Monday, June 30, 2008

Lagu Gaby Yang Kontroversial

KONTROVERSI lagu yang konon kabarnya dinyanyikan Gaby berjudul "Jauh Kau Pergi" atau "Tinggal Kenangan" masih terus berlanjut. Tak hanya soal siapa pencipta dan pelantun lagu misterius ini, tapi soal band yang pertama membawakannya pun masih simpang siur. Sampai-sampai, acara Silet di televisi membahasnya dalam dua kali penayangan.

Saya tahu soal kemisteriusan lagu ini sebulan lalu. Iseng-iseng cari di internet, eh dapat lagu Gaby ini. Lalu di sebuah portal berita nasional, kemisteriusan lagu ini pun diberitakan. Berbagai versi dan klaim berhamburan dari beberapa pihak.

Versi yang pertama saya dengar, konon lagu ini dinyanyikan si Gaby sebelum dia bunuh diri. Ia frustasi, karena kekasihnya tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Siapa si Gaby itu juga misterius. Katanya dia ini seorang pelajar sebuah SMA. Tempat asal Gaby pun beragam. Ada yang bilang, dia berasal dari Malang, Jember, Bali, dan kemudian Jakarta. Namun saat dicek ke sejumlah sekolah di kota-kota itu, tidak ada yang namanya Gaby.



Soal cerita Gaby versi Jakarta saya dapatkan dari teman sekantor, Nanda. Waktu saya putar MP3 Gaby, dia bilang,"Oh Kang Mac punya juga. Saya udah lama punya, bulan Februari". Menurut Nanda, dia dapat lagu itu dari sepupunya via HP.

Jadi lagu misterius ini beredar dan menyebar secara ekspansif lewat infrared dan bluetooth HP serta internet. Katanya, di Jakarta, anak-anak pengamen di sana yang memopulerkan lagu ini. Di Bandung sendiri, saya belum dengar ada pengamen yang menyanyikan lagu "Jauh Kau Pergi" ini. Entah kalau dalam beberapa hari terakhir ini. Cerita versi Nanda, Gaby ini anak SMA 76 (lupa lagi saya, 76 atau 86). Dia frustasi terus bunuh diri di wc sekolahnya. Halah, semakin horor saja cerita Gaby ini.

Di Jawa Timur, lagu ini sudah beredar di radio-radio kecil sejak akhir tahun lalu. Kabarnya band Caramel asal Malang yang menyanyikannya. Tapi dari Makassar pun muncul klaim. Sebenarnya yang menciptakan dan menyanyikan lagu ini adalah band Caramel Makassar. Suara pengisi lagu adalah vokalis pertama band itu. Suara itu direkam secara tidak sengaja. Lalu setelah vokalis itu diganti vokalis baru, lagu itu ada yang menyebarluaskan.

Kini giliran band dari Cirebon, d'Clov yang mengklaim sebagai pencipta dan penyanyi lagu "Jauh Kau Pergi". Lagu itu, klaim manajer D'Clov diciptakan vokalisnya, Sujana tahun 2004. Namun lagu itu semula diberi judul "Rasa Cinta Yang Hilang" dan dibawakan secara full band.

Entah mana yang benar. Siapa sebetulnya pemegang hak paten lagu misterius ini. Yang pasti, kelompok Dewi-dewi asuhan Ahmad Dani pun sampai menyanyikan lagu ini dalam sebuah acara televisi. Mungkin karena saking terkenalnya lagu ini.
Seperti apa sih lirik dan syair lagu "Jauh Kau Pergi" itu, ini selengkapnya:

Pernah ada rasa cinta antara kita
kini tinggal kenangan
ingin kulupakan semua tentang dirimu
namun tak lagi kan seperti dirimu

oh bintangku
jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu

oh kekasih
jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu

oh kekasih
pernah ada rasa cinta antara kita
kini tinggal kenangan
ingin kulupakan semua tentang dirimu
namun tak lagi kan seperti dirimu

oh bintangku
jauh kau pergi meninggalkan diriku
disini aku merindukan dirimu
kini kucoba mencari penggantimu
namun tak lagi kan seperti dirimu

oh kekasih

Mau dengerin lagu ini? Download aja deh di sini.


Spanyol Robohkan Tembok Jerman

PERMAINAN lugas, efektif, dan cepat, yang diperagakan anak-anak asuhan Opa Louis Aragones merobohkan benteng percaya diri setengah sombong Jerman. Gol semata wayang Fernando "El Toro" Torres di menit 33, membawa Spanyol ke tangga juara Euro 2008.

Akhirnya saya bisa memenuhi janji untuk menonton partai puncak Euro 2008, Senin (30/6) dini hari. Walaupun sebenarnya saya tidak menonton secara full time. Karena seperti biasa, hantu penidur datang menyergap justru saat babak pertama baru dimulai. Itu pula yang menyebabkan saya tak sekalipun bisa menonton pertandingan Euro 2008.(Baca tulisan sebelumnya)



Saya terbangun sekitar jam 03 kurang, dan buru-buru menyalakan televisi. Pertandingan sudah berjalan di menit ke-51 dan skor 1-0 untuk Spanyol. Yah, masih untung bisa menonton sampai tuntas. Soal cara Torres mencetak gol, tinggal lihat saja replay-nya.

Der Panzer Jerman tak berkutik menghadapi permainan tak tik tik tak, sentuhan satu dua, diakhiri umpan panjang ke mulut gawang yang ditampilkan Sergio Ramos, Xavi Hernandez, dan Torres. Michael Ballack yang sebelumnya disebut-sebut tidak akan turun, subuh tadi ternyata main. Tapi seperti dipaksakan, sehingga permainannya tidak optimal. Walau dalam hal penguasaan bola Jerman unggul, Spanyol tetap mendominasi dalam hal penyerangan dan peluang yang tercipta.

Kemenangan ini ibarat merobohkan mitos-mitos yang menjerat Spanyol. Negeri Matador ini selalu kandas di babak-babak awal, paling jauh perempat final, ketika berlaga dalam sebuah turnamen. Kecuali saat Euro 1984, Spanyol lolos ke final sebelum digebuk Michael Platini cs, 0-2.



Uniknya, Platinilah yang kini mengalungkan medali dan menyerahkan piala Henry Delaunay kepada Iker Cassilas sebagai tanda nomor satu sejagat Eropa. Raja Juan Carlos dan permaisuri yang turut menyaksikan partai final sangat bangga dengan prestasi anak asuh Aragones itu.

Tak hanya gelar jawara se-Eropa yang direngkuh Spanyol. Penyerang muda David Villa pun meraih sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak dengan total 4 gol. Lalu Torres terpilih sebagai man of the match pertandingan final. Cassilas pun menorehkan sejarah sebagai kiper sekaligus kapten tim yang pertama bisa menjadi juara Euro.

Perjalanan Spanyol memang perkasa sejak babak awal. Melumat Beruang Merah Rusia, 4-1, lalu menghajar pasukan Viking Swedia 2-1, dan mengandaskan tim Zeus Yunani 2-1. Di perempat final, Spanyol menghancurkan mimpi Italia 4-2. Di semi final, Spanyol kembali mengubur harapan Rusia 3-0. Spanyol memang pantas jadi juara. (*)

Sunday, June 29, 2008

Kaka Juara TK Kecil

JUMAT (27/6), adalah hari terakhir Kaka sekolah di TK Mutiara Ibunda. Hari itu juga sekaligus pembagian raport. Tak dinyana, tak disangka, Kaka Bila didapuk jadi juara kelas TK Kecil Mutiara Ibunda. Ibu Evi, guru kelas TK Kecil, sampai menangis saat memberikan hadiah buat Kaka.

Bu Evi pantas merasa sedih. Pasalnya, Kaka tidak akan sekolah lagi di TK Mutiara Ibunda. Kami sudah sepakat untuk menyekolahkan Kaka di TKA Attaqwa. TK sebelum Kaka di Mutiara Ibunda. Pertimbangannya, tahun depan Kaka sudah masuk SD. Sehingga harus ada adaptasi dengan suasana SD. Hemat kami, Attaqwa bisa seperti itu. Suasananya sudah mirip SD. Satu kelas bisa 20 orang lebih, dengan jumlah guru 2 sampai 3 orang. Nilai plusnya, Attaqwa memberi pelajaran agama yang lebih kepada para murid. Hal lainnya, Kaka sudah akrab dengan suasana Attaqwa, termasuk dengan guru-gurunya. Malah dia bilang,"Aku kangen sama Bu Eneng". Bu Eneng adalah kepala Playgrup Attaqwa, tempat Kaka dulu bermain.



Sementara Mutiara Ibunda, masih menawarkan suasana homeschooling. Terlalu rumahan, sehingga berbeda dengan SD yang akan ditempuh. Selain itu, masa belajar hanya lima hari, Senin sampai Jumat. Dulu memilih Mutiara Ibunda, karena Kaka masih TK Kecil dan kami tidak ingin terlalu direpotkan dengan masa belajar yang tiap hari. Namun karena harus bersiap ke SD, mau tidak mau harus mencari TK yang setiap hari, Senin sampai Sabtu.

Soal juara TK Kecil, kami sendiri kaget bukan alang kepalang. Setahu kami, Kaka itu banyak bolosnya. Izinlah, sakitlah, sampai berhari-hari. Membaca juga belum lancar. Tapi memang kami tidak pernah mensyaratkan Kaka bisa membaca, toh umur dia masih di bawah 6 tahun. Masa belajar membaca justru saat kelas 1 SD.

Bisa jadi, pertimbangan Bu Evi untuk menjadikan Kaka sebagai juara kelas, karena kreativitasnya.  Kaka di kelas memang paling aktif. Menyanyi, menggambar, berhitung, katanya sudah pintar.  Ya kami jelas bangga, dan tentu memberi pujian pada Kaka. Bagaimanapun itu usaha dia untuk mandiri. Terus terang, kami memang kurang membimbing, 
dan memberi ajaran pada Kaka. Hanya sewaktu-waktu, saat kami punya waktu agak luang, itupun tidak intens, untuk mengajari Kaka tentang berbagai hal.

Kami memang bukan orang tua yang baik. Tapi kami berusaha agar anak panah yang kami miliki ini bisa tajam, menggigit, memberi kebaikan pada kemanusiaan, peduli pada kemiskinan, mau memerjuangkan ketidakadilan, kritis pada sesuatu yang tidak benar, dan beramal dengan penuh keikhlasan. Sulit memang. Tapi itulah yang kami mampu sampai detik ini. Karena kami sadari, anak panah itu bukanlah milik kami, kami hanyalah orang yang dianugerahi amanat. Kepada Allohlah anak panah itu akan kami kembalikan, dalam kondisi yang mudah-mudahan terbaik dalam pandangan Alloh SWT. (*)


Saturday, June 28, 2008

Cassa 212 Jatuh: Ingat Operasi SAR Ciremai dan Burangrang

KAMIS 26 Juni 2008, sekitar pukul 11.30, pesawat Cassa 212 milik TNI AU yang tengah mencoba peralatan foto udara digital baru dikabarkan jatuh di wilayah Gunung Salak. Semakin sore, informasi tentang jatuhnya pesawat itu semakin terkuak. Disebutkan, penumpang pesawat itu ada 18 orang, tiga di antaranya adalah warga negara asing.

Tim Search and Rescue (SAR) segera diterjunkan. Ratusan personel TNI dan kepolisian, sipil, pecinta alam, dan warga, langsung bergerak menuju titik yang diperkirakan sebagai lokasi jatuhnya pesawat. Berdasarkan keterangan warga, mereka melihat ada pesawat masuk kabut. Tak lama kemudian, terdengar ledakan. Diperkirakan titik jatuh pesawat berada di sekitar Curug Nangka, Gunung Salak.

Jumat sore, beberapa warga menemukan serpihan logam badan pesawat. Lalu setelah ditelusuri, ada warga yang melihat beberapa jasad penumpang pesawat. Laporan ini disampaikan ke Posko SAR lalu ditindaklanjuti untuk evakuasi jenazah.

Kalau mendengar ada pesawat jatuh, saya jadi teringat dengan dua kejadian pesawat jatuh yang saya liput. Pertama tahun 2001, sebuah helikopter NBO jatuh di punggungan utara Gunung Burangrang yang masuk daerah Cihanjawar Purwakarta. Yang kedua, pesawat latih ringan berpenumpang tiga orang yang diduga hilang di sekitar Gunung Ciremai, awal tahun tahun 2003.

Bila ada kecelakaan seperti ini, tentu bakal digelar Operasi SAR. Nah dalam dua operasi SAR itu, saya mengikuti sampai tuntas. Beruntung, sebagai orang yang sudah bisa naik gunung, hidup di hutan, saya terbiasa dengan operasi SAR semacam ini. Begini-begini juga, saya lulusan Sekolah Pendaki Gunung Wanadri di Bukittunggul. Juga alumni pelatihan SAR di Pusdikpassus Batujajar selain sebagai anggota abadi Club Pecinta Alam Jayawijaya Cimahi.  Tak heran, setiap ada operasi SAR, saya selalu gatal ingin terjun. Sayang, saat kejadian di kawasan Gunung Salak, saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan.

Di Cihanjawar, saya harus bolak-balik Bandung-Purwakarta untuk menuliskan berita. Pagi saya berangkat ke Cihanjawar, sore pulang lagi. Kecuali pada saat hari ke-14, ketika bangkai helikopter berikut jenazah empat awak berhasil ditemukan, terbenam di sebuah lembah sempit, nyaris tak terlihat mata. Saat itu saya tanpa bekal apapun, karena tak mengira akan ditemukan hari itu.

Warga sekitar Kampung Cihanjawar Gunung Burangrang saban sore
menonton helikopter Basarnas yang hinggap di helipad darurat di tengah sawah kering

Persoalannya sederhana saja. Saya, kantor dalam hal ini ,tidak memiliki peralatan penunjang untuk meliput jarak jauh, seperti laptop. Jangan bicara internet, karena kami, wartawan Metro saat itu, tak kenal internet. Jadi satu-satunya cara untuk membuat berita, ya kembali lagi ke kantor.

Namun karena saat itu sudah sore jelang malam, sementara penemuan ini
harus dilaporkan, akhirnya saya melaporkan berita itu via telepon di wartel kecil.
Untuk ke wartel kecil satu-satunya di kampung terdekat dengan Cihanjawar, saya harus menempuh perjalanan 1 jam lamanya. Memang saya dibekali ponsel dari kantor, tapi sinyal XL tak mampu menembus keterpencilan Cihanjawar. Dari wartel kecil itulah, saya melaporkan berita dan teman di kantor menuliskannya.

Karena harus tetap dipantau, saya yang datang tanpa bekal apapun, akhirnya menginap di dekat Posko SAR. Hanya berbekal jaket kulit sebagai selimut dari dingin malam, saya menunggu kedatangan tim evakuasi yang membawa jenazah korban.

Seperti biasa, dalam kondisi seperti itu, informasi pasti simpang siur. Begitu juga saat itu. Ada yang menyebutkan, jenazah akan dibawa pake helikopter di Cihanjawar. Tapi ada pula yang menyebutkan dibawa langsung ke Bandung via hutan Cisarua. Ternyata info terakhir yang benar.

Dari punggungan utara Gunung Burangrang itu, tim evakuasi menandu jenazah memakai bambu dan sarung menuju daerah Cisarua. Tepatnya daerah Pasir Kuning. Ini daerah tempat saya main, berdekatan dengan Legok Haji Burangrang. Dari Pasir Kuning, tim evakuasi terus melaju ke Cisarua, lalu ke Bandung. Sementara saya tertinggal di Cihanjawar dan harus menunggu pagi, baru bisa bergerak kembali ke Bandung.

Sedangkan operasi SAR di Gunung Ciremai, sampai sekarang pesawat yang hilang itu tidak pernah ditemukan. Saya bersama rekan-rekan dari Rimbawan Unwim dan LSM Akar Kuningan menjadi orang terakhir yang bertahan di posko SAR Sadarehe Majalengka hingga pihak Basarnas menyatakan operasi SAR ditutup pada hari ke-21.

Odang (ransel biru), anak Rimbawan Unwim bersalaman dengan Serda Joko
dari Lanud Sukatani Jatiwangi sepulang dari tengah hutan Ciremai
setelah operasi SAR dinyatakan berakhir tanpa hasil.

Seperti biasa, untuk melaporkan berita soal pencarian, saya harus pontang panting Majalengka-Cirebon mencari warnet. Karena Majalengka saat itu belum tersentuh yang namanya internet. Rental komputer pun tidak ada. Isya turun gunung, lalu pagi buta sudah naik gunung lagi.

Entah bagaimana nasib ketiga orang itu. Berbagai kabar beredar. Ada yang bilang, pesawat jatuh ke Telaga Remis. Ada yang bilang disembunyikan siluman Ciremai. Malahan saat pencarian itu, ada yang bilang harus tunggu dulu titah Sultah Sepuh Cirebon, karena yang memiliki hubungan dengan penunggu Ciremai hanya Sultan Sepuh.

Tim SAR pun pernah terkecoh. Seorang warga mengaku melihat benda segitiga mengilap di kejauhan dan memerkirakan itu adalah serpihan logam bagian dari pesawat. Saat tim menuju ke lokasi itu ,ternyata benda segitiga mengilap itu hanyalah cadas gantung yang memang dari jauh mengilap tertimpa cahaya matahari. Hanya Tuhan yang tahu, di mana jasad para penerbang itu. (*)

My Home: Metamorphosis (2)

SENANG bukan main melihat para tukang bekerja. Bekerja cepat, tak terasa bata merah, kusen, tangga beton sudah selesai. Kita lihat perubahannya dari foto-foto berikut:


Foto pertama ini adalah foto tanggal 20 Juni. Diambil dari depan rumah. Bata merah sudah terpasang hingga ring balk. Tinggal meneruskan satu meter lagi bata merah. Dak cor beton untuk topi bagian teras baru dipasang besi-besinya saja.




Nah ini foto bagian yang sama seminggu kemudian atau 27 Juni. Bagian depan sudah penuh tiang kaso untuk menahan cor beton topi teras dan jendela. Mang Idad, tukang bangunan asal Cipongkor lagi nongkrong di atas membereskan cor beton.

Foto tanggal 19 Juni di bagian bakal calon lokasi langga ke lantai dua. A Edi, tetangga depan rumah yang menangani perbesian (kiri), terus Ibu ikut sibuk mikirin tangga, lalu Mas Rikhan lagi mengukur jarak tangga.

Foto di bagian lokasi tangga, 27 Juni. Sudah terpasang tangga beton berikut bordesnya. Tinggal menunggu lantai dua dicor, baru pembuatan tangga dilanjutkan.

Euro 2008: Bentrok dengan Ngantuk

PERHELATAN sepakbola Euro 2008 tinggal menyisakan partai puncak antara Der Panzer Jerman vs El Matador Spanyol. Sebulan kurang seminggu kira-kira hajat yang disebut-sebut sebagai Piala Dunia mini itu berlangsung. Ironinya, saya sebagai penggemar berat sepakbola, kalau enggak bisa disebut bolamania, tidak pernah sekalipun menonton pertandingan seru itu sampai tuntas.

Sepakbola adalah hidup saya. Ha ha, begitu kata pemain bola beneran, seperti Cak Pele  atau Kang Robby Darwis. Kalau bagi saya mah, sepakbola adalah hiburan. Walau sudah menendang bola bliter bercorak kotak trapesium warna hitam putih sejak usia 5 tahun, hingga punya cita-cita tinggi jadi pemain Persib, tetap saja saya enggak bisa jadi pemain bola beneran.
Padahal, kalau soal bakat menggocek bola, membobol gawang, itu sudah bukan urusan saya. Lho? Ya orang lain lah yang ngocek-ngocek bola, menjebol gawang mah. Jadi pemain bola lain urang teh? Nya lain atuh, tetep we urang mah wartawan, ngan resep bola.

Cuma memang, sepak menyepak bola ini sudah mendarah mendaging, hingga badan saya seperti bola. Baruleud jiga bola, he he. Enggak deng, saya tetap kurus kecil, gak gede-gede. Saking maniaknya sama bola, saya mengkliping pertandingan-pertandingan bola kelas dunia. Khususnya pas Piala Dunia dan Euro kayak sekarang ini. Sayangnya koleksi Piala Dunia 1986, hilang saat pindahan rumah tahun 1994 silam.

Saya masih ingat kesebelasan yang saya bela waktu masa kecil dulu. Ada PS Sukajaya (itu nama kampung tempat tinggal saya di Cibabat). Lalu PS Martas (Namanya mengambil dari nama Gang Martasim, tempat tinggal kakek saya di Cihanjuang). Kemudian waktu di SD, masuk PS Angkasa (benderanya pake bendera morse pramuka yang besar itu, terus dipiloks. Yang miloks namanya Heri Juheri, teman akrab saya, anak Gang Panday).

Lalu di SMP, saya ikut ekskul sepakbola, nama klubnya PS Liga Buana. He he hebat amat nama klubnya. Mengalahkan Liga Champion tuh. Itu nama diambil dari nama Toko Olahraga di Jalan Gandawijaya, waktu kita para pemain bola lagi jalan kaki melintasi toko itu.

Di SMA, saya stop dulu bersepakbola ria. Karena lebih memilih main bola di televisi 
alias main Playstation.Selain itu, teman-teman saya se-genk Friday the13th, kurang begitu pandai sepakbola, tapi lebih asyik main basket. Apalagi zaman itu lagi booming Michael Jordan. Jadi basketlah olahraga pilihan saat itu.

Baru pas di bangku kuliahan, sepakbola digenjot lagi. Kali ini bersama barudak HIMSE, Himpunan Mahasiswa Sejarah Unpad. Langganan juara se-Fakultas Sastra. Tiba masa kerja, main si kulit bundar itu tetap tak bisa ditinggalkan. Jadilah saya berada di barisan terdepan Tribun FC.

Tapi tetap saja, sepak bola hanya hiburan bro! Karena untuk tujuan kesehatan pun rasanya enggak kesampaian. Orang gak pernah rutin mainnya juga. Sekarang saja sudah setahun tidak pernah nendang bola lagi. Minggu kemarin diajak buat latihan di Batununggal, saya kelimpungan, karena sepatu bola entah ada di mana.

Balik lagi ke Euro 2008. Selama sebulan terakhir ini, saya belum pernah menonton full time. Paling-paling cuma nonton pertandingan awal jam 11 malam, itu cuma setengah dari babak pertama. Jangan tanya pertandingan dini hari. Saya lebih suka mengalah pada raja kantuk, pada lambaian manis bantal guling, ketimbang nonton teve. Cape bro, seharian kerja terus dari pagi. Padahal dulu-dulu, saya enggak pernah melepaskan mata ini dari teve kalau ada pertandingan bola dunia.

Bukannya tidak ada tim yang menarik. Oh, Euro kali ini luar biasa. Banyak kejutan. Seperti tumbangnya tim dengan nama besar sekelas Prancis dan Italia. Di sisi lain, tim yang dianggap remeh, Turki dan Rusia, bermain luar biasa. Mereka bisa menapak hingga semifinal sebelum kalah terhormat, karena saat meninggalkan lapangan, para pemain memberi hormat dulu kepada penonton.

Akhirnya yang bisa dilakukan adalah menyetel televisi pada pukul 05.30, menanti berita olahraga. Atau menonton siaran ulangan jam 08.00 pagi. Bagi saya itu sudah cukup, yang penting bisa melihat gol-golnya. Jadi kalau orang di kantor ngobrol soal Euro, minimal saya bisa ngomong soal proses golnya dan siapa pencetak gol.

Tapi untuk pertandingan final, saya berjanji untuk menontonnya, apapun yang terjadi. Biarlah mata ini dipaksakan untuk terbuka, belotot memandangi aksi Bastian Schweinsteiger (halah susah amat namanya, pokoknya sodaranya Arnold Schwarzenegger deh atau ponakan Bastian Tito, penulis Wiro Sableng?) sama Fernando Torres. Saya suka Torres yang kemungkinan besar adalah keponakan Tico Torres drummer Bon Jovi itu, karena dia pemain Liverpool. Maklumlah, saya mah Liverpool mania, selain Persibmania.

Yak, kita tunggu saja, siapa yang akan jadi jawara Euro 2008 ini. Apakah David Villa (kabarnya dia ini alumni Vila Merah, cuma malu pake nama Merah di belakang namanya) atau Podolski (he he nama yang menjijaikan...) yang menjadi topskorer tahun ini, kita tonton aja deh. (*)




Thursday, June 26, 2008

My Home: Metamorphosis (I)

SETAHAP demi setahap, hari demi hari, minggu demi minggu, rumah tua itu mengalami metamorfosis. Ibarat seekor ulat yang hendak menjadi kupu-kupu indah, beatiful butterfly, rumah kami pun begitu. Dari mulai dikosongkan, dibongkar, lalu diratakan.


Kaka bermain sepeda di dalam rumah yang sudah dikosongkan
Dibuatkan pondasi, lalu dipasangi batu bata. Dipasangi juga kusen, cor beberapa tiang. Lalu bersiap untuk cor dak beton lantai dua. Begitulah proses pembangunan rumah kami. Saat in memang masih jauh dari sempurna, jauh dari selesai. Walau keuangan terbatas, kami akan sekuat tenaga merampungkan dan mewujudkan rumah ini menjadi seperti yang kami inginkan. Semoga.

Para tetangga bergotong royong membongkar rumah kami.



Genteng rumah pun dipreteli, sebagian dipakai tetangga yang butuh.

Wednesday, June 25, 2008

Mimpi Itu Mulai Mewujud: Rumah Baru

HARI ini adalah hari ke-26, hampir satu bulan, pembangunan kembali rumah tinggal di Babakan Sari. Rabu ini pula hari saya memulai menulis di blog lagi, setelah sekian lama tenggelam dalam jeratan penjara pikiran sendiri.

Ceritanya begini. Sejak awal menikah dulu, sebagai sebuah keluarga baru, saya dan Bu Eri tentu punya cita-cita memiliki rumah sendiri. Namun orang tua punya keinginan lain. Bangun saja rumah lama yang sudah reyot ini, jadikan rumah baru yang lebih bagus.

Mimpi kami, setelah membangun rumah lama di Babakan Sari, mudah-mudahan Alloh SWT memberi rezeki lebih untuk membangun atau membeli rumah sendiri, tidak bersama orang tua.

Karena amanat orang tualah dan tujuan membahagiakan orang tua, nyenangkeun kolot kata orang Sunda, kami pun menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilan kami setiap bulan. Benar kata pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Walaupun tidak jadi bukit uang, setidaknya simpanan itu bisa untuk memulai membangun rumah.

Bismillahi tawakalna alallah, setelah menyiapkan bahan material bangunan beberapa bulan, akhirnya Sabtu 31 Mei 2008, langkah awal mewujudkan mimpi itu pun dimulai. Rumah tempat kelahiran Bu Eri itu pun dirobohkan, rata dengan tanah. Berbagai rasa berbaur. Gembira karena proyek impian sudah dimulai, juga khawatir, takut tak rampung.

Soalnya langkah ini terbilang agak nekat. Karena sebenarnya, uang simpanan tak cukup untuk membangun rumah hingga rampung, atau minimal sampai atap rumah tertutup genteng. Sebelumnya saya dan Bu Eri mengupayakan untuk meminjam ke Bank. Sayangnya, semua bank menolak. Karena rumah kami, terpencil di tengah kampung dengan akses masuk hanya untuk gerobak tukang bakso saja.

Hingga hari ini, lantai bawah sudah hampir rampung. Ada lima orang, sebelumnya enam, yang kerja bahu-membahu membangun rumah dua tingkat ini. Bata merah sudah terpasang setinggi 3 meter lebih. Tangga beton sudah dicor. Sepertinya, minggu depan sudah mulai bagisting (bekisting), menganyam besi untuk dak beton lantai dua. Berarti dua minggu lagi, baru bisa ngecor dak. Mudah-mudahan saja, saya dan Bu Eri dimudahkan dalam urusan rezeki, sehingga rumah bisa rampung.  Setidaknya pada saat Lebaran nanti, kami bisa meninggalkan rumah kontrakan, merayakan hari kemenangan itu dan menerima tamu di rumah baru. Amiin, Insya Alloh.(*)

Memberangus Pembalak Liar

LIMA BELAS tahun lalu, Hutan Sancang adalah hutan yang rimbun dan dipenuhi mitos- mitos peninggalan Pajajaran sehingga dianggap keramat. Tak heran, masyarakat tak berani menjamah hutan warisan dunia itu dan Leuweung Sancang pun terpelihara kelestariannya.

Namun kondisinya pascareformasi jauh berbeda. Belantara Sancang digunduli gergaji mesin. Eksplorasi pasir besi pun menambah Sancang tercabik-cabik. Hutan yang dipercaya sebagai tempat tilem Prabu Siliwangi, raja termashur Pajajaran, itu tak lagi angker bagi para pembalak liar. Mereka semakin berani merambah ke dalam belantara Sancang menebangi pohon-pohon tua.

Peladang pun tak takut lagi membakar ranting dan pohon kecil. Bekas lokasi penebangan pohon mereka jadikan huma. Pembalakan liar dan perambahan hutan inilah yang menghancurkan ekosistem di hutan itu.

Jumlah populasi banteng liar Sancang pun berkurang drastis. Padang rumput yang biasanya menjadi tempat mencari makan, sepi dari kehadiran Bos sondaicus itu. Saking jarangnya banteng-benteng itu terlihat, ada yang berseloroh,"Mungkin banteng-bantengnya berenang ke laut selatan mau nyeberang ke Australia".

Gambaran hutan Sancang itu hanyalah sebagian kecil dari kerusakan hutan di Jabar. Data tahun 2007 Dinas Kehutanan Jawa Barat menunjukkan, luas lahan hutan yang rusak mencapai 608.813 hektare. Hutan Cikepuh, hutan Gunung Kareumbi, hutan di daerah Tomo Sumedang, dijarah. Hutan Gunung Wayang Windu yang merupakan hulu aliran Sungai Citarum juga rusak dirambah. Yang terbaru adalah pembalakan dan perambahan secara liar di kawasan Hutan Cigugur di Kabupaten Ciamis. Ungkapan hutan negara adalah hutan rakyat menjadi slogan yang menyemangati para pembalak untuk memasuki, merambah, menebangi, dan menjual hasil-hasil hutan secara ilegal.

Dari sisi ini, gerak Polda Jabar dengan Operasi Wana Lestari Lodaya 2008 untuk mengurangi, bahkan menghilangkan pembalakan liar, patut mendapat dukungan penuh semua pihak. Tahun 2003, Polda pun menggelar operasi serupa dan berhasil menghentikan pembalakan serta perambahan di Leuweung Sancang.

Tentu yang harus diberangus adalah otak-otak pembalakan liar. Merekakah yang mengendalikan operasi pembalakan hutan dengan mengerahkan orang-orang kecil yang diburu kebutuhan ekonomi.

Bagaimanapun hutan adalah jantung kehidupan, paru-paru dunia. Tanpa hutan, kehidupan ini semakin kering. Padahal untuk merehabilitasi hutan itu tidak semudah saat menghancurkannya. Bayangkan saja, untuk menghutankan kembali lahan yang dijarah dan gundul gersang dibutuhkan 530.261.965 batang pohon. Jika jumlah penduduk Jabar saat ini adalah 40 juta, berarti setiap jiwa setidaknya harus menanam 10 batang pohon untuk menghijaukan kembali tanah Sunda.

Dan itu tentu butuh waktu panjang untuk menikmati kembali kerindangan pohon-pohon di hutan. Menikmati kesakralan Leuweung Sancang dan mengenalkannya kepada generasi mendatang sebagai sebuah warisan dunia yang harus dilestarikan.(*)

Tulisan Sorot, dimuat Harian Tribun Jabar edisi Selasa 24 Juni 2008.

Saturday, June 14, 2008

Tribun Memang Beda

BERBEDA merupakan ciri kami. Kami tidak ingin terlibat, atau terlibas mainstream pemberitaan di Bandung. Itulah tekad kami, para ponggawa Metro Bandung, yang bermetamorfosis jadi Tribun Jabar ini sejak awal.  

Walaupun jumlah personel sangat minim, untuk ukuran koran  yang beredar di Jabar, jauh dibandingkan dengan para kompetitor, kami tetap berupaya keras tidak tertinggal dalam hal penggalian isu dan tetap berbeda. Karena di tengah kumparan media cetak yang begitu dahsyat dengan isu yang sebenarnya sama, maka keberbedaan lah yang menjadi senjata kami.

Contoh paling hangat adalah pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar. Beberapa hari sebelum pelantikan, Tribun sudah meluncurkan isu tentang rumah dinas wakil gubernur Yusuf Macan Effendi atau lebih dikenal sebagai Dede Yusuf. Isunya Dede Yusuf tak ingin menempati rumah dinas wagub di Jalan Dago, karena terlalu kecil dan tidak representatif. Ia ingin yang lebih besar dan luas.  Semula terlempar isu, Dede ingin Gedung Pakuan dibagi dua dengan Ahmad Heryawan. Tapi kabar itu ditampik.


Lalu melesat kabar lainnya, Pemprov menyediakan rumah dinas Kepala Dinas Pendidikan Jabar di daerah elite Rancabentang, Ciumbuleuit untuk dipakai Dede Yusuf. Seperti biasa, semua pihak membantah tentang isu itu. Namun saat open house di rumah dinas Jalan Dago, sentilan Ketua Umum DPP PAN, Soetrisno Bachir tentang kondisi rumah dinas yang kecil dan tidak representatif seakan menegaskan bahwa Dede Yusuf memang tidak mau tinggal di rumah itu.

Yang juga beda adalah pelantikan. Kami perkirakan, semua fotografer pasti akan lebih fokus membidik acara pelantikan di Gedung Merdeka. Sebuah gaya yang konvensional. Mendagri menyematkan tanda jabatan di pundak gubernur dan wagub. Atau yang sudah kami perkirakan, fotografer akan mengambil momen Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf jalan kaki menuju Masjid Raya Kota Bandung.

Ternyata memang benar. Seluruh koran mengambil dua momentum itu sebagai foto master. Tribun tidak. Kami sudah persiapkan sejak awal untuk tidak konvensional. Kami ambil momentum lain, yang jelas berbeda. Fotografer Tribun mengambil momentum saat istri Ahmad Heryawan merapikan jas gubernur di kamar hotel Savoy Homann. Begitu pula, Dede Yusuf, kami ambil momennya saat berjalan dari Preanger ke Savoy.


Berbeda itu menyenangkan dan membuat semangat kami, para awak Tribun, bergairah kembali. Karena hanya dengan berbedalah, kami eksis. Jika tidak, sejak dulu, perahu ini karam.  Doktrin yang selalu kami tekankan pada teman-teman di lapangan: Satu orang wartawan Tribun setara dengan lima orang wartawan lain. Cukup satu orang Tribun untuk menjangkau kepolisian di seluruh Jabar. Cukup satu orang Tribun untuk menjelajah Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat yang luasnya minta ampun. Cukup satu orang Tribun untuk mengkover 5 kabupaten/kota di Pantura: Indramayu, Kota/Kab Cirebon, Majalengka, dan Kuningan. Tribun memang beda.(*)



Non-Ahmadiyah

SURAT keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah disambut beragam respon. Ada pihak yang kecewa karena SKB tidak tegas membubarkan Ahmadiyah, tapi pihak lain berujar SKB itu melanggar hak asasi manusia. Namun itulah, keputusan yang sudah diambil pemerintah, yang dianggap paling moderat.

Di tingkat grass root, muncul kekhawatiran konflik horizontal dengan keluarnya SKB ini. Penempelan stiker non-Ahmadiyah di Parakansalak Kabupaten Sukabumi bisa menjadi trigger pengkotak-kotakkan masyarakat dan tumbuhnya kecurigaan di antara para tetangga satu kampung.



Keinginan para ulama dan umat Islam Indonesia terkait Ahmadiyah ini sederhana saja: larang dan bubarkan Ahmadiyah.  Ahmadiyah dipersilakan untuk membentuk agama baru, jangan membawa-bawa nama dan simbol Islam. Intinya, apabila tidak mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan syahadatnya berbeda, jelas bukan Islam.

Tinggal bagaimana cara memperlakukan warga jemaah Ahmadiyah yang sudah divonis "terlarang" itu. Bagaimanapun, mereka adalah warga negara Indonesia yang juga berhak hidup aman dan tinggal di negeri ini. Berhak mendapat kartu tanda penduduk dan berhak bekerja seperti yang lain.

Terkait keyakinan mereka, ini yang paling sulit. Organisasi boleh dilarang, aktivitas dihentikan, tapi keyakinan mereka siapa yang bisa melarang. Ajaran kepercayaan semisal Kejawen, Jawa Sunda, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa lainnya saja diakui negara. Bahkan kepercayaan yang mencampuradukkan ritual Islam dan animisme pun bisa hidup dan mendapat tempat di masyarakat.

Keyakinan adalah persoalan hati, dan tak bisa diberangus. Sama halnya seperti Bilal, budak hitam legam dari negeri Habsyi, yang harus menderita ditindih batu panas digarang matahari gurun Arab. Ia dipaksa kaum Quraisy untuk meninggalkan risalah yang diajarkan Muhammad SAW, tapi Bilal teguh kukuh memegang Laa ilaha illallah Muhammadurrasulullah.

Kini yang harus dikedepankan adalah peran Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia, termasuk di dalamnya ormas-ormas Islam, semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Di tangan mereka, upaya membimbing warga jemaah Ahmadiyah agar berislam secara benar. Pelajaran saat heboh Al Qiyadah Al Islamiyah beberapa waktu lalu menunjukkan, para pengikut Ahmad Mosadeq, rasul Al Qiyadah, bisa diajak bertaubat dan bersyahadat kembali, asal dengan pendekatan dan pembinaan yang tepat.

Begitupun terhadap aset rumah ibadah warga Ahmadiyah, harus tetap dijaga. Masjid-masjid itu tak perlu dirobohkan. Jadikan saja seperti masjid biasa lainnya dan digunakan untuk seluruh umat Islam, tanpa membedakan organisasi. Hidup berdampingan dalam sebuah lingkaran toleransi tentu lebih indah, ketimbang harus hidup berdarah-darah.(*)
Tulisan Sorot dimuat
Tribun Jabar edisi Kamis 12 Juni 2008.

Tuesday, June 10, 2008

Berteriaklah dan Stres pun Lenyap!

STRES hampir tak lagi bisa dipisahkan dengan gaya kehidupan moderen yang penuh dengan tuntutan dan situasi ketegangan yang mengikutinya. Setiap lini kehidupan manusia modern selalu dilumuri berbagai tekanan yang membuat diri menjadi penat dan tidak nyaman.

John. W. Santrock, seorang pakar psikologi perkembangan mendefiniskan stres sebagai respon individu terhadap lingkungan dan kejadian, atau lebih dikenal dengan stresor, yang kita anggap mengancam, menegangkan dan membutuhkan kemampuan kita untuk mengatasinya. Mulai dari persoalan kenaikan BBM, melambungnya harga kebutuhan sehari-hari, target kerja yang tidak terpenuhi sampai dengan peliknya relasi dengan keluarga atau teman kerja adalah contohnya. Secara substansial stres merupakan kondisi eksternal yang menegangkan, tidak diharapkan oleh seseorang, dan cenderung membuat diri tidak nyaman.



Tidak ada ambang yang objektif untuk menentukan situasi sebagai stresor, namun secara subjektif stres yang dialami seseorang dapat memicu serangkaian dampak negatif. Crowley Jack, Phd, psikolog dari Western Washington University, menjelaskan bahwa secara psikologis, stres dapat memicu terjadinya kecemasan, hilangnya gairah hidup, depresi, bahkan agresivitas yang meningkat. Sedangkan secara fisik stres dapat mengakibatkan instabilitas tensi, gangguan pencernaan, penurunan imunitas, serta percepatan penuaan, bahkan kanker.

Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mengelola stres supaya efek buruknya tidak merebak menjadi hal yang negatif. Mulai dari teknik-teknik spiritual-kultural ; meditasi, terapi aroma, olah pernafasan sampai dengan teknik psikologi moderen ;konseling, refreshing tecnique, manipulasi kognitif ataupun metode transformasi paradigma.

Kemunculan pendekatan tersebut dapat kita lihat dalam berbagai tawaran healing program, pelatihan pengembangan kepribadian ataupun berbagai program konseling yang ditawarkan banyak biro psikologi. Pun tidak bisa dinafikkan bahwa kebanyakan teknik reduksi stres yang sekarang ini berkembang tidak mampu diakses oleh semua kalangan, karena berbagai keterbatasan, juga barangkali kerena eksklusivitas lembaga penyedia jasa.

Nah, sebenarnya ada metode reduksi stres lain yang natural dan pasti aksestebel bagi semua, yaitu berteriak (shout a loud). Secara alami, setiap pribadi pasti pernah melakukannnya dengan berbagai cara saat mengalami ketegangan. Dr.Vincent Tuason, direktur bagian psikiatri St. Paul Ramseu Medical Centre Minesota, menjelaskan bahwa berteriak merupakan sebuah mekanisme pengurangan ketegangan dan ketidaknyamanan yang bersifat alami.

Saat kita tertekan dan dalam kondisi tidak tertahankan, biasanya kita menjadi lebih stabil sehabis berteriak. Teriakan adalah sebuah pelepasan ketegangan (chatarsis). Sementara Prof. Jeffrey Lohr, dari J William Fulbright College of Arts and Sciences, menjelaskan bahwa berteriak memberikan sensasi pengendoran otot yang tegang karena kondisi stres.

Beberapa bukti kultural tentang kebiasaan berteriak sebagai sebuah mekanisme penenangan diri telah dilakukan oleh berbagai bangsa sebelum abad ini. Adalah penduduk yang tinggal di kepulauan Solomon Pasifik Selatan yang menjadikan kebiasaan berteriak sebagai tradisi kultural saat mereka frustrasi dan menemui kesulitan.

Saat mereka mengalami ketegangan, memanjat pohon dan berteriak sekeras-kerasnya dipercaya dapat memberikan pencerahan batin yang menuntun pada kreativitas. Bangsa Persia pertengahan biasa melantunkan doa-doa dengan suara yang keras untuk mencapai ketenangan diri dan ekstase transenden.

Tentu saja, di lingkungan zaman moderen seperti sekarang, kita tidak bisa berteriak sesuka hati karena di sekitar kita telah padat dengan kehadiran orang lain. Berteriak secara primitif justru akan menimbulkan ketegangan baru dengan orang lain yang merasa terganggu, dan stres pun justru akan meningkat.

Berteriak saat stress perlu dilakukan dengan tepat dan pada tempat yang benar. Anand Krishna, seorang praktisi penyembuhan holistik dalam Buku Atma Bodha menjelaskan bahwa kita bisa berteriak melepas ketegangan dengan duduk beralas di tempat tempat nyaman seperti pantai, gunung, dan tempat nyaman lainnya. Di tempat-tempat itu kita bisa berteriak bebas. Barangkali ini adalah sebuah saran untuk berteriak yang sesuai dengan kondisi kita saat ini.

Ketegangan, tekanan, tuntutan di lingkungan kita yang mengganggu kenyamanan diri barangkali adalah sebuah keniscayaan modernitas, namun berbahagialah mereka yang masih bisa berteriak dengan tulus hati.

* Tulisan YB Cahya Widiyanto, S.Psi., M.Si, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, diambil dari Kompas.com.

Membaca Cepat dan Efektif

Pernahkah Anda dibilang "kurang piknik buku"? Atau "kurang panjang napas logika"? Itu karena Anda kurang menggauli buku. Itu karena Anda jarang untuk mengatakan "tidak" membaca buku.

Kalau buku adalah jendela dunia, maka tidak menyentuh buku sama dengan tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa-apa dekat sekali dengan kebodohan. Dan kebodohan masuk dalam kelompok kemiskinan.


Masalahnya, tersebar begitu banyak buku yang terbit nyaris "kesetanan". Terlambat satu buku sama dengan terlambat beberapa beberapa informasi. Supaya Anda tidak terlambat, berikut ini kami sajikan tip membaca cepat cepat dan efektif.



Konsentrasi
Banyak orang menganggap bahwa berkonsentrasi atau memusatkan perhatian pada suatu hal adalah pekerjaan berat dan sulit dilakukan. Apalagi orang berada di tengah himpitan pekerjaan dan kesibukan yang tidak sedikit. Tak heran, perhatian orang sering lari tak karuan ke beberapa hal. Jika anggapan ini masih tetap dipertahankan, kemungkinan besar hasilnya tidak seberapa. Jika Anda membaca buku, tetapi pada saat yang sama konsentrasi Anda terbang ke mana-mana, isi atau pesannya tak akan kuat melekat. Anda mesti ingat baik-baik bahwa berkonsentrasi berarti memusatkan kesadaran. Untuk bisa memahami isi sebuah buku, Anda mesti bisa sadar pada apa yang sedang Anda baca. Itu harus.

Hasrat dan gairah
Untuk bisa tenggelam dan kemudian betah pada halaman-halaman buku, Anda harus punya hasrat dan gairah yang besar. Hasrat untuk memahami isinya dan gairah untuk meraup ilmu dan pengetahuan. Tanpa kedua elemen kunci ini, Anda hanya akan membuang-buang waktu. Tanpa kedua sukma membaca ini, Anda tak ubahnya patung di tengah lautan kalimat, kata, huruf, dan angka yang terbuka lebar. Hasrat dan gairah yang besar akan melecut semangat Anda untuk "menghabisi" isi buku dalam batas waktu tertentu.

"Menghilangkan" suara batin
Anda pasti sering berhadapan dengan godaan dari dalam hati. Baru saja beberapa halaman Anda lewati, muncul suara batin yang menggoda Anda untuk mengalihkan perhatian ke hal-hal lain di luar buku atau tema yang sedang Anda hadapi. Suara batin seperti itu jelas menghambat gerak mata dan kecepatan pikiran Anda. Tak heran, Anda bisa menghabiskan satu atau dua jam di atas satu atau dua halaman buku. Supaya Anda tidak tergoda, apalagi terjebak, Anda harus bisa "menghilangkan" suara itu. Salah satu cara sederhana adalah meyakinkan diri bahwa sekarang adalah saat untuk membaca buku dan mengerti persoalan dan bukannya berkhayal. Usaha ini jelas tak sekali jadi. Butuh keberanian yang besar, kehendak yang kuat dan latihan yang terus menerus.

Gunakan jari sebagai penunjuk
Salah satu cara sederhana untuk menghilangkan suara batin dan mempertahankan konsentrasi adalah melibatkan jari tangan sebagai penunjuk. Banyak orang mungkin beranggapan bahwa campur tangan jari ketika membaca dapat mengganggu konsentrasi. Padahal, gerakan jari tangan justru merangsang kesadaran dan konsentrasi Anda untuk terlibat penuh dan terarah pada halaman dan barisan kalimat yang sedang Anda hadapi. Gerakan jari tangan bisa membuat Anda tetap fokus dan berada dalam kecepatan membaca yang konstan.

Warnai dengan stabilo
Selain dengan jari tangan, trik sederhana lain yang bisa Anda gunakan adalah mewarnai kalimat, frasa atau kata dengan stabilo atau spidol. Kata, kalimat, klausa atau frasa yang digarisbawahi mesti penting dan punya arti. Mengapa? Tidak semua kata atau kalimat dalam buku atau halaman yang dibaca itu penting. Bisa jadi banyak kata atau kalimat yang menjadi penjelasan atau penjabaran lebih lanjut. Di sini Anda ditantang untuk menemukan inti yang tepat. Frasa, kata atau kalimat yang digarisbawahi berguna sebagai benang merah atau penuntun untuk mendapatkan idenya. Jika perlu, gunakan satu atau dua warna untuk membedakan makna dan arti.

Maju terus
Kadang-kadang, ketika Anda sedang membaca sebuah kalimat, Anda merasa ingin membaca keterkaitannya dengan kalimat sebelumnya. Ada baiknya demikian. Tapi jika Anda tetap berpegang pada prinsip itu, Anda tak akan maju-maju. Yang harus Anda lakukan adalah maju terus. Baca terus. Pasti ada penjelasan di depan yang mempertahankan laju pemikiran Anda. Biarkan saja kalimat yang telah Anda lewatkan dan tetaplah fokus untuk membaca bagian selanjutnya.

Yang penting adalah idenya
Seorang penulis pasti tidak ingin memamerkan keindahan kata atau kalimatnya. Yang ia tunjukkan pasti idenya. Dan ide inilah yang harus Anda jadikan hal penting. Karena itu, ketika Anda membaca buku, tangkap dan pahami idenya. Dengan demikian, Anda tidak perlu penghapal barisan kalimatnya. Yang Anda butuhkan adalah pemadatan idenya dalam satu atau dua kalimat. Itu yang penting.

Lompati hal yang tidak menarik
Tidak semua yang ditulis itu perlu diingat. Tidak semua pokok bahasan yang diulas itu penting. Bisa juga ulasan atau rentetan kalimat yang panjang itu hanyalah permainan bahasa semata. Karena itu, lewati saja bagian-bagian yang tidak penting. Itu sebabnya minat yang tadi muncul menjadi sangat bermanfaat di sini.

Setengah jam, setengah jam
Tidak disarankan untuk membaca dua jam penuh sekaligus. Lebih baik dibagi empat sesi, di mana masing-masing sesi berlangsung selama 30 menit plus istirahat 5-10 menit. Menurut penelitian tentang cara kerja otak, otak manusia memiliki kemampuan menerima informasi yang penuh (100 persen) ketika pertama kali membaca. Kemampuan ini akan terus berkurang selama proses membaca. Jeda itu bisa Anda gunakan untuk meneguk segelas air putih, mendengarkan musik, jalan-jalan sebentar atau relaks sejenak.

Membuat peta pikiran (Mind Mapping)
Ini adalah teknik meringkas suatu tema atau pokok pikiran yang ada di dalam buku. Awali dengan menuliskan tema pokok di tengah-tengah halaman kertas kosong, lalu kembangkan seperti sebuah pohon dengan banyak akar. Akar-akar itu adalah penjabaran atau subtema. Dengan cara seperti itu, pikiran Anda akan tertata mengikuti pokok pikiran buku yang sedang Anda baca.

Sekelompok kata atau kalimat
Coba tangkap sekelompok kata dengan mata Anda setiap kali menggerakannya. Jangan tergoda untuk membaca kata per kata atau kalimat per kalimat. Untuk buku-buku berbahasa Indonesia, Anda hanya perlu menggerakkan sekali mata pada setumpuk kata atau kalimat. Demikian pun untuk menerjemahkan kata demi kata. Tangkap sekelompok kata atau sebaris kalimat dan pahami isinya. Itu sudah sangat membantu.
Sumber:
Okezone

Thursday, June 05, 2008

Efektivitas Tung

BELUM usai heboh dana triliunan yang konon dimiliki Ahmad Zaini Suparta, giliran Tung Desem Waringin yang membuat kehebohan. Motivator dan pelatih sukses itu menebar uang, benar-benar uang, plus tiket mengikuti seminar penyemangatnya senilai Rp 100 juta. Ia naik pesawat Jabiru dan melemparkan uang ke udara. Uang recehan Rp 1.000, Rp 5.000, dan Rp 10.000 itu pun jadi rebutan masyarakat.

Di tengah membubungnya harga bahan pokok saat ini, tentu masyarakat akan senang hati dan antusias bila ada orang yang memberi uang secara cuma-cuma. Orang kaya saja minta disebut miskin, hanya untuk mendapat bantuan tunai langsung atau pelayanan asuransi kesehatan untuk warga miskin. Apalagi orang yang benar-benar membutuhkan, pasti akan berjibaku mendapatkan lembaran uang yang melayang-layang di udara itu.
Tung adalah seorang motivator, juga seorang pemasar yang baik. Dan ia tahu benar bagaimana memasarkan produk yang dibuatnya secara efektif. Sebenarnya acara tebar uang itu adalah bagian dari launching buku terbaru Tung berjudul Marketing Revolution.

Selain itu, dengan bagi-bagi uang ini, Tung ingin menyindir kondisi dunia marketing. Saat ini ada dua aliran marketing yang bertempur, aliran mengingatkan dan aliran menawarkan. Apa beda kedua aliran itu? Aliran mengingatkan itu mengeluarkan budget besar untuk promosi iklan yang tidak bisa diukur. Hanya buang-buang uang. Sementara aliran menawarkan, adalah promosi dengan memasang iklan juga dan akhirnya yang melihat akan merespons tapi tidak ada penjelasan mengapa konsumen harus membeli produk yang ditawarkan. Intinya, Tung ingin menunjukkan banyak promosi yang sia-sia untuk memasarkan produknya.

Lalu bandingkan dengan promosi ala Tung. Ia membuat berita besar dengan bagi-bagi uang bercampur tiket seminar itu. Kehebohan segera terjadi. Tanpa perlu pasang iklan, Tung sudah mengiklankan diri di media massa, baik cetak maupun elektronik. Koran ini pun, tanpa dibayar, menjadikan berita heboh Tung sebagai headline. Dan itu promosi gratis.

Tung pun hanya "membuang" uang Rp 100 juta. Bandingkan dengan nilai iklan atau promosi jor-joran produk lain yang nilainya bisa miliaran rupiah, tapi sia-sia. Aksi Tung yang murah meriah ini memperoleh hasil maksimal. Efektif bukan? Dan unsur sensasinya pun muncul.

Sayangnya, acara bagi-bagi uang itu gagal digelar di langit Jakarta. Karena faktor keamanan, acara dipindahkan ke Serang, tepatnya Lapangan Kopassus Serang. Tentu sasaran yang hendak dibidik agak berbeda. Tak heran, yang berebut uang adalah anak- anak dan kaum ibu. Dan mereka mencampakkan tiket seminar Tung yang nilainya jutaan rupiah itu. Seandainya saja, tebar uang itu jadi di Jakarta. Sungguh luar biasa efeknya. Semua orang Jakarta, akan tengadah ke langit, menanti lembaran uang itu tiba di bumi. Buku baru Tung pun akan cepat dikenal, ludes seperti buku sebelumnya.

Nah jika Anda ingin terkenal secara instan, ada dua pilihan. Membual memiliki harta karun fantastis seperti Ahmad Zaini, atau memasarkan diri dengan cara efektif seperti Tung. Tinggal pilih saja. (*)

* Dimuat di Harian Tribun Jabar, edisi Senin 2 Juni 2008.