Bingkai kecil ini bercerita tentang apa pun: Keseharian, tentang cerita sejarah, petualangan, rekreasi, ataupun pemikiran dan opini. Semoga Bermanfaaat!
Wednesday, May 02, 2007
Asyiknya Nonton LIVERPOOL
WADUH, siang ini saya masih ngantuk. Soalnya nonton Championship sampai subuh. Tidak biasanya saya kuat nonton bola yang disiarkan malam hari sampai habis. Berhubung yang main Liverpool, The Reds, saya paksa saja mata ini tetap nyala, mencrang, alias melek, biar tahu hasil akhir.
Dan hasilnya, LIVERPOOL melaju ke final Championship. Menang 1-0, tapi agregat 1-1. Karena di pertandingan sebelumnya kalah 0-1. Makanya ada perpanjangan waktu. Karena agregat tetap 1-1, jadilah Adu Penalti. LIVERPOOL pun menang 4-1. Luar biasa...
Serasa nonton final saja. Mengapa saya maksain nonton LIVERPOOL? Tentu ada sejarahnya. Klub berciri khas kaus merah-merah ini sudah lama menjadi idola saya sejak kecil. Sama halnya dengan PERSIB BANDUNG. Nonton LIVERPOOL ibarat saya nonton PERSIB BANDUNG. Adrenalin naik, teriak secara spontan, itu kenyataan. Ibaratnya, ruh dua kesebelasan ini mengalir deras dalam darah saya. Ketika kalah, pasti ada perasaan sesak. Tapi begitu menang, plong rasanya.
Mungkin itu rasanya kalau sudah jadi penggemar berat. Walau seringnya hanya nonton di televisi, tapi seraya berada di pinggir lapangan. Teriak kencang ketika gol, padahal mess lagi sepi. Melonjak tanpa bisa ditahan, begitu bola mengenai mistar gawang.
Saya tahu LIVERPOOL sejak masih SD, bahkan sebelumnya mungkin. Saya masih ingat Kenny Dalgish, lalu Kevin Keegan (tapi dia hengkang). Tapi tentu yang paling saya ingat, adalah saat final Championship 1985 di Heysel, Belgia. Saat itu LIVERPOOL lawan Juventus. TVRI menyiarkan final pertandingan dua raksasa Eropa. Terjadi kerusuhan, tawuran, antar pendukung kedua kesebelasan. Puluhan orang tewas, kebanyakan pendukung Juventus.
Saya ingat, saat LIVERPOOL diperkuat striker Wales, si burung betet, Ian Rush. LIVERPOOL kalah 0-1. Itu berkat penaltinya Michael Platini, pemain legenda Prancis. Yang lebih menyesakkan lagi, penalti terjadi karena diving Zbigniew Boniek, striker Juventus asal Polandia. Mungkin waktu itu belum ada aturan ketat soal diving ini. Boniek, salah satu ahlinya. Dia dijegal sedikit di luar kotak penalti, tapi jatuh, dan secara melompat, dia berada di kotak penalti. Tanpa ampun, wasit menunjuk titik putih.
Sejarah LIVERPOOL pun suram. Sejak itu, pamor The Reds "Si Merah" melorot, seiring pelarangan UEFA terhadap klub-klub Inggris untuk bertanding di tingkat Eropa.
Tapi saya tetap suka LIVERPOOL. Perjalanannya saya ikuti. John Barnes, itu seorang pemain yang juga saya kagumi. Si hitam yang pintar menggocek bola. Di liga Inggris, waktu itu saingan beratnya adalah Everton, tim sekota, lalu Nothingham Forest. MU, apalagi Chelsea, gak ada apa-apanya saat itu.
Saking nge-fansnya sama Si Merah ini, saya kliping foto-foto dan tulisan dari koran soal Liverpool. Seperti halnya saya mengkliping foto dan tulisan tentang si Bogel, El d'Oro Maradona. Sayangnya klipingan itu hilang entah kemana.
Waktu SMP saya sempat "mendua". Saya menyukai permainan Tottenham Hotspur. Soalnya waktu itu ada Osvaldo Ardilles, seniman bola dari Argentina. Memang Argentina adalah negara bola yang juga jadi idola saya. Jadi saat Ardilles main di Hotspur saya pun jadi suka.
Walau tak intens, saya tetap perhatikan LIVERPOOL. Era 9-an, satu demi satu pemain legendaris LIVERPOOL pensiun. Ian Rush, lalu juga John Barnes, dan lain-lain. Bermunculan pemain muda, tapi saya kurang hapal. Baru saat Robby Fowler masuk, disusul Michael Owen, saya mulai perhatikan lagi LIVERPOOL. Ada Samy Hypia (pemain belakang Finlandia kalo gak salah), lalu kiper David James yang diganti Jerzy Dudek, Stevan Gerrard, dll.
Belakangan muncul Carragher (he nulis gimana ya?, Patrick Berger, sempat pula si bule tapi hitam dari Prancis, Jibril Cisse, Morientes, El Hadji Diouf, hingga era sekarang, Peter Crouch, Craig Bellamy, Dirk Kuyt, Luis Garcia, Gerrard, Xabi Alonso, dan kiper plontos John Pepe Reina.
Memang era 90-an dan 2000-an, LIVERPOOL tak pernah juara di Premiership. Paling-paling juara FA. Tapi berbekal juara FA itu pula, LIVERPOOL berkecimpung di Championship 2005 dan menjadi juara. Di final, yang berlangsung di Istanbul Turki, LIVERPOOL menjungkalkan AC Milan lewat pertarungan dramatis. Kalah 0-3, lalu bisa menyamakan kedudukan 3-3 dalam tempo 7 menit. Saat adu penalti, LIVERPOOL menang 3-2. Jadilah Liverpool juara Eropa untuk ke 5 kalinya.
Semangat The Reds itu yang patut dicontoh PERSIB BANDUNG. Tak kenal lelah mengejar bola, walau sudah tertinggal. Hingga detik terakhir, terus berlari, menggocek bola, mengoper dan menggolkan. Drama tertinggal lebih dulu 0-3 dari AC Milan, itulah yang paling fenomenal.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment