabaya.

Wah kepanjangan ini tulisan. Singkat cerita saja. Cukup lama saya vakum dari menga- mati anak-anak underground. Saya tak tahu lagi siapa band-band baru yang muncul. Sampai kemudian terjadi peristiwa di AACC tempo hari.

Hari ini saya buka Myspace dan kontak dengan Beside, band yang menjadi cerita utama dalam kejadian di Gedung AACC. Saya minta waktu untuk wawancara secara khusus. Tapi mereka menolak, karena sudah jumpa pers di AACC, tadi siang. Memang di sana ada wartawan Tribun yang bertemu Beby, drummer Beside. Tahu saya wartawan, Beside titip pesan untuk disampaikan di koran. Ini pesan mereka:

Tgl 09 februari 2008 adalah hari kelabu, buat kita para sceen underground di kota bandung bahkan Indonesia. Kita sebagai orang-orang yang terkait di dalamNya, sepantasnya untuk turut berduka cita atas insiden yang sebenarnya tidak kita inginkan. Mereka adalah teman , sahabat bahkan saudara kita, yang memang wajib kita hormati. Marilah kita berdoa untuk saudara-saudara kita yang menjadi korban sabtu kelabu. Buat kalian teman-teman yang merasa peduli atas meninggalnya teman, saudara, sahabat kita, kalian bisa datang ke AACC untuk berduka, berdoa, tabur bunga atau apapun sebagai tanda kalau kita semua peduli atas insiden sabtu kelabu. Kita jadikan ini adalah sebuah pengalaman, pelajaran yang sangat berharga untuk ke depannya, agar bisa lebih berhati-hati, tertib dan prihatin. Marilah kita sama-sama menjaga nama baik sceen underground, kalau kita itu tidak seburuk yang di tuduhkan media, aparat, ataupun lainnya (penyelenggara memberikan minuman keras terhadap setiap penonton yang hadir) terhadap kita para pecinta musik underground. Marilah kita berdiri bersama untuk meluruskan masalah ini. Ini mutlak adalah sebuah musibah. Novi, Dicky , Tian , Yusuf , Agung , Dodi , Ahmad Wahyu , Yudi , Novan , Ahmad fuqon. Goodbye.. God blast you all guys , we love you all. Kita selalu berdoa untuk kalian, karna kalian adalah bagian dari kami. Semoga kalian tenang di sisi yang maha kuasa. Semoga keluarga besar korban tabah dalam menghadapi cobaan yang berat ini. - BESIDE -

Mudah-mudahan peristiwa ini yang terakhir kalinya terjadi. Dan yang penting, musik underground tetap berkibar, mewarnai dunia musik Bandung, dan juga Indonesia. Lebih penting lagi, pasti ada pesan dari kejadian Beside ini yang bisa semua pihak ambil. Thanks bro.(*)

Sunday, February 10, 2008

AACC Telan Korban; Jejak Sejarah Seni Bandung

ASIAN African Cultur Center (AACC) adalah bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang masih tegak yang di Jalan Braga. Lokasinya bersebelahan dengan Museum Asia Afrika. Ciri khas bangunan ini adalah ornamen kepala Batara Kala di bagian depan gedung.

Jauh sebelum menyandang nama AACC, di awal abad 20, gedung ini adalah tempat pertunjukan film hidup alias bioskop. Majestic namanya. Tempat ini adalah ujung awal Jalan Braga dan menjadi tempat wisata dan hiburan Meneer-meneer dan Noni-Noni Belanda sekaligus pelengkap kawasan Braga, sebagai kawasan perbelanjaan. Tak lengkap rasanya jika tidak ada hiburan. Karena itulah, direncanakana pembangunan sebuah bioskop berkelas, yang representatif bagi kalangan atas saat itu.

Dekade 20-an, diorderlah Technisch Bureau Soenda untuk melaksanakan pembangunannya. Arsiteknya bukan orang sembarangan, dialah Prof. Ir. Wolf Schoemaker, guru besar Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), yang karya-karyanya terserak di seantero Bandung dan sebagian besar masih dapat dinikmati hingga saat ini.

Arsitektur Gedung Majestic mengandung perpaduan elemen arsitektur dan seni ukir regional dengan teknik konstruksi modern dari barat. Ini adalah wacana baru yang dikembangkan Schoemaker saat itu, yaitu sebuah arsitektur klasik yang tidak merujuk kepada seni ornamentasi Yunani dan Romawi, melainkan menggalinya dari kekayaan khazanah arsitektur dalam negeri.

Dengan garis vertikal dan horisontal yang menonjol, gedung Majestic merupakan salah satu karya penting dari aliran Indo Europeeschen Architectuur Stijl yang turut menghidupkan kawasan Braga di masa keemasannya.

Tentu, para Meneer dan Noni merasa bangga menonton di bioskop mewah, saat itu. Masa keemasan bioskop Majestic sempat bertahan beberapa dekade hingga tahun 80-an. Seiring dengan bermunculannya bioskop yang lebih modern, Majestic semakin tersisih dengan hanya memutar film-film kelas rendahan yang hanya ditonton segelintir orang. Akhirnya Majestic tutup sama sekali.

Bersyukurlah berkat Undang-undang No. 5/1992 yang mengatur Benda Cagar Budaya, gedung ini masih bertahan dan sempat berganti nama menjadi gedung AACC yang kini difungsikan sebagai gedung pertemuan atau gedung konser musik. Majestic diharapkan mampu meninggalkan kenangan kejayaan masa lalu, saat bangunan kuno di Bandung makin langka.

Karena ketiadaan ruang publik yang representatif, Gedung AACC pun dipakai untuk untuk berbagai kegiatan seni, termasuk di antaranya pergelaran musik cadas underground. Tentunya saja, gedung yang semula untuk Noni-noni dan Meneer itu tidak akan bisa menampung antusias komunitas underground Bandung. Dan terjadilah tragedi Sabtu (9/2) malam. 10 orang penonton tewas kehabisan napas dan terinjak-injak di tengah kerumunan massa underground. Majestis atau AACC pun menjadi saksi jejak sejarah seni Bandung, dari zaman kolonial hingga kontemporer. (*)

Saturday, February 09, 2008

Ahmad Heryawan, Cagub Termuda

TAK enak rasanya tidak menuliskan kedatangan calon gubernur Jabar yang diusung PKS dan PAN. Soalnya, saat Agum Gumelar dan Nu'man A Hakim, cagub-cawagub yang diusung 7 partai, datang ke kantor pun, saya menuliskannya. Biar berimbang dan tidak disebut partisan (he he), saya tuliskan juga kedatangan Ahmad Heryawan dan tim suksesnya ke kantor Tribun, dua minggu yang lalu.

Usianya baru 41 tahun, mungkin mau menginjak angka 42. Dibanding calon yang lain, jelas dia paling muda. Tapi keinginannya besar, dan pergaulannya luas. Sebelum mencalonkan diri jadi Cagub Jabar, Ahmad Heryawan adalah Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Ia juga adalah Ketua Umum Persatuan Ulama Islam (PUI) Pusat. Dan tentu
aktivitis PKS tulen.

Saat datang ke kantor Tribun, ia hanya ditemani sekitar 5 orang lingkaran terdekatnya. Pembawaannya santai, tapi meyakinkan, dan tentu sebagai orang muda, penuh semangat. Ahmad Heryawan menuturkan bagaimana proses ia akhirnya memberanikan diri jadi Cagub. Padahal semula, PKS menyodorkan Heryawan sebagai calon wakil gubernur (Cawagub).

"Ini karena proses dan dinamika politik yang begitu berliku. Ketika Golkar tak juga memutuskan untuk mengambil saya, dan lebih condong ke calon yang lain, kami pun menjalin komunikasi dengan Dede Yusuf. Setelah sepakat, saya pun bergeser menjadi Cagub dan Dede sebagai Cawagub," begitu ringkasnya Heryawan menceritakan proses maju untuk bertarung di Pilgub Jabar.

Nawaitu besar Ahmad Heryawan adalah ingin melakukan perubahan di Jabar. Dari sisi birokrasi, tujuan pembangunan dan lain-lain. Jadi mirip jargon kampanye Barack Obama, Change!. Ia pun mengklaim sudah memiliki basis massa pendukung, seperti di Depok, Bogor (tanah kelahirannya), Bekasi, lalu Ciamis (basis Dede Yusuf), juga Pantura.

Minggu (10/2) ini pukul 13.00, rencananya pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf akan menggelar deklarasi di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga). Ini tentu upaya sosialisasi kepada masyarakat, agar pasangan muda ini lebih dikenal masyarakat Jabar. Untuk bertarung di Pilgub 13 April mendatang, dua orang muda ini membesut nama: Hade Pisan!. (*)

Spirit of Barongsai

IMLEK 2559. Gong Xi Fat Choi. Perayaan Sincia, atau menyambut tahun baru penanggalan Cina tahun 2008 ini jatuh pada Kamis 7 Februari. Tahun-tahun kemarin, saya masih suka mendapat kiriman dodol Cina dari beberapa teman yang merayakan Imlek. Tapi tahun ini tidak. Tak apa. Yang penting, hubungan saya dengan mereka masih terus berlanjut.

Kelompok Kungfu dan Barongsai Naga Merah bersiap untuk beratraksi di BIP.
Setiap Imlek berlangsung hingga Cap Go Meh, atau peringatan hari ke-15, sudah dipastikan kemeriahan menghampiri setiap rumah warga Tionghoa. Di Indonesia, Imlek baru dijadikan hari libur nasional tahun 2003 lalu. Tentu itu sebuah kemajuan luar biasa. Kran keterbukaan di era reformasi, memang tidak lagi mengharamkan hal-hal yang berbau Cina atau Tionghoa. Berbeda dengan di masa Orde Baru. Ketika konglomerat Cina dipelihara, tapi budaya dan hubungan interpersonal dengan masyarakat Indonesia lainnya, dikungkung luar biasa. Sehingga, terjadilah gap antara masyarakat pri dan non-pri. Itu istilah yang diciptakan Rezim Soeharto untuk membuat kita, berbeda dengan mereka.

Tapi semenjak reformasi bergulir, walau juga warga Tionghoa menjadi korban, pintu hati pembauran mulai bergerak. Dan semakin kencang. Hingga kemudian, saat Gus Dur jadi Presiden RI, aturan-aturan yang mengekang warga Tionghoa, seperti Surat Keterangan Kewarganegaraan RI, dihapuskan. Kalau dulu, warga Tionghoa harus punya nama Indonesia, sekarang sah-sah saja mereka pakai nama marga Tionghoa mereka. Tak perlu takut lagi. Puncak pengakuan itu, ya dijadikannya Imlek sebagai hari libur nasional.

Bagi saya, kebudayaan Cina atau Tionghoa sebetulnya bukanlah kebudayaan yang asing dengan lingkungan sekitar kita. Tanpa kita sadari, sebenarnya banyak hal yang setiap hari kita pakai berasal dari Negeri Tirai Bambu itu. Saya penggemar bakso dan Siomay. Teman saya doyan Cap Cay. Ada juga yang tega nelen kodok, Swike. Lalu Puyung Hay. Siapa yang tidak terpesona dengan film Crouching Tiger Hidden Dragon? Bukankah itu berasal dari negerinya Jet Lee.

Saya memandang, salah satu hal yang mempercepat meleburnya budaya Tionghoa dengan budaya lokal Indonesia, termasuk Sunda, adalah atraksi Barongsai. Bagaimana tidak, barongsai adalah permainan atau atraksi yang begitu atraktif, memikat semua orang. Saya masih ingat, saat tahun 80-an dulu, anak-anak kecil di kampung saya di Sukajaya Cimahi berduyun-duyun ke jalan besar jika ada keramaian pawai barongsai. Hanya saja, saat itu kami, para cecurut kecil ini sering ditakut-takuti orangtua. Kalau nonton barongsai, nanti malam bakal didatangi barongsai. Tak heran, kami hanya bisa menonton dari jarak yang agak jauh. Takut soalnya.

Gerakan-gerakan pemain barongsai memang memikat dan menimbulkan decak kekaguman. Mereka ringan saja meloncat dari satu tiang ke tiang lain. Atau sekali waktu, si kepala barong menjaul tinggi. Tentu gerakan dan atraksi itu mengingatkan kita pada kemahiran kungfu orang cina. Boleh jadi, saat ini jika Imlek tiba, selain angpao, yang ditunggu kehadirannnya adalah atraksi Barongsai.

Konon, dari negeri leluhurnya, Tiongkok, Barongsai ini memiliki dua aliran. Sayang, saya tidak begitu hafal nama aliran barongsay ini. Yang pasti, satu aliran berasal dari daerah Utara dan satu lagi dari daerah selatan Tiongkok. Masing-masing aliran punya ciri yang tegas. Misal, aliran selatan, gerakannya lambat namun powerfull. Seiring dengan semakin banyaknya manusia Tiongkok, maka berdiasporalah mereka ke segala penjuru dunia. Mereka pun membawa serta kesenian Barongsai ini sekaligus memudahkan perkenalan dengan budaya setempat. Spirit of Barongsai, itulah yang kini terjadi. Begitu luar biasa kekuatan orang-orang Cina di bidang apapun. Mereka terus mengejar ketinggalan dari negara Barat.

Dan sesungguhnya kita, orang Sunda, pun di sini punya semangat serupa. Bukankah barongsai tak jauh beda dengan Sisingaan, Singa Depok, Kuda Renggong dll. Hanya sayangnya, budaya itu hanya menjadi budaya lokal yang tak menjangkau kekinian. Siapa yang peduli dengan Sisingaan itu, kecuali mereka yang benar-benar dekat dan bersentuhan langsung dengan budaya itu? Susah memang.

Dari sisi individu, bagi saya tak ada salahnya, kita pinjam semangat Barongsai untuk melakukan hal yang terbaik bagi kehidupan kita. Untuk bisa meloncat tinggi, tanpa perasaan takut, para pemain barongsai itu harus jatuh bangun berlatih berulang kali. Begitu pula yang harus kita lakukan. Kita tidak atau jangan pernah merasa putus sampai impian yang kita inginkan terwujud. Itu yang menjadi inti Spirit of Barongsai. Terus berusaha dan tak pernah putus asa. (*)

Bu Eri ke Lapangan Lagi

SETELAH hampir 8 hari terbaring di ranjang rumah, Selasa (5/2) Bu Eri sudah bisa ke lapangan lagi, meliput lagi. Ternyata benar, Bu Eri diterjang penyakit gejala Tipus, seperti yang saya duga. Sementara Dokter Eka menduga kena Chikungunya. Dokter juga manusia, bisa salah diagnosa...

Sebelum Bu Eri berangkat, saya sudah wanti-wanti, kalau tidak kuat tidak usah memaksakan diri. Tidak perlu ngotot cari berita. Apalagi Bu Eri masih merasa lemas, dan terutama, pusing belum hilang. Tapi karena tidak enak seminggu lebih tidak masuk kantor, Bu Eri tetap jalan. Pakai Mio birunya.

Dan hari itu, saat pulang ke rumah, Bu Eri tidak pakai Mio. Pakai mobil dari kantor. Mio ditinggal di kantor, dan dibawa teman. Soalnya, takut keleyeng-keleyeng di jalan. Sampai sekarang pun, kata Bu Eri, pusing tujuh keliling masih terus mendera kepala. Dokter Herman, dokter kedua yang dikunjungi Bu Eri, bilang, sepertinya sakit migrain juga. Tak heran, kalau sedang mewawancara narasumber, kata Bu Eri, terlihat bayang-bayang saja. "Udah gak fokus nanya juga, apalagi jawabannya, udah gak kedenger," kata Bu Eri.

Walau begitu, saya bersyukur, gejala tipusnya sudah tidak mengganggu lagi. Tinggal istirahat cukup, makan teratur. Intinya, pola hidup teratur. Begitu kata dokter. Tapi ngomong-ngomong, berapa banyak sih wartawan yang bisa hidup teratur? (*)

Thursday, February 07, 2008

Usai Sudah Hari-hari Menegangkan

ALHAMDULILLAH, usai sudah hari-hari menegangkan itu. Hari ketika kerja pun tak tenang. Setiap deringan telepon, seakan seperti hantu yang mengejar dari liang kubur. Khawatir ada "penyerbuan" kembali ke kantor. Atau setidaknya, krang kring telepon yang isinya mencaci maki dan sumpah serapah.
Cerita ini dimulai, Sabtu (2/2) lalu sekitar pukul 14.00. Secara tiba-tiba, puluhan orang tak dikenal, berpakaian kumal, sebagian berambut panjang, mata merah, menyerbu masuk ke ruang rapat Tribun.

Saya tanya kepada Sekred Tribun, Ari, yang lari ke ruang redaksi. Saya tanya, siapa mereka. Dengan wajah penuh ketakutan, Ari menjawab "Enggak tahu Kang, katanya mereka dari kabupaten".

Deg, dari Kabupaten, pasti soal berita Obar," pikir saya. Karena di kantor tidak ada orang, saya dan Kang Januar, manajer Tribun Online yang menerima rombongan orang-orang itu.

Ternyata benar, dengan kata-kata keras sambil mengacungkan koran edisi Kamis (31/1), mereka minta penjelasan soal berita Obar yang akan diperiksa BPK. Mereka bilang berita itu tidak berimbang. Saya coba jelaskan, bagaimana wartawan mendapat berita itu. Wartawan Tribun sendirian mendapatkannya dan berita itu sudah berimbang. Bahkan omongan soal pemeriksaan itu langsung meluncur dari mulut Obar sendiri.

Tapi orang-orang ini tak terima. Mereka lalu mempersoalkan kata menantang dalam berita itu. Mereka bilang, Bupati tidak pernah menantang BPK. Juga soal cuci gudang anggaran. Saya kembali menjelaskan, tapi baru beberapa kata sudah langsung dipotong. Mereka mengancam wartawan di lapangan. Bahkan menyebutkan saat itu ada 30 mobil yang sedang menunggu di jalan dekat kantor Tribun untuk menyerbu. Belakangan saya ketahui, mobil yang masuk ke halaman Tribun saja ada 10 mobil.

Segala penjelasan saya dan Kang Januar tidak bisa diterima mereka. Mereka meminta Tribun meminta maaf secara terbuka selama 10 hari berturut-turut. Saya sampaikan, masalah klarifikasi adalah hal biasa. Dan sebetulnya, klarifikasi masalah ini sudah dimuat esok harinya setelah berita muncul. Klarifikasi langsung dari pihak Pemkab Bandung. Tapi mereka keukeuh tidak mau tahu. Tetap harus ada permintaan maaf.

Berhubung saat itu tidak ada pimpinan lain di kantor, kecuali saya dan Kang Janu, dengan terpaksa dan melihat situasi yang panas serta mengedepankan keselamatan karyawan, mau tidak mau kita terima desakan mereka untuk membuat klarifikasi dan permintaan maaf. Mereka, yang menyebut diri Forum Masyarakat Kabupaten Bandung Bersatu (Formak) minta dimuat sebanyak tiga kali.

Minggu pagi, saya dikontak PP menanyakan kasus itu dan meminta saya datang untuk rapat membahas itu siang harinya. Hasil rapat siang, kita akan memuat berita itu, namun tanpa menyebutkan kata minta maaf, karena tidak Tribun sudah benar dalam pemberitaan.

Senin (4/2), meluncurlah berita pertama, "Formak Desak Minta Maaf". Saya harap-harap cemas menanti reaksi mereka. Sampai malam tidak ada kejadian apa-apa.

Selasa (5/2), Tribun tidak memuat berita kedua. Sengaja. Karena bagi Tribun, satu berita itu pun sudah cukup. Pertama, karena sebenarnya tidak ada yang salah dari Tribun, semua prosedur pencarian berita sudah dijalankan. Kedua, prosedur hak jawab pun sudah dilakukan, dimuat pada kesempatan pertama.

Dan hasilnya bisa diduga, Selasa sore, telepon deras berdering ke handphone saya. Ada yang mengaku dari Baleendah, dari Soreang. Semua menanyakan kelanjutan berita Tribun. Lalu telepon kantor pun menjerit. Kembali saya yang harus menerima, karena pimpinan Formak tahunya saya. Sejuta badai cacian mengalir ke telinga kiri saya. Seribu nama binatang keluar dari got mulut preman-preman itu. Ya, mereka memang preman. Saat "menyerbu" ke Tribun pun, massa mereka adalah preman pasar dan terminal, selain ormas-ormas.

Selasa sore hingga malam itu, hari paling sibuk. Harus diputuskan saat itu juga, sikap Tribun. Massa di Soreang sudah menanti. Puluhan truk disiagakan untuk menyerbu ke Malabar. Pimpinan Formak bilang, sudah tidak bisa menahan massa lagi. Akhirnya, magrib digelar rapat kilat pimpinan. Diputuskan, untuk memuat satu kali lagi soal berita klarifikasi itu.

Rabu (6/2) berita itu pun muncul dengan judul "H Daud Berharap Situasi Tetap Kondusif" sub judul Formak Klarifikasi Ulang. Kita berharap, dengan memasang nama pentolan mereka, massa di bawah akan reda. Dan ternyata benar, tidak ada lagi teror, krangkring telepon dari mereka. Bahkan 2 utusan dari FKPPI Kab Bandung datang menyampaikan terima kasih atas pemberitaan kembali.

Sebenarnya akar silang sengkarut masalah ini bukan pada soal Bupati akan diperiksa BPK. Sama sekali bukan. Akarnya adalah 10 hari terakhir bulan Desember, Bupati mengucurkan dana ratusan miliar, entah untuk kegiatan apa. Padahal, pembukuan kas daerah sudah ditutup pada 15 Desember dan sesudah itu tidak boleh ada lagi pencairan uang. Ini yang jadi persoalan. Lalu ada momen pemeriksaan BPK, kita sangkutkan isu pencairan uang itu pada berita pemeriksaan BPK. Klop. Dan hasilnya, Bupati marah besar. He he...

Tapi kasus ini lebih entenng dibanding dengan teror anggota Kopassus terhadap keluarga saya, hampir selama 3 bulan, tahun 2006 lalu. Itulah teror terlama dan paling mengganggu kami sekeluarga. Teror itu juga bermula dari pemberitaan dugaan korupsi pembangunan perkantoran Pemkot Cimahi, yang dibuat Bu Eri. Rupanya, berita itu membuat gerah, seluruh pejabat Kota Cimahi, termasuk rekanan yang terlibat proyek. Kalau sudah begitu, cara teror lah yang dipakai. Keluarga saya mau dihabisi, mereka tahu dimana rumah dan siapa saja di dalam rumah. Mereka tahu saya seperti apa, dan pulang jam berapa. Mereka pun mengancam mau menculik Kaka Bila.

Demi keamanan, Bu Eri lapor ke Polres Cimahi. Dan minta pengawalan dari anggota Buser atau intel Polres. Selama hari-hari itu, dua anggota intel dan Buser selalu mengawasi dan menjaga rumah kami di Babakan Sari. Setelah polisi menyelidiki, mereka angkat tangan. Hasil penyadapan dan pengecekan sinyal telepon peneror, didapat lokasi tersering sinyal itu berasal dari sebuah tempat di Batujajar. Pusdikpassus.
(*)