Thursday, June 25, 2015

Kisah Beletin (Ramadan di Cimahi)

 Nah, ini mah pengalaman waktu masih bocah saat bulan puasa di Cimahi. Orang Cimahi mah pasti tahu lah menara yang satu ini. Dari kejauhan, mirip-mirip Monas. Kalau ngabuburit, salah satu tempat buat sekadar ngabisin waktu, ya di deket2 menara ini. Karena menara inilah yang menyuarakan Beletin.

Apaan tuh Beletin? Beletin teh bukan berasal dari kata belet yang berarti bodoh dalam Bahasa Sunda. Beletin bukan berarti ngebodohin orang. Beletin itu bunyi sirene. Jadi dari Cibabat, saya dan kawan-kawan masa kecil dulu, berjalan kaki menyusuri pesawahan di belakang daerah Karya Bakti (sekarang itu sawah sudah berubah jadi perumahan Taman Mutiara) menuju ke lokasi Monas mini ini. 

Menara ini berada di kompleks Pusdikpal, daerah Pasir Kumeli dan Munajan. Bentuk sebenarnya dari pucuk menara ini adalah Granat, bukan Emas seperti Monas. Menara inilah yang mengeluarkan suara sirene yang bunyinya nyaring nian di saat magrib sebagai tanda buka puasa dan sebelum subuh sebagai tanda Imsak. Itulah yang disebut Beletin. 

Suara Beletin ini sering juga dijadikan penanda buka di radio-radio. Mungkin mereka merekam suara Beletin yang khas meraung-raung panjang. Kalau tidak ada rekaman beletinnya, suara penyiar pun jadi. Maka terdengarlah suara: Ngieeeeeeeeeeeeng....(*)

Wednesday, June 24, 2015

Ancaman dari Cipali

NAMA Cipali (Cikopo-Palimanan) hari-hari ini menjadi pembicaraan orang dan menghiasi koran-koran. Cipali adalah nama jalan tol terpanjang di Indonesia yang diresmikan Presiden Joko Widodo, 13 Juni lalu. Awalnya diberi nama Cikapali (Cikampek-Palimanan). Karena protes dari pemerintah daerah Purwakarta, yang menyebutkan, bahwa pembangunan tol itu dimulai dari Cikopo bukan Cikampek, maka jadilah nama Cipali yang ditahbiskan. Namun rupanya nama Cikapali masih tetap terpajang di pintu gerbang tol itu, mungkin belum sempat diturunkan atau dibuat yang baru.

Tentu sebagai jalan tol baru, banyak pengguna kendaraan yang ingin mencobanya. Terlebih dari Cikopo, hanya butuh paling lama 2 jam untuk tiba di Palimanan, Cirebon. Tak heran, jalan tol ini digadang-gadang bisa mengurangi kemacetan di jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat dan tentu mengurangi durasi waktu perjalanan.


Belumlah genap dua pekan pengoperasian atau uji coba tol itu, korban kecelakaan berjatuhan. Setidaknya ada 30 kejadian kecelakaan di sana. Entah truk menabrak truk atau mobil menabrak pilar. Apakah penyebabnya human error ataukah karena infrastruktur yang belum siap?

Mungkin bisa karena dua hal itu. Bisa jadi pengguna kendaraan tengah mengantuk atau melamun, sehingga menabrak kendaraan lain. Atau juga karena jalanan yang tidak rata, rest area yang sedikit sehingga tidak ada pilihan untuk beristirahat, penerangan jalan yang minim, atau sebab lainnya.

Padahal arus mudik sudah di depan mata. Jika tidak diantisipasi, bukan hal mustahil tingkat kecelakaan di tol Cipali ini akan tinggi. Melihat animo dari pengguna kendaraan, sangat mungkin mereka yang tahun kemarin mudik melalui jalur Pantura, kini ingin mencoba jalan tol baru.

Di sisi lain, kehadiran tol baru ini juga bisa jadi ancaman untuk jalan tol lain, dalam hal ini pemasukan. Jalan tol Cileunyi misalnya. Ada kemungkinan mereka yang akan mudik ke Cirebon dan Pantura, akan memilih lewat Cipali ketimbang Cileunyi. Tentu itu terkait dengan efisiensi waktu dan biaya. Jika keluar dari pintu tol Cileunyi, ke Sumedang pun masih jauh, apalagi ke Cirebon. Tapi keluar dari Palimanan, tentu sudah tiba di Cirebon. Efisien bukan?

Ancaman lain dari Cipali adalah kemungkinan menurunnya penghasilan para pedagang, rumah makan, dan transportasi umum di jalur Pantura. Ketika jalan tol Purwakarta-Bandung-Cileunyi (Purbaleunyi) beroperasi, para pengusaha di Cikalong Wetan dan Cianjur pun menjerit, karena penghasilan mereka menurun drastis. Begitu pula kemungkinan yang terjadi di Pantura dengan beroperasinya tol Cipali.

Namun jangan dilupakan pula ancaman lainnya, yaitu membanjirnya wisatawan ke daerah Cirebon. Ini yang harus diantisipasi pemerintah daerah. Seperti halnya Bandung yang mendapat limpahan wisatawan tetangga dari Jakarta, bukan tak mungkin Cirebon pun akan mengalami hal serupa. Artinya, pemerintah daerah harus menyiapkan fasilitas akomodasi untuk para wisatawan, membuat acara-acara yang menarik minat, memperbaiki tempat wisata, dan tentu saja mempromosikannya dengan masif, sehingga wisawatan dari Jakarta mau datang ke Cirebon dan sekitarnya.

Selalu ada sisi negatif dan positif dari sebuah pembangunan. Kita harus melihat dari sisi positif, agar hasil pembangunan ini bisa membawa manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 24 Juni 2015.

Dana Aspirasi

INI usulan terbaru yang tengah digodok DPR RI, dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar. Untuk seluruh anggota dewan? Bukan. Jumlah Rp 20 miliar itu untuk seorang anggota DPR RI setiap tahun. Kalikan saja dengan jumlah anggota DPR RI untuk mengetahui jumlah total anggaran yang dibutuhkan dikalikan empat atau tiga tahun masa jabatan karena baru diusulkan untuk masuk APBD 2016. Kira-kira jumlah totalnya mencapai Rp 11,2  triliun.

Teorinya, dana aspirasi ini berbeda dengan dana reses. Dana reses dicairkan langsung oleh anggota DPR bersangkutan untuk menyerap aspirasi masyarakat saat reses di daerah pemilihannya. Bentuk dana reses itu semacam hibah atau bantuan sosial. Sedangkan dana aspirasi, sama sekali tidak dipegang oleh anggota DPR. Dana itu diserahkan ke pemerintahan daerah setelah anggota dewan mengusulkan pembangunan suatu wilayah berikut usulan anggarannya kepada pemerintah.


Kabarnya sebagian besar anggota DPR setuju dengan kehadiran dana aspirasi ini. Tentu lah, siapa pula yang menolak yang namanya anggaran miliaran rupiah, walaupun itu tidak ada di tangan.

Sekilas memang tidak ada yang keliru dengan rencana dana aspirasi ini. Benarkah demikian? Coba kita amati alasan peningkatan dana aspirasi antara Rp 15 miliar hingga Rp 20 miliar ini. Anggota dewan berkilah bahwa dana aspirasi ini untuk memeratakan pembangunan. Ketika mereka berkunjung ke daerah dan menemukan wilayah yang belum terbangun, mereka bisa meminta pencairan dana aspirasi itu ke daerah tersebut.

Kalau itu terjadi, bisa dibayangkan betapa proyek pembangunan akan menumpuk di Pulau Jawa, sementara wilayah Indonesia Timur kering pembangunan. Mengapa begitu? Karena jumlah anggota DPR RI dari daerah pemilihan di Pulau Jawa lebih banyak ketimbang dari pulau-pulau lain. Mereka tentu akan beramai-ramai mengusulkan pembangunan di daerah pemilihannya dan anggarannya sudah tersedia, tinggal dikucurkan saja oleh pemerintah daerah. Hasilnya? Ya, pembangunan makin terpusat di Jawa.

Yang lebih penting lagi, dengan anggaran Rp 20 miliar per tahun ini, dipastikan anggota DPR RI tak perlu susah payah lagi berkampanye saat musim pemilu tiba. Dengan mengklaim bahwa proyek pembangunan A, B, C adalah hasil perjuangannya saja, sudah cukup membuat masyarakat tergiring untuk memilih mereka kembali.

Jangan bicarakan pula soal perasaan rakyat yang saat ini hidup terjepit di tengah kenaikan segala macam harga kebutuhan pokok. Tahun depan kita belum tahu kondisi ekonomi negeri ini akan membaikkah atau memburuk. Kalau pun ekonomi membaik, besaran anggaran Rp 20 miliar itu untuk "membiayai" proyek yang diinginkan anggota DPR RI terlalu wah.

Di sisi lain, pasti terjadi tumpang tindih proyek pembangunan di suatu daerah pemilihan. Karena tentu saja pemerintah daerah pun tidak akan tinggal diam melihat suatu daerah tertinggal. Di sinilah, ditekankan prioritas pembangunan, mana daerah yang lebih dulu harus dibangun, mana yang bisa ditunda.

Kita lebih sepakat agar anggota DPR RI memaksimalkan dana tunjangan reses sebesar Rp 1,7 miliar untuk menyerap aspirasi dari masyarakat. Lalu menyampaikannya kepada pemerintah agar bisa masuk dalam program atau proyek pembangunan. Fungsi pengawasan anggota dewan pun akan berjalan. Kalau mereka turut terlibat dalam urusan proyek, siapa pula yang akan mengawasi proyek itu? (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 11 Juni 2015.