SELEPAS makan pagi, sekitar jam 10.30, di warung makan Sunda Bu Joko di Batam Center, saya meluncur ke kawasan Mega Mal Batam untuk mencari SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Tangki motor saya nyaris kosong. Dengan uang Rp 10.000, tangki sudah full kembali dengan bensin Premium.
Sejak keluar dari mess, saya sudah niat untuk melancong ke daerah Batu Aji dan Tanjung Uncang. Daerah di sebelah barat daya Batam Center. Ini daerah industri galangan kapal yang belum saya injak.
Motor Supra Fit saya melaju tak terlalu kencang. Mungkin antara 40-50 km/jam. Ya di kira-kira saja, karena jarum di speedmeternya sudah tak bergerak sama sekali alias rusak. Arah yang dituju adalah jalan raya besar yang menuju ke Bandara Hang Nadim. Sesampainya di sana, saya ambil jalur ke kanan, menuju ke perempatan besar. Dari situ baru belok kiri menuju kawasan industri Mukakuning.
Tempo hari saya ke Mukakuning untuk menyerahkan piagam penghargaan sponsorship kepada Batamindo. Saat lewat, suasana cukup ramai. Taksi-taksi resmi atau gelap nongkrong di tepi jalan menunggu penumpang. Saya terus melaju menyusuri jalan besar Mukakuning ke arah Batu Aji. Teman-teman bilang, jalan-jalan di Batam tidak susah, karena jalan besar cuma satu. Kalau tersesat juga, pasti kembali lagi ke tempat yang dikenal.
Supra Fit saya pacu agak kencang. Soalnya saya lihat, langit di sebelah kanan saya (berarti sebelah utara) terlihat mulai menghitam. "Ow gawat kalau sampai hujan turun. Di sepanjang jalan ini hanya ruko dan tanah-tanah gersang, jarang tempat yang enak untuk berteduh," pikir saya.
Motor pun melaju makin kencang. Saya melewati kampus Putera Batam. Oh rupanya sudah sampai Batu Aji. Ban motor terus menggelinding menyusuri aspal hitam. Seingat saya, pada peta tergambar kalau arah ke Tanjung Uncang itu akan melewati sebuah pertigaan. Ke arah kanan itu ke Sekupang, dan ke kiri itu arah ke Tanjung Uncang. Berarti saya nanti mesti ambil arah kiri.
Awan hitam makin tampak menggumpal, tetap di arah kanan saya. Saya langsung belok kiri begitu tiba di pertigaan. "Hm, Tanjung Uncang," kata saya dalam hati saat membaca plang billboard sebuah perusahaan.
Masuk ke kawasan ini, pemandangan seperti biasa. Tanah gersang, tapi ruko-ruko tidak banyak. Lalu mulai tampak di kejauhan, tiang-tiang crane tinggi sekali. "Itu dia galangan kapal," kata saya.
Tak lama, tampak warna biru luas terhampar, rupanya laut di seputar Tanjung Uncang sudah terlihat dari jalan. Kondisi jalan di sini tidak mulus. Banyak lubang tak terduga. Dan sebagian tengah diaspal. Mesin-mesin stoomwaals mangkrak di tepi jalan. Tak ada yang mengoperasikan. "Mungkin sedang libur," pikir saya.
Mulailah melewati perusahaan-perusahaan galangan kapal di kiri kanan jalan. Ada Hyundai, ada Overseas, dan macam-macam lagi. Mesin-mesin berat dan besar menjadi pemandangan khas di pabrik-pabrik itu. Sampailah di ujung jalan. Tampak ribuan motor terparkir rapi. Ini mirip dengan suasasa di McDermott, galangan kapal dekat kantor di Batuampar. Kebanyakan pegawainya memang pulang pergi pakai motor. Tak heran, kalau saat waktu masuk dan pulang kerja, bunyi ribuan motor memekakkan telinga seperti suara ribuan tawon mendengung. (eh, jadi ingat Wiro Sableng 212. Suara kapak Naga Geninya seperti suara tawon, kata Bastian Tito).
Saya tak turun dari motor. Hanya memerhatikan suasana sekitar galangan kapal. Tidak pula menjepretkan kamera ke sana ke mari. Maklum, ada beberapa pasang mata, sepertinya tukang ojek, yang memerhatikan saya. Ah, tak enak rasanya diperhatikan orang.
Hanya 10 menit di situ, saya pun segera putar arah, kembali ke jalan semula. Tapi kali ini saya tidak akan lewat Batu Aji. Saya ambil jalur Sekupang. Baru saja melewati pertigaan Tanjung Uncang-Batu Aji, cuaca yang semula panas, tiba-tiba meredup. "Oh, awan hitam rupanya menggelayut di langit Sekupang," kata saya.
Saya berhenti sejenak untuk membuka peta Batam. Saya perhatikan, jalur yang akan saya tempuh nanti melewati sebuah danau atau waduk yang berada di sebelah kiri. Namanya waduk Harapan. Selepas waduk itu, saya harus ambil rute ke kanan untuk menuju ke arah Baloi, Nagoya, atau Batam Center.
Saya pun melajukan kembali motor. Di langit, awan semakin menghitam. Saya pun tancap gas makin dalam. Saya tak sempat berhenti-henti lagi, karena khawatir kehujanan. Terlebih, di sepanjang jalur ini tidak ada bangunan. Yang ada hanyalah pohon dan hutan. Ya, Sekupang memang beda dengan kawasan lain di Batam. Ia adalah daerah resapan air. Masih banyak pepohonan, dan cuacanya pun akrab dengan kulit saya. Maklum kulit Bandung, tak tahan panas.
Dari kejauhan tampak keramaian mobil-mobil yang melintas di jalan raya besar. Itu pasti jalan Sekupang, dan saya harus ambil ke arah kanan. Motor pun melaju kembali setelah dihentikan lampu merah di setopan. Namun, tik, tik. Dua tetes air jatuh dari langit menimpa kaca helm saya. "Wah, mulai rintik nih".
Laju motor pun makin diperkencang. Lepas lapang gol, dekat Tiban Asri, saya ambil jalan lurus. Pikir saya, paling juga ketemu di situ-situ juga. "Sepertinya kenal ini jalan," kata saya dalam hati. Ternyata jalan itu merupakan jalan ke Baloi. Kalau Baloi, pasti nanti melewati Kelenteng itu. Benar, saya lewat kelenteng itu. Dari situ, sudah tak canggung lagi. Saya geber gas motor, karena titik hujan jatuh bukan hanya dua atau tiga, tapi mulai membesar. Saya kebut terus sampai akhirnya bertemu Jalan Yos Sudarso. Dari sini cuma beberapa puluh meter ke kantor. Tepat jam 12.25, saya tiba di kantor. Ruang Redaksi tampak kosong, tapi lampu menyala. Rupanya Eko, lay outer, sudah nongkrong di depan komputer. Hah selamat deh, Kita Bekerja Kembali....(*)
No comments:
Post a Comment