Tuesday, December 22, 2009

Kisah Asep dan Penjara

ASEP Suhara tak menyangka narapidana yang dipanggil untuk menemui tamu pengunjung itu akan menyerangnya dengan sebilah pisau. Bergumul sebentar, Rasyid si napi itu, kabur ke luar Lapas.

Begitu mengejar ke luar, Asep disambut berondongan tembakan dari orang tak dikenal yang akan menjemput Rasyid. Tiga tembakan mengenai tiga bagian tubuhnya. Asep pun roboh bersimbah darah. Sementara napi dan penembak Asep kabur.

Kisah heroik Asep, sipir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin itu, menghadang napi yang kabur, mengundang simpati Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Selang beberapa jam setelah kejadian, Patrialis datang ke Lapas Sukamiskin. Ia pun menengok Asep di rumah sakit.

Penjara bagi Asep sudah seperti rumah kedua. Ia tentu sudah paham risiko menjadi penjaga lapas. Dan tembakan di dada kirinya itu adalah risiko yang harus diterimanya.


Yang harus dipertanyakan, bagaimana sesungguhnya pengamanan di lapas dan jaminan keamanan bagi para sipir. Jika kita menyimak data Kanwil Hukum dan HAM Jabar, di Jabar ini ada 24 penjara yang kapasitasnya 8.000 orang. Tapi tengok, berapa banyak jumlah napi yang kini mendiami hotel prodeo itu? Lebih dari 16.000 napi atau dua kali lipat lebih banyak dari daya tampung penjara.

Patrialis sendiri secara terbuka pernah meminta kepada Pemerintah Provinsi Jabar untuk membantu pembangunan penjara. Setidaknya, pemerintah daerah membantu pengadaan lahan. Dan memang hanya itu domain yang bisa dilakukan pemda terkait pembangunan penjara. Kalau pemda memprioritaskan pembangunan penjara, tentu akan muncul pertanyaan dari masyarakat.

LP Sukamiskin sendiri, tempat Asep bertugas, terdapat sekitar 510 napi. Jumlah sipir atau penjaga penjara 1 berbanding 60, jauh dari perbandingan ideal 1:25, satu sipir mengawasi 25 orang napi. Jadi seorang Asep harus menjaga dan mengawasi 60 napi semodel Rasyid.

Lebih miris lagi, ternyata LP yang pernah dihuni Soekarno di zaman kolonial itu pun tak dilengkapi close cirkuit television (CCTV) canggih. Canggih itu dalam artian bisa merekam setiap aktivitas napi, tamu pembesuk, dan penjaga. CCTV yang dimiliki LP Sukamiskin hanya untuk memantau, tidak bisa untuk merekam.

Jadi praktis, bagaimana sesungguhnya pergulatan Asep dengan Rasyid, dan bagaimana para pembesuk itu menembak Asep tak bisa diputar ulang. Selain itu, yang patut ditanyakan pula, bagaimana mungkin Rasyid bisa memperoleh pisau di dalam penjara? Bagaimana pula cara Rasyid dan teman-temannya merancang aksi pelarian yang begitu menghebohkan itu? Adakah sistem pengamanan dan keamanan yang memang bolong di dalam Lapas, dan itu dimanfaatkan oleh Rasyid Cs?

Sesungguhnya, kasus yang menimpa Asep adalah cerminan kondisi penjara dan hukum di seluruh Indonesia. Sekaligus menyiratkan bahwa tingkat kejahatan di negeri ini kian tahun kian meningkat. Kriminalitas menjadi satu dengan nadi kehidupan masyarakat kita.

Sungguh jauh berbeda dengan kondisi penjara di Jerman. Saking sepinya penjara, polisi pun terpaksa menjebloskan seekor kambing ke dalam penjara. Gara-garanya si kambing itu membuat kemacetan arus lalu lintas karena berdiri di tengah jalan.

Suatu hari nanti, penjara di Indonesia pun harus seperti itu. Kosong, tak bertuan, karena kriminalitas tak lagi jadi santapan berita setiap hari. Suatu saat nanti, kita berharap tak ada lagi cerita narapidana melarikan diri masuk telinga kita. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 22 Desember 2009.

Monday, December 14, 2009

Koin Keadilan

JUSTITIA, dewi keadilan dalam mitologi Roma, pernah menjadi ikon dalam koin uang masa Roma kuno. Dewi yang bertelanjang dada dengan tangan kanan memegang pedang dan timbangan di tangan kiri itu tak beda jauh dengan Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani kuno. Keduanya digambarkan mengenakan penutup mata sebagai perlambang keadilan yang tak pandang bulu, berlaku bagi siapa pun juga.

Kini, koin keadilan itu bergemerincing kembali. Hanya bukan gambar Justitia atau Themis yang ada di koin itu, melainkan Prita Mulyasari. Koin Peduli Prita, begitu aksi solidaritas mengandalkan uang recehan itu, bergulung menjadi bola salju yang kian membesar. Hukuman Pengadilan Negeri Tangerang yang memutuskan Prita harus membayar denda Rp 204 juta menjadi penyebabnya. Ibu rumah tangga yang berkeluh kesah karena pelayanan dan perlakuan tak prima dari RS Omni Internasional itu tak tahu dari mana mendapatkan uang sebesar itu.

Tapi begitulah, solidaritas yang awalnya diretas di dunia maya, dipelopori para blogger, berbuah kepedulian masyarakat yang kian meluas. Bermula dari koin recehan kecil, satu celengan, dua celengan, hingga akhirnya hingga kemarin saja, lebih dari Rp 500 juta uang yang terkumpul dari hasil sumbangan anak SD, ibu rumah tangga, artis, mantan menteri, anggota DPD, pemulung, bikers, dan kalangan lainnya.
Memang tidak semuanya koin. Tapi semangat kepedulian itu, dan terutama soal keadilan bagi rakyat kecil, yang melecut masyarakat untuk membantu Prita.

Koin itu tak sekadar koin. Begitu Prita menanggapi haru gelombang kepedulian terhadap dirinya itu. Koin itu merupakan perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan. Nilai uang koin memang tak besar. Paling banyak Rp 1.000. Tapi karena masyarakat berkehendak, ternyata nilainya melebihi yang diperlukan. Mereka tidak akan menyumbang apabila tidak melihat kebenaran di dalam kasus Prita.

Keadilan, itulah yang susah diperoleh di negeri ini. Keadilan tak memihak pada Minah, seorang ibu renta yang dituduh mencuri tiga buah kakao yang harganya tak lebih dari Rp 2.000 per buah. Neraca keadilan pun tak condong pada kasus pencurian buah semangka yang dilakukan dua orang warga.

Dalam khazanah Islam, tak selamanya pencurian itu harus dihukum dengan potong tangan. Bahkan pencurian dengan nilai di bawah seperempat dinar (kurang dari 1 gram emas) atau sekarang di bawah Rp 375 ribu tidak dikenai hukuman.

Hadis riwayat Aisyah ra, ia berkata: Pada zaman Rasulullah Saw tangan seorang pencuri tidak dipotong pada (pencurian) yang kurang dari harga sebuah perisai kulit atau besi (seperempat dinar) yang keduanya berharga (Shahih Muslim No 3193). Tapi meski tidak dihukum, barang curian harus dikembalikan.

Bahkan Khalifah Umar bin Khattab ra pernah membebaskan seorang miskin yang mengambil buah yang jatuh di jalan. Sebaliknya, Umar menghukum orang kaya yang melaporkan pencurian itu karena orang itu tidak berperikemanusiaan dengan membiarkan tetangganya miskin kelaparan.

Selalu kita optimistis, selama masih ada yang peduli, ada harapan keadilan akan terwujud di negeri ini. Tentu kita pun berharap, koin-koin keadilan itu juga bergemerincing untuk Prita-Prita yang lain. Tak hanya untuk mereka yang terbelit kasus-kasus hukum, tapi juga untuk mereka yang terbelenggu kemiskinan dan buta pendidikan. Bagaimanapun koin peduli Prita hanyalah trigger, pelecut. Dari sini, koin-koin itu akan semakin menggunung dan bermanfaat bagi banyak orang. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 12 Desember 2009.

Thursday, December 10, 2009

Menguji Taji Hak Angket

KASUS Bank Century kian memanas. Bola panas dilempar Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), sebuah jaringan aktivis lintas kota, yang merilis dana Century meruap kemana-mana. KPU, tim sukses SBY, bahkan anak SBY, dituding Bendera kecipratan uang panas itu.

Di sisi lain, DPR pun menerima usulan pengajuan hak angket Bank Century. Tim 9, kumpulan inisiator pengusul hak angket, bergerilya menemui sejumlah tokoh nasional untuk meminta dukungan agar kasus ini terus dipantau hingga akhir.

Hak angket merupakan hak yang dimiliki DPR, selain hak interpelasi. Jika interpelasi merupakan hak untuk bertanya, hak angket, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27 UU No 22 Tahun 2003 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak angket bukanlah hal baru di dunia parlemen negeri ini. Masih ingat dalam ingatan kita, saat harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan beberapa tahun lalu, DPR masa itu meresponnya dengan membentuk Pansus Hak Angket BBM. Jauh sebelumnya, hak angket pun diajukan kepada pemerintah terkait dengan kasus BLBI.

Tapi apa lacur, dua hak angket itu tak jelas rimbanya. Tak ketahuan bagaimana hasilnya. Mungkin yang terjadi hanya tawar-menawar di bawah meja dan di balik layar. Keingintahuan rakyat tentang apa yang terjadi di balik kasus itu dipadamkan oleh wakil rakyat sendiri.

Begitu pula dengan hak angket terkait pengucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, kini berganti jadi Bank Mutiara, ini. Apakah nasibnya tak akan jauh berbeda dengan hak-hak angket sebelumnya? Hanya ramai di permulaan, lalu lenyap tak berbekas di akhir.

Sekarang pun yang hangat terjadi di parlemen adalah soal siapa yang akan memimpin panitia khusus (pansus) Century ini. Kursi ketua Pansus menjadi incaran kubu pengusul dan fraksi pendukung pemerintah, Demokrat.

Sebagai fraksi terbesar, tentu Demokrat memiliki ego untuk jadi ketua. Terlebih lagi, Demokrat merupakan pendukung pemerintah, yang setidaknya punya kepentingan menyelamatkan wibawa pemerintah. Kubu inisiator tak mau hak angket yang mereka gulirkan kandas di tengah jalan, karena adanya penumpang gelap di tubuh Pansus yang eksis belakang. Jadi jangankan untuk membahas inti persoalan dari kasus Bank Century, yang terjadi malahan adu kuat politik memperebutkan kursi ketua.

Tak sedikit yang menjadikan kasus ini sebagai ajang mumpung-mumpung untuk menaikkan popularitas dan citra di mata masyarakat. Menyiratkan bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat, wakil rakyat yang betul-betul menyerap suara hati rakyat.

Tentu kita berharap, hak angket, pansus, dan lain sebagainya bukan merupakan bargaining politik. Kita pun tak berharap panggung politik ini ujung-ujungnya telah kita ketahui bersama, tak ada bekas dan pengaruh. Kita ingin, kali ini ada kejutan di ujung dagelan politik ini.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 3 Desember 2009.

Friday, November 13, 2009

Kaki Gajah

ENTIN, warga Cipaku, Paseh, Kabupaten Bandung, tak menduga badannya akan sulit digerakkan setelah meminum obat Filariasis. Selain itu, ia pun menderita pusing, mual, dan muntah-muntah.

Namun Entin masih beruntung. Efek dari obat itu tak berkepanjangan. Berbeda dengan beberapa warga lainnya yang diketahui meninggal seusai mengonsumsi obat keras ini. Memang obat itu bukan penyebab langsung kematian. Rata-rata warga yang meninggal memiliki riwayat penyakit lain, seperti asma, diabetes, darah tinggi, dan jantung.

Kaki Gajah, nama penyakit ini mendadak menjadi terkenal setelah ratusan warga Kabupaten Bandung mengikuti pengobatan massal menderta mual, pusing, dan kejang-kejang. Pengobatan massal yang dicanangkan Departemen Kesehatan ini digelar Kabupaten Bandung termasuk daerah endemik penyakit Kaki Gajah.

Nama sebenarnya penyakit ini adalah Filariasis Limfatik, penyakit menular yang disebabkan oleh tiga jenis cacing parasit, Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Semuanya itu ditularkan lewat nyamuk.

Gejala paling nyata dari penyakit ini adalah elephantiasis, yaitu penebalan kulit dan jaringan di bawahnya, sehingga bagian tubuh, terutama kaki, bengkak membesar seperti kaki gajah. Dari sinilah muncul nama Kaki Gajah.

Di Indonesia, terdapat 11.699 orang penderita kaki gajah. Tersebar di 386 kota/kabupaten. Dan 125 juta pendudukan Indonesia tinggal di wilayah endemis dan berisiko tertular penyakit Kaki Gajah ini. Di Jabar sendiri, ada 980 orang yang positif terserang penyakit ini. Di Kabupaten Bandung, 31 orang yang positif kena Kaki Gajah ini. Lalu 15 kecamatan menjadi daerah endemis.

Depkes memberikan obat Dietyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Abendazol sebagai pencegah penyakit Kaki Gajah ini. Untuk mencegah reaksi pengobatan diberikan Paracetamol.

Obat ini memang tergolong obat keras. Ada efek samping yang diderita peminum obat, di antaranya mual, pusing, kejang-kejang, dan demam. Tak heran, bagi penderita sejumlah penyakit dalam, seperti jantung, asma, darah tinggi, diabetes, obat ini betul-betul terlarang untuk diminum. Karena sangat mungkin berpengaruh terhadap penyakit bawaan, dan bisa menimbulkan kematian.

Inilah yang sesungguhnya harus menjadi titik poin dari sosialisasi yang dilakukan dinas kesehatan setempat. Kalau sosialisasi berjalan optimal, seluruh lapisan masyarakat mengetahui kegunaan, efek samping, bagaimana obat ini bekerja, serta larangan bagi penderita penyakit tertentu, tentu tidak akan terjadi kehebohan seperti sekarang ini.

Yang terjadi di lapangan, masyarakat banyak yang tidak mengetahui efek samping obat DEC ini. Sosialisasi hanya dilakukan seperlunya. Tidak massal, seperti nama kegiatannya.

Beberapa tahun lalu, hasil penelitian pakar dari Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang dibiayai Uni Eropa menunjukkan obat Doxycycline menimbulkan efek yang paling ringan dibanding obat-obat jenis lain, seperti obat DEC.

Namun karena Depkes lebih memilih anjuran WHO untuk melakukan pengobatan secara massal, obat yang dipakai adalah DEC. Karena lebih mudah, satu butir satu tahun selama lima tahun pengobatan.

Bagaimanapun, kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi aparat di bidang kesehatan. Sosialiasi merupakan bagian vital dari terbangunnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 13 November 2009.

Wednesday, November 04, 2009

Gerakan Facebooker

DUA tiga tahun lalu, bahkan setahun lalu di Indonesia, tak pernah ada penggalangan opini yang dilakukan di dunia maya. Aksi dukungan terhadap suatu kasus lebih dihabiskan di jalanan lewat unjuk rasa dan penandatanganan petisi. Atau paling seram, cap jempol darah.

Tapi tengok apa yang terjadi hari-hari ini. Penggalangan kekuatan massa tak hanya di jalanan, tapi juga di dunia maya. Cukup menggerakkan jari jemari, klik joint di sudut atas, maka jadilah kita pendukung atas suatu kasus.

Begitulah Facebook, Twitter, atau situs pertemanan lainnya telah menjadi sarana menggalang kekuatan. Opini pun dibentuk sehingga terus menggelinding menjadi bola salju kekuatan kelompok penekan.

Efektivitasnya pun setara dengan aksi jalanan di dunia nyata. Malah lebih efisien karena tak perlu bersusah-payah datang ke gedung wakil rakyat dan berdemo di bawah terik matahari.

Dan fenomena kasus penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KKPK) nonaktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, begitu luar biasa. Tak sedahsyat saat mereka mulai diperiksa Mabes Polri dan kemudian menjadi tersangka.

Dunia maya langsung menggeliat begitu terjadi penahanan atas Bibit-Chandra. Usman Yasin, Facebooker dari Bengkulu, membuat grup "Gerakan 1.000.000 Facebooker Mendukung Chandra Hamzah-Bibit Samad". Hingga kemarin sore, jumlah pendukung atau mereka yang bergabung dalam grup sudah menembus angka setengah juta lebih.

Ditambah lagi sikap para tokoh nasional yang siap pasang badan dan menjadi jaminan penangguhan penahanan Bibit-Chandra, ini yang membuat Presiden SBY tak menganggap remeh dukungan masyarakat terhadap kasus ini.

Memang sulit membayangkan gerakan ini menjadi people power, gerakan rakyat untuk melengserkan penguasa. Namun denyut gerakan mendukung KPK yang berarti mendukung gerakan antikorupsi ini begitu kuat.

SBY pun harus merasa khawatir. Lewat Menko Polhukam, SBY meminta reaksi masyarakat tidak berlebihan dan bisa menjaga stabilitas sosial, politik, dan ekonomi yang saat ini sudah on the right track. Akhirnya, sesuai dengan rekomendasi para tokoh masyarakat, SBY membentuk sebuah tim independen verifikasi kasus Bibit-Chandra.

Sedikit banyak, para facebooker berperan sebagai kelompok penekan. Perlu dicermati juga, pengguna Facebook kebanyakan adalah kelas menengah, mereka yang bekerja di kantoran, mahasiswa, dan kaum intelektual. Di beberapa negara, termasuk di Indonesia, kelas menengah inilah yang menjadi tulang punggung gerakan reformasi.

Para aktivis mahasiswa pun seperti memiliki isu baru untuk berunjuk rasa di jalanan. Maka gelombang demonstrasi mendukung KPK dan menuntut pembebasan Bibit-Chandra pun berlangsung di jalanan sejumlah kota di Indonesia.

Sebenarnya tak banyak yang diharapkan masyarakat dalam kasus ini. Aparat bersikap adil saja, itu sudah lebih dari cukup. Dalam Islam, mereka yang disuap dan menyuap sama-sama masuk neraka. Kalaulah Bibit- Chandra dituduh menerima uang suap dan kemudian ditahan, lha kenapa yang menyuap tidak ditahan pula? Berbuatlah adil, masyarakat pun akan percaya pada hukum dan pemerintah. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 4 November 2009.

Menanggung Amanah

PENGUMUMAN Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 adalah selebrasi. Pesta kemenangan para pemuja kekuasaan. Inilah puncak dari proses demokrasi yang tengah berlangsung saat ini: bagi- bagi kursi.

Tengok bagaimana persiapan mereka saat menunggu pengumuman. Ada yang menonton bersama keluarga, ada juga yang menonton bareng sambil dikelilingi para pendukung. Mungkin supaya merayakan secara bersama-sama pula.

Beragam ekspresi para menteri terpilih begitu namanya disebut oleh Presiden SBY. Kebanyakan, semringah. Penuh tawa dan senyum gembira. Ada juga yang membatin sambil mengucap innalillahi wainna ilaihi rajiun. Tapi tetap, wajahnya tersenyum penuh kemenangan.

Kegembiraan itu bisa berbalik menjadi kesedihan yang pilu manakala mereka yang berada di puncak kegembiraan itu sempat membaca salah satu sabda Nabi: Kelak di Hari Kiamat, jabatan- jabatan itu akan menjadi suatu penyesalan.

Setiap diri adalah pemimpin. Menanggung untuk diri sendiri saja beratnya bukan alang kepalang. Apalah kata jika yang dipimpinnya jutaan orang. Leher ini ibarat diganduli besi yang berat luar biasa sehingga mendongak pun tak bisa.

Jabatan adalah amanah. Inilah yang kini diemban para pemimpin terpilih kita. Di pundak mereka, ada tanggung jawab berat. Apalagi dengan seribu janji yang sudah kadung diucapkan, tentu sangat berat untuk mewujudkan janji itu.

Kesejahteraan dan keadilan, begitu bunyi janji itu. Kata yang sudah lama mengendap di dalam pikiran rakyat Indonesia. Kata yang begitu dekat di hati, namun kenyataannya jauh dari harapan. Setiap kali ganti pemerintahan, misi meningkatkan kesejahteraan selalu didengung-dengungkan. Tapi memang hanya dengungnya saja yang terdengar, bentuk kesejahteraan itu sendiri tak pernah datang.

Mudah-mudahan, mereka, para pemangku kursi kekuasaan itu, betul-betul kompeten, bukan karbitan. Kompeten untuk memajukan bidang kekuasaannya. Mudah-mudahan, mereka betul- betul menguasai apa yang harus digarapnya. Mudah-mudahan, mereka bisa memegang amanah itu. Karena jika disia-siakan, kita tinggal menunggu kiamat datang.
Dan yang paling penting, mereka betul-betul mau mempertanggungjawabkan apa yang diembannya dan siap melengserkan diri apabila terbukti mereka bukanlah ahli di bidangnya. Seperti kata Nabi yang sudah dihafal di luar kepala: Jika suatu urusan dipercayakan kepada orang yang tidak berhak, maka tunggulah kehancurannya.
Ingat, nasib rakyat ada di ujung telunjuk Anda, para pemimpin negeri ini. Karena itu bekerjalah. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 23 Oktober 2009

Monday, October 12, 2009

Menunggu Telepon SBY

HARI-hari ini, para petinggi partai politik pendukung koalisi besar dan juga beberapa praktisi profesional bakal panas dingin. Mereka dihinggapi penyakit H2C alias harap-harap cemas. Kabarnya, pada tanggal 16 dan 17 Oktober, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memanggil para calon menteri untuk mengisi jajaran kabinet SBY jilid II.

SBY dan Budiono dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober mendatang. Setelah itu, langkah pertama yang akan dilakukan SBY adalah mengumumkan jajaran menteri yang nama-namanya sudah dikantonginya dan saat ini tengah digodok matang.

Sejumlah partai telah menyodorkan nama-nama kader yang bakal menempati pos menteri. PKS kabarnya sudah punya jatah empat pos menteri, termasuk di dalamnya Presiden PKS Tifatul Sembiring dan mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

PKB menyiapkan empat nama untuk disodorkan. Selain nama Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar dan Sekjen Lukman Eddy, juga muncul nama Marwan Ja'far dan Helmy Faishal Zaini. Jangan ditanya lagi kader Partai Demokrat, tentu mereka yang paling banyak mendapat posisi menteri. PAN juga sudah menyiapkan Hatta Rajasa dan lainnya sebagai calon menteri yang disodorkan kepada SBY.

Kening SBY pasti berkerut memikirkan siapa yang pantas masuk dalam jajaran kabinet jilid II ini. Politik akomodasi yang diterapkan SBY mau tak mau akan menyulitkan untuk memilih orang yang berkompeten. Apalagi selain koalisi dan akomodasi, SBY pun memakai pertimbangan rekonsiliasi untuk menyusun kabinetnya.

Jika rekonsiliasi diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki kembali hubungan, tentu ini berkaitan dengan PDIP dan Partai Golkar yang menjadi seteru SBY saat pilpres lalu. Dengan politik rekonsiliasinya, SBY pun pasti akan mengambil menteri dari dua partai besar itu untuk mewujudkan stabilitas kabinetnya sekaligus stabilitas di parlemen.

Karena itu, rasanya sulit berharap kabinet SBY jilid II ini bakal diisi profesional. Terlalu riskan bagi SBY jika harus menyingkirkan orang partai dengan koalisi besarnya.

Dalam situasi seperti ini, mereka yang berharap pada jabatan dan kursi kekuasaan akan sangat rindu pada dering telepon yang datang dari Cikeas. Telepon dari SBY yang biasanya meminta kesediaan yang bersangkutan untuk menjadi menteri atau setidaknya meminta mereka datang lebih dulu ke Cikeas. Mungkin untuk diaudisi SBY terlebih dahulu, melihat kesanggupan dan komitmen calon menteri itu.

Satu yang harus diingatkan kepada para calon menteri ini, bahwa tidak ada yang nikmat dengan kekuasaan selama mereka tidak amanah dan berlaku zalim pada rakyat. Jika ingin membawa negeri ini pada kesejahteraan, berlakulah amanah. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 13 Oktober 2009.

Friday, October 02, 2009

Gampo


NEGERI ini ibarat tumbuh di atas agar-agar. Sebentar oleng ke kiri, sebentar ke kanan. Mudah diguncangkan. Bumi yang kita pijak ini memang terus bergerak. Lempengan demi lempengan bumi mendesak tak henti melontarkan energi yang tak terkira dahsyatnya.

Belum hilang dalam ingatan kita, kurang dari sebulan lalu, gempa mengentak bumi Pasundan. Masih terngiang di telinga kita, jerit tangis anak yang kehilangan ibu-bapaknya, ibu yang kehilangan bayinya, suami yang kehilangan istrinya dan, sebaliknya, istri yang kehilangan suami berikut anak-anak tercintanya.

Masih terekam jelas pula dalam benak kita, gempa menyebabkan bukit longsor, meluluhlantakkan permukiman warga di Cikangkareng, Cianjur, dan mengubur mereka yang tidak sempat lari.

Dan kini, bencana lebih dahsyat mendera Pariaman dan Padang di Sumatera Barat. Gampo, begitu orang Minang menyebutnya, nyaris meratakan dengan tanah kota asal para saudagar itu. Guncangan bumi itu menerbitkan rasa takut luar biasa, seperti kiamat hendak menjelang.

Orang yang berdagang meninggalkan jualannya, ibu-ibu lupa dengan anaknya yang biasa menggelendot, pekerja kantoran tak peduli lagi dengan segunung pekerjaannya. Mereka berlari kebingungan, tak tentu arah, hanya untuk menyelamatkan diri.

Persis seperti digambarkan Allah Swt dalam Alquran bahwa ketika sangkakala ditiup semua manusia berada dalam kebingungan. Dan ketika bumi diguncangkan, gunung-gunung terbang seperti anai-anai, manusia sudah tidak ingat lagi dengan urusannya.

Sesungguhnya penghuni negeri ini harus bersyukur menjadi orang Indonesia. Karena menjadi orang Indonesia berarti menjadi orang yang sabar, tawakal, dan beruntung. Berkali-kali dihantam musibah dan bencana, kita tetap tegar.

Gempa mereda, gunung meletus. Menyusul banjir bandang, lalu longsor. Tak hanya itu, pesawat jatuh dan kapal tenggelam pun susul-menyusul menjejali daftar musibah di negeri ini.

Semuanya itu menguji kesabaran dan keimanan kita. Kita yang lolos dari berbagai bencana sebenarnya sedang diuji, apakah kita peduli kepada saudara kita yang menjadi korban.

Bahwa musibah yang terjadi hanyalah sebuah tamparan kecil dari Tuhan agar kita kembali ke jalan yang benar. Tak heran, sering kali musibah menjadi sarana efektif untuk kian mendekatkan diri pada Allah Swt.

Karena kesabaran kita pula, maka kita termasuk orang yang beruntung. Mereka yang bersabar saat ditimpa musibah dan bencana itulah yang akan mendapat berkah yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Tuhan.

Dan kita pun beruntung karena bencana yang datang silih berganti itu sebenarnya mengingatkan kepada kita bahwa kematian begitu dekat, tak mengenal tempat dan waktu, tak kenal kaya dan miskin, penguasa jelata. Karena maut tak kenal ampun, kitalah yang harus bersiap menyongsongnya, agar hidup berakhir dengan indah, khusnul khotimah. Dari rentetan musibah ini, semoga kita mendapat hikmah dan rahmat Allah Swt. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 2 Oktober 2009.

Thursday, September 24, 2009

Arus Kebangkitan


IDULFITRI telah menggerakkan jutaan orang untuk kembali menuju tempat asal mereka. Tak mengenal jarak dan waktu, semua orang yang merasakan panggilan kampung halaman akan berjuang agar bisa menginjakkan kaki di tanah kelahiran saat hari raya.

Gerak pulang, yang biasa disebut mudik ini sama dengan gerak migrasi ikan Salmon. Dari lautan Pasifik yang begitu luas, ikan yang kaya akan protein ini kembali menyusuri ombak, menentang arus, menuju ke hulu, menuju ke tempat kelahiran mereka di hulu Sungai Amazon, benua Amerika. Atau dari laut Atlantik Utara, ikan pengembara dunia itu menuju ke hulu sungai tempat kelahiran. Dan tak satupun yang salah tempat.
Seusai bertelur di hulu, mereka akan akan kembali mengarungi lautan luas, kembali menantang ombak, hingga akhirnya mati.

Kekuatan silaturahmi dan keterkaitan dengan tanah air, itulah yang menjadi pendorong utama terjadinya gerak ini. Para pemudik pun memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mencapai tempat asal mereka. Bersama dengan gerak pemudik ini, mengalir pula kekuatan ekonomi dari kota ke desa, dari kota besar ke kota kecil, dari hilir ke hulu. Berapa banyak uang yang dibawa para pemudik ini? Konon nilainya sampai puluhan triliun rupiah lebih. Dan uang itulah yang menggeliatkan ekonomi di pedesaan.

Di hulu semua berawal. Dari hulu pula semua kekuatan itu bermula. Bayangkan, semua aktivitas manusia ini berasal dari ketiadaan, dari nol besar. Ketika mereka bertekad mengubah kehidupan dengan mendatangi kota besar atau hilir, itulah yang menjadi awal perubahan. Semangat yang dibawa dari hulu adalah semangat perubahan, penuh mimpi-mimpi, yang menjadi bekal kaum urban menyabung hidup di perantauan.

Idulfitri ini pula yang seharusnya menjadi momen kebangkitan para korban gempa bumi Tasikmalaya dan juga korban musibah bencana alam lainnya. Dari balik puing dan reruntuhan rumah, mereka harus merencanakan dan menata kembali masa depannya.

Bantuan yang disampaikan pemerintah ataupun dermawan lainnya tidak akan berdaya apabila tanpa dibarengi semangat perubahan ini. Semua bantuan itu tak ada artinya jika mereka berdiam diri. Dengan bantuan yang ada, para korban gempa ini harus kreatif untuk mengembangkan diri, tak hanya sekadar memenuhi kebutuhan sehar-hari, tapi kebutuhan masa depan. Puing rumah itu jangan menjadi beban yang menghalangi langkah untuk maju.

Hari-hari ini, gerak arus balik para pemudik akan bergelombang menuju kota-kota
besar, seperti halnya Salmon yang kembali mengikuti arus besar menuju lautan luas. Arus balik yang membawa serta impian dan kekuatan dari hulu lainnya.

Berbekal semangat silaturahmi, semangat Idulfitri ini, mari kita bangkit kembali dari keterpurukan, ketidakberdayaan, kemiskinan, kebodohan, dan kekikiran. Dengan semangat bumi kelahiran yang kini sudah meresap ke seluruh raga, kita, kaum urban akan bertarung lebih keras lagi untuk kehidupan yang lebih baik.(*)

Friday, September 11, 2009

Mengebiri Kreativitas

SEBUAH karangan bunga ditaruh di depan pelataran ruang sidang paripurna DPR RI, Senayan Jakarta. Karangan bunga itu sebagai tanda dukacita untuk perfilman Indonesia. Yang memasang karangan bunga itu bukan orang sembarangan. Mereka, para moviemaker, pembuat dan penggiat film jempolan di negeri ini. Sebut saja nama Riri Reza, Mira Lesmana, Nia di Nata, Slamet Rahardjo, dan lain-lain.

Kumpulan sineas ini menolak pengesahan Undang-Undang Perfilman. Bagi mereka, pasal-pasal di dalam UU ini mematikan perfilman Indonesia. Mereka seperti ditelikung dan dikontrol oleh pemerintah.

Contoh pasal yang membelenggu itu adalah Pasal 18. Pasal itu mengatur soal pembuatan film yang harus mengajukan pendaftaran kepada menteri disertai judul, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Berikutnya, pasal yang paling ditolak sejumlah penggiat film adalah Pasal 49. Pasal ini berisi ketentuan insan perfilman berkewajiban memenuhi standar kompetensi dan memiliki sertifikat profesi dalam bidang perfilman. Lebih jauh, Pasal 68 mengatur lagi, standar kompetensi dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.

Coba kita bayangkan jika seorang Riri Reza hendak memfilmkan novel keempat Andrea Hirata, Maryamah Karpov, misalnya. Sebelum memulai kegiatan filmnya, Riri harus memiliki sertifikasi kompetensi. Ia, paling tidak, akan diuji oleh tim yang terdiri atas pakar untuk menentukan kompeten tidaknya seorang Riri menjadi sutradara film.

Lolos dari uji kompetensi yang mungkin meniru sertifikasi guru itu, Riri harus menyiapkan proposal pembuatan film sekaligus meminta izin kepada menteri.
Sungguh panjang jalan yang harus ditempuh untuk membuat sebuah film. Mungkin bagi seorang Riri Reza, sebutlah birokrasi itu bisa ditempuh dengan mudah, tapi bagaimana dengan yang lain?

Lalu, jika kita tafsirkan lebih jauh bahwa film yang dimaksud dalam Undang-Undang Perfilman ini juga termasuk yang dinamakan film independen atau indie, film dokumenter, film pendek, film kartun, dan film-film lain di luar arus utama film layar lebar dan layar televisi, jelas undang- undang ini mengebiri kreativitas insan perfilman.

Bagaimana mungkin anak-anak SMA yang tengah bersemangat menjadi moviemaker harus berurusan panjang dengan birokrasi hanya untuk membuat film pendek tentang si Badu yang suka bolos sekolah? Atau apakah mahasiswa tingkat akhir jurusan sinematografi harus dibuat ribet dan kalang-kabut dengan surat izin dan birokrasi tetek-bengek lainnya kepada menteri hanya untuk membuat film tentang kehidupan kaum pemulung di TPA Bantargebang?

Benar belaka bahwa perfilman kita memerlukan aturan jelas. Soal pornografi, SARA, kekerasan, adalah hal yang sudah menjadi aturan tak tertulis bagi siapa pun. Bukankah ketika sinetron di televisi lebih banyak adegan tampar-menampar, caci-maki, dan tindak kekerasan lainnya, kita langsung bereaksi?

Kalaupun ada aturan, maka yang hadir adalah aturan yang tidak membelenggu dan mengebiri kreativitas, bahkan mendukung penuh kreativitas sineas-sineas film Indonesia untuk menghasilkan film yang bermutu. Film yang bermutu itu bukan film yang dikebut dalam semalam. Tentu pula bukan film dengan lakon setan pocong, wewe gombel, kuntilanak, yang menghuni jembatan, pohon, kereta api, dan rumah sakit.

Kita ingin negeri ini kaya dengan film yang memberikan pencerahan kepada rakyatnya, film yang melambungkan asa tentang negeri ini, film yang menginspirasi untuk bisa berbuat lebih baik. Film yang bisa meyakinkan bahwa negeri ini masih memiliki harkat martabat di mata dunia. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 10 September 2009.

Monday, September 07, 2009

Resensi Buku: Akar Panjang Industri Musik

Judul: Industri Musik Indonesia, Suatu Sejarah
Penulis: Muhammad Mulyadi
Cetakan: I, Agustus 2009
Penerbit: Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial
Tebal: 223 halaman
Harga: Rp 48.000

SAYA bersyukur bisa meresensi buku ini. Mengapa? Terus terang, saya sedang dilanda kemalasan yang luar biasa. Kemalasan ini dipicu akibat kelelahan kerja. Karena lelah, saya tidak ingin mengerjakan hal lain, kecuali tidur, istirahat, untuk kemudian bekerja lagi.

Produktivitas menulis saya turun drastis sejak enam bulan lalu. Itu bisa dilihat dari arsip tulisan di blog ini. Duh, ritme kerja yang berubah 100 % membuat saya ribet, karena juga harus mengubah ritme hidup. Saya jadi KALONG. Bekerja di malam hari, tidur di siang hari.

Ditengah kesenyapan aktivitas menulis, hanya tulisan Sorot yang menjadi penyambung nyawa blog ini. Itu pun karena memang sudah terjadwal untuk menulis, sehingga mau tidak mau harus ada tulisan, apapun. Dengan adanya resensi ini, setidaknya semangat saya untuk menulis mulai menggeliat lagi. Ayo Menulis Lagi!!

DOEL Sumbang, penyanyi dan pencipta lagu, ternyata pernah mendapatkan bonus sebuah Mercedes Baby 300E dari hasil penjualan album Aku Cinta Kamu yang terjual 700 ribu kaset. Atau tahukah Anda, grup rock God Bless pernah hanya dibayar Rp 50.000 untuk manggung di dalam kota Jakarta? Atau bahkan Euis Darliah, penyanyi Apanya Dong, dibayar dengan cek kosong saat manggung di Ujungpandang?

Hal-hal kecil tapi menarik itu bakal Anda temukan pada buku yang ditulis Muhammad Mulyadi ini. Booming industri musik di Indonesia saat ini ternyata memiliki akar yang panjang sejak tahun 1950-an.

Ada beberapa aspek yang mendukung perkembangan industri musik di tanah air. Media adalah salah satunya. Sejumlah penyanyi era 70-an dan 80-an banyak dibesarkan oleh RRI, TVRI, atau bahkan majalah Aktuil. Sebut saja nama Hetty Koes Endang dan Andy Meriem Matalatta.

Aspek lainnya adalah teknologi yang terkait dengan panggung dan peralatan band serta fasilitas rekaman. Kondisi saat itu sungguh jauh berbeda dengan sekarang. Studio musik bisa dihitung dengan jari. Grup band pun tak semuanya punya peralatan. Mereka harus antre dan meminjam alat band hanya untuk latihan musik.

Buku ini merupakan tesis Mulyadi di program pascasarjana Universitas Indonesia. Tak heran, hampir di setiap halaman buku ini terdapat catatan kaki.
Bagi sebagian pembaca, kadang-kadang keberadaan catatan kaki ini mengganggu. Apalagi jika catatan kaki menyita hampir setengah halaman buku, seperti di halaman 4, 104, dan 131. Tapi bagi sebagian pembaca lainnya, catatan kaki membantu memperjelas sumber yang dikutip. Bagi Mulyadi, tentu catatan kaki ini sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah dalam mengutip sumber.
Buku ini pun relatif bersih dari kesalahan penulisan atau pengetikan. Hanya ada beberapa saja, seperti penulisan kata penunjukan yang ditulis "penunjukkan" (halaman 96). Kemudian penggunaan kata tidak baku "pagelaran" yang seharusnya "pergelaran" sebagai kata ganti dari pementasan dan pertunjukan (halaman 89).
Sayang, Andrea Hirata, penulis buku laris Laskar Pelangi, sebagai penggemar berat Rhoma Irama, tampaknya harus gigit jari bila membaca buku ini. Buku ini tak menyentil sedikit pun soal industri musik dangdut dan melayu. Padahal di era 70-an, Bang Haji Rhoma dengan Soneta Grupnya begitu fenomenal mengguncang industri musik Indonesia.
Mulyadi beralasan, untuk menuliskan musik dangdut diperlukan studi khusus. Karena dangdut tidak berakar dari musik Barat, mempunyai keunikan tersendiri, dan cakupannya luas sehingga hanya industri musik rock, pop, dan jazz, yang menjadi fokus penulisan buku ini.
Meski begitu, buku ini tetap layak dibaca dan bakal menambah wawasan para penyuka musik di tanah air. Setidaknya buku ini menawarkan pendekatan sejarah sehingga begitu gamblang menggambarkan aspek-aspek yang terlibat dalam sebuah industri musik. (mac)
Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Minggu 6 September 2009.

Grey Market atau Black Market

DI dunia ini ada sekitar 683 juta senjata ringan yang dimiliki negara dan perorangan secara legal. Itu data resmi yang dikeluarkan Amnesti Internasional tahun lalu. Di luar itu, bertebaran senjata ilegal yang entah berapa banyak jumlahnya.

Di Afrika, sangat mudah mendapatkan senjata secara ilegal. Cukup dengan sekantung jagung kita bisa menukarnya dengan senjata kecil ini. Atau di negeri penuh konflik, Afghanistan. Sebuah AK-47 harganya 10 dolar atau sekitar Rp 100.000.

Indonesia memiliki PT Pindad, industri strategis penghasil senjata dan alat militer lainnya. Beragam jenis senjata sudah berhasil diproduksi Pindad. Sebut saja senapan serbu SS1 dengan bermacam variannya, lalu pistol serbu PS-01, pelontar granat dan tak ketinggalan mesin perang, panser.

Kebanyakan senjata buatan Pindad dipakai sebagai senjata organik TNI dan Polri. Namun tak sedikit negeri-negeri di seberang lautan yang kepincut dengan kehandalan senjata buatan Indonesia ini. Tahun lalu Pindad mengekspor SS1 ke Nigeria.

Kini urusan ekspor senjata itu menjadi masalah di negeri Gloria Macapagal Arroyo, Filipina. Petugas pabean dan kepolisian negeri itu menahan 100 pucuk SS1-V1 dan 10 pucuk pistol PS. Mereka menduga senjata-senjata itu ilegal dan hendak diselundupkan ke negeri yang tak mampu menyelesaikan konflik abadinya di Moro.

Pindad menyatakan ekspor senjata itu resmi, bukan ilegal. Pemerintah Mali yang memesan SS1 dan Filipina pesan pistol. Prosedur dan dokumen ekspor pun sudah lengkap, sehingga tak perlu ada yang dirisaukan dengan status senjata itu.

Namun bukan mustahil, senjata yang resmi ini menjadi ilegal. Kita harus mengingat definisi perdagangan senjata ilegal dikeluarkan Komisi Pelucutan Senjata PBB sebagai perdagangan yang melanggar hukum nasional ataupun hukum internasional (illegal). Definisi ini memunculkan kemungkinan dua jenis pasar senjata ilegal, yakni "Grey Market dan Black Market".

Grey Market merujuk pada situasi dimana perdagangan terjadi dengan sepengetahuan pemerintahan nasional, walaupun mengkin melanggar aturan internasional. Sementara Black Market adalah perdagangan yang terjadi yang sepenuhnya di luar kontrol pemerintahan nasional.

Apabila pemerintah Filipina menyatakan senjata-senjata itu memang tidak memiliki surat dokumen resmi, berarti bisa tergolong pada grey market alias pasar abu-abu. Keluar dari Indonesia secara resmi, tapi dibelokkan di tengah jalan hingga menjadi ilegal.

Terlebih, kabarnya kapal pengangkut senjata ini sempat mampir di pulau sekitar Bataan Fililpna an di sana terjadi pemindahan senjata api jenis SS1 yang hendak dikirim ke Mali ke kapal yang mengirim pistol ke Filipina.

Tentu ini harus diselidiki secara cermat oleh Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan. Jangan sampai senjata-senjata buatan negeri kita, jatuh ke tangan kelompok- kelompok separatis dan berbahaya. Kita, rakyat pemilik sah negeri ini, tak akan pernah rela jika senjata-senjata itu digunakan kaum teroris yang jelas-jelas menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 1 September 2009.

Wednesday, August 26, 2009

Tommy

TAK ada angin tak ada hujan, secara tiba-tiba Hutomo Mandala Putra, putra mantan presiden Soeharto, menyatakan niatnya untuk menjadi ketua umum Partai Golkar. Sebuah kejutan di tengah hiruk pikuk penggalangan dukungan empat orang calon ketua umum yang sudah lebih dulu mencuat. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Ferry Mursidan Baldan.

Apa yang mendorong Tommy, begitu pangeran Cendana itu biasa disapa, ingin menjadi ketua umum partai berlambang beringin itu? Tommy mengatakan, sekarang inilah waktu yang tepat untuk terjun kembali ke dunia politik dan bisnis.

Kita tahu bersama, Tommy sempat menghiasi headline media di Indonesia. Anak kelima penguasa Orba itu menjadi terpidana kasus pembunuhan Hakim Agung Saifudin Kartasasmita. Ia sempat merasakan ganasnya penjara Nusakambangan.

Adalah hak Tommy untuk memajukan partai yang dibesarkan bapaknya itu. Terlebih ia pun masih tercatat sebagai anggota partai. Tapi tidakkah terlalu dini untuk maju sebagai ketua umum?

Citra Tommy masih belum bersih di mata masyarakat, mengingat ia baru beberapa tahun saja keluar dari penjara. Yang paling utama, citra Soeharto begitu lengket melekat pada dirinya. Bagaimanapun, masih mengendap dalam memori bangsa ini hegemoni keluarga Cendana selama 32 tahun.

Hal penting lainnya yang akan mengganjal Tommy untuk menjadi ketua umum Partai Golkar adalah persyaratan yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Golkar sendiri. Persyaratan itu menyebutkan calon ketua umum partai merupakan sosok yang berkecimpung sebagai pengurus.

Kalau memang Tommy memiliki tekad kuat untuk kembali terjun ke dunia politik, ia bisa meniru langkah Prabowo Subianto. Citra mantan menantu Soeharto ini di awal era reformasi begitu rendah di mata masyarakat. Ia "menghilang" beberapa lama, lebih banyak beraktivitas di luar negeri. Begitu kembali ke Indonesia, Prabowo berkomitmen untuk memajukan bangsa ini dengan mendirikan partai baru, Gerindra. Langkahnya terbilang luar biasa. Partai baru dengan gelontoran dana segunung itu mampu menyejajarkan diri dengan partai lama.

Kalaupun Tommy tidak ingin mendirikan partai baru, lebih memilih membesarkan Partai Golkar, tentu dia harus bersabar. Setidaknya, Munas Partai Golkar kali ini bukanlah panggung dia. Lebih baik mendekat pada kubu yang menjadi ketua umum dan kemudian menjadi pengurus. Itu langkah yang lebih baik dan elegan, ketimbang buru-buru memburu kursi nomor satu.

Karena kita pun tidak tahu apa sesungguhnya tujuan Tommy memunculkan wacana pencalonan dirinya sebagai ketua umum Partai Golkar itu. Apakah Tommy mengincar kursi presiden pada pemilihan 2014? Apakah Tommy menginginkan keluarga Cendana kembali menguasai panggung politik negeri ini? Semua serba mungkin.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 20 Agustus 2009.

Friday, August 14, 2009

Teror Belum Tamat

KEBENARAN orang yang tewas dalam penggerebekan Densus 88 Antiteror di Temanggung sebagai Noordin M Top hingga kemarin masih simpang-siur. Masyarakat harus bersabar menunggu hasil tes DNA yang kabarnya baru beres dua minggu ke depan. Noordin ataupun bukan, Mabes Polri harus mengumumkan hasil tes itu secara transparan.
Noordin atau bukan yang tewas, tidak berarti menamatkan aksi terorisme yang sudah sembilan tahun ini terus terjadi di bumi Indonesia. Kita harus ingat, sel-sel jaringan teroris meruyak di mana-mana.

Mereka yang pernah ditahan dan kemudian bebas, sangat mungkin tetap mengobarkan semangat untuk berjihad versi mereka. Belum lagi bila kita menghitung pentolan Al Jamaah Al Islamiyah yang belum tertangkap hingga kini, semisal Zulkarnaen. Itu hanya berarti teror yang dilakukan kaum teroris belum tamat.

Ini tentu semakin menambah panjang daftar 'teror' yang memberondong kehidupan masyarakat kita. Harga barang kebutuhan dan sembako akan melesat setelah pemerintah mengumumkan kenaikan gaji PNS lima persen pekan lalu. Sudah menjadi cerita umum, setiap kali ada pengumuman kenaikan gaji PNS, maka harga-harga barang pun akan ikut naik tanpa diminta.

Belum lagi saat ini El Nino membuat musim jadi tak karuan. Dampaknya, petani diteror kekeringan dan terancam gagal panen. Ini berarti para petani, yang menjadi mayoritas di negeri agraris ini, bakal lebih dalam menggigit jari atas minimnya hasil jerih payah menanam padi dan tanaman lainnya.

Tengok juga kaum pengangguran yang berjuta jumlahnya setelah diterpa krisis global semakin diteror dengan kelamnya masa depan dan impian mendapatkan pekerjaan yang semakin kian diraih.

Jangan lupakan teror-teror kemewahan di televisi yang sering dipertontonkan dalam sinetron setiap jamnya. Pertunjukan tindak kekerasan, pamer kekayaan, gosip-gosip artis yang tak jelas juntrungannya, menjadi teror yang terus menerus menggerojoki otak kita, sehingga seolah-olah kita merasa hidup di negeri antah berantah.

Dan masih banyak lagi teror yang harus dilakoni masyarakat kita. Hidup akan semakin dirasakan berat di masa-masa mendatang. Namun, inilah kita, bangsa yang kuat dihantam berbagai teror kehidupan. Pengalaman dijajah berabad-abad oleh bangsa asing dan hidup di kaki rezim otoriter menunjukkan bangsa ini tetap ada dan mampu melanjutkan kehidupan ini. Bagaimanapun, kita harus yakin bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok akan jauh lebih baik dari hari ini.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 11 Agustus 2009.

Tuesday, August 04, 2009

Robohnya Kelas Kami

RATIH Kusumahdewi tak menyangka langit-langit di kelasnya bisa ambruk. Soalnya, plafon itu terbilang baru direnovasi. Tak heran, ia begitu terkejut dan panik ketika langit-langit itu ambruk secara tiba-tiba. Beruntung siswi kelas IV SDN Kramat III Kota Cirebon itu tidak tertimpa runtuhan plafon. Sementara beberapa rekannya yang tak sempat menghindar terluka di bagian kepala.

Terpisah ratusan kilometer, di Garut, pada waktu yang hampir bersamaan, dinding kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) An Nuur Cinagara, Malangbong, juga tiba-tiba roboh. Anak-anak yang sedang tekun belajar spontan lari lintang-pukang ke luar kelas, menghindari runtuhan dinding. Begitu kepulan debu yang ditimbulkan runtuhan dinding menghilang, mereka tertegun menyaksikan ruang kelas mereka bolong tak berdinding lagi.

Ini bukan isu, ataupun informasi intelijen. Ini kejadian nyata di dunia pendidikan kita. Dan sebetulnya bukan hal yang aneh karena sudah terlalu sering terjadi peristiwa serupa. Saking seringnya, kita sudah tidak ingat lagi berapa banyak kasus bangunan sekolah roboh. Yang paling mutakhir di Kota Bandung adalah bangunan SD Sejahtera IV yang roboh, hanya beberapa minggu setelah selesai pembangunan.
Bukan tidak ada upaya pemerintah untuk membereskan persoalan kerusakan bangunan sekolah ini. Anggaran 20 persen pendidikan di dalam APBN 2009 merupakan salah satu bagian dari upaya itu.

Begitu pula di daerah, pemerintah setempat pun bergerak. Awal tahun ini saja, Pemprov Jabar mengucurkan dana role sharing terakhir untuk perbaikan dan pembangunan ribuan kelas. Dana itu berasal dari APBD murni dan perubahan 2008 sebesar Rp 491,89 miliar.

Bahkan, Depdiknas dengan optimistisnya menyatakan tahun ini tidak akan terjadi lagi bangunan SD rusak. Karena Departemen telah mengucurkan dana Rp 9,07 triliun untuk rehabilitasi dan renovasi ratusan ribu ruang kelas dan sekolah rusak di tingkat SD, Madrasah Ibtidaiyah, dan SD luar biasa.

Sayangnya, optimisme itu belum dibarengi operasional di lapangan. Renovasi berjalan lambat dan tidak menjangkau seluruh sekolah yang harus diperbaiki.
Kita tetap berharap, pemerintah memperbaiki secepatnya kekurangan-kekurangan dunia pendidikan kita. Setidaknya, kelengkapan sarana dan fasilitas pendidikan bisa menunjang kenyamanan belajar siswa sehingga tak muncul anekdot "Robohnya Kelas Kami", sebagai sindiran terhadap bobroknya kualitas bangunan sekolah di Indonesia.

Di tengah suara muram dunia pendidikan itu, berembus angin segar yang melenakan jiwa kita. Dari kaki Gunung Syawal, bertiup cerita tentang sebuah SMP yang mampu membiayai sendiri tanpa bantuan pemerintah. SMP itu hanya berbekal sumbangan dari mereka yang peduli pendidikan. Siswa-siswi di SMP Plus Bina Pandu Mandiri, begitu nama SMP ini, tak perlu khawatir ditagih iuran bulanan atau uang buku. Semua serba gratis, bahkan siswa pun mendapat makanan siang gratis pula.

Keikutsertaan masyarakat secara swadaya dalam pendidikan model seperti ini yang harus terus dipupuk. Agar mereka, para siswa yang tak mampu secara ekonomi, bisa tetap menikmati pendidikan yang kualitasnya tak kalah dari sekolah berbayar. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 31 Juli 2009.

Wednesday, July 22, 2009

Aku Mengebom Maka Aku Ada

UNGKAPAN paling terkenal dari filsuf abad pertengahan Rene Descartes adalah cogito ergo sum yang berarti aku berpikir maka aku ada. Dalam konteks keindonesiaan dan situasi global kini, ungkapan itu bisa diplesetkan menjadi aku membom maka aku ada.
Itulah yang mungkin menjadi adagium kaum teroris. Mereka memang ingin menunjukkan keberadaan mereka dengan teror-teror ciptaan mereka, termasuk bom di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton, akhir pekan kemarin.

Jika selama ini tokoh teroris yang paling diburu di Indonesia adalah Noordin M Top, maka peledakan bom terakhir itu merupakan jawaban atas keberadaan Noordin. Dia ingin memperlihatkan pada aparat keamanan, walau dikejar ke pelosok, gunung, dan lembah, Noordin masih mampu beraksi. Sekaligus, bom itu adalah olok-olok atau alat untuk mengejek ketidakmampuan aparat menangkap Noordin M Top dan kawan-kawan.


Menciptakan teror dan ketakutan adalah tujuan utama teroris. Pemboman hanyalah salah satu bentuknya. Masih banyak cara lain untuk meneror, seperti penculikan, penyanderaan, perampokan, dan sebagainya. Namun bagi kelompok teroris lama ini, cara menciptakan ketakutan paling efektif adalah dengan meledakkan bom di sejumlah tempat strategis. Karena teroris di Indonesia adalah kaum yang kontra-Barat, maka tempat-tempat yang dibom pun merupakan simbol-simbol Barat.

Lihat saja jejak rangkaian kasus bom besar yang terkait dengan kelompok Azahari dan Noordin M Top di Indonesia sejak tahun 2000, semuanya terkait dengan simbol-simbol itu. Mulai gereja, gedung Bursa Efek Jakarta, gedung Kedutaaan Australia, Kafe Jimbaran dan Paddy's Cafe di Bali yang merupakan magnet bagi kaum bule penikmat dugem. Juga bom di Hotel JW Marriot I.

Efeknya sudah sangat jelas: Indonesia menjadi negara yang paling dihindari untuk dikunjungi karena menjadi sarang teroris dengan sasaran utama orang bule.
Khusus untuk ledakan bom paling anyar di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton, komplotan teror ini betul-betul jitu membaca serta memanfaatkan situasi dan kondisi.

Indonesia baru saja usai menjalankan pesta demokrasi dengan hasil yang sudah diketahui bersama-sama. Namun pesta usai, bukan berarti semua pihak legawa menerima hasil pemilihan. Masih banyak pihak-pihak yang menggugat keabsahan pemilu.

Di sisi lain, aparat pun masih fokus pada pengamanan pemilu. Kemudian fokus sedikit beralih pada penegakan hukum di Papua yang kembali bergolak. Momen inilah yang digunakan teroris untuk beraksi. Seolah-olah, mereka memainkan pula isu politik, sehingga menebar saling curiga dan saling tuding, di antara kelompok penguasa dan lawannya.

Harus kita akui, kemampuan membangun jaringan para pelaku terorisme ini sangat baik. Mereka pun mampu membangunkan kembali sel-sel lama yang terkait dengan jaringan teroris. Dan yang lebih penting lagi, pelaku terorisme ini selalu saja berada satu langkah di depan aparat. Digerebek aparat, mereka sudah meninggalkan tempat persembunyian. Aparat mewaspadai cara-cara pengeboman klasik, mereka pakai metode baru.

Yang bisa kita lakukan adalah mengetuk hati nurani kaum teroris ini. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan melawan kemanusiaan. Korban-korban yang jatuh adalah saudara mereka sendiri. Dan tindakan mereka, sesungguhnya adalah tindakan pengecut.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 21 Juli 2009.

Menikmati Pensiun

SEHARUSNYA masa pensiun merupakan masa istirahat, masa tenang, masa menikmati hasil kerja keras puluhan tahun. Menimang cucu, menghabiskan waktu dengan keluarga --hal yang dulu terampas saat jadwal padat mencekik--, mempersiapkan diri untuk menikmati sisa-sisa umur dan beribadah dengan tekun. Begitu gambaran ideal bagi seseorang yang memasuki masa pensiun.

Namun coba perhatikan hal sebaliknya terjadi pada sejumlah mantan pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, baik sipil maupun militer. Contoh terdekat adalah mantan Gubernur Jabar Danny Setiawan. Setelah gagal menduduki kembali kursi Jabar Satu, Danny tak bisa hidup dengan tenang. Ia harus meringkuk di sel tahanan, karena terlibat kasus korupsi pengadaan alat berat. Danny pun mengembalikan sejumlah uang, nilainya miliaran rupiah, yang diduga bagian dari korupsi kepada negara melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Bola panas kasus ini juga tak hanya menimpa Danny. Dua mantan bawahannya, Wahyu Kurnia dan Ijudin Budhyana pun harus merasakan sel yang sama dengan mantan bosnya. Hukuman yang dijatuhkan pun sama: empat tahun penjara.

Lalu ada pun kasus korupsi dana pungutan di KBRI Cina. Ini melibatkan mantan Duta Besar Letjen (Purn) Kuntara. Tak tanggung-tanggung, Kuntara terancam hukuman penjara seumur hidup. Padahal sebagai mantan jenderal, mantan Pangkostrad, dia bisa menikmati masa pensiun dengan tenang. Bukan menghabiskannya di dalam tahanan. Begitu pula nasib mantan Kapolri Roesdihardjo yang juga harus meringkuk di tahanan, gara-gara kasus dugaan korupsi.

Jika melihat kondisi seperti ini, bakti mereka berpuluh-puluh tahun kepada negara tak berbekas sedikitpun. Nila setitik rusak susu sebelanga, begitu pepatah mengajarkan. Amal yang sedemikian lama dan banyak dikerjakan, tak mampu menghapus satu kesalahan besar yang dilakukan, justru di penghujung pengabdian.

Memang tidak ada gading yang tak retak. Artinya, semua gading pasti retak. Bisa jadi mereka terbawa suasana di dalam kekuasaan, hingga lengah, tak bisa meluruskan hal yang selama ini dianggap bengkok. Dan mereka membiarkan, bahkan menikmati hasil-hasil kecurangan untuk memperkaya diri sendiri.

Kini tinggal mereka yang menikmati pensiun di penjara untuk kembali merenungkan langkah hidup yang sudah dilakukan. Curahan hati lewat buku biografi --seperti banyak dilakukan mantan pejabat-- hanya sekadar keluh kesah yang tak akan berarti banyak bagi masyarakat yang sudah menganggap mereka sebagai bagian dari rezim korupsi.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi 1 Juli 2009.

Thursday, June 18, 2009

Adu Putaran

PERANG pencitraan, adu isu dan klaim, menjadi tontonan tersendiri dalam kampanye pemilihan presiden sepekan terakhir ini. Para capres dan cawapres berebut menjadi orang yang paling merakyat. Mendatangi pasar tradisional, berdialog dengan ulama, nelayan, dan pengusaha, adalah sebagian kecil trik kampanye tiga pasangan kandidat orang nomor satu dan dua di Indonesia itu.

Kita masih ingat ketika Bantuan Tunai Langsung (BLT) menjadi isu saling klaim keberhasilan SBY dan JK. Lalu perdamaian di Aceh pun sebagai hasil kerja keras dan keberanian satu kandidat. Tentu saja, kubu kandidat lain dibuat meradang dengan klaim itu.

Jembatan Surabaya-Madura (Surabaya) pun tak luput dari aksi klaim. Satu pihak mengklaim proyek prestisius itu sebagai keberhasilannya, karena diawali pada masa pemerintahannya. Kandidat lain tentu mengklaim inilah kesuksesan pemerintahan yang meresmikan jembatan itu.

Lalu mencuat isu soal putaran pemilu. Kubu SBY optimistis pemilihan presiden akan berlangsung dalam satu putaran. Dasar pernyataan ini adalah hasil survei sejumlah lembaga survei yang mendudukan SBY-Boediono sebagai pasangan dengan perolehan suara tertinggi 70 persen, jauh mengungguli dua pasangan lainnya. Selain itu, pendapat ini juga mempertimbangkan persoalan biaya pemilu yang lebih mahal apabila dilangsungkan dalam dua putaran.


Tentu saja pernyataan kubu SBY ini langsung ditangkis kubu JK-Win dan Mega-Pro. Mereka menyebutkan pernyataan itu bentuk arogansi, bahkan merupakan teror terhadap demokrasi dan penyesatan opini di masyarakat. Dalam pandangan dua kubu ini,
pernyataan itu menggiring publik untuk benar-benar melaksanakan pilpres dalam satu putaran. Dalam artian, memilih kandidat yang diunggulkan dalam survei.

Di balik pernyataan pilpres satu putaran itu, tersembunyi sebuah kekhawatiran, dan ini wajar. Kubu SBY khawatir kalah apabila pilpres digelar dua putaran. Logikanya, walau kini sama-sama bersaing, JK-Win dan Mega-Pro sebelumnya tergabung dalam Koalisi Besar. Jika JK-Win atau Mega-Pro tersingkir, mereka bisa bergabung tanpa sungkan pada putaran kedua. Dan tentu kekuatannya akan jauh lebih besar dan peluang menjadi RI I pun juga terbuka lebar.

Di luar itu, sejatinya tidak jadi soal pilpres berlangsung satu putaran atau dua putaran. Tentu rakyat akan kecewa jika pilpres berlangsung satu putaran tapi kesejahteraan tidak meningkat. Atau berlangsung dua putaran, tapi janji-janji selama kampanye tak terwujud. Yang paling penting sesungguhnya adalah pemilihan presiden ini legitimate, tidak terjadi kecurangan-kecurangan, dan KPU tidak lagi kedodoran dalam persoalan teknis pemilu. Di tangan rakyatlah, pemilu presiden ini berlangsung satu putaran atau dua putaran. Vox populi vox dei.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 18 Juni 2009.

Friday, June 12, 2009

Alutsista Kita

KECELAKAAN beruntun alat tempur milik tentara kita dalam tempo dua bulan memunculkan keprihatinan. Selain kehilangan putra-putri terbaik bangsa, hilang pula aset berupa alat tempur. Sebut saja pesawat Fokker 27, Hercules, dan yang terakhir Helikopter Bolkow BO- 105.

Mungkin bagi negara sebesar dan sekuat Cina, hilang satu dua kendaraan perang tidaklah berarti. Tapi bagi Indonesia, di tengah kesulitan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, kehilangan satu pesawat sangat-sangat berarti.

Apalagi di tengah "olok-olok" Malaysia di Blok Ambalat, ketangguhan alutsista negara kita semakin dipertanyakan. Sejauh mana persenjataan yang kita miliki mampu mempertahankan tanah air yang memiliki bentangan pantai terpanjang di dunia ini?


Alutsista TNI AD, seperti diakui KSAD Jenderal TNI Agustadi Sasongko, hanya 60 persen yang masih laik. Nasib yang sama kurang lebih dialami pula oleh TNI AU dan TNI AL. Bahkan bisa jadi lebih minimal. Bayangkan saja, dari kebutuhan anggaran pertahanan sebesar Rp 127 triliun, hanya terealisasi 30 persen atau sekitar Rp 36 triliun saja. Masih jauh dari kebutuhan minimun sebesar Rp 100 triliun. Dan anggaran yang minim itu pun lebih banyak tersedot untuk anggaran rutin gaji prajurit, hanya sepersekian persen yang digunakan untuk membeli alutsista baru atau merawat alutsista yang lama.

Memang minimnya anggaran pertahanan tidaklah paralel dengan sering terjadinya kecelakaan yang menimpa alutsista TNI. Semua pun tahu, dalam kecelakaan apapun tidak ada faktor tunggal yang menjadi penyebab. Pasti ada faktor lain, disamping faktor utama. Sebutlah itu faktor cuaca buruk, human error, dan sarana yang tak laik. Tapi sedikit banyak, anggaran yang minim itu turut menyumbang.

Tentu akan ada pula yang berapologi, bahwa yang penting itu bukanlah senjatanya, tapi manusianya, orang-orang yang memegang senjata atau "the man behind the gun". Tak heran, jika pengembangan kekuatan tentara kita pun lebih dititikberatkan pada kemampuan personel, ketimbang pengadaan atau pembaharuan persenjataan. Hasilnya memang patut diacungi jempol. Kemampuan personel Kopassus atau Kopaska, setara dengan kemampuan personel pasukan elite lainnya di dunia.

Namun dalam situasi dan kondisi saat ini, ketika negara-negara luar mulai mengganggu dan mempermainkan kita, tak ada salahnya, jika sumber daya personel prajurit yang unggul itu diimbangi dengan ketersediaan alutsista yang juga mumpuni.

Setidaknya ketersediaan alutsista yang paling minimal. Jika untuk menjaga laut dan pantai kita dibutuhkan 1.000 kapal sekelas KRI, setidaknya 750 KRI harus kita miliki. Jika untuk mempertahankan kedaulatan udara TNI AU membutuhkan 100 skuadron pesawat tempur Sukhoi, setidaknya 75 skuadron sudah siap mengangkasa.

Bagaimanapun kita tidak ingin terus menerus menjadi bahan olok-olok negeri jiran saat melihat kemampuan alutsista kita. Sudah saatnya, anggaran pertahanan itu dinaikkan hingga mencapai anggaran kebutuhan minimum. Ini agar masyarakat Indonesia pun bisa merasa lebih aman melihat kekuatan alutsista TNI yang tak kalah dari negara lain.(*)

Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 10 Juni 2009.
NB: Saat mengundah tulisan ini, baru saja terjadi kecelakaan Heli Puma TNI AU jatuh di Lanud Atang Sanjaya, sekitar pukul 14.55.

Friday, May 29, 2009

Bertahan Hidup

SECARIK kertas lusuh ditemukan tim Search And Rescue (SAR) di ketinggian 2.4000 meter dari permukaan laut. Kawasan di Gunung Ciremai itu disebut kawasan Pasanggrahan. Mungkin dulu, tempat itu memang tempat orang-orang bersunyi diri. Dari kertas lusuh berisi informasi singkat itulah, tim SAR menyusuri jejak lima pendaki yang dinyatakan hilang sejak akhir pekan lalu di gunung tertinggi di Jawa Barat itu.

Akhirnya setelah enam hari hilang, kelima pendaki itu berhasil ditemukan tim pencari di ketinggian 1.300 meter dpl di daerah yang disebut Pasiripis. Kondisi mereka bisa disebut sehat, walau seorang di antara mereka mengalami luka di bagian kepala dan kaki akibat terjatuh ke sungai kering. Tiga hari sebelumnya, dua rekan mereka sudah lebih dulu ditemukan. Mereka berpisah dengan kelima rekannya dan turun lebih dulu untuk mencari bantuan.

Selama enam hari hilang di gunung, kelima orang pendaki itu bertahan hidup dengan persediaan makanan yang minim. Bahkan kabarnya, ada salah seorang pendaki yang nekat meminum air seni untuk menghilangkan haus. Minimnya pengetahuan tentang gunung dan mendaki sangat mungkin menjadi penyebab rombongan pendaki ini tersesat dan hilang. Bagaimanapun hutan gunung berbeda dengan kondisi kawasan lain.


Banyak persyaratan yang harus dilengkapi sebelum seseorang memutuskan untuk mendaki gunung. Selain harus sehat jasmani dan rohani, dia juga harus melengkapi kebutuhan hidup plus perlengkapan hidup di alam bebas.

Bulan depan sudah memasuki musim liburan sekolah. Biasanya, waktu-waktu itu adalah musim puncak kegiatan mendaki. Gunung Gede Pangrango dan Ciremai adalah favorit tujuan para pendaki, terutama mereka yang baru mengenal dunia mendaki gunung.
Mendaki gunung tidaklah sama dengan kemping atau piknik. Bahkan jauh berbeda. Berkemah hanyalah bagian kecil dari kegiatan mendaki. Ini berarti, untuk melakukan pendakian gunung, sangat banyak yang harus dipersiapkan. Mulai persiapan fisik, persiapan perjalanan, perlengkapan, tim, transportasi, dan sebagainya.

Hal semacam ini yang sering diabaikan para pendaki, terutama para pemula. Bagi mereka, yang penting bisa mendaki, naik ke puncak, melihat matahari terbit, turun kembali, dan pulang ke rumah dengan selamat.

Masih untung, seperti tujuh pendaki Gunung Ciremai itu, bisa pulang selamat, walau tersesat lebih dulu. Banyak kasus pendaki hilang dan tak ditemukan lagi, seperti dialami tiga orang mahasiswa Bandung di Gunung Agung beberapa tahun lalu. Kalaupun ditemukan, hanya jenazahnya saja.

Bertahan hidup di alam bebas membutuhkan ilmu dan kemahiran tersendiri. Banyaklah berlatih karena akan menjadi kebiasaan, itulah salah satu moto yang menjadi pegangan para penempuh rimba dan pendaki gunung.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 29 Mei 2009.

Tuesday, May 26, 2009

Lebih Hemat dengan TV LED

SELAMA ini konsumen di tanah air mengenal televisi dengan berbagai teknologinya. Antara lain televisi tabung atau beken dengan sebutan Cathode Ray Tube (CRT), kemudian teknologi plasma, teknologi Liquid Crystal Display (LCD) dan yang terakhir adalah televisi berteknologi Light Emiting Diode (LED). Teknologi LED mulai merambah pasar elektronik di Indonesia.

Foto di samping: Peluncuran TV LED Samsung di India. Abhinav Bindra, duta Samsung India (kiri) dan Jung Soo Shin, President and Chief Executive Officer of Samsung South West Asia Headquarters. Foto dari AP.

LED merupakan sejenis diode semikonduktor yang bila diberi tegangan akan memancarrkan cahaya non koheren dengan panjang gelombang tertentu. Teknologi LED sangat tahan lama, tidak mudah rusak, murah dan juga memiliki banyak pilihan warna sesuai kebutuhan.

Samsung memperkenalkan pertama kali televisi LED ini di ajang Consumer Electronics Show di Las Vegas, awal tahun ini. Apa sih keuntungan atau kelebihan dari televisi next generation ini? TV ini ternyata sejalan dengan isu global warming saat ini.
Televisi LED mengonsumsi 40 persen energi lebih hemat dibandingkan dengan standar CCFL-backlit yang digunakan di televisi LCD dan jauh di bawah Energy Star versi 3.0. Selain itu televisi jenis ini juga terbuat dari materi yang ramah lingkungan dan
meninggalkan material merkuri.

Melalui produk teranyarnya, Samsung mulai memasarkan produk televisi LED-nya ke pasar Indonesia dengan berbagai tipe dan ukuran. Penggunaan teknologi LED pada produk televisi diusung Samsung Electronics Indonesia (SEIB) dalam tiga tipe produk terbarunya. Masing-masing dari tipe B 8000, B 7000 dan B 6000. Tampilannya begitu ramping, bahkan sangat elegan.

Bukan hanya masalah ketipisan dari desain yang mengambil corak air yang mengalir. Samsung LED Full HD TV Samsung juga menciptakan solusi ultra slim wall mount untuk mengurangi jarak antara TV dengan dinding hingga 0,6 inci atau turun 2 inci dari solusi penebalan.

Cahaya dari LED, semua tipe Samsung TV LED Full HD telah memenuhi panduan energy star v 3.0 yang lembut dan ketat. Elemen inilah yang mampu memotong konsumsi listrik yang cukup signifikan hingga 40 persen bila dibandingkan dengan LCD HDTV tradisional dengan ukuran yang sama.

Tipe B 8000 menjadi salah satu andalan dari ketiga tipe TV LED yang diluncurkan PT SEIN. Tipe ini memimpin evolusi TV dengan fitur terbaik di kelasnya. Seperti adanya teknologi ganda Auto Motion Plus yang mampu menghasilkan frame rate sebesar 200 HZ. Mampu menghilangkan efek yang tak jelas saat menampilkan gambar yang cepat, penuh dengan gerakan aksi.
src="http://samsungledtv.dagdigdug.com/banner.php?track=3768c4a1fd45c38797bdd5ca41b47928"
/>

Walau baru akan hadir Juni mendatang, Samsung LED Full HD TV B 8000 ini ukuran 55 inci sudah mulai banyak yang memesan untuk membeli. Artinya, tak lama lagi masyarakat Indonesia bisa menikmati televisi generasi terbaru, hemat energi, dengan tampilan yang menawan. Sementara LED Full HD TV B 7000 diperkenalkan di Indonesia terdiri dari varian 40", 46" dan 56" pertengahan bulan Mei dengan kisaran harga mulai dari Rp 33 juta, Rp 43 juta dan Rp 60 juta. Untuk tipe B 6000 diperkenalkan di Indonesia dengan variasi ukuran 40" dan 46" bulan Mei pada kisaran harga Rp 29 juta dan Rp 40 juta. (*)

Tuesday, May 19, 2009

Periksa Kesehatan Tak Sekadar Seremoni

AKHIRNYA masyarakat Indonesia bisa mengetahui jumlah pasangan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan bertarung pada Pemilihan Presiden 8 Juli 2009 mendatang. Jusuf Kalla dan Wiranto maju dengan dukungan Partai Golkar- Partai Hanura. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya memilih Boediono dengan pengusung utama Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Lalu Megawati Soekarnoputri bersama Prabowo Subianto maju sebagai capres-cawapres yang didukung PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.

Dua hari terakhir kemarin, ketiga pasangan itu memeriksakan kesehatan mereka. Pemeriksaan berlangsung di bawah komando tim kesehatan khusus dari RSPAD Gatot Subroto. Ada tiga dokter ahli senior plus 43 dokter ahli di 13 bidang spesialisasi kedokteran yang terlibat dalam pemeriksaan itu.

Seusai pemeriksaan, para capres-cawapres itu menampakkan diri ke publik. Mereka masih berpakaian piyama, lalu melambaikan tangan kepada para pewarta, terutama kameramen dan fotografer. Seperti itulah tahapan yang harus ditempuh para bakal capres-cawapres ini sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesehatan menjadi salah satu persyaratan yang harus bisa dilalui para bakal calon pemimpin RI ini.

Yang dikhawatirkan, jangan sampai tahapan ini hanya sekadar seremoni, hanya menempuh prosedur saja. Karena melihat ketokohan dan ingin melihat pemilu berlangsung ramai dengan adanya tiga pasangan, lalu KPU meloloskan begitu saja.

Artinya, kalau memang bakal capres dan cawapres ini memiliki kekurangan secara medis atau psikis, KPU harus berani mengungkapkannya kepada masyarakat. Bukan dalam rangka mempermalukan para capres-cawapres, tapi menyampaikan kebenaran bahwa capres A atau cawapres B memang memiliki kekurangan dalam hal kesehatan. Bukankah saat Pemilu 2004 pun, KPU tak meloloskan pasangan Abdurahman Wahid-Marwah Daud karena alasan kesehatan?

Ini tak jauh beda dengan pengumuman harta kekayaan capres dan cawapres. Kalau Boediono saja mau melaporkan harta kekayaan sebesar Rp 18 miliar, termasuk asal muasal harta itu, tentu soal kesehatan pun harus pula diungkapkan.

Masyarakat tentu menginginkan memiliki pemimpin yang sehat jiwa raga, sehat lahir batin. Dan itu dimulai dari proses penyeleksian melalui tahapan pemeriksaan kesehatan ini. Amanah menjadi seorang pemimpin itu berat dan tanggung jawabnya melintasi dunia dan akhirat. Karena itu, sehat secara fisik dan psikis pun sangat diperlukan untuk memikul beban sejarah bangsa ini.

Masih ada waktu 51 hari ke depan untuk menentukan pilihan. Saatnya menelisik lebih dalam lagi bagaimana rekam jejak dan kemampuan para calon pemimpin bangsa ini. Di tangan kita, bangsa ini akan mempunyai pemimpin yang menyejahterakan rakyat atau menyebabkan keterpurukan.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 19 Juli 2009.

Monday, May 04, 2009

Bisnis Jawaban UN

DUA pekan terakhir, siswa SMA dan SMP mengikuti ujian nasional (UN). Untuk tingkat SMA dan sederajat, ujian sudah berakhir, sementara untuk tingkat SMP dan sederajat masih berlangsung hingga hari ini.

Sebetulnya tidak ada yang istimewa dari pelaksanaan ujian ini, karena berlangsung setiap tahun. Hanya karena tahun ini standar kelulusan naik, UN dianggap sebagai hantu yang bisa menenggelamkan masa depan seseorang.

Hal menarik yang terjadi di setiap pelaksanaan UN adalah selalu munculnya bocoran kunci jawaban soal mata pelajaran yang diujiankan. Padahal pembuatan soal UN dan pendistribusiannya dijaga ketat aparat keamanan dan dinas pendidikan serta pengawas. Tetapi, tetap saja selalu ada mereka yang memanfaatkan situasi dan kondisi, bahkan menjadikan bocoran soal itu sebagai bisnis.

Forum Guru Independen Indonesia menemukan adanya indikasi jual beli kunci jawaban soal UN yang melibatkan pelajar. Sejumlah pelajar rela menunggu sejak pagi seusai subuh untuk mendapatkan bocoran jawaban itu. Mereka pun rela merogoh dalam-dalam kantungnya untuk membayar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per mata pelajaran.
Pekan sebelumnya, bocoran jawaban UN SMA beredar via SMS. Mereka yang mendapat kiriman SMS ini lebih banyak yang tidak mempedulikannya. Tapi bisa jadi ada pula siswa yang tergiur dengan kunci jawaban itu dan mengisikan di lembar jawaban.
Apalagi berdasar hasil pengerjaan seorang guru matematika di Bandung, kunci jawaban yang beredar untuk soal Matematika benar-benar 100 persen persis.

Tentu beredarnya bocoran kunci jawaban UN ini harus dipertanyakan. Sejauh mana tingkat pengamanan soal-soal UN hingga dijamin tidak ada kebocoran. Departeman Pendidikan Nasional atau dinas pendidikan di daerah sebagai penyelenggara UN tentu bersikukuh tidak terjadi kebocoran. Kalaupun ada beredar kunci jawaban, siswa diminta tidak mempercayainya.

Secara psikologis, beredarnya kunci jawaban ini sangat mengganggu siswa, terutama mereka yang betul-betul belajar siang malam untuk menghadapi UN ini. Selentingan di kalangan siswa tentang hal ini akan mempengaruhi "keteguhan" mereka atas hasil belajarnya selama ini.

Akan muncul pemikiran, sia-sia saja belajar kalau ternyata di luar beredar kunci jawaban. Persaingan menjadi tidak sehat. Mereka yang tak belajar hanya mengandalkan uang dan bocoran kunci jawaban tentu tak masalah. Parahnya, kalau siswa yang betul-betul belajar jadi tergiur untuk memakai kunci jawaban.

Di sinilah musibah dunia pendidikan terjadi. Tren serba instan, ingin cepat selesai, dan tak mau bersusah payah, menghinggapi para pelajar. Mentalitas superinstan ini yang akan terus menyuburkan munculnya praktik-praktik jual beli kunci jawaban, dan lambat-laun kian memperbodoh siswa. Rupanya, ini yang sengaja terus dipelihara oleh pihak-pihak tertentu agar bisnis semacan ini terus berjalan. Tapi mereka tak peduli dampak di kemudian hari.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 30 April 2009.

Wednesday, April 22, 2009

Hantu Bernama UN

SEJUMLAH siswa SMAN 6 menundukkan kepala dalam-dalam. Mereka terpekur sambil menitikkan air mata kala seorang guru memanjatkan doa. Doa penuh pengharapan agar mereka bisa lulus ujian nasional. Tak hanya doa yang dipanjatkan, tapi juga pemberian motivasi dan pembekalan mental dari para guru agar siswa percaya diri dengan kemampuan sendiri.

Kegiatan yang sama juga digelar di SMA-SMA lainnya di Kota Bandung, jelang akhir pekan kemarin. Bahkan di belahan lain di Nusantara, dari sekolah di pusat kota hingga pinggiran, nyaris semua menggelar istigasah dan doa bersama menjelang pelaksanaan ujian nasional.

Siswa berharap perjuangan mereka selama tiga tahun tidak akan sia-sia. Ujian nasional ibarat hantu di akhir musim pelajaran. Seolah, jika tak lulus UN, habislah dunia. Untuk menghalau ketakutan dan kekhawatiran tidak lulus itulah istigasah digelar.

Angka 5,5 sebagai standardisasi nilai kelulusan UN 2009 ini seperti angka keramat yang membuat gentar para siswa. Siswa yang pandai pun jadi ragu dengan kemampuannya. Satu saja nilai mata pelajaran jatuh, akan menguaplah impian segera melepas masa SMA.

Tak heran jelang pelaksanaan UN, berbagai uji coba digelar. Simulasi soal-soal mata pelajaran yang kemungkinan diujiankan pun terus dijajal. Guru menggeber mata pelajaran agar tuntas, siswa pun digeber agar paham semua mata pelajaran itu. Tak cukup enam jam, kadang-kadang waktu belajar pun ditambah satu atau dua jam. Tapi tetap saja hasil uji coba itu tak sepenuhnya sesuai harapan. Bukannya membuat siswa percaya diri, malah kian down begitu tahu hasil try out jeblok.

Hanya karena UN lalu sekolah berubah menjadi bimbingan belajar. Sekolah semata hanya mengejar angka kelulusan. Persentase kelulusan 100 persen menjadi prestise dan prestasi bagi sekolah, tapi mengabaikan segi pendidikan yang lain.

Intinya, masa depan para pelajar ini selayaknya tidak ditentukan hanya oleh sebuah ujian. Angka kelulusan 5,5 tidaklah menjamin kualitas produk pendidikan. Masih banyak sisi lain dari pendidikan yang semestinya juga menjadi prioritas untuk dikembangkan.

Apalagi tahun ini ibarat pertaruhan bagi pelaksanaan ujian nasional. Untuk pertama kalinya, pihak perguruan tinggi dilibatkan dalam proses pengawasan. Kabarnya, ini sebagai ancang-ancang sebelum tahun 2012 UN dijadikan tiket untuk masuk ke perguruan tinggi negeri.

Kita berharap, terlibatnya semua unsur pendidikan akan berdampak lebih baik bagi kualitas pendidikan di negeri ini. Bukan hanya angka kelulusan yang naik, tapi sarana dan prasarana juga membaik. Telinga kita tidak akan lagi mendengar siswa yang tak mampu melanjutkan sekolah karena tidak punya biaya. Atau ada bangunan sekolah yang roboh diterpa angin ribut. Di tangan para siswa yang kemarin, hari ini, dan esok bertarung memerah segenap kemampuan ilmu, terletak nasib bangsa.
Semoga UN ini tak hanya menghasilkan siswa yang pintar semata, tapi juga mumpuni secara moral dan etika. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 21 April 2009 dengan judul "Pertaruhan Ujian Nasional".

Friday, April 10, 2009

Lihatlah Keikhlasan Mereka

JARAKNYA sejauh 30 kilometer dari Kantor Desa Sugihmukti, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Nyaris sama dengan jarak Bandung-Sumedang. Berada di perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Cianjur, itulah Kampung Camara, kampung para pemetik teh di PTPN Rancabolang.

Saking terpencilnya kampung ini, saat gempita kampanye pekan lalu, tak ada seorang pun calon anggota legislatif ataupun partai politik yang berkampanye ke kampung ini. Lagi pula, siapa yang peduli dengan kampung ini? Jalan untuk menuju ke kampung ini saja terjal, penuh berbatu. Bahkan harus melewati hutan, yang kadang-kadang binatang buas pun masih sering melintas.

Tapi lihat keikhlasan mereka, warga di pelosok ini. Mereka tetap antusias mengikuti pemilihan umum, walau mereka tidak kenal satu pun para caleg yang namanya terpampang di kartu suara. Dan mereka juga tahu, memilih bukan berarti nasib mereka sebagai buruh pemetik teh akan berubah.

Antusiasme warga pinggiran ini merupakan bagian dari gairah masyarakat Indonesia mengikuti pemilihan umum 9 April. Dan hasil penghitungan suara secara cepat atau quick count sejumlah lembaga survei sudah memunculkan partai mana yang diperkirakan menjadi pemenang pemilihan legislatif. Demokrat, partai pemerintah, tidak akan terkejar oleh partai Golkar, PDIP, dan partai lainnya.

Euforia kemenangan pasti akan merebak ke segenap penjuru negeri. Tinggal para caleg yang akan berhitung apakah mereka yang terbanyak meraih suara akan mendapat kursi atau tidak. Dan euforia ini akan terus berlanjut hingga pemilihan presiden usai.
Hanya satu pesan, jangan pernah melupakan, apalagi menyia-nyiakan suara rakyat. Jangan pernah menyia-nyiakan suara rakyat. Selama ini, rakyat hanya menjadi objek eksploitasi penggalangan suara untuk memenangkan partai tertentu. Hanya diingat ketika pesta demokrasi mendekat, dan setelah itu dilupakan.

Ingatlah bahwa pemilu bukanlah hura-hura demokrasi. Ia hanya perantara untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Karena itulah sesungguhnya yang menjadi harapan bersama: pemilu akan membawa perubahan bagi kehidupan bangsa ini.

Ingat pula bahwa rakyat akan menagih janji-janji yang diucapkan. Para caleg yang akan melenggang ke gedung dewan harus mempersiapkan diri untuk benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat, berjuang untuk kepentingan masyarakat.

Seperti halnya teriakan Iwan Fals saat bernyanyi di sebuah televisi swasta, semalam sebelum pencontrengan, "Buktikan buktikan, itu yang dinanti-nanti. Buktikan buktikan, kalau hanya omong, burung beo pun bisa". Kita ingin jejak hari ini menjadi titik awal perubahan Indonesia menuju kehidupan yang lebih baik. Buktikan! (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 10 April 2009

Thursday, April 09, 2009

Kejutan di Pagi Hari

SAYA mulai pagi dengan salat Subuh, lalu mengaji. Sebetulnya saya hendak salat tahajud. Alarm sudah dipasang tiga lapis. Ternyata tak mampu juga membangunkan saya. Karena harus menyiapkan liputan Pemilu, saya pulang dari kantor larut malam. Menyesal juga, karena sudah berazzam supaya bisa bangun.

Segera saya setel televisi, cari tahu hasil pertandingan Liverpool-Chelsea. Oh, ternyata The Reds terjungkal di kandangnya 1-3. Saya terus nonton berita, sementara Bu Eri sudah beres-beres di lantai bawah. Kebetulan pembantu sedang pulang ke Cianjur, jadi setelah salat, Bu Eri sudah sasapu. Kaka Bila dan Adik Mira masih terlelap dalam mimpinya masing-masing. Posisi tidurnya pun sudah pasolengkrah. Kaka tergeletak dekat wilayah kekuasaan Adik, Adik sendiri sudah masuk ke area tidur Kaka.

Sekitar pukul 06.00, Kaka dan Adik bangun. Keributan di kamar pun dimulai, seperti biasa. Adik yang memanggil-manggil ibu, atau Kaka yang tiba-tiba nyanyi lagu Selamat Ulang Tahun. "Wah ayah aku gak punya kadonya, kalo ibu punya kado tuh," kata Kaka. "Oh gak apa-apa Ka, Kaka sehat saja ayah sudah senang," kata saya.


Ketika Adik minta ke kamar mandi buat pipis, Bu Eri ke lantai atas sambil membawa Cireng, aci digoreng. Setelah itu, Adik bergabung lagi main di kamar. Namun tak lama, muncul lagi Bu Eri, kali ini sambil rawah riwih. "Ada superglue gak," tanya bu Eri sambil mencari di laci lemari. Tahu barang yang dicari tidak ada, Bu Eri langsung menyambar kerudung, lalu turun lagi ke bawah. Saya masih mikir, buat apa Bu Eri mencari superglue.

Ketika saya bertiga main, Bu Eri datang kembali ke kamar. Kali ini sambil membawa kue tart dengan lilin menyala. "Selamat ulang tahun...tapi maaf ini lilinnya potong, jadi cuma lilin angka 5 saja," katanya. Kontan saya pun tergelak melihat lilin angka 5. "Ha ha ha, berarti ayah baru umur 5 tahun, lebih muda dari Kaka," kata saya. "Difoto dulu difoto dulu". Saya pun meniup lilin sambil jeung bararau jigong bin cucut, da belum mandi.

Kalau kue tart sih bukan surprise, soalnya memang biasa kami lakukan kalau ada di antara keluarga yang ulang tahun. Yang berikutnya cukup surprise. Bu Eri memberi sebuah kantung kecil untuk saya, dan juga untuk Kaka Bila.

Saya buka kotak di dalam kantung. Rupanya sebuah jam tangan Swiss Army. "Wow, ini sih jam tangan mahal," pikir saya. "Iya kasihan tuh jam tangan ayah pake isolasi, jadi beli jam tangan kemarin di ABC. Kaka juga dibelikan da pasti cemburu, pengen juga," kata Bu Eri.
Kalo Adik? Ya berhubung belum ngerti, dia dikasih jam tangan Barbie bekas Kaka yang sudah tidak muter lagi jarum jamnya. Haduh jadi terharu. Segini saja sudah alhamdulillah. "Eh kalo ibu dapat kado apa," tanya Kaka. "Pan sudah kemarin dibelikan raket buat bulutangkis," jawab saya.

Wah hari yang indah, hari yang menyenangkan, dan tentu tak terlupakan. Karena di hari ini pula Pemilu legislatif digelar. Dan saya, untuk pemilu kali ini, tak menghiasi jari tangan dengan tinta hitam atau ungu itu.(*)

Bersyukur Masih Bisa Menghirup Udara 9 April

ALHAMDULILLAH, Alloh masih sayang padaku. Hari ini usiaku menginjak 35 tahun. Alloh masih memberi kesempatan untuk menghirup udara, melihat matahari terbit di pagi hari. Warnanya merah, jingga, lalu menguning, dan terang benderang.

Cukup panjang lika-liku hidup yang kujalani selama ini. Menempaku agar lebih matang, dewasa, menghadapi perjalanan ini. Entah kapan akan kujumpai titik terakhir. Tapi itu pasti datang. Dan kuharus bersiap menghadapinya. Karena itu aku memohon kepada Alloh agar diberi kekuatan, dikarunikan tekad yang kuat untuk mengisi langkah-langkah berikut dengan amal yang baik, bermanfaat bagi orang banyak.

Memohon kepada Alloh agar menjadi orang yang selalu bersyukur, sekecil apapun yang diberikan Alloh. Menjadi orang yang selalu beristigfar, memohon ampunan, atas sekecil apapun kesalahan yang dilakukan. Menjadi orang yang mudah untuk bertakbir dan bertasbih saat melihat sekecil apapun keagungan dan kekuasaan yang diperlihatkan Alloh.

Dan yang utama, Alloh menjadikan hatiku lembut, tak keras seperti batu, yang selalu tergetar ketika dibacakan ayat-ayat Alloh. Menjadikan lisan ini mudah untuk menyebut asma-asma Alloh dn membaca Al Quran. Menjadikan diri ini senang berada di tengah orang-orang saleh, menjadikan diri ini senang mengamalkan ilmu yang diperoleh dan mengulurkan tangan bagi mereka yang kesulitan.

Aku ingin selalu bersama orang-orang yang teraniaya, dizalimi, kaum duafa, karena dekat dengan mereka berarti dekat denganMu. "Carilah Aku diantara orang-orang yang dizalimi dan kaum duafa" begitu yang pernah kudapat. Ringankan tangan ini untuk menolong orang yang membutuhkan.

Sungguh teramat banyak nikmat yang sudah kuperoleh selama ini. Dan kini aku ingin menghisab diriku sebelum Alloh menghisabku. Tentu betapa hitam diri ini. Teramat hitam. Mumpung masih diberi kesempatan, diberi waktu, aku ingin menggapai kembali kedekatan denganMu. Amin.(*)

Tuesday, April 07, 2009

Carita Bogor

Awal bulan Maret lalu, saya berkesempatan keliling Kota Bogor. Sebenarnya round-round di Bogor itu untuk keperluan pemantauan Adipura. Lagi-lagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar meminta saya untuk melengkapi jumlah juri untuk kategori Kota besar.

Dulu Bogor begitu kerap saya sambangi. Dulu, saat masih menimba ilmu di Pajajaran. Saya sering menginap di rumah sohib saya, Gunawan, di Cibinong. Dari Cibinong, main ke Bogor kota. Atau main ke rumah sohib yang lain, Wahyu, di Kedunghalang. Pokoknya kalau main ke kota Hujan ini, saya tidak akan kesulitan tempat menginap. Terakhir saya ke Bogor saat meliput kasus penggalian situs Batu Tulis sekitar tahun 2002. Oh iya, tahun 2003 juga saya pernah ke Bogor lagi ketika meliput tersangka pengebom Gedung Kedutaan Filipina. Salah satu rumahnya ternyata berada di daerah Cileungsi. Dan saya menginap di Bogor kota.

Saya memanfaatkan kunjungan ke Bogor kali ini untuk menyerap kembali aura kejayaan masa silam. Menjejak Bogor, ibarat kembali ke pangkuan Sunda. Bogor adalah Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran. Datang ke Bogor seperti napak tilas, menyusuri kembali jejak yang ditinggalkan para karuhun Sunda. Istilah saya: Neang dia, nu nyusuk di Pakuan. Kata-kata ini merupakan potongan kalimat dari isi Prasasti Batutulis:
...wang na pun ini sakakala, prebu ratu purané pun, diwastu diya wingaran prebu guru
déwataprana diwastu diya dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu déwata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang niskala sa(ng) sida-mokta di gunatiga...


Sudah beberapa waktu lamanya, saya mengumpulkan dan membaca kembali jejak-jejak Sunda. Sejumlah referensi atau bacaan tentang Sunda saya baca kembali. Tentu kebanyakan adalah buku-buku sejarah dari para ahli sejarah ataupun arkeologi Sunda. Mereka para guru saya dalam hal urusan sejarah. Ada buku karangan Prof Edi S Ekadjati (alm), buku Kang Ayatrohaedi (alm), juga buku Kang Saleh Danasasmita. Lalu buku Amir Sutarga dan sebagainya. Juga saya baca kembali buku Hermeneutika Sunda punya Jakob Sumardjo, orang Jawa yang mencintai Sunda.

Beberapa koleksi makalah hasil sawala kesundaan pun saya buka. Tujuan saya hanya satu, ingin ngaguar kembali sejarah kejayaan Sunda. Sebuah kisah kejayaan yang oleh sekelompok orang tertentu diyakini akan kembali mewujud di masa-masa yang akan datang.

Salah satunya hal yang hingga kini belum terang benar soal sejarah Pakuan adalah keberadaan Pakuan itu sendiri. Bagi saya, Pajajaran adalah sebuah kerajaan besar. Negeri yang sesungguhnya melingkupi seluruh Nusantara ini. Jauh lebih besar dari Majapahit. Tapi tak tersisa sedikitpun wajah kejayaannya. Istananya Prabu Jayadewata atau Siliwangi yang dikenal dengan sebutan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, hilang tak berjejak.

Tapaknya lenyap sama sekali dari Bogor sekarang. Orang Sunda akan kebingungan jika ditanya, mana peninggalan Pajajaran. Mau menunjuk istana, jelas kesulitan. Yang paling mungkin, hanyalah menunjuk Prasasti Batutulis. Sebuah prasasti yang dibangun anak Siliwangi. Hanya itu tak lebih.

Berbeda misalnya dengan Orang Banten yang bisa dengan bangga menunjuk Kraton Surosowan, atau Orang Cirebon yang bisa menunjuk Kratos Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Pakungwati sebagai kraton sisa peninggalan keturunan Sunan Gunung Djati. Atau orang Yogya dan Solo bisa dengan mudah menunjukkan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta serta Mangkunegaran dan Pakualaman sebagai simbol mereka pernah eksis dan berjaya. Majapahit sekalipun masih bisa menunjukkan sisa-sisa kota kuno Trowulon sebagai peninggalan kerajaan Majapahit.

Apakah memang orang Sunda tidak pernah meninggalkan jejak-jejak sejarah secara fisik. Lebih banyak berupa cerita-cerita, pantun-pantun, dan pemikiran-pemikiran kesundaan. Itulah yang harus digali orang Sunda kiwari.

Saya tidak akan menulis soal asal usul Bogor. Hal itu sudah sering dibahas dalam berbagai blog. Ketika melanglang ke Bogor itu, saya berupaya untuk menyusuri jiwa zaman ketika Pakuan masih berdiri. Ketika saya masuk ke daerah bernama Lawang Gintung, saya mencoba membayangkan di zaman Pakuan dulu disitulah terdapat parit lebar dan pintu gerbang kota. Jika orang luar hendak masuk ke Pakuan, dia harus melalui Lawang Gintung ini.

Begitupula ketika saya melintasi Sungai Cipakancilan, Cisadane, dan Ciliwung, saya berupaya menghadirkan jiwa zaman ketika Prabu Siliwangi memerintah rakyat secara adil. Sungguh luar biasa membayangkannya. Sebuah kerajaan besar dengan rakyat yang sejahtera, makmur, merasakan betul usapan kasih sayang seorang raja berwibawa.

Ah, ini hanya romantisme saya memandang Sunda. Jelas zaman itu tak akan kembali lagi. Tapi sungguh, saya merasakan auranya! Aura Pakuan yang begitu berwibawa ketika memasuki kawasan Kebon Raya. Konon Kebon Raya ini dulu merupakan bagian dari Leuweung Samida atau hutan larangan. Sangetnya masih terasa hingga saya pulang meninggalkan Bogor, menuju kota lain yang ceritanya tak mungkin dilupakan.(*)

Monday, April 06, 2009

Ajari Anak-anakmu: Berkuda, Berenang dan Memanah

ITU salah satu ungkapan yang dikatakan Khalifah Umar bin Khattab RA. Berkuda, berenang, dan memanah. Tiga keterampilan yang setidaknya harus dimiliki anak-anak penerus semangat Islam.


Tentu ada alasan kuat mengapa Umar menyuruh para orang tua Muslim mengajari anak-anaknya dengan keterampilan-keterampilan khusus tersebut. Bagi masyarakat di padang pasir, berkuda dan memanah adalah barang yang lumrah. Naik kuda ataupun naik unta merupakan keseharian mereka. Binatang-binatang itulah yang menjadi tunggangan dan peliharaan masyarakat Arab.

Tapi berenang? Wow, ini yang agak mengherankan. Orang Arab tidak terlalu suka air. Kolam renang adalah hal yang sulit ditemukan. Kalaupun kolam, itu berbentuk oase atau wadi. Dan kebanyakan dipakai sebagai sumber minum. Air sangat sulit ditemukan di daerah padang pasir.

Tapi Umar meminta para orang tua muslim mengajarkan berenang. Tentu ada hal yang jauh di luar jangkauan pemikiran masyarakat muslim 15 abad lalu. Bisa berenang memang sangat perlu. Ketika tsunami menerjang, atau yang terakhir, ketika Situ Gintung jebol, orang yang bisa berenang tentu lebih dimudahkan untuk menyelamatkan diri.

Saya pun mengenalkan Kaka Bila dan adik Mira pada hewan Kuda. Biar mereka berani menunggang kuda. Bahkan Kaka Bila sudah berani menunggang kuda sendiri, tanpa perlu didampingi lagi. Ia sudah tahu bagaimana cara menyetop laju kuda, bagaimana belok ke sebelah kiri atau belok ke kanan. Secara harfiah memang anjuran berkuda itu, ya mengajarkan berkuda. Tapi sesungguhnya tak cuma berkuda ini yang harus dipelajari dan dikuasai. Menunggang kendaraan lain pun harus bisa. Dalam konteks kekinian, tentu naik mobil, motor, bahkan pesawat, harus pula dikuasai.

Tak ada ruginya bisa mengendarai segala macam kendaraan. Dan yang paling penting, adalah mengenalkan kekuasaan Allah SWT pada anak-anak. Bahwa setiap kendaraan, apapun itu, tidak akan mungkin bisa berjalan tanpa izin Allah SWT.

Begitu pula dengan berenang, mengenalkan anak pada air sejak diri tentu lebih bagus. Kemampuan berenang ini pun harus dikuasai agar tidak hanya keterampilan di darat saja yang dikuasai, tapi juga keterampilan di dalam air.

Sementara memanah pun tak berarti mengajarkan memanah. Memanah termasuk keterampilan olahraga, juga keamanan. Memanah bisa untuk mempertahankan diri, juga berperang. Memanah pun bisa berarti anak-anak muslim harus menguasai beberapa alat untuk mempertahankan diri. Ataupun menguasai bela diri. Ajarilah anak-anak kita ilmu bela diri: silat, karate, kungfu, yudo, dan sebagainya. Semuanya bertujuan senada, mempertahankan diri.
Tak ada yang rugi dari mengajarkan tiga keterampilan itu pada anak-anak kita. Semua bisa bermanfaat untuk kehidupan kita.(*)

Saturday, April 04, 2009

Maaf, Jarang Menulis

LAMA saya tak menulis di blog, terutama cerita-cerita seputar aktivitas seharian. Hanya tulisan Sorot yang diupload, karena itu memang kewajiban seminggu sekali di Tribun. Dan hanya itu sebagai penjaga semangat menulis saya.

Faktor M, yaitu malas, seperti biasa menjadi kambing congek berbulu hitam yang sangat mudah untuk disalahkan. Saya sendiri enggak tahu kenapa. Padahal saya sudah menulis beberapa cerita, tapi tidak tuntas semuanya.

Faktor penyebab lainnya saya jarang menulis bisa jadi karena faktor F, yaitu Facebook. Buku wajah yang saat ini menjadi jejaring sosial paling digemari ini memang susah lepas dari keseharian saya berinternet. BUka internet, pasti harus ke facebook. Padahal tidak ada kewajiban yah buat ngebuka Fesbuqiyah itu. Ya hanya sekadar melihat komen teman-teman di dinding fesbuk mereka, atau sekadar mengupload foto-foto. Sedikit menambahkan komen di status sendiri, tak lebih. Tapi begitulah, sihir fesbuk memang luar biasa.

Mudah-mudahan mulai hari ini saya bisa menuliskan lagi sejumlah pengalaman keseharian saya terkait berbagai hal. Ini juga gara-gara kantor memblokir Facebook, sehingga error alias tidak bisa dibuka, wuakkakakak. Oke tunggu tulisan-tulisan berikutnya. Mudah=mudahan menginspirasi yang membaca.(*)

Tuesday, March 31, 2009

Kisah Sedih SD Sejahtera

SEHARUSNYA kegembiraan masih menghiasi rona wajah para pendidik dan siswa SD Sejahtera I dan IV di Jalan Sejahtera, Sukajadi, Bandung. Sejak pekan lalu, wajah bangunan SD itu, terutama bagian atapnya, tampak lebih semringah. Ya, atap ruangan kelas, yang semula asbes, sudah berganti menjadi genting anyar berwarna merah keoranye-oranyean. Tak hanya itu, lantai pun berganti dari ubin menjadi keramik.

Namun kegembiraan itu berlangsung tak lebih dari seminggu. Senin pagi kemarin, ketika siswa kelas 3 tengah asyik belajar, guru pengajar mendengar suara mencurigakan dari arah atap. Khawatir atap roboh, sang guru pun memerintahkan para murid keluar ruang segera. Benar saja, tak lama kemudian, atap baru itu ambruk dan genting-genting baru itu pun jadi pecahan berkeping-keping.

Sekolah untuk anak usia 6-12 tahun ini adalah SD Inpres yang dibangun pada tahun 1978. Sekolah ini berada di daerah perkotaan. Tak jauh dari bekas ibu kota Kabupaten Bandung di Cipaganti. Cipaganti sendiri merupakan kawasan elite yang dihiasi rumah- rumah besar peninggalan Belanda.

Sayang, walau namanya SD Sejahtera, nasibnya tak sesejahtera namanya. Kabarnya, sejak dibangun tiga puluh tahun lebih itu, tak sekali pun bangunan SD ini direnovasi.
Ketika bangunan SD lain sudah bertembok batu bata, SD Sejahtera masih bertembok batako. Tak heran, sungguh bergembira semua pengelola sekolah ini ketika bantuan dana role sharing dari Dinas Pendidikan Jawa Barat mengucur. Nilainya pun bukan main, Rp 320 juta.

Tapi ternyata bantuan itu hanya cukup untuk mengganti genting dan lantai. Kabarnya pula, satu ruang kelas menghabiskan dana sebesar Rp 40 juta. Dan anggaran puluhan juta per kelas itu pun lenyap dalam hitungan detik seiring dengan robohnya dua bangunan kelas.

Selain siswa dipastikan tidak akan bisa belajar, dampak lain dari robohnya bangunan kelas itu adalah munculnya perasaan trauma dari para siswa yang belajar di ruang kelas yang lain. Mereka waswas dan selalu melihat ke atas khawatir atap tiba-tiba roboh.

Inilah ironi sebuah sekolah yang berlokasi di tengah kota. Ketika pemerintah daerah berupaya keras menggratiskan biaya pendidikan dan memperbaiki infrastruktur pendidikan, sekolah ini baru tersentuh bantuan. Dan kualitas bangunan hasil bantuan itu pun patut dipertanyakan karena hanya bertahan satu minggu.

Bandingkan dengan bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda di sekitar kawasan itu. Puluhan tahun tetap kokoh bertahan dari cuaca apa pun. Berdiri tegak, seolah mencemooh: Lihat, buatan kami, kaum kolonial, lebih baik daripada buatan pribumi.
Pengawasan terhadap proyek renovasi ini juga terkesan lemah. Banyak ditemukan kayu-kayu bekas digunakan kembali untuk menyanggap atap dan genting. Kalau saja pengawasan dilakukan secara ketat, bukan tak mungkin musibah bisa dihindari.

Kejadian ini menjadi cermin bagi dunia pendidikan di Kota Bandung bahwa selain kualitas guru dan siswa yang harus digenjot, kualitas sarana atau fasilitas pun harus menjadi prioritas.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 31 Maret 2009.