Tuesday, March 31, 2009

Kisah Sedih SD Sejahtera

SEHARUSNYA kegembiraan masih menghiasi rona wajah para pendidik dan siswa SD Sejahtera I dan IV di Jalan Sejahtera, Sukajadi, Bandung. Sejak pekan lalu, wajah bangunan SD itu, terutama bagian atapnya, tampak lebih semringah. Ya, atap ruangan kelas, yang semula asbes, sudah berganti menjadi genting anyar berwarna merah keoranye-oranyean. Tak hanya itu, lantai pun berganti dari ubin menjadi keramik.

Namun kegembiraan itu berlangsung tak lebih dari seminggu. Senin pagi kemarin, ketika siswa kelas 3 tengah asyik belajar, guru pengajar mendengar suara mencurigakan dari arah atap. Khawatir atap roboh, sang guru pun memerintahkan para murid keluar ruang segera. Benar saja, tak lama kemudian, atap baru itu ambruk dan genting-genting baru itu pun jadi pecahan berkeping-keping.

Sekolah untuk anak usia 6-12 tahun ini adalah SD Inpres yang dibangun pada tahun 1978. Sekolah ini berada di daerah perkotaan. Tak jauh dari bekas ibu kota Kabupaten Bandung di Cipaganti. Cipaganti sendiri merupakan kawasan elite yang dihiasi rumah- rumah besar peninggalan Belanda.

Sayang, walau namanya SD Sejahtera, nasibnya tak sesejahtera namanya. Kabarnya, sejak dibangun tiga puluh tahun lebih itu, tak sekali pun bangunan SD ini direnovasi.
Ketika bangunan SD lain sudah bertembok batu bata, SD Sejahtera masih bertembok batako. Tak heran, sungguh bergembira semua pengelola sekolah ini ketika bantuan dana role sharing dari Dinas Pendidikan Jawa Barat mengucur. Nilainya pun bukan main, Rp 320 juta.

Tapi ternyata bantuan itu hanya cukup untuk mengganti genting dan lantai. Kabarnya pula, satu ruang kelas menghabiskan dana sebesar Rp 40 juta. Dan anggaran puluhan juta per kelas itu pun lenyap dalam hitungan detik seiring dengan robohnya dua bangunan kelas.

Selain siswa dipastikan tidak akan bisa belajar, dampak lain dari robohnya bangunan kelas itu adalah munculnya perasaan trauma dari para siswa yang belajar di ruang kelas yang lain. Mereka waswas dan selalu melihat ke atas khawatir atap tiba-tiba roboh.

Inilah ironi sebuah sekolah yang berlokasi di tengah kota. Ketika pemerintah daerah berupaya keras menggratiskan biaya pendidikan dan memperbaiki infrastruktur pendidikan, sekolah ini baru tersentuh bantuan. Dan kualitas bangunan hasil bantuan itu pun patut dipertanyakan karena hanya bertahan satu minggu.

Bandingkan dengan bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda di sekitar kawasan itu. Puluhan tahun tetap kokoh bertahan dari cuaca apa pun. Berdiri tegak, seolah mencemooh: Lihat, buatan kami, kaum kolonial, lebih baik daripada buatan pribumi.
Pengawasan terhadap proyek renovasi ini juga terkesan lemah. Banyak ditemukan kayu-kayu bekas digunakan kembali untuk menyanggap atap dan genting. Kalau saja pengawasan dilakukan secara ketat, bukan tak mungkin musibah bisa dihindari.

Kejadian ini menjadi cermin bagi dunia pendidikan di Kota Bandung bahwa selain kualitas guru dan siswa yang harus digenjot, kualitas sarana atau fasilitas pun harus menjadi prioritas.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 31 Maret 2009.

Monday, March 23, 2009

Segitiga Emas

ISTILAH segitiga emas biasanya merujuk pada suatu kawasan yang bila ditarik garis khayal pada tiga titik akan membentuk bidang segitiga. Kata emas menunjukkan pada potensi luar biasa yang dimiliki kawasan itu dan biasanya potensi ekonomi dan bisnis
Di Jakarta dikenal istilah Segitiga Emas di kawasan Kuningan. Kawasan itu mencakup Jalan Sudirman-Gatot Subroto-Rasuna Said. Lokasi ini menjadi pusat bisnis dan perkantoran. Jangan tanya berapa harga tanah per meter di kawasan segitiga emas. Melonjak dan mahal luar biasa, hanya karena berada bidang segitiga khayal tapi diyakini sebagai kawasan penarik uang.

Di dunia kriminal, dikenal pula segitiga emas opium yang terbentang antara Thailand, Myanmar, dan Laos. Ketiga negara ini penghasil opium terbaik. Dari daerah pedalaman dan pegunungan di tiga negara Asia Tengggara itu mengalir barang haram ke seluruh dunia. Opium pula yang menjadi modal operasional kelompok-kelompok mafia kejahatan, baik tradisional maupun modern, di kawasan itu.

Hubungan segitiga ini memang strategis, sekaligus misterius. Strategis karena kekuatan bisa lebih meningkat ketimbang hubungan dua pihak. Misterius, mengingatkan kita pada Segitiga Bermuda, yang hingga kini masih bisa disebut tempat paling misterius di dunia.

Karena strategis itu pula, Suryadarma Ali, Ketua Umum DPP PPP, melontarkan gagasan golden triangle (segitiga emas) seusai bertemu dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.

Koneksi tiga arah itu antara PPP, PDIP, dan Partai Golkar. Partai Golkar sudah bersepakat dengan PDIP, dan PPP pun bersepakat dengan PDIP. Suryadarma menyebut pertemuan itu selangkah menuju koalisi.

Ketiga partai ini adalah partai yang lahir dan dibesarkan di zaman Orde Baru. Bedanya, saat itu Partai Golkar menjadi ruling party (partai penguasa) sehingga identik dengan Orde Baru. Saking identiknya, di zaman reformasi Akbar Tandjung sampai harus beriklan Golkar Baru yang reformis untuk meluruhkan stigma Orde Baru. Sementara dua partai lainnya adalah "musuh" secara politik.

Tapi adagium politik terkenal: Tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi, membuktikan kebenarannya. Kalau kepentingan sama, mengapa tidak bersama-sama? Contoh mudah adalah langkah Jusuf Kalla yang selama lima tahun terakhir menjadi kawan seiring sejalan dengan SBY kemungkinan besar akan menjadi lawan politik dalam pemilihan presiden mendatang.

Konstelasi politik terkini itu tentu kian menggairahkan. Jika ketiga partai besar itu berkoalisi, sungguh merupakan suatu kekuatan politik yang besar dan sulit ditandingi. Logika politik berkata seharusnya partai reformis atau partai yang didirikan di era reformasi berada di kubu satu lagi sebagai pembanding.

Untuk melawan kekuatan besar ini memang diperlukan persatuan partai-partai menengah dan kecil. Ini mengingatkan kembali pada Pemilu 2004 saat berhadapan Koalisi Kebangsaan dengan Koalisi Kerakyatan. Melihat figur-figur yang akan maju sebagai calon presiden, sepertinya kubu-kubu itu tidak akan berbeda. Tinggal kita yang kebingungan menonton perkembangan politik di tingkat elite itu. Rakyat tak pernah dilibatkan, bahkan dipikirkan, saat deal-deal politik itu terjadi. Tujuan politik hanya meraih kekuasaan, setelah itu memantapkan kekuasaan, dan mewariskan kekuasaan. Kesejahteraan rakyat di urutan nomor kesekian. Itu pun kalau sempat dipikirkan. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 21 Maret 2009.

Saturday, March 14, 2009

Ultah Friday: Kali Ini yang Kedua


HARI kemarin, Jumat 13 Maret 2009. Adalah ulang tahun Friday untuk kedua kalinya di tahun 2009. Yang pertama bulan Februari lalu. Setiap tanggal 13 yang jatuh pada hari Jumat, itulah hari ulang tahun Friday. Tahun ini ada tiga kali tanggal 13 yang jatuh pada hari Jumat. Jadi 13 November nanti, Friday akan berulang tahun lagi.

Siapa dan apa Friday, baca di sini. Tulisan itu memang belum selesai, tapi bisa menjelaskan akar Friday. Saat ini sahabat Friday sudah tersebar di mana-mana. Terakhir kami berkumpul, di rumah saya, akhir Januari lalu. Saat itu digelar sawala untuk membahas masa depan Friday. Masa depan dalam artian bisnis. Friday ingin kembali berbisnis. Tentu sebagai bekal dan pegangan di masa yang akan datang. Dari beberapa gelintir anak-anak Friday, hanya seorang yang menjadi PNS. Ya, hanya Dadan Achmad Muharam, kini jadi Kepala Satpol PP Kabupaten Cianjur. Sisanya: pegawai swasta, wirausaha, dll.

Sebenarnya bisnis bukan barang baru bagi kami. Dulu saat masih berkumpul di markas Sangkuriang 26, kami berbisnis kecil-kecilan. Mulai membuat sablon, desain dan layout buku, sampai agribisnis Jamur Shitake. Tapi berhubung tidak fokus, semua bisnis itu memudar. Masing-masing personal masih memikirkan bagaimana masa depannya sendiri. Tapi kini situasi dan kondisi berbeda. Semuanya sudah bekerja, dan mungkin punya simpanan untuk modal usaha.

Kami akan mulai dengan bisnis kecil dulu. Apapun itu. Kata Andesa, yang penting ada tempat untuk berkumpul, untuk pulang ke Cimahi. Karena pemikiran sudah sepaham, tinggal action. Minggu-minggu lalu, saya survei cari tempat di seputaran Cimahi. Belum ada yang cocok.

Beberapa hari lalu, Mulya Kuya telepon. Dia sekarang di Palembang, pindah dari Kalbe Farma Pematangsiantar. "Ripuh, karier tidak naik, minta pindah ke Jawa gak dikasih terus, pindah saja ke kompetitor," cerita Kuya pagi itu.

Saya pun menceritakan perkembangan terakhir soal bisnis itu. Dia setuju dan siap mendukung. "Kalau bisnis sendiri mah lebih senang ke hati," cetus Kuya. Saya pun membenarkan dan mohon doa supaya bisnis itu bisa terwujud, setidaknya di tahun ini. Soal modal, kata saya, sementara ini tidak usah khawatir. Dore siap mengucurkan dana, karena dia punya penghasilan 1/4 miliar setahun sebagai komisaris di sebuah perusahaan. Jadi tinggal mengajukan proposal, bisnis bisa jalan. Semoga.(*)

Wednesday, March 11, 2009

Derita Euis

KABAR tak mengenakkan itu kembali berembus melewati celah-celah sempit telinga yang sudah beku dijejali berita politik, kampanye, dan kriminal. Seorang pembantu rumah tangga asal Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Euis Mulyati, menjadi korban kekerasan majikan, di Batam.

Selama empat tahun bekerja, Euis hanya bisa makan nasi basi. Tak sepeser pun uang atau gaji dikantongi. Tidur pun Euis bersama dua kawannya dari Sukabumi dan Jawa harus rela di sebuah ruangan bawah tanah. Malah empat bulan terakhir, Euis sama sekali tidak diberi makan.

Sungguh terlalu. Majikan Euis menyamakan derajat kemanusiaan Euis dengan hewan. Kini tubuh Euis kering kerontang bak mayat hidup. Ia divonis menderita kekurangan gizi, baik protein maupun vitamin.

Seandainya orang Arab Saudi, Malaysia, atau Singapura membaca dan mendengar berita ini, sudah pasti mereka akan tertawa: ternyata sama saja, di Indonesia juga terjadi tindak kekerasan terhadap pembantu rumah tangga. Malah lebih parah, karena pelakunya sesama orang Indonesia.

Penderitaan Euis ini ibarat kado buruk di Hari Perempuan Internasional yang diperingati kemarin. Kasus Euis menambah tebal buku catatan kasus pelanggaran hak pekerja perempuan oleh majikannya.

Kondisi ini juga menunjukkan di negeri ini masih bercokol mentalitas penjajah-terjajah, mentalitas feodal yang mengagungkan status sosial antara bangsawan dan cacah. Hubungan patron-klien seperti ini lebih mirip perbudakan dan perhambaan yang tersamarkan.

Bayangkan saja, selama empat tahun bekerja, keringat Euis tak dibayar sepeser pun. Sungguh, seandainya si majikan ini mengamalkan ajaran Nabi Muhammad, tak akan terjadi peristiwa memilukan ini. "Bayarlah upah orang-orang yang bekerja padamu sebelum keringat mereka mengering." Artinya, kalau membayar upah setelah keringat mengering, apalagi bertahun-tahun tak membayarkan upah, jelas si majikan itu telah berbuat zalim.

Derita Euis sesungguhnya derita kaum perempuan yang tak berdaya menghadapi kuasa ekonomi. Perempuan masih menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Tengok berapa banyak wanita muda dari Cianjur, Sukabumi, Kabupaten Bandung, yang bertekad menjadi tenaga kerja di negeri Timur Tengah atau Malaysia. Gemerincing ringgit ataupun riyal sungguh menggoda mereka. Tentu, karena kemiskinan telah membelenggu mereka sedemikian rupa sehingga satu-satunya jalan untuk terbebaskan dari kemiskinan adalah menjual tenaga di negeri jiran.

Ketertinggalan dalam hal pendidikan dan kekurangan dalam hal ekonomi menjadi faktor penyebab utama para perempuan ini memilih jalan singkat untuk perbaikan hidup. Inilah yang seharusnya menjadi langkah para pemimpin dan wakil rakyat sehari-hari. Bekerja keras untuk seluas-luasnya kemakmuran rakyat. Kesejahteraan tak hanya kata-kata, apalagi hanya corong saat kampanye, tapi harus ada bukti nyata. Jangan menunggu muncul Euis-Euis yang lain untuk membuktikan kiprah menyejahterakan masyarakat. ***
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 11 Maret 2009.

Tuesday, March 03, 2009

5 Kebiasaan Buruk Ayah-Ibu

SETIAP orangtua tentu selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Apakah dengan membuat Si Kecil tetap sibuk beraktivitas, atau memberi kebebasan memilih kepadanya. Yang jelas, orangtua selalu merasa, membahagiakan anak adalah tugas utama mereka. Nah, berikut ini lima kesalahan yang sering dilakukan orangtua dan cara mengatasinya, seperti dikutip Nova. Hmm, kira-kira yang selama ini saya dan Bu Eri lakukan termasuk enggak yah di antara kebiasaan buruk itu? Oke kita simak:

1. Terlalu Banyak Negosiasi
Banyak orangtua merasa sudah bersikap adil dan demokratis ketika bertanya kepada anak-anaknya tentang segala hal. Mulai soal pakaian yang ingin dikenakan, sampai soal menu makan malam. Namun, anak-anak sebenarnya ingin diberitahu mengenai apa yang harus dilakukan, dan justru jadi takut berpendapat bila terus ditanyai. Begitu sudah menetapkan keputusan, beri penjelasan singkat. Lakukan kontak mata dan sampaikan pernyataan dengan jelas, mengapa aturannya harus begitu.

Kesalahan lainnya adalah pada saat menyampaikan permintaan. Jika ingin anak mandi tetapi ucapan Anda terdengar seperti pertanyaan, anak akan memanfaatkannya dengan mengatakan "tidak". Kita tidak perlu merasa bersalah jika harus menyuruh anak mandi karena itu sudah menjadi bagian dari tugas sebagai orangtua.


2. Tak Pernah Membiarkan Anak Merasa Bosan
Seberapa sering, sih, Si Kecil merengek, "Saya bosan, saya bosan!" dan Anda merasa seolah-olah ini salah Anda? Banyak para ibu dan ayah merasa gagal jika tidak bisa menstimulasi anak-anaknya. Padahal, anak-anak perlu merasa sedikit bosan. Dengan begitu, kita akan mengajarkan kepada mereka untuk mampu berpikir kreatif dengan waktu yang dimiliki, serta belajar bahwa kehidupan tak selalu menyenangkan.

3. Membelikan Segala yang Anak Minta
Banyak orangtua lalu membanjiri anak-anaknya dengan hadiah, dan membuat anak jadi tak menghargai uang. Ini sangat berbahaya bagi para orangtua bekerja yang menggunakan hadiah sebagai pengganti dari ketidakhadirannya. Akibatnya, anak-anak akan memanfaatkan rasa bersalah orangtuanya. Jika anak-anak sangat menginginkan sesuatu, biasakan mereka menabung dari uang jajannya dulu. Beri pengertian bahwa, jika mendapatkan sesuatu dengan susah payah, mereka akan lebih menghargainya.

4. Terlalu Memaksakan Kehendak
Orangtua selalu merasa sudah melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya, padahal ternyata mereka melakukan hal yang membahayakan bagi anak-anak. Jika dukungan berubah menjadi tekanan, anak-anak justru menjadi gelisah dan prestasinya mulai mundur. Mereka juga dapat mengalami gejala stres, seperti sakit perut yang tak jelas, sembelit, tak dapat tidur, gangguan tidur, dan mimpi buruk. Pada anak-anak yang sensitif, harapan orangtua yang terlalu tinggi agar anak-anak menjadi pintar dapat menurunkan rasa percaya diri mereka.

5. Tak Pernah Bilang "Tidak"
Banyak orangtua terperangkap dengan berpikir, mengatakan "ya" kepada setiap permintaan anak-anak akan membuat mereka bahagia. Masalah juga kerap terjadi kepada orangtua yang dibesarkan di dalam keluarga yang sangat keras, dan ingin menerapkan hal berbeda kepada anak-anaknya.

Jika tak dapat mengatakan "tidak", Anda tidak melakukan tugas sebagai orangtua dengan benar. Begitu Anda mengatakan "tidak", hal yang paling penting adalah konsisten dan tidak mengubah pikiran. Sebab, bila tidak begitu, anak-anak akan memanfaatkan kelemahan Anda.(*)
Sumber: Nova