Monday, March 15, 2010

Pohon dan Adipura

SEBUAH kabar memprihatinkan berhembus dari Bandung. Sebanyak 51 pohon estetis di Jalan Soekarno-Hatta dipangkas secara sembarangan oleh sebuah biro reklame. Tanpa perhitungan dan aturan, pohon penghijauan itu dibabat hingga gundul.

Lebih mengenaskan lagi, lokasi pohon-pohon itu merupakan titik pantau penilaian Adipura, lomba kebersihan tingkat nasional. Tak heran, Pemkot Bandung meradang dengan tindakan biro reklame itu. Karena hal itu bertentangan dengan komitmen Pemkot yang bertekad memboyong piada Adipura tahun ini.

Semenjak Adipura digelar kembali lima tahun lalu, Kota Bandung tak pernah sekalipun mendapatkan piala Adipura. Paling tinggi hanya piagam best effort, penghargaan bagi kota yang nilai pemantauan tahap keduanya melonjak tajam dibanding pemantauan tahap pertama.

Pohon merupakan elemen penting dalam penilaian Adipura. Selama ini, Adipura masih menekankan prioritas penilaian pada unsur bersih dan hijau. Pohonlah yang menjadi andalan untuk menggaet nilai tinggi dalam hal hijau. Jika sebuah jalan protokol yang menjadi titik pantau Adipura tak memiliki pohon peneduh, sudah bisa dipastikan nilai jalan itu jeblok.

Terlebih lagi bila saat pemantauan Adipura berlangsung, terjadi penebangan pohon dan tanaman, selain mendapai nilai jeblok, kota atau kabupaten bersangkutan juga akan mendapat catatan khusus soal aktivitas yang tidak propenghijauan itu.

Sesuai dengan Perda K3, siapapun yang menebang pohon tanpa aturan dikenai denda sebesar Rp 5 juta per pohon. Satpol PP sebagai polisi perda pun menjatuhkan denda sebesar Rp 255 juta kepada pihak biro reklame yang harus dibayar dalam tempo sepuluh hari terhitung setelah keputusan dibuat.

Selain itu biro reklame yang bersangkutan harus menutup sementara papan reklame yang dipasang di median Jalan Soekarno-Hatta itu menunggu terbitnya perpanjangan izin.
Ketegasan semacam ini yang harus terus ditunjukkan oleh Pemkot Bandung. Tak pandang bulu, tak pilih-pilih, walaupun pelaku adalah pembayar retribusi atau pajak, tapi kalau memang melanggar peraturan, harus kena sanksi.

Namun juga, jangan hanya karena pohon itu berada di titik pantau Adipura, Pemkot bereaksi dengan cepat. Tanaman atau pohon-pohon peneduh lain di luar titik pantau Adipura pun harus mendapat perlakuan sama. Apabila terjadi kasus serupa, Pemkot pun harus segera bertindak dan memberlakukan sanksi yang sama.

Penyadaran soal pentingnya keberadaan pohon di sekitar lingkungan kita harus terus disosialisasikan. Tak cukup hanya menanam pohon secara seremoni, tapi yang paling penting masyarakat pun wajib untuk merawat pohon-pohon itu.

Jika kita merasakan Bandung tak lagi teduh dan semakin panas, kehadiran pohon-pohon itulah yang akan menyelamatkan Bandung dan penghuninya. Semoga ini menjadi pelajaran bagi semua pihak supaya bisa menjaga lingkungan dan beraktivitas sesuai aturan.(*)

Tuesday, March 02, 2010

PASCAEVAKUASI

SELESAI sudah masa evakuasi korban longsor di perkebunan teh Kampung Dewata, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Setelah tujuh hari para personel tim pencari berjibaku mencari jenazah warga yang terkubur, pencarian pun dihentikan.
Prosedur pencarian memang mensyaratkan demikian. Secara formal, Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) menetapkan pencarian korban, baik hilang di gunung maupun musibah bencana, paling lama tujuh hari.

Selepas itu, pencarian bisa saja dilanjutkan, bergantung permintaan dari pihak keluarga korban atau pemerintah daerah. Juga apabila ditemukan tanda- tanda kehidupan atau keberadaan korban musibah.

Hingga berakhirnya pencarian, masih ada belasan warga yang belum ditemukan. Keluarga korban sudah sepakat dengan pemerintah kabupaten dan tim pencari untuk mengikhlaskan dan menjadikan area longsor sebagai kuburan massal.


Pertanyaannya, setelah evakuasi selesai, lalu apa yang harus dilakukan? Ini sangat mendasar, karena bagaimanapun korban longsor yang masih hidup harus menjadi prioritas penanganan pascaevakuasi. Senyaman-nyamannya hidup di pengungsian, tak lebih nyaman dibanding di rumah sendiri. Warga pun membutuhkan kepastian masa depan mereka, termasuk pendidikan anak-anak mereka.

Warga Kampung Dewata adalah masyarakat pemetik teh yang sudah puluhan tahun mendiami lembah di kaki Gunung Dewata itu. Memetik teh adalah pekerjaan yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Tak heran, ketika longsor menghancurkan perkebunan dan pabrik pengolahan teh, mereka yang selamat pun merasa hidup mereka sudah berakhir. Karena tidak ada lagi tempat mereka menggantungkan hidup, kecuali pabrik teh.

Apakah mungkin dalam satu-dua bulan pabrik teh itu berdiri dan beroperasi kembali? Rasanya sulit. Sejumlah pihak merekomendasikan agar perkebunan, berikut pabrik dan permukiman warga, Dewata direlokasi saja. Mengingat risiko bahaya sangat tinggi dari ancaman longsor berikutnya.

Pemerintah memang berkomitmen untuk menjamin ketersediaan logistik bagi korban longsor selama sebulan. Lalu pemerintah pun punya kewajiban untuk mengembalikan semangat hidup mereka, menghilangkan efek traumatis bencana dari pikiran warga.
Tapi hidup mereka bukan hanya satu bulan. Perlu dipikirkan langkah taktis lebih lanjut, bagaimana agar masyarakat bisa punya penghidupan, setidaknya sama dengan sebelum musibah terjadi.

Setelah didera trauma berkepanjangan, warga enggan kembali ke perkebunan. Sebagian besar memilih keluar dari Dewata dan mencari daerah lain untuk ditinggali. Mungkin mencari perkebunan teh yang lain yang bertebaran di Ciwidey. Atau beralih profesi, asalkan tercukupi kebutuhan sehari-hari.

Jangan sampai pengungsi hanya menambah jumlah pengangguran. Mungkin ada baiknya, pemerintah pun mengadakan pelatihan keterampilan bagi korban atau pengungsi. Supaya mereka punya keahlian yang lain, selain memetik teh. Ketika harus meninggalkan perkebunan, mereka sudah siap untuk menata hidup menjadi lebih baik lagi. (*)

Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 2 Maret 2010.