Saturday, August 30, 2008

Sambutlah Ramadan

DUHAI istriku, tak terasa setahun sudah bertambah perjalanan kita di dunia ini. Kita tiba dan berjumpa kembali dengan bulan yang dinantikan, Ramadan. Bulan yang dirindukan alam semesta akan kehadirannya yang membawa rahmat, berkah, ampunan, dan janji kembali ke fitrah bagi mereka yang takwa.

Masih ingatkah istriku, setahun lalu aku pun menuliskan hal yang sama untuk menyambut Ramadan ini. Tak ingat? Coba klik di sini, pasti kau jumpai tulisanku itu. Tentu tak ingin kujadikan tulisan-tulisan ini hanya sekadar seremoni penyambutan tanpa makna. Sekadar lewat, tanpa ada yang tertinggal di jiwa kita. Kuingin, tulisan-tulisan ini menjadi penyemangat kita untuk berbuat lebih baik, beramal lebih ikhlas, beribadah lebih taat,

Sambutlah kedatangan Ramadan ini, istriku. Sambut dengan lebih bergairah, karena kondisi kita saat ini. Bukankah kita tengah merajut mimpi membangun sebuah rumah dari hasil keringat kita sendiri dan, tentu, meminjam kesana kemari? Di saat keadaan keuangan kita kembang kempis, di sanalah letak pintu kegairahan itu. Puasalah yang menjadi tempat kita berdiam dari keinginan-keinginan duniawi yang berlebihan. Puasalah yang membatasi syahwat ingin memiliki.

Biarlah keinginan itu hanya sekadar keinginan yang melintas saja di pikiran kita. Bukan menjadi tujuan utama hidup ini. Karena yang jadi keinginan utama kita bukanlah itu. Tapi lebih dekat dengan Allah, agar keluarga ini mencapai titik kulminasinya, mawaddah wa rahmah. Jikalah seseorang sudah dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNYA di setiap denyut nadi, tak mungkin ada yang bisa menghalangi kehendak Allah. Apapun yang kita inginkan, Allah dengan mudah bisa mewujudkannya untuk kita. Itu buah dari sebuah kedekatan, istriku. Dan Allah lebih tahu kapan buah itu dipetik dan diberikan untuk kita. Karena itu tak perlu meminta, karena jika sudah waktunya, haqqul yakin, keinginan itu bisa mewujud.

Harus kuakui aku bukanlah imam terbaik yang mampu memandu perahu ini sesuai alur keilahian. Memainkan nada dan irama hidup dalam langgam sunnah Rasul. Sangat jauh, istriku, sangat jauh. Sungguh tidak mudah membawa jiwa-jiwa dalam biduk ini menuju hal yang diinginkan. Tapi semua itu berproses, istriku, dan itulah yang harus ditempuh. Proses itu yang akan membuat kita bisa mencapai derajat tertinggi di hadapan Allah.

Bersyukurlah, karena umur kita masih bisa mencapai Ramadan tahun ini. Dengan segala kerendahan hati, itulah yang menunjukkan Allah masih sayang pada kita. Padahal kita tahu, sepanjang tahun ini berapa banyak dosa yang sudah kita perbuat. Kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Duh, nikmat Allah mana lagi yang harus kita ingkari? Begitu berlimpah nikmat Allah, tapi kita masih saja jauh dari nilai-nilai Illahi.

Mudah-mudahan Ramadan kali ini menjadi bekal dan landasan kita untuk belajar Islam, Iman, dan Ihsan dengan lebih baik lagi. Bukankah anak kita sering berteriak-teriak 165, 165 Yes. 165 adalah simbolisasi Ihsan, Iman, dan Islam, istriku. Jika kita sudah beriman dan berislam dengan benar, tentu keyakinan bahwa setiap langkah hidup tak akan luput dari pandangan Allah tidak akan lepas dari jiwa kita. Untuk menyegarkan kembali ingatan tentang bagaimana persiapan menyambut Ramadan, bisa diklik di sini.

Wednesday, August 27, 2008

Bimbo dan Lagu-lagu Bulan Puasa

BULAN RAMADAN atau puasa sebentar lagi menjelang. bentuk bulan di langit sudah mulai membentuk sabit kecil, tanda akan muncul bulan baru. Kalau tidak salah perhitungan, Ramadan kali ini jatuh pada 1 September atau Senin mendatang.

Tentu banyak cara untuk mengagungkan bulan suci ini. Ibadah, sudah pasti, karena itu yang utama. Tapi tak sedikit yang memuliakan bulan agung itu dengan kemampuan mereka masing-masing, di antaranya dengan bermusik.

Sudah lazim diketahui, setiap bulan puasa tiba, suasana pun berubah menjadi religius. Coba saja tengok, tayangan sinetron di televisi yang semula penuh dengan caci maki, isinya fitnah dan pertengkaran suami istri, intrik keluarga, berubah tema menjadi lebih agamis. Tetap ada intrik-intriknya, tapi dibalut dengan busana keagamaan biar dibilang lebih islami.

Tak terkecuali musik. Musik pun mengikuti arus puasa. Beramai-ramai grup musik mengeluarkan album religi sebelum puasa tiba. Ada Gigi, Ungu, Vagetoz. Lagu-lagu seperti Pintu Sorga Gigi, atau Andai Kutahunya serta Pencari Tuhan milik Ungu wara-wiri di telinga saat puasa tahun lalu. Juga Opick Tombo Ati yang selalu mengeluarkan album sebelum Ramadan tiba. Setelah sukses dengan album-album terdahulu, kini Opick pun mengeluarkan album Cahaya Hati.

Tapi bagi saya, musik di bulan Ramadan lebih identik dengan lagu-lagu Bimbo. Mungkin karena lagu-lagu mereka sudah lama ada dan abadi. Di bulan-bulan lain, boleh jadi lagu-lagu Bimbo tidak begitu banyak diputar, kecuali di radio-radio saat ceramah pagi. Pasti lagu qasidah Bimbo semodel Mari Bergembira, Lailatul Qadar, Tuhan, Rasul Menyuruh Kita, akan sering berkumandang di setiap Ramadan.

Ah, lagu-lagu mereka memang sederhana, tapi menyentuh hati. Coba simak lagu Rindu Rasul. Saya ingat, saat konser 40 tahun perjalanan Bimbo, Teh Iin Parlina menangis saat menyanyikan lagu ini. Begitu menyentuh. Bagi yang ingin mendengar kembali suara Bimbo (Kang Syam, Acil, Jaka, dan Teh Iin) unduh saja di bawah.

1. Bimbo Innaalillah
2. Bimbo Ya Rasul
3. Bimbo Puasa
4. Bimbo Jerussalem
5. Bimbo Nikmat Ramadhan
6. Bimbo Wasiat Tuhan
7. Bimbo Tuhan
8. Bimbo Anak Bertanya Tentang Rasul
9. Bimbo Rindu Rasul
10.Bimbo Harta dan Ilmu
11.Bimbo Al Fatihah
12.Bimbo Jihad
13. Bimbo Taqobballoohu Minnaa Waminkum
14. Bimbo Selamat Datang Ramadhan
15. Bimbo Marhaban
16. Bimbo Sholawat Badar
17. Bimbo Sifat 20
18. Bimbo Do'a khatam Al-Qur'an
19. Bimbo Amanah Tuhan
20. Bimbo Balada SekepingTaman Surga
21. Bimbo Orang Beriman
22. Bimbo Sebuah Masjid

Monday, August 25, 2008

Urgensi Kunjungan

KUNJUNGAN sejumlah anggota DPRD Kota Bandung ke Beijing Cina mengundang kehebohan. Heboh karena kunjungan atas undangan KONI Kota Bandung itu dilakukan setelah seluruh atlet Indonesia sudah kembali berada di tanah air. Heboh karena kunjungan digelar di tengah kondisi masyarakat yang kian tercekik dengan tingginya harga minyak tanah dan naiknya harga sembako.

Belum lagi reda, muncul kehebohan lain, empat anggota DRPD Kota Bandung akan berangkat ke Australia. Mereka diundang Dinas Pariwisata Kota Bandung untuk mengikuti Jabar Expo, promosi pariwisata Jabar di Negeri Kanguru. Dalam tempo beberapa hari saja, belasan anggota dewan bersiap terbang ke luar negeri. Belum lagi ditambah dengan rencana anggota dewan lainnya yang akan berangkat ke Bali, juga untuk studi banding.

Alasan anggota DPRD berkunjung ke Beijing, selain untuk melihat pelaksanaan Olimpiade, juga untuk meninjau sarana olahraga yang dibangun Negeri Tirai Bambu itu. Kabarnya, peninjauan sarana olahraga itu untuk masukan kepada Pemkot Bandung yang juga akan membangun sarana olahraga di Gedebage.

Sementara anggota DPRD yang pergi ke Australia berkilah, kunjungan itu relevan dengan komisi yang mereka garap selama ini. Jadi sah saja berangkat ke sana. Sebenarnya kunjungan kerja ataupun studi banding merupakan hal biasa bagi instansi atau lembaga manapun. Dalam penyusunan anggaran, pasti ada mata anggaran studi banding. Tujuannya jelas, untuk membandingkan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki obyek tujuan, untuk kemudian sejumlah kelebihan dan keunggulan itu diterapkan di lembaga atau instansi yang bersangkutan.

Begitu pula dengan lembaga DPRD. Begitu sering kita dengar berita, anggota DPRD berangkat studi banding ke sejumlah provinsi di Indonesia. Rasanya Bali, khususnya Jembrana, yang paling sering dikunjungi DPRD-DPRD. Karena Jembrana sukses dalam mengelola pendapatan yang kecil namun mampu menyejahterakan rakyat, lewat pendidikan dan kesehatan gratis.

Tapi yang kemudian harus dipertanyakan adalah sejauh mana urgensi dan manfaat studi banding itu bagi rakyat. Dalam pandangan awam, studi banding itu hanyalah topeng untuk menutupi kegiatan jalan-jalan. Karena banyak kejadian, jadwal belanja lebih lama ketimbang studi bandingnya. Sudah berapa sering studi banding itu dilakukan, dan mana manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat. Apakah dengan kunjungan itu kesejahteraan rakyat bisa meningkat?

Itulah sesungguhnya yang harus diawasi, bahkan harus ditagih oleh masyarakat. Jangan sampai program kunjungan ke luar daerah dan luar negeri hanya pemborosan belaka, menghabiskan anggaran. Kesejahteraan rakyatlah yang harus menjadi tujuan dari semua program kegiatan eksekutif dan legislatif. Bagaimanapun, merekalah yang diberi amanah untuk menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Kepada wakil rakyat, aspirasi disampaikan, dan pelaksanaan aspirasi itu ada di tangan eksekutif. Jangan sampai menjadi pemimpin dan wakil rakyat yang tidak amanah, karena berat tanggung jawabnya. Sungguh, berat tanggung jawabnya.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Senin 25 Agustus 2008.

Saturday, August 23, 2008

Tak Ada Habisnya Matahari (2)


Hasil jepretan beberapa hari lalu dari bagian belakang lantai dua rumah yang belum jadi. Sore, saat matahari menyusup di balik gunungan.

Memang tak ada habisnya!

Dari arah balkon lantai dua, dengan bingkai kayu-kayu kaso penyangga beton cor.




Tak Ada Habisnya Matahari (1)

SAYA menyukai matahari. As Syam, dalam bahasa Arab. "Berputar mengelilingi matahari-ku," begitu selalu Jalaludin Rumi memuji sang matahari, Syamsi Tabriz, gurunya dalam bersufi. "Demi matahari dan waktu Duha," begitu kalimat indah yang difirmankan Alloh SWT. Banyak hal yang mengungkap soal matahari. Agnes Monica pun menyanyikan lagu berjudul "Matahariku". Mata-mata terkenal di era Perang Dunia I juga bernama Matahari.

Tak heran, saya sering memotret pesona matahari ini. Sunrise ataupun sunset. Beruntung, rumah yang tengah dibangun sekarang ini memiliki view yang lumayan bagus untuk memandang pesone matahari saat tenggelam di balik gunung. Memang untuk melihat sunrise, agak susah. Terhalang atap rumah orang lain. Tapi kalau naik lagi ke dak di atap, matahari terbit pun akan terlihat. Saat dulu masih rajin ke gunung pun, yang dikejar adalah suasana sunrise. Banyak hal yang tak terungkapkan saat memandang matahari. Di puncak gunung, di pesisir pantai, di atap rumah, atau tempat lainnya. Pemandangan yang tercipta begitu indah.


Foto ini diambil dari halaman rumah kakak saya, masih di Babakan Sari, sore hari, jelang magrib. Efek yang muncul dari perpaduan sinar matahari sore dengan awan, membentuk nuansa yang luar biasa. Kalau diperhatikan, gulungan awan itu membentuk sosok binatang. Entah harimau tengah loncat, entah kelelawar. Tergantung sudut pandang melihatnya.

Kembali Main Bola: Gilas RZ1 5-3

SUNGGUH, kaki ini berat saat kembali menendang bola sepak. Rasanya ada satu tahun saya tidak merumput kembali. Bahkan memang setahun. Karena tahun lalu, terakhir main bola saat melawan tim Perwira Kodim Bandung di Stadion Siliwangi, beberapa hari menjelang puasa. Sekarang pun, seminggu sebelum puasa, saya ikut main kembali.

Namanya setahun tidak main, jelas fisik saya jeblok. Tidak cuma fisik, perlengkapan pun jeblok semua. Saya cari-cari sepatu yang biasa teronggok di rak sepatu, ternyata tidak ada. Tidak hanya itu, di lemari pun tidak pula ditemukan kaus kaki bola. Sejak pindahan rumah ke kontrakan, memang tempat penyimpanan barang-barang tidak karuan. Kemungkinan besar tertumpuk-tumpuk barang yang lain, sehingga susah dicarinya.

Akhirnya berbekal sepatu pinjaman, saya bisa main lagi. Berapa lama saya merumput? Jangan ditanya satu atau dua babak, bisa main 15 menit pun sudah untung. Padahal di lapangan, itu serasa sudah main satu jam. Kok lama sekali sih peluit panjangnya?

Napas ngos-ngosan tak karuan, lutut bergetar tak kuat menyangga badan. Dada naik turun, tanda sesak. Kepala cenut-cenut pusing tak kepalang. Itulah ciri-ciri orang yang tidak pernah olahraga dan sekalinya olahraga langsung sepakbola. Dijamin, pulang nanti badan pegal tak karuan.

Lawan Tribun FC kali ini adalah Rumah Zakat Indonesia (RZI). Berkat lobi teman kami, Teh Tiah, pada Abu Syauqi, pimpinan RZI, bisa juga kami bermain lapang besar. Selama ini, teman-teman sering latihan main futsal saja. Beberapa kali pernah bermain di lapang besar, tapi saya tidak pernah ikut.

Jadwal bertanding di Sesko AD ini sebenarnya jam 7 pagi. Tapi begitulah, teman-teman sulit bangun pagi. Jadi banyak yang terlambat datang ke lapangan. Saya saja harus jam enam pagi dari rumah, agar tidak datang telat. Eh, ternyata baru dua orang pemain Tribun yang sedang nongkrong di tempat parkir. Padahal pemain Rumah Zakat sudah komplit dan tengah pemanasan di lapangan.

Baru di pertengahan babak pertama, bermunculan pemain-pemain lain. Saya sih cukup dah main 15 menit juga. Kasih kesempatan pada yang lain. Padahal memang cuaappe pisan. Pada laga kali ini, Tribun FC yang berseragam kebangsaan merah menggilas RZI dengan skor 5-3.

Lumayanlah, walau main tidak lama, cukup untuk menyegarkan kembali sensor syaraf kaki untuk menendang bola. Memang butuh latihan fisik lagi untuk memulihkan kondisi badan.

Iya juga sih, saya jarang, atau tidak pernah, olahraga lagi. Pernah main basket, tapi cuma beberapa kali. Pernah juga main tenis, itu pun saat pertandingan saja. Selepas itu, ya menggantung raket. Ah, sekarang mah mau olahraga lagi deh. Biar perut ini sixpack lagi kayak dulu, saat masih jadi pemanjat tebing, pendaki gunung, pesebakbola, dan pebasket. Eh, tapi sebentar lagi bulan puasa. Ya nanti saja selepas Lebaran, baru latihan lagi, he he he.(*)

Thursday, August 21, 2008

RS Dustira: Mitos, Horor, dan Sejarah (Seri Sejarah Cimahi)

SUDAH lama saya mencari-cari bahan atau referensi tentang Dustira. Dustira adalah nama rumah sakit militer di Cimahi. Berada tak jauh dari rumah saya. Beberapa kali saya googling, tak ada hasil. Dan membuat saya makin penasaran dengan rumah sakit tua itu.

Yang saya tahu pasti, rumah sakit itu dibangun pada 1887. Itu tertera pada pintu gerbangnya yang gagah: Anno 1887. Awalnya namanya tentu bukan Dustira, karena dibangun di zaman kolonial Belanda. Pembangunannya tentu bersamaan dengan pembangunan fasilitas militer lainnya di Cimahi jadul. Sudah jadi cerita umum, Cimahi memang dipersiapkan Belanda sebagai kota militer penyangga Bandung saat Gubernur Jenderal berniat memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Mengapa saya penasaran dengan asal-usul Dustira? Teman saya, Dore, pernah bercerita soal rumah sakit ini. Kebetulan bapaknya, kerja puluhan tahun di rumah sakit itu. Dustira adalah nama seorang dokter di zaman kemerdekaan. Yang menggiriskan, cerita Dore belasan tahun lalu itu, Dustira meninggal karena bunuh
diri. Hah, benarkah cerita itu?

Cerita tentang akhir hidup Dustira itu yang terus berputar di kepala saya sampai sekarang. Semua serba blank. Patung dada di depan aula sebelah barat yang saya kira Dustira, ternyata bukan. Itu aalah patung dada Singawinata,kepala RS Dustira pertama setelah diserahkan dari Belanda ke tangan Indonesia.

Tak hanya soal kisah akhir hidup Dustira yang mengundang penasaran, rumah sakit ini pun sejak lama diketahui memiliki cerita-cerita horor. Maklum, peninggalan Belanda. Masih menurut cerita Dore, kejadian ini menimpa bapaknya main tenis meja di aula bersama beberapa rekannya. Saat asyik-asyiknya main, tiba-tiba saja ngabelegedeg (apa
tuh..kira-kira artinya muncul secara mendadak), ada sosok tubuh jangkung dan bule melintas di depan mereka. Wah, saat nulis soal ini bulu kuduk saya ikutan merinding. Sontak saja mereka berhenti bermain, melotot melihat si jangkung bule itu melenggang seperti orang, eh hantu, tak punya dosa. Jangan ditanya bagaimana akhirnya, karena mereka langsung kocar kacir tak karuan menyelamatkan muka biar tidak dibilang
penakut.

Ada pula cerita suster jaga malam yang bertemu seorang perempuan berambut pirang di dekat lorong ruang perawatan. Tempat itu berada di sebelah timur, dekat ke tempat penampungan air. Sang suster mengira si wanita berambut pirang itu adalah pasien. Namun begitu melihat si wanita itu berjalan ke arah tempat air dan menghilang, sang suster langsung syok. Mungkin itu hantu Noni-noni Belanda yang pernah dirawat
di situ. Ah, benar atau tidak cerita itu, saya tidak tahu. Namanya juga cerita, dongeng.

Sampai akhirnya saya membaca tulisan dosen saya, Prof Dr Nina Herlina Lubis di Pikiran Rakyat, pagi tadi. Bu Nina menulis soal peranan dokter dalam perjuangan kemerdekaan dan satu yang dibahas agak mendalam adalah Dustira. Bagaimana sejarah rumah sakit militer dan siapakah dr Dustira ini?

Dalam tulisan Bu Nina disebutkan, Rumah Sakit Militer Cimahi didirikan pada 1887. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang.

Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai NICA. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah kerajaan Belanda (1949), Militaire Hospital diserahkan Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol dr Rd K Singawinata. Sejak saat itu, namanya diubah menjadi RS Territorium III dan Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit.

Pada Mei 1956, dalam rangka HUT Territorium III/Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya.

Dustira dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1919 sebagai anak Rd S Prawiraamidjaya. Pendidikan yang ditempuhnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), lima tahun di Bandung. Selanjutnya ia menempuh pendididikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di zaman Jepang disebut Ika Daigaku).

Pada 1945, semua mahasiswa tingkat akhir Ika Daigaku, termasuk Dustira, menyatakan ingin turut berjuang di front Surabaya yang sedang bergolak. Namun keinginan itu ditolak dan mereka diperintahkan menunggu perkembangan selanjutnya. Para mahasiswa tingkat akhir itu lulus dan diberikan ijazah dokter, lalu dilatih kemiliteran di Tasikmalaya sekitar dua minggu.

Selesai pendidikan kemiliteran, dr Dustira ditugaskan ke Resimen 9 Divisi Siliwangi yang menguasai front Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Waktu itu, semua serba kekurangan, baik personel maupun obat-obatan. Dustira berusaha siang malam menolong korban peperangan di front.

Melihatnya banyaknya korban yang jatuh, baik sipil maupun pejuang, Dustira merasa sedih, karena tidak bisa memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api di Padalarang dengan korban ratusan penumpang, Dustira berusaha menolong, namun obat-obatan terbatas. Melihat begitu banyak korban, tanpa dapat
memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr Dustira.

Akhirnya karena kelelahan fisik dan mental, dr Dutira jatuh sakit. Ia dirawat di
RS Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia di meninggal dan dikebumikan di Pemakaman Umum Astanaanyar. Pada 8 Maret 1973, kerangkanya dipindahkan ke TMP Cikutra Bandung.

Begitulah cuplikan tulisan artikel Bu Nina. Itu fakta sejarah, walau saya tidak tahu dari mana sumber tulisan itu karena Bu Nina tidak mencantumkannya. Jika fakta itu kita kaitkan dengan cerita teman saya yang menyebutkan Dustira meninggal secara mengenaskan, rasanya kok ada persinggungan di situ. Bu Nina menuliskan Dustira mengalami tekanan mental yang luar biasa. Ini berasal dari perasaannya yang begitu welas asih, melihat korban perang bergelimpangan namun tak mampu menolong secara maksimal.

Kelelahan fisik dan mental itu membuat Dustira sakit. Sayang tidak disebutkan, bagaimana Dustira meninggal. Apakah saat terbaring tidur di ruang perawatan, atau bagaimana. Apakah kemudian cerita Dore itu yang benar? Ketika sakit, mungkin di puncak rasa putus asa tidak bisa menolong orang, Dustira memutuskan mengakhiri hidup sendiri? Wallahu a'lam.(*)

Ini Bulan Sya'ban

INI Sya'ban, istriku. Bulan, yang kata Nabi kita, sering dilupakan orang. Padahal di bulan inilah, selangkah lagi kita masuk ke Ramadan, bulan paling mulia.
Sya'ban berada di antara bulan Rajab dan Ramadan. Rasulullah mengajarkan untuk lebih banyak puasa sunnah di bulan ini ketimbang di bulan lain. Bulan ini juga bulan diangkatnya amal-amal kita kepada Sang Khalik.

Nisfu Sya'ban sudah lima hari di belakang kita. Pertengahan bulan itu sudah menjauh. Kabarnya di waktu itulah amal-amal perbuatan diangkat ke langit dan catatan perbuatan itu disimpan.

INI Sya'ban, istriku. Tinggal beberapa hari lagi, mungkin seminggu lagi, jiwa kita masuk ke dalam rengkuhan Ramadan. Persiapkan diri kita sebaik-baiknya menyambut bulan suci ini. Alloh masih sayang pada kita, dan memberi kesempatan pada kita untuk menikmati bulan agung itu.

Bersyukurlah dengan semua nikmat yang Alloh berikan. Bersyukur dengan semakin memperbanyak ibadah. Shaum yang kita jalani juga bagian dari syukur itu. Jangan pernah meminta apapun, kecuali keridhaan Alloh. Cukuplah bagi kita, Alloh sebagai penolong.

Ini Sya'ban, istriku. Janganlah lupa...(*)

Tuesday, August 19, 2008

18 Agustus, Sembilan Tahun Lalu

18 Agustus 1999. Jam menunjukkan pukul 10.30. Suasana begitu sunyi. Hanya deru napas dan jantung saya yang mungkin terdengar berdegup kencang. Di depan saya duduk empat orang maha guru. Mata mereka menatap lekat-lekat. Mereka adalah dosen-dosen senior yang siap mencecar, mengejar, bahkan memaki-maki saya. Pembantaian, begitu istilah yang sering dipakai para mahasiswa semester akhir bila bertemu ruang dan suasana seperti ini.

Pak Suhandi, maha guru filsafat, yang suka dipanggil teman-teman sebagai Pak Oleheh. Itu karena dia sering memelesetkan kata oleh menjadi oleheh. Atau kata saudara-saudara menjadi susu dara-susu dara. Beliau mengajar PMKI dan Dasar-dasar Filsafat.

Lalu di sebelah kirinya duduk Pak Sobana Hardjasaputra. Beliau ahli tentang sejarah kota-kota, juga pemerintahan tradisional. Di sebelah kanan Pak Suhandi, duduk Pak Mumuh Muhsin. Beliau Ketua Jurusan Sejarah waktu itu. Spesialisasinya di bidang filfasat sejarah dan filsafat Islam. Kalau sudah bicara hermeunetika, bikin pusing. Mencari makna di balik makna dan kemudian menginterpretasikannya. Begitu kira-kira hermeneutika sejarah bergerak.

Kemudian ada Pak Kunto Sofianto. Terus terang, saat itu saya agak buta tentang keahlian Pak Kunto, karena belum pernah sekalipun diajar beliau. Kebetulan saya kuliah, Pak Kunto pun sedang kuliah S2. Tapi sangat mungkin Pak Kunto dihadirkan dalam sidang saya, karena dia juga memerhatikan perkembangan gerakan tasawuf, terutama yang berkaitan dengan Kejawen dan Kesunden.

Terakhir ada Pak Reiza D Dienaputra. Dosen pembimbing II saya yang turut memberi pertanyaan-pertanyaan menohok tentang Cianjur. Maklum, tesis Pak Reiza membahas persoalan sosial ekonomi Cianjur di pertengahan abad 19.

Harusnya ada satu orang lagi yang membantai saya. Pak Ahmad Mansur Suryanegara. Sayang, beliau datang terlambat. Beliau datang setelah saya selesai dibantai. Padahal, Pak Mansyurlah dosen pembimbing pertama saya yang saya harapkan bisa "sedikit" meringankan beban berat saya di sidang akhir itu.

Skripsi saya membahas tentang Tarekat Naqsyabandiyah dan Pengaruhnya Terhadap Elite Birokrasi Cianjur. Periode yang ditelaah adalah 1880-1888. Dengan skripsi itulah, sidang saya menghadirkan pakar-pakar di berbagai bidang khusus.

Dikepung pakar-pakar ini, mau tak mau membuat lutut bergetar juga. Sudah terbayang bagaimana dibombardir dengan pertanyaan-pertanyaan tajam para mahaguru ini. Seperti halnya Pak Suhandi. Beliau langsung mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan soal hubungan Filsafat dengan Tasawuf atau Tarekat. Beruntung, ini pertanyaan yang sudah saya perkirakan sebelumnya. Saya berulang kali membaca buku Dasar-dasar Filsafat jilid I dan II karya Pak Suhandi. Salah satu bab di buku itu membahas tentang persoalan ini.

Lolos dari Pak Suhandi, giliran Pak Sobana menanyakan sejarah pemerintahan Cianjur. Saya mesti menerangkan dari mulai Aria Wangsagoparana sampai bupati tahun 1880-an. Keringat dingin sudah mengucur di dahi saya. Bagaimanapun tak hanya kronologi yang diterangkan. Tapi filosofi yang terkandung dari hal yang saya terangkan itu.

Kadang-kadang pertanyaan pun tidak berasal dari bahan skripsi saya. Seperti Pak Kunto, yang secara tiba-tiba bertanya,"Kamu sudah merasa manunggaling kawula gusti belum?". Bagi saya ini pertanyaan jebakan, antara benar-benar sebuah pertanyaan dan sebuah gurauan.

Akhirnya saya menerangkan bagaimana proses manunggaling kawula gusti itu terjadi. Dalam tradisi tasawuf ada yang disebut wihdatul wujud, bersatunya Sang Pencipta dengan ciptaannya, dalam hal ini para salik, pengikut ajaran tasawuf. Darwisy, begitu dalam bahasa Persia.

Ibnu Araby sebagai pelopor aliran ini. Di Tanah Jawa, kita kenal nama Syeikh Lemah Abang atau Syeikh Siti Jenar. Dalam tradisi Jawa, manunggaling kawula gusti itu sama dengan Wihdatul Wujud.

Bagaimana dengan gerakan tasawuf di Sunda? Apakah buku Gandasari merupakan bagian dari itu? Itu pertanyaan lanjutan dari Pak Kunto. Lagi-lagi saya pun harus menjelaskan panjang lebar tentang isi buku Gandasar. Bagi saya buku ini mirip dengan Darmogandul atau Gatoloco di Jawa. Saya sering berdiskusi dengan Pak Kunto tentang Kejawen dan Kesunden. Pak Kunto senang sekali jika saya berbicara soal Darmogandul.
Tak heran, pertanyaan itu pun kembali menyeruak dalam sidang terakhir saya itu.

Pak Muhsin yang berpenampilan tenang, menyengat saya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofisnya. Nada bicara Pak Mumuh cenderung pelan, tapi bermakna. Butek sudah otak ini dibuatnya untuk menjawab pertanyaan itu. Karena mau tidak mau, jawaban pun harus filsafati juga.

Pak Mumuh pun menanyakan juga soal asal muasal tasawuf. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus menguras seluruh ingatan dari buku-buku tasawuf yang saya tekuni. Banyak versi tentang asal tasawuf, dan semuanya saya terangkan. "Bagi Anda, tradisi tasawuf itu dimulai dari zaman siapa?". Pertanyaan yang gampang-gampang susah.

Jika salah menjawab, habislah saya. Tasawuf tidaklah diajarkan Rasullullah SAW secara langsung. Semua orang tahu itu. Tidak ada satu pun yang menyatakan tasawuf sebagai jalan Rasul. Karena tasawuf merupakan jalan hati. Jika Fikih atau syariat merupakan jalan lahir, maka tasawuf dan tarekat adalah jalan batin. Saya pun menerangkan hal itu kepada para dosen ini. Memang ada kaum suffah, kaum berpakaian wol yang tinggal di pinggir mihrab mesjid Nabi. Mereka orang-orang yang hidup sederhana dan mencari ilmu langsung kepada sumbernya. Itu pula yang salah satunya disebut sebagai cikal bakal tasawuf.

Namun secara lembaga, atau sebutlah secara trend nya, tasawuf dimulai pada zaman Hasan Al Basri, beberapa abad setelah Rasulullah wafat. Ketika kehidupan zuhud menjadi jiwa zaman saat itu. Ketika pemerintahan Islam tak mampu mengayomi rakyatnya, maka Zuhudlah yang menjadi pilihan dan itu diikuti orang secara massal. Tentu saja, Rasulullah dan para sahabat pun adalah orang-orang yang zuhud. Tapi tak bisa disebut saat itulah tasawuf dimulai, karena tidak pernah Rasullullah memproklamasikan adanya tasawuf.

Nyaris tiga jam saya harus bermandikan keringat, mengempos seluruh kemampuan saya dalam hal ilmu kesejarahan, keislaman, dan kebudayaan. Walau ada pula pertanyaan yang tak mampu saya jelaskan secara rinci, saya bersyukur sidang itu lancar. Baru setelah sidang usai, Pak Mansur pun datang. Beliaulah yang memberi kata atau sambutan penutup, yang masih saya ingat hingga kini.

"Hari ini tanggal 18 Agustus adalah hari bersejarah bagi kalian, dan negeri ini. 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi, BPUPKI menetapkan Soekarno Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Lalu menetapkan UUD hasil rapat PPKI sebagai undang-undang dasar 1945. Kalianlah yang akan menjadi penerus kami. Kalian akan diwisuda dan selanjutnya mengamalkan ilmu yang diperoleh selama di jurusan..." begitu sebagian kata penutup Pak Mansur.

Selain saya, ada dua kakak angkatan yang juga mengikuti sidang hari itu. Kang Nandang dan Bubun, keduanya angkatan 1992. Saya satu-satunya dari angkatan 1994. Juga mahasiswa pertama dari angkatan 1994 yang ikut sidang dan diwisuda. Berarti saya menyelesaikan kuliah dalam tempo 5 tahun.

Sejak awal kuliah, saya sudah mencanangkan target selesai kuliah dalam waktu 5 tahun. Saya sudah mendengar, kuliah di Jurusan Sejarah bisa lama, rata-rata 7 tahun baru beres. Jadi mahasiswa abadi katanya. Itu pula yang sering didengung-dengungkan para senior sejak opsek. "Wah lila siah di Sejarah mah, maneh rek sabaraha tahun kuliah," tanya Kang Aep Sofyan, angkatan 88 yang juga tim kreatif P Project saat Opspek Jurusan, PS2,di perkebunan teh Pangalengan. Saya menjawab mantap,"5 tahun kang".

Ternyata cita-cita itu tercapai. Tepat lima tahun saya bisa lulus kuliah. Sidang tanggal 18 Agustus itu merupakan sidang gelombang terakhir. Kalau saja saya tidak ikut sidang saat itu, berarti saya harus menunda sidang dan wisuda ke bulan November. Wisuda gelombang terakhir saat itu adalah tanggal 25 Agustus. Dengan tekad dan usaha keras, bisa juga saya ikut sidang terakhir.

Sejak semester 6, awal 1998, saya sudah mengajukan bahan penelitian untuk skripsi alias proposal bab I. Bahkan bahan itu sudah diseminarkan dalam sebuah diskusi sejarah terbuka yang digelar di Aula Fakultas Sastra Unpad Jatinangor. Bu Nina H Lubis yang memeloporinya. Dia ingin mahasiswa Sejarah bisa lulus cepat. Karena itu proposal pun harus diajukan lebih awal dan didiskusikan lebih dulu dalam sebuah forum mahasiswa. Di forum itulah, saya mendapat masukan-masukan tentang topik yang dipilih untuk skripsi ini.

Sebenarnya untuk menuliskan skripsi ini tidak butuh waktu lama. Yang lama adalah mengumpulkan bahan-bahan referensi. Kebetulan saya menggunakan bahan arsip belanda. Di cari di Arsip Nasional, dokumen itu tidak ada. Adanya di Arsip Belanda sana. Butuh waktu satu tahun lebih satu bulan untuk mendatangkan arsip itu ke Indonesia. Setelah datang, tak bisa langsung digarap, karena harus diterjemaahkan dulu.

Saya pun pergi ke Yogyakarta menemui Pak Harto Juwono yang pakar menerjemaahkan arsip Belanda. Baru dua bulan kemudian atau April 1999, arsip itu beres diterjemahkan. Setelah itu, lancarlah saya menulis. Bab demi bab saya selesaikan hingga akhir, dalam tempo satu bulan.

Juni 1999, saya mulai bimbingan kepada dosen pembimbing II, Pak Reiza. Hanya butuh waktu dua minggu, untuk bimbingan skripsi setebal 150 halaman itu. Nah, untuk bimbingan ke Pak Mansur sebagai pembimbing I inilah yang jadi persoalan. Skripsi saya ditolak, tanpa sedikitpun dilihat isinya.

Perlu waktu 1,5 bulan untuk meyakinkan Pak Mansur bahwa skripsi ini layak. Selama itu pula, setiap hari saya mengikuti kemanapun Pak Mansur beraktivitas. Mulai berangkat dari rumahnya sampai kembali ke rumah lagi. Karena Pak Mansur tidak pernah memberi tahu agenda hariannya. Jadi Pak Mansur ceramah, saya ikuti ceramahnya. Pak Mansur memberi kuliah, saya ikut kuliah beliau di beberapa kampus swasta seperti STIEB (kini Univ Widyatama) dan Unisba.

Bahkan di Unisba, saya mengikuti pengajian khusus Reboan tentang Tasawuf yang diadakan pascasarjana Unisba. Pak Mansur menjadi salah seorang pematerinya. Dari pertemuan-pertemuan itu saya mendapat masukan untuk memperbaiki skripsi saya. Rupanya begitulah cara Pak Mansur membimbing saya. Secara tidak langsung dari pertemuan, diskusi, ceramah, seminar, dan pengajian-pengajian itulah Pak Mansur memberi masukan.

Sampai akhirnya pada suatu hari di Kampus Unisba, Pak Mansur memanggil saya. "Besok setelah salat Subuh ke rumah saya". Saya sendiri saat itu sudah tidak berpikir lagi soal mengejar target sidang dan wisuda. Bagi saya, skripsi ini dibaca Pak Mansur saja sudah bersyukur. Biarlah target tak tercapai, yang penting selesai," begitu pikir saya.

Mungkin jalan yang harus saya tempuh memang harus berliku dulu, baru setelah itu ada kemudahan. Di rumah Pak Mansur di Margahayu Raya, kami berbincang panjang lebar tentang segala hal. Tentang ke-masagian ilmu, tentang tasawuf, tarekat yang saya pelajari dan tentu tentang sejarah. Tanpa perlu membaca skripsi saya panjang lebar, Pak Mansur mengacc saya untuk maju sidang. "Bismillah, saya tanda tangani skripsi ini untuk sidang minggu depan".

Begitulah perjalanan saya hingga akhirnya bisa duduk di ruang sidang. Semenjak itulah, saya terus mengikuti kemanapun Pak Mansur beraktivitas. Bahkan saat saya sudah bekerjapun, beberapa kali Pak Mansur mengisi acara ceramah buka puasa di kantor saya. Mudah-mudahan Alloh memberikan derajat kemuliaan pada Pak Mansur, keikhlasan untuk ilmu-ilmu yang diajarkannya, dan Insya Alloh ketakwaan. (*)

Monday, August 18, 2008

170808: Babakan Sari Dulur Sapapait Samamanis

MINGGU 17 Agustus. Hari yang ditunggu-tunggu sebagian besar masyarakat, termasuk warga Kampung Babakansari Padasuka, tempat tinggal saya. Di hari kemerdekaan itu, sejumlah acara dan kegiatan sudah menanti. Melepaskan sejenak dari ritme kehidupan, menjauh dari glamour kota berikut debu jalanannya. Membaur bersama sosialita yang nyata: rakyat.

Sejak pagi, saya sudah bersiap-siap. Sehari sebelumnya, saya sudah berniat untuk ikut gerak jalan warga Babakan Sari. Pamflet-pamflet pengumuman ditempel di tembok-tembok gang. Jadi saya yang setiap hari melewati gang sempit itu, tahu kalau ada kegiatan gerak jalan.

Saya ajak Kaka ikut gerak jalan. Biar dia biasa jalan kaki dan tahu lingkungan sekitar. Sayang Bu Eri tidak ikut, karena bebenah rumah yang berantakan. Adik sempat dibawa ke lapangan, tapi diambil lagi karena rute gerak jalan cukup jauh, terutama bagi anak-anak. Selain saya, Mas Rohman dan Mbak Ani serta Fathan dan Farid pun ikutan gerak jalan.

Babakan Sari Dulur, Sapapait Samamanis, itulah slogan yang dipasang Panitia HUT Kemerdekaan di kampung saya. Karena slogan itu pula, kampung nyaris kosong melompong ditinggal penghuninya. Hampir semuanya ikut gerak jalan berhadiah handphone, magicjar, cengcelengan, dan hui sampeu itu. Hanya beberapa orang yang tinggal di rumah, termasuk Bu Eri dan Pak Endo, tetangga, yang jaga gawang.

Jam 08.00, start pun dimulai. Rute yang ditempuh adalah Heleran, masuk ke Panembakan. Lalu ke Gunung Bohong, Pondok Dustira. Tembus ke jembatan Jalan Tol, masuk ke Kampung di bawah gunung Radar. Menyusuri hutan bambu, keluar di dekat TK Attaqwa Cibeber. Tak jauh dari situ, garis finish sudah menanti.

Ya kurang lebih 7 kilometer jarak tempuh yang harus dilalui peserta. Tidak ada juara dalam lomba ini. Ini murni gerak jalan. Hadiahnya hanya bagi pemenang doorprize yang diundi seusai finish sambil dihibur goyang dangdut duo penyanyi organ tunggal.
Selama perjalanan, saya terus ajak Kaka ngobrol. Supaya dia tidak ingat lagi dengan jauhnya rute. Sesekali saya ajak dia untuk menyanyi. Atau bercerita tentang Gunung Bohong, tempat dulu saya berlatih fisik, dan keindahan Gunung Burangrang, yang tersaput kabut tipis di kejauhan utara sana.

Banyak peserta yang kelelahan, terutama anak-anak. Mereka pun dibonceng naik motor. Tapi ada juga anak-anak kecil yang digendong bapak ibunya, atau masih kuat berjalan. Nah saat Kaka bilang cape, saya lalu menunjuk anak kecil itu. "Coba lihat, itu anak kecil masih kuat jalan kaki, masa Kaka yang lebih besar gak kuat?" kata saya. Kalau sudah dibilang begitu, Kaka pun mau jalan lagi.

Di bawah Gunung Radar, lagi-lagi Kaka mogok. Tapi setelah dibujuk, mau lagi jalan. Lewat jembatan tol kedua, saya lihat Mas Rohman dan Mbak Ani tak jauh di depan. Saya ajak Kaka untuk menyusul mereka. "Ayo kejar Bapak sama Bude, sebentar lagi sampe. Atau mau ditinggal sendirian di sini? kata saya. Mujarab. Kaka langsung semangat untuk mengejar Bapak dan Bude nya. Sekitar jam 09.30, kami pun tiba di garis finish, lapangan voli, dengan selamat.

Saya tak menunggu acara sampai selesai. Karena kerjaan di rumah masih banyak. Kebetulan, ada syukuran rumah. Ya sampai saat ini, rumah itu sudah beratap genting. Syukuran kecil saja, membuat nasi kuning lalu disebar ke beberapa tetangga dekat.
Sore hari, saat berbagai lomba digelar di lapangan voli, kami sekeluarga naik motor ke Pasar Atas. Mau jalan-jalan naik delman. Sudah lama Adik tidak naik delman lagi. Kalau Kaka tiap minggu menunggang kuda di Brigif.

Adik yang asalnya terkantuk-kantuk di motor, langsung cenghar, beunta. Dia senang sekali diajak naik delman. Dari Pasar Atas, delman melaju ke daerah Margaluyu menuju komplek Pemkot Cimahi. Dari sana, langsung ke Parapatan Cihanjuang, ke rumah Mama. Soalnya Kaka ribut terus mau ke rumah Nenek, katanya. Eh, sampai di sana, ternyata Mama tidak ada. Ditelepon, ternyata lagi di Soreang. Rupanya sebelum ke Soreang, Mama mampir dulu ke rumah pas kami berangkat ke Pasar Atas.

Seharian itu kami terus bermain. Jarang-jarang saya punya kesempatan luang seperti ini. Mumpung libur klop dengan Bu Eri, kapan lagi bisa begini.(*)

Saturday, August 16, 2008

Gerhana Bulan

SEOLAH menyambut datangnya bulan Ramadan yang tinggal setengah bulan lagi, dini hari nanti (Minggu 17/8) akan terjadi gerhana bulan sebagian. Kira-kira pada pukul 01.30 WIB. Terjadinya bersamaan pula dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-63 Republik Indonesia. Kalau angkasa Bandung cerah, dan diramalkan demikian, kita bisa menikmati Gerhana Bulan Sebagian itu.

Gerhana bulan merupakan fenomena alam biasa. Kali ini, terjadi saat bulan hampir tenggelam di ufuk barat. Ini adalah gerhana terakhir di tahun 2008. Kita baru akan bertemu lagi dengan fenomena gerhana pada awal tahun 2009, yakni dengan Gerhana Matahari Cincin yang bisa terlihat di beberapa tempat di Indonesia.

Gerhana Bulan terjadi saat bulan sedang beroposisi terhadap matahari atau sedang berada dalam fase purnama dan melewati bayangan Bumi. Hal ini menyebabkan terjadinya gerhana Bulan baik gerhana sebagian maupun gerhana total. Jika ingin dibayangkan pada saat terjadi gerhana Bulan, Matahari, Bumi dan Bulan berada pada satu garis lurus dimana Bumi berada di antara keduanya dan menghalangi jatuhnya sinar Matahari ke Bulan. Pada saat gerhana, jika Bulan masuk dalam area Penumbra (bayangan yang kabur atau samar) Bumi, maka tanda-tanda terjadinya gerhana masih sangat kabur namun ketika Bulan masuk dalam umbra (area yang gelap total) maka gerhana Bulan akan dapat diamati. Gerhana Bulan sendiri ada dua yakni Gerhana Bulan Total (GBT) dan Gerhana Bulan Sebagian (GBS). Saat GBT, bulan akan berada di dalam umbra Bumi sedangkan saat GBS, sebagian bayangan Bulan masih berada di penumbra Bumi. Begitu kutipan dari langitselatan.com, situs astronomi Indonesia.

Bagi kaum muslimin, kehadiran gerhana Bulan merupakan momen merenungkan kembali tanda
kemahabesaran Allah, penguasa dan pemelihara langit yang tak pernah mengantuk dan tak pernah tertidur. Umat Islam memberi makna akan kehadiran gerhana melalui shalat gerhana atau salat khusuf. Mudah-mudahan nanti malam bisa salat sunat.(*)

Karnaval Kemerdekaan

TAK terasa sudah mau 17 Agustus lagi. Pasti banyak acara dan lomba menarik untuk memeriahkan ulang tahun ke-63 kemerdekaan negeri ini. Buktinya saja di kantor. Pada Kamis dan Jumat, digelar berbagai perlombaan. Futsal putra putri, nangkap belut, lomba bakiak, dan lain-lain. Sayang, saya tidak ikut lomba apapun. Mau ikut futsal, pertandingannya hari Jumat, padahal itu jadwal libur saya. Dan saya mendapat kabar buruk, dua tim redaksi kalah telak dari bagian lain. Wah...Padahal tahun lalu, saat masih diperkuat saya, Redaksi adalah juara futsal.

Kemeriahan sudah mulai terasa hari ini. Sabtu siang tadi, karnaval kemerdekaan melewati Jalan Ahmad Yani depan Kosambi, dekat kantor saya. Katanya karnaval itu dilepas Gubernur Jabar di Gasibu. Saya cepat bergerak ke Kosambi. Menjepretkan kamera mini digital saya dari atas jembatan rombeng.

Kendaraan hias yang melintas unik-unik. Ada vespa yang disulap jadi helikopter, pesawat tempur, dan tikus. Tak ketinggalan, pasukan sepeda onthel lengkap dengan seragam zaman baheula ikut menggenjotkan kaki beriringan mengikuti karnaval. Lumayanlah, ada kegiatan yang bisa melibatkan masyarakat. Supaya mereka merasakan, negeri ini milik mereka. Negeri yang wajahnya bopeng-bopeng karena korupsi itu tetap milik mereka. Jayalah Indonesiaku!.(*)

Thursday, August 14, 2008

Pramuka dalam Kenangan

TANGGAL 14 Agustus ini adalah hari ulang tahun Gerakan Pramuka. Adakah yang ingat dengan tanggal tersebut? Anak-anak Pramuka yang masih aktif pasti ingat. Tapi bagaimana dengan para mantan anggota, atau mereka yang dulu di SD, SMP, SMA, pernah ikut Pramuka, masih ingatkah dengan organisasi ini?

Ah, mungkin banyak yang sudah tidak ingat, bahkan tidak peduli lagi dengan gerakan anak-anak muda yang satu ini. Kuno, ketinggalan zaman, mungkin begitu hal yang melintas dalam pikiran kalau berbicara soal Pramuka.

Sejarah Pramuka adalah sejarah negeri ini. Bermula dari berdirinya perkumpulan-perkumpulan kepanduan di zaman kolonial Belanda. Padvinders, begitu untuk menyebut kepanduan. Seiring dengan gerakan nasionalis yang makin membara, nama Padvinders diganti menjadi Pandu atau Kepanduan. Muncullah Kepanduan Bangsa Indonesia. Lalu ada pula Hizbul Wathon, kepanduan Muhammadiyah.

Singkat cerita, setelah melalui proses dan fase kemerdekaan, lalu di masa Orde Lama, tahun 1961, ditetapkanlah Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya wadah kepanduan di Indonesia. Sebuah wadah pendidikan bagi anak-anak muda usia 7-25 tahun. Kalau mau tahu bagaimana sejarah lahirnya Gerakan Pramuka secara lengkap, klik saja Pramuka.

Pramuka bagi saya adalah kenangan yang mengasyikkan. Sejak kelas 4 SD saya sudah menjadi anggota Pramuka. Kemping ke Gunung Radar atau sekadar Persami (perkemahan Sabtu Minggu) di sekolah, sering dilakoni. Aktivitas Pramuka memang menyenangkan. Lebih banyak jalan-jalan keluar. Berlatih baris berbaris dan ikut upacara. Saat ada peringatan Hari Pramuka di Stadion Sangkuriang Cimahi, saya menjadi salah satu personel senam Semaphore.

Dua kakak saya juga anggota Pramuka. Mereka sering mengikuti LT (Lomba Tingkat). Malah kakak saya yang pertama, Ma'sum, ikut latihan pramuka di dua tempat. Di sekolah dan di Lanud Husein Sastranegara. Rasanya sampai tingkat SMP, mereka pun masih tetap ikut kegiatan Pramuka.

Sementara saya, saat masuk SMP, tak ikut lagi aktivitas Pramuka. Saya lebih memilih menjadi anggota Passus (Pasukan Khusus). Ini cikal bakal Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera), yang kerjaannya baris berbaris dan mengibarkan bendera. Justru saat itu, saya dan kawan-kawan di Passus bersaing keras dengan anak-anak Pramuka dalam hal prestasi, kemampuan memimpin upacara dan menaikkan bendera.

Passus SMP 3 Cimahi adahal pelopor pasukan pengibar bendera tingkat SMP di Cimahi. Baru setelah itu menyusul SMP 1 membuat Pasti (Pasukan Inti), yang tugas sama: baris berbaris dan mengibarkan bendera. Sementara Pramuka sudah lama eksis di SMP. Tentu prestasinya pun sudah banyak.

Kami pun tak mau kalah. Berbagai lomba PBB kami ikuti dan kami selalu menjadi pemenang. Yang paling mengesankan saat memenangi lomba PBB di Pusdibekang. Kami meraih piala Harry Mukti, penyanyi yang kini jadi ustad, yang adalah alumnus SMP kami.

Balik lagi soal Pramuka. Baru saat di SMA, saya kembali menggeluti dunia Pramuka. Ambalan Sunan Rachmat nama kumpulan pramuka di SMA 2 Cimahi. Dan saya sebagai Pradana alias komandan ambalan. Di SMA-lah, segala bentuk kreativitas dikerahkan untuk memajukan pramuka.

Saya masih ingat saat saya memimpin teman-teman, Dicky Kewoy, Rudi Anduk, Hendi, Indra, Eko, untuk atraksi kemahiran halang rintang di depan siswa-siswa baru. Kalau sekarang ini sedang trend atraksi jumpalitan yang disebut Parkour, saya dan kawan-kawan sudah menggelutinya sejak tahun 89.

Meloncat tembok setinggi 3 meter bukan masalah bagi kami. Padahal badan kami pendek-pendek. Tentu lewat latihan keras dan teknik yang benar, tembok setinggi itu bisa kami panjati dengan mudah. Merayap di tambang yang membentang di tengah lapangan basket, jungkir balik, salto, merayap sambil membawa pasien di bawah ram kawat, sudah biasa kami lakukan. Melewati jembatan goyang, jembatan papan yang digantungkan pada tali, hal yang mudah bagi kami saat itu. Halang rintang, begitu kami menyebutnya. Ternyata, kini jadi Parkour.

Menjelajah dan berjalan kaki adalah kegemaran saya dan kawan-kawan di Pramuka. Sejumlah gunung di Jabar sudah kami daki. Hutan-hutan kami terabas. Pernah dari Banjar ke Pangandaran kami berjalan kaki, untuk menyiapkan tempat perkemahan di tepi pantai. Setiap liburan akhir semester adalah saat paling menyenangkan. Karena kami tentu akan mengisinya dengan penjelajahan baru atau perkemahan.

Itulah pramuka. Selalu menyenangkan, menggembirakan bersama-sama. Sedih pun selalu dihibur dengan nyanyian gembira. Ruang sekretariat Pramuka menjadi markas siang dan malam. Saya sering tidur di sekretariat ini. Melewatkan malam minggu dengan membuat nasi liwet dan api unggun. Besok paginya langsung sekolah. Karena di dalam ransel, sudah tersedia baju ganti.

Senang rasanya mengingat kembali masa-masa aktif di Pramuka. Sayang, saya hilang kontak dengan teman-teman seperjuangan dulu di Ambalan Sunan Rachmat-Inten Dewata. Karib saya, Dicky Kewoy setelah menikah pindah ke Bekasi. Rudi Anduk entah kemana. Hendi setelah menikah pindah ke Madiun. Indra setelah pindah rumah, tidak ketahuan rimbanya. Hassanudin, meski sekuliahan di Unpad, jarang bertemu.

Apalagi teman-teman anggota Pramuka putri, benar-benar hilang komunikasi. Evi Komala masih datang saat saya menikah. Nia Kurniasih, setelah nikah katanya tinggal di Bekasi. Ai Maryani, katanya jadi pegawai RS Dustira, tapi tidak pernah ketemu. Rochayani tidak tahu dimana tinggalnya. Wah, masih banyak teman-teman lain yang tidak bisa diketahui keberadaannya. Oh ada satu yang beberapa kali bertemu, Agus. Dia punya usaha kios bensin di depan kantor Pos Cimahi. Jadi suka bertemu, karena saya selalu lewat jalan itu.

Gimana yah rasanya kalau sekarang berkumpul lagi, kemudian membuat perkemahan besar alumnus Pramuka SMAN 2? Heboh lah pasti. Tapi siapa yang akan mengkoordinirnya? Semua serba sibuk, karena sudah punya momongan. Ya bermimpi sajalah itu terjadi. (*)

Wednesday, August 13, 2008

Remaja Bandung Doyan ML

HASIL survei 25 Messenger Jabar terbaru soal pengetahuan dan perilaku remaja Kota Bandung menunjukkan sedikitnya 56 persen ABG, remaja dan pemuda pada rentang usia 15 hingga 24 tahun sudah pernah berhubungan seks atau making love (ML) di luar nikah. Hubungan seks dilakukan dengan pacar, teman, dan pekerja seks komersial.

Survei itu dilakukan pada rentang waktu Juni 2008 dengan rata-rata responden 100 orang remaja usia 15-24 tahun di seluruh kecamatan Kota Bandung. Selain mereka yang tinggal di rumai, survei juga mengambil responden remaja yang tengah nongkrong di pusat perbelanjaan, mal, dan tempat keramaian lain. Hasilnya, ya itu tadi, 56 persen sudah pernah ML. Rinciannya, 30 persen menyatakan ML dengan pacar sendiri, 11 persen dengan pekerja seks komersial (PSK), dan 3 persen dengan seseorang atau teman yang baru dikenalnya (one night standing).

Perilaku remaja tersebut ternyata tidak dipengaruhi tingkat strata sosial. Bukan hanya remaja dari kalangan kelas sosial rendah yang pernah melakukan hubungan seks, tapi di tingkat strata yang lebih tinggi, perilaku semacam ini juga terjadi. "Kondisi ini sudah mendekati parah," begitu kata Kristian, Ketua 25 Messenger Jabar sebagaimana diberitakan Tribun Jabar, Rabu (13/8).

Bahkan tingkat pendidikan juga tidak memengaruhi prilaku mereka berhubungan seks. Ini bisa diketahui dari hasil survei pengetahuan remaja mengenai HIV AIDS dan penularannya. Ternyata, pendidikan tinggi tidak menjamin pengetahuan mereka tentang HIV AIDS lebih baik dibanding mereka yang berpendidikan rendah.

Hasil survei juga menunjukkan tingkat pendidikan rendah berpengaruh terhadap perilaku menonton film porno. Semakin rendah pendidikan, semakin banyak yang menonton film porno.

Selain dari tontonan film porno, pengaruh lainnya didapat dari internet, dan gambar porno via ponsel. Yang cukup mengejutkan, mayoritas remaja/pemuda di rentang usia 15-24, baik laki-laki maupun perempuannya, pernah menonton film porno. Mayoritas lewat VCD/DVD, atau diperoleh dari internet, atau kedua-duanya.

Pengaruh lain dalam perilaku seksual remaja antara lain seringnya orang tua bertengkar serta perceraian orang tua. Dari hasil survei, remaja yang orang tuanya kerap bertengkar membuat mereka mengalihkan kejenuhan tersebut dengan berperilaku menyimpang dengan melakukan hubungan seks.

Hasil survei lain menunjukkan bahwa remaja yang tidak aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler dan keagamaan sangat memengaruhi perilaku seksual mereka. Diketahui pula mereka yang tidak aktif cukup banyak yang melakukan hubungan seks karena tidak adanya kegiatan lain dan sebaliknya.

Namun yang mengejutkan, ada beberapa responden yang aktif dalam kegiatan keagamaan tapi tetap melakukan hubungan seks bahkan dengan PSK. Dengan perilaku yang demikian, ujar Kristian, 40 persen responden ternyata bergonta-ganti pasangan. Ini menunjukkan ada kecenderungan peningkatan tertular HIV postitif.

Ya melihat angka-angka itu sebetulnya sudah bukan hal mengejutkan lagi. Karena dari dulu juga Bandung mah sudah terkenal dengan urusan eseks-eseksnya. Kasus Nanda dan Adi dengan Bandung Lautan Asmaranya, hanyalah puncak gunung es. Yang lainnya, lebih banyak lagi. Tapi ini jadi warning bagi kita para orang tua agar lebih ketat mengawasi anak-anaknya. Tentu bukan dengan cara mengekang kreativitas mereka, tapi memberi rambu-rambu mana yang boleh dan tidak. Kondisi di rumah juga harus diperhatikan, agar tidak menjadi alasan anak lari dari keadaan yang membuatnya terhimpit. (*)

Tuesday, August 12, 2008

Republik Oyek

GEGAP gempita pemilihan kepala daerah di sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Barat akan terus berlangsung hingga akhir tahun ini. Setelah Pemilihan Wali Kota Bandung usai, akan menyusul keramaian pesta demokrasi di Kabupaten Bogor, Garut, Subang, Cirebon, Ciamis, Banjar. Kuningan, dan Majalengka. Riuh rendah kampanye membuat perhatian masyarakat berpaling pada para kandidat yang akan berlaga. Walaupun ada juga janji untuk mengangkat derajat masyarakat dari lembah kemiskinan ke puncak kesejahteraan, kita tahu bersama itu hanyalah omong kosong belaka.

Coba kita tengokkan perhatian sejenak ke Kampung Cigaraksa, Desa Kaputihan, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya. Sudah sebulan terakhir ini, warga Cigaraksa mengonsumsi nasi oyek. Nasi oyek adalah nasi yang terbuat dari singkong. Singkong yang sudah dikupas, direndam semalaman dalam air garam. Setelah itu singkong diparut dan dijemur. Jika sudah kering, parutan singkong dicampur parutan kelapa. Barulah ditanak seperti halnya menanak nasi.

Rasa nasi Oyek ini tentu asin-asin gurih. Rasa gurih itu berasal dari parutan kelapa dan garam. Dan itu cukup untuk menenangkan gemeretuk bunyi perut yang keroncongan. Tapi warga yang tak biasa makan oyek, jangan harap bisa menikmatinya dengan nyaman. Hanya karena dibujuk saja, seorang anak akhirnya mau mengunyah gumpalan oyek ini.

Warga Cigaraksa tak mampu membeli beras sekalipun. Itu disebabkan daya beli yang begitu rendah, sehingga tak cukup untuk membeli bahan makanan pokok. Kekeringan yang menyergap di musim kemarau ini juga menyebabkan lahan mata pencaharian mereka menyusut. Tak ada lagi sawah yang bisa digarap. Tak heran, bertemu dengan nasi adalah hal yang paling mewah.

Keluarga Een adalah salah satu potret mikro warga Cigaraksa ini. Een mempunyai sebuah keluarga besar dengan sembilan orang anak. Dan anak bungsunya kini tergolek di ranjang rumah sakit karena menderita gizi buruk.

Inilah potret kemiskinan yang terpampang lebar di depan mata kita. Tapi kita terasa begitu jauh dari mereka. Kepedulian kita, bagi sebagian masyarakat yang peduli, ternyata tak menjangkau kehadiran warga miskin Cigaraksa ini. Sangat mungkin kepala daerah pun tak tahu ada warganya yang begitu menderita, nyaris kelaparan.

Seandainya Umar bin Khattab, khalifah kedua, masih hidup di tahun ini, dia pasti akan lintang pukang memikul karung-karung beras. Karena tak hanya satu rumah saja yang dihiasi jerit kelaparan penghuninya, tapi banyak rumah dan di banyak tempat.

Bagi warga Cigaraksa, republik ini ternyata tak mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Karena yang disejahterakan hanyalah segelintir elite-elite pemimpin beserta kaum komprador di lingkaran kekuasaan. Di atas penderitaan rakyat, singgasana pemimpin itu berdiri.

Mereka hanya bisa bertahan hidup di Republik Oyek. Republik yang hanya bisa menyuplai oyek-oyek ke piring-piring mereka. Nasib mereka sederajat dengan warga di pesisir utara yang makan nasi aking atau roti buluk, sekadar mengganjal perut.

Dibutuhkan sebuah gerakan kepedulian secara massal dan nyata, tak hanya seremonial, agar tidak muncul anak-anak generasi Oyek. Program-program kesejahteraan dari pemerintah dan segenap potensi lainnya harus lebih fokus dan tepat sasaran. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, pemerintah dan kita yang secara ekonomi terbilang mampu sudah berlaku zalim.(*)
* Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 13 Agustus 2008.

Monday, August 11, 2008

Emmons, Peraih Medali Emas Pertama Olympiade Beijing

OLIMPIADE, pesta olahraga sedunia, kini tengah berlangsung di Beijing, Cina. Dibuka tepat pada tanggal keramat 08-08-2008 pukul 08.08 malam oleh Presiden Cina (sapa yah namanya, lupa...). Tak tanggung-tanggung, untuk membuat olimpiade Beijing 2008 sebagai event olahraga terbesar sepanjang masa, pemerintah Cina menggelontorkan dana nyaris 400 triliun untuk membangun berbagai fasilitas. Olimpiade Yunani tahun 2004 saja hanya menghabiskan Rp 144 triliun. Sementara Olimpiade Sydney 2000 hanya menelan dana 23 triliun saja. Irit banget.

Gile bener. Kalau dana seguede gitu diberikan kepada seluruh rakyat miskin di Indonesia, dijamin haqqul yakin, tidak bakal ada lagi orang melarat di kolong jembatan. Kaum duafa akan sulit ditemukan. Mungkin...

Uang triliunan paling banyak digelontorkan untuk membangun Stadion Utama Beijing atau disebut juga Bird Nest, stadion sarang burung. Itu karena arsitekturnya mirip dengan sarang burung. Stadion megah ini berkapasitas 91 ribu tempat duduk.

Lantas siapa yang memecahkan telur sebagai peraih medali emas pertama di Olimpiade termahal ini? Ternyata atlet menembak asal Republik Cheska, kita sering menyebutnya Cheko, Katerina Emmons, yang meraihnya. Emmons menjungkirkan harapan besar petembang Cina yang ingin merebut emas pertama di cabang menembak 10 meter putri.

Bagaimana kiprah Indonesia di event olahraga empat tahunan ini? Cukup bagus. Yang pasti, Indonesia ingin memertahankan tradisi meraih emas, walau cuma satu, di Olimpiade. Tradisi ini diawali Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang mengawinkan medali emas tunggal putri dan putra di cabang Bulutangkis Olimpiade Barcelona 1998. Mudah-mudahan tahun ini pun bisa berjaya. Go, Fight, Win.(*)

My Home Metamorphosis (6): Berkibarlah Benderaku

ALHAMDULILLAHIRABBIL ALAMIN. Hanya puji dan syukur yang bisa saya panjatkan kepadaMu, Ya Rabb Penggenggam Jiwa, Pengatur Rezeki, Yang Maha Sayang dengan Segala Kasih Sayang.

Sejuta syukur ini tidak akan mampu membalas kasih sayang Alloh SWT. Tidak untuk setiap napas yang saya hirup setiap saat. Tak mampu saya hitung, dan memang tidak ada satupun yang mampu menghitung seberapa banyak nikmat yang telah Alloh berikan.
Beruntunglah mereka yang selalu bersyukur, menyebut AsmaMU di setiap langkah dan gerak, dan setiap helaan napas ini. Karena janjiMu, mereka yang bersyukur, akan ditambah kesenangan, kenikmatan, rezekinya.

Ahad jelang sore kemarin, bendera Merah Putih telah berkibar di puncak atap rumah. Ya, bendera baru itu ditancapkan Mang Idad, sesaat setelah pekerjaan memasang kuda-kuda dan balok atap rampung. Entah kenapa, masyarakat di sini punya kebiasaan untuk memasang bendera dwiwarna itu di atap. Mungkin itu sebagai tanda syukur karena pekerjaan-pekerjaan berat sudah dilalui.

Saya setengah tak percaya mendapat kabar balok kuda-kuda atap sudah dipasang. Karena perkiraan saya, paling tidak baru hari Kamis bisa beres. Minggu pagi sampai siang, para tukang masih getrak getruk, potong kayu, untuk kuda-kuda. Ibu yang menelepon langsung menanyakan kapan akan syukuran. Karena adat setempat, kalau sebuah rumah sudah rampung bagian atap, suka ada syukuran. Saya bilang, hari Minggu depan saja, bersamaan dengan 17 Agustusan. Hari Kemerdekaan Indonesia.

Bagi saya, dipasangnya kuda-kuda atap semakin mendekatkan pada target awal mimpi bersama. Lebaran bisa menempati rumah itu, apa adanya. Sebentar lagi, atap itu akan bergenting. Genting sudah siap, 2.500 buah plus 100 wuwung dan 2 triple way. Genting itu beli dari teman, yang uwaknya punya usaha jualan genting di daerah Ujungberung.

Mewujudkan impian itu memang tak bisa dalam sekejap mata. Butuh perjuangan dan keinginan kuat. Namun saat proses berlangsung, justru di sana kenikmatan yang bisa dirasakan. Bata terpasang, kusen terpasang, mulai cor beton, terus hingga membentuk bangunan rumah. Sedikit demi sedikit, semangat terpompa melihat perkembangan rumah. Itulah memang proses yang harus dijalani, setapak demi setapak. Baru bisa mewujud.
Dan kini, sang Merah Putih sudah berkibar. Walau uang di tangan sudah habis, saya tetap yakin, rumah ini akan mewujud. Insya Alloh.(*)

Sunday, August 10, 2008

Kang Dada Kembali Memimpin

CALON Wali Kota Bandung yang diusung Partai Golkar, PDIP, dan belasan partai lainnya, Dada Rosada, memenangi kembali pemilihan wali kota Bandung, hari ini. Dada berpasangan dengan Ayi Vivananda.

Kemenangan Dada-Ayi ini didasarkan pada hasil quick count Lingkaran Survei Indonesia LSI) pimpinan Denny JA. Dada-Ayi mendapat 64,37 persen, Taufikurahman-Abu Syauqi Trendi) memperoleh 26,07 persen dan Hudaya-Nahadi (Hadi) hanya 9,56 persen. LSI juga menyebutkan pemilih yang tidak memilih, golput dengan berbagai alasan, sebanyak 34 persen.

Persis seperti kekhawatiran saya beberapa waktu lalu, jumlah warga Kota Bandung yang golput tergolong banyak. KPU Kota Bandung saja menargetkan hanya 20 persen yang golput, ternyata tekor. Memang 34 persen ini di masih di bawah partisipasi saat Pilgub kemarin. Tapi ini adalah peer bersama agar seluruh warga benar-benar bisa berpartisipasi secara utuh dalam membangun demokrasi.

Sebagai sebuah kota besar dengan tingkat intelektualitas masyarakatnya yang cukup tinggi, Bandung memang sudah diramalkan akan memiliki tingkat golput tinggi. Di sinilah, sesungguhnya peran sentral KPU untuk jauh-jauh hari menyosialisasikan soal Pilwalkot. Sayangnya, KPU Kota Bandung masih seperti KPU yang lain. Menggeber sosialiasasi di akhir atau jelang pemilihan berlangsung.

Pemimpin Kota Bandung sudah terpilih. Kini saatnya Kang Dada dan Kang Ayi menyatukan seluruh potensi kekuatan masyarakat. Tentu untuk mencapai apa yang menjadi visi dan misi Kang Dada-Kang Ayi 5 tahun ke depan. Untuk menuju Bandung Bermartabat, masih banyak pekerjaan yang belum selesai. Selamat bekerja Kang Dada-Kang Ayi.(*)

Monday, August 04, 2008

Lagu-lagu Lawas

SEMINGGU terakhir ini, speaker komputer saya di kantor memekikkan lagu-lagu lawas Indonesia. Lagu-lagu yang diputar adalah kepunyaan The Rollies, Godbless, Gank Pegangsaan, dan Koesplus. Saya memang dibesarkan di zaman lagu-lagu itu beredar. Dulu saya menyangka The Beatles menjiplak gaya bermusik Koes Plus. Padahal terbalik, justru Koes Plus yang mengikut The Beatles.

Ya, lumayanlah lagu-lagu itu bisa menyegarkan ingatan dan menumbuhkan semangat kembali. Bukankah sejarah atau masa lalu adalah batu pijakan untuk meloncat lebih tinggi dengan semangat 2008, bukan lagi 45, berbuat lebih baik lagi dengan energi terbarukan yang luar biasa? Itu maksud saya dengan mendengarkan kembali lagu-lagu lawas.

Tentu lagu-lagu itu yang mengandung unsur rock di dalamnya, seperti kesukaan saya. Musik rock tahun 70-an dan 80-an, bukanlah rock yang gahar. Rock yang easy listening dan tidak bikin telinga berdenging. Tapi rock yang garang, metal, berdentam-dentam pun saya tetap suka. Tak ada beda. Malah semangatnya sesuai jiwa zaman. Bergerak ekspresif, mencirikan jiwa-jiwa yang merdeka, tak tertindas. Pernah seorang kawan bilang,"Loe suka lagu rock, soalnya nama lu ada rocknya". Hmm, bisa juga.

Merinding rasanya mendengar kembali suara Gito Rollies, atau jeritan Deli Rollies dalam lagu Kemarau. Maklum, mereka sudah almarhum. Asyiklah dengar lagu-lagu James Brown-nya Indonesia, Bangun Sugito. Saya masih tongkrongan dia saat bermain ke rumah tetangga saya di Cimahi dan belanja di warung Bapak saya. Mudah-mudahan Alloh SWT menerima amal ibadah Kang Gito.

Lalu mendengar suara Ahmad Albar, jadi ingat nasib dia. Dulu Albar pernah menyanyikan lagu yang liriknya antara lain berbunyi : "...Sepinya hidup dalam penjara... Rasa sesal dan rasa bersalah. Bayangmu, wajahmu, datang menggoda...". Eh, ternyata dia mengalami sendiri hidup di penjara. Syukurlah, rocker gaek itu sudah bebas kembali.

Gank Pegangsaan, ini gank yang melahirkan musisi-musisi handal Indonesia. Chrisye adalah jebolan gank ini. Begitu pula dengan Fariz RM. Di bawah komando Keenan Nasution, grup yang satu ini punya daya magnet yang membuat kita lengket mendengar lagu-lagunya. Sayang, saya tidak punya banyak lagu-lagu mereka. Seadanya saja saya tampilkan di sini untuk diunduh.
Silakan:
1. The Rollies: Kemarau
2. The Rollies: Burung Kecil
3. Godbless : Huma di Atas Bukit
4. Godbless : She Passed Away
5. Godbless : Balada Sejuta Wajah
6. Gank Pegangsaan: Nuansa Bening
7. Gank Pegangsaan: Dirimu

Saturday, August 02, 2008

Nonton G-Pluck di Sabuga

AKHIRNYA kesampaian juga untuk menyaksikan penampilan G-Pluck, band jiplakan The Beatles van Bandung, Kamis 31 Juli di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB. Semua serba kebetulan. Kebetulan koran terbitan Jumat didominasi pengumuman SNMPTN, sehingga deadline maju tak tanggung-tanggung. Semua harus beres sebelum magrib.

Jadi selepas Magrib bisa santai atau langsung pulang. Tentu saja ini kesempatan yang terjadi setahun sekali, bisa selesai dan pulang Magrib. Kebetulan kedua, Budi orang promosi memberi saya dua tiket nonton acara di Sabuga itu. Katanya ada kerjasama iklan dengan Trijaya selaku sahibul bait acara.

Ya sudah, kesempatan emas itu tak disia-siakan. Saya kontak Bu Eri, mengajaknya untuk menonton di Sabuga. Untuk sementara, rehat dulu lah dari kesibukan di kantor dan rumah. Sekali sekali boleh dong.

Janjian ketemu jam 7 malam di kantor Jalan Malabar. Acara memang dimulai jam 7, tapi kami tak langsung ke Sabuga, tapi ke Landmark Braga dulu untuk beli mainan Adik dan Kaka.

Keluar dari Landmark, hujan menghadang. Tanggung sudah diniatkan untuk menonton, kami tancap gas terus menembus hujan, yang ternyata deras juga, menuju daerah belakang kampus ITB itu.

Saya masuk ke Sabuga dengan kondisi celana jeans kuyup. Maklum nekat bermotor ria tidak pakai jas hujan. Rupanya acara inti belum dimulai, baru MC saja yang berkoar-koar. Kami mengambil tempat duduk di tribun belakang, di jajaran ketiga dari bawah.

Saya yakin penonton yang datang memang sudah terbius lebih dulu dengan nama G-Pluck. Sehingga yang dinanti-nanti pun jelas penjiplak Th Beatles itu.

Penampil pertama adalah Master Beat. Mereka menyanyikan tiga lagu, di antaranya Sgt Pepper's Lonely Heart Club Brand dan While My Guitar Gentle Weeps. Lalu penampil kedua adalah Manhattan. Nah ini kelompok musik yang menarik juga. Mereka adalah anak-anak muda. Usianya saya taksir tak lebih dari 22 tahun. Tapi mereka semua penggemar The Beatles, grup band seangkatan bapak atau kakek mereka.

Mereka cukup unik. Memasang dua pemain keyboard. Jadi lagu-lagu yang dinyanyikan pun lagu Beatles yang mengandung unsur keyboard. Ada Eleanor Rigby, Got to Get You Into My Life, lalu Hello Goodbye, dan When I'm Sixty Four.

Nah seusai mereka, penampilan jadi berubah total. Yang muncul adalah grup Kuburan, grup underground yang selalu tampil dengan aroma mistis. Mereka menutup panggung dengan bentangan kain hitam. Ketika kain diturunkan, tiga orang pemain gitar dan bas plus vokalisnya duduk andeprok di lantai panggung. Asap kemenyan mengepul. Mereka asyik bermain alat musik seperti tak beraturan. Cara memegang gitar pun seperti memegang rebab. Tapi lama kelamaan, mulai terjadi harmonisasi dan itulah intro untuk masuk ke lagu Love You To. Aslinya lagu ini memang pakai sitar.

Yang unik dari Kuburan, tentu kostumnya. Mereka bermake up ala band rock jadul, Kiss. Kostum pun nyeleneh. Vokalisnya pake rok dengan sepatu boot selutut. Dan sebagai ciri khas Kuburan, tentu ada pemeran pocongnya yang ikut-ikutan manggung dan bernyanyi. Menonton Kuburan, ibarat menonton pentas kabaret.

Lepas dari Kuburan, tiba giliran 4Peniti. Saya tidak tahu banyak tentang grup satu ini. Rupanya mereka ini pengusung aliran jazz. Hanya satu yang saya tahu, Amy Violin yang memainkan biola. Tapi mereka begitu rancak memainkan, memodifikasi dan improvisasi lagu-lagu The Beatles dengan rasa Jazz. Luar biasa, Justru malam itu, merekalah penampil terbaik, setelah G-Pluck.

Mereka, Zaky (vokal dan gitar), lalu Amy (violin), Rudi (bass gede), Ari pada drum, dan satu pemain gitar tambahan, begitu apik dan kompak memainkan komposisi-komposisi The Beatles. Dan mereka pun komunikatif. Sayangnya, kebiasaan mereka untuk komunikatif, mengajak penonton bernyanyi menirukan suara vokalis, kurang direspon penonton. Entah karena sedikit, entah karena penonton memang bukan penikmat jazz, jadi tidak begitu ngeh ketika Zaky mengajak berteriak bersama.

Lagu Eleanor Rigby begitu enak mereka mainkan. Terlebih melodinya memang tepat dimainkan Biola. Salut untuk 4Peniti. Lalu ada kejutan dari mereka. Lagu Badminton karya seniman Sunda Mang Koko, mereka mainkan dengan rasa jazz campur sedikit rap. Luar biasa.

Dan di penghujung acara, tentu saja yang ditunggu-tunggu, G-Pluck. Band penjiplak The Beatles dari segala sisi terbaik di Indonesia. Mulai kostum, alat musik, sampai wajah dan aksen bicara pun mereka usahakan mirip. Presisi, begitu kemampuan mereka meniru The Beatles. Guitar Wawan adalah gitar yang sama dimiliki George Harrison buatan Jerma. Harganya, mau tahu? Katanya Rp 2,4 miliar. Wow.

Selain Wawan, Ada Awan Garnida, penjiplak Paul McCartney sang bassist. Lalu ada Adnan Sigit yang mukanya mirip-mirip John Lennon. Di belakang drum, ada Beni Pratama yang brewok berupaya dimiripkan dengan Ringo Star.

Twist and Shout membuka penampilan mereka. Dan mengalirlah lagu-lagu legendaris The Beatles, From Me To You, Help, Ask Me Why, dan lagu-lagu lainnya hingga genap 30 lagu.

Sayang saya tidak bisa tamat menyaksikan mereka. Bu Eri keburu ngantuk berat. Daripada tidur di jalan, lebih baik pulang duluan. Tak mengapa. Yang penting saya bisa menyaksikan aksi panggung G-Pluck, sebelum mereka berangkat ke Liverpool 15 Agustus sebagai salah satu dari dua wakil Asia yang akan mengikuti The Beatles Week Festival 2008 di Liverpool. Bravo G-Pluck!. (*)

Heboh Rekaman Pilot AdamAir

WOW, kalau benar itu rekaman percakapan pilot dan copilot AdamAir sebelum nyemplung ke laut, tentu sangat mengejutkan. Karena hingga kini, blackbox atau kotak hitam pesawat nahas itu belum dibuka.

Tentang rekaman ini jadi heboh dan beredar di dunia maya. Kabarnya di You Tube sudah ada, tapi saya belum mengecek. Saya lihat di portal berita, juga ramai diberitakan. Juga di media elektronik, soal rekaman ini jadi pembicaraan.

Pertanyaannya apakah mungkin rekaman, kalau benar, bisa bocor padahal masih ada di tangan pabrikan pesawat di AS atau mungkin di tangan KNKT? Itu yang jadi persoalan. Secara seksama saya dengarkan percakapan itu, kok tidak mencirikan orang yang panik begitu. Biasanya kan, kalau pesawat sudah salah jalur, apalagi mau jatuh, tentu seruan SOS, Mayday Mayday bakal diucapkan dengan nada yang terdengar panik. Tapi ini tidak, biasa saja.

Soal otentisitas rekaman juga masih diragukan, termasuk oleh Roy Suryo. Roy belum bisa memastikan kebenaran rekaman itu, apakan suara si pilot AdamAir yang tewas itu atau bukan. Dia butuh suara pembanding untuk diuji pakai spektrum suara. Sayangnya, tidak ada rekaman suara si pilot dan copilot yang malang itu.

Penasaran dengan isi rekaman itu?, unduh saja di sini, AdamAir.
Setidaknya, suara-suara percakapan itu bisa kita dengar sendiri dan meyakinkan kepastian penyebab pesawat itu, kalau memang benar begitu adanya. (*)

UMPTN, SPMB, SNMPTN, Lalu Apa?

MAKHLUK apakah itu SNMPTN? Saking susahnya mengeja, ada yang pakai jalan pintas untuk menyebutkannya. Senam PTN, katanya. Ya boleh juga, biar tidak lupa dan gampang menyebut.

Jumat 1 Agustus kemarin, hasil SNMPTN diumumkan. SNMPTN adalah Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri, yang baru tahun 2008 ini dipakai. SNMPTN ini pengganti SPMB, Seleksi Penemerimaan Mahasiswa Baru. Sebetulnya tidak ada yang baru, hanya beda nama, beda istilah saja.

Ingat SNMPTN, jadi ingat masa 16 tahun lalu, saat baru lulus SMA. Di zaman saya, tes masuk perguruan tinggi negeri disebut UMPTN atau Ujian Masuk PTN. Yang saya tahu, memang nama program penerimaan mahasiswa baru selalu berubah-ubah nama.
Perintis adalah nama awal seleksi masuk. Mungkin bertahan beberapa tahun, lalu berganti jadi SKALU. Saya tidak tahu apa singkatan SKALU.

Setelah itu berubah menjadi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Nama ini cukup lama dan beken. Baru kemudian diganti lagi jadi UMPTN. Lalu beberapa tahun lalu, berubah menjadi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dan tahun ini menjadi SNMPTN. Intinya sama, tapi dibikin ribet oleh pemerintah.

Selepas SMA, saya tidak langsung ikut UMPTN. Tapi "menganggur" dulu selama dua tahun. Selama itu, saya berdagang beras dan gas. Tak ketinggalan, waktu-waktu senggang saya gunakan untuk memenuhi hobi saya berpetualang. Naik gunung, masuk keluar hutan, dan memanjat tebing, jadi kegiatan di akhir pekan, waktu itu.

Nah di tahun ketiga, saya memutuskan untuk kuliah. Sedikit nekat juga, karena dua tahun tidak pernah membuka buku pelajaran. Akhirnya, saya dan teman-teman Friday belajar secara intensif selama dua bulan. Dan ternyata sukses juga menembus Jurusan Sejarah Unpad. Padahal target saya masuk Biologi ITB.

Ganti tahun, ganti pula nama seleksi penerimaan ini. Berarti saya sudah dua kali mengalami generasi pengganti, yaitu generasi SPMB dan SNMPTN sekarang ini. Kira-kira tahun depan, ganti nama lagi enggak yah? (*)

My Home Metamorphosis (5): Masa-masa Kritis

TIGA minggu sudah, pembangunan rumah tahap dua berjalan. Yap, setelah istirahat tiga minggu menunggu cor beton kering dan para tukang kumpul, pengerjaan pun dimulai lagi. Fokus pekerjaan kali ini ada di lantai dua. Pemasangan bata, cor dak beton, dan atap.

Bagi kami, inilah masa-masa kritis yang harus dijalani. Kenapa kritis, tentu ini berkaitan dengan keuangan. Uang hasil pinjaman ke bank, yang bunganya setengah lebih besar dari seluruh pinjaman, itu tak cukup untuk merampungkan rumah kami.

Sebenarnya saya tidak khawatir. Kerjakan saja semua sampai uang habis, selesai. Hanya selesainya ini sampai dimana, itu yang jadi pertanyaan. Saya perkirakan, sampai akhir Agustus, mudah-mudahan rumah sudah bisa ditutupi genting. Beruntung, genting sudah dipesan, tinggal dikirim. Dan saya pun memasang target tak muluk-muluk.

Bagi saya itu yang paling penting. Karena bukan rumah, kalau tidak beratap dan bergenting. Jadi semua uang yang tersisa dikerahkan ke sana. Bagaimana dengan yang lainnya? Itu tergantung kondisi. Kalau memang ada sisa, ya untuk biaya tembok saja. Diplester bagian yang penting dulu, mungkin bagian dalam, khususnya ruang tamu.

Yang jadi kekhawatiran, kalau uangnya tidak cukup untuk membuat atap sekalipun. Ini bisa terjadi, karena harga-harga serba mahal. Contohnya saja kebutuhan untuk cor dak beton, saya perkirakan, besi yang ada cukup untuk beton atap musala, balkon dan kamar mandi. Ternyata tidak. Mesti beli lagi besi yang jumlahnya juga lumayan banyak. Huh, harganya ini yang enggak tanggung-tanggung. Naik berlipat-lipat dari sebelumnya sejak kenaikan harga BBM.

Melihat kondisi semacam ini, saya selalu mengingatkan kepada Bu Eri dan anak-anak supaya mengencangkan ikat pinggang lebih kencang lagi. Jajan dikurangi, barang yang tidak perlu tidak usah dibeli, adik tidak usah pakai pampers lagi, jatah susu Adik kalau bisa dikurangi saja, dan lain-lain. Setidaknya, pengeluaran bisa sedikitnya dan bisa nambah-nambah untuk rumah. "Ingat, mau rumah mau jajan?" begitu kata saya setiap kali Kaka minta jajan. Biasanya Kaka langsung menjawab, "Mau rumah".

Tapi beberapa hari lalu, Bu Eri dan saya kena "smash" Kaka. Tanpa sepengetahuan saya, rupanya Bu Eri membelikan saya HP baru. HP saya yang lama sebenarnya masih bisa dipakai. Hanya layarnya tertutupi warna hitam dan buram. Untuk membaca dan mengirim SMS sudah sulit, karena tidak terbaca. Untuk menelepon pun kadang susah, karena keypadnya sudah dol.

Padahal saya sudah mewanti-wanti tidak usah beli HP. Biar pakai yang lama saja, toh masih bisa untuk menelepon dan menerima telepon. Mungkin Bu Eri suka memerhatikan saya kalau lihat iklan HP di koran. "Nah ini nih murah, lumayan bisa internetan, ada musicplayernya, bla bla...," komen saya setiap melihat iklan produk HP. Tapi tetap saja, saat ditanya mau HP baru, saya menggeleng. "Gak usah, pakai ini saja, sudah cukup kok".

Nah, rupanya Kaka melihat kardus kecil wadah HP tergeletak di dekat televisi. Rupanya kata-kata saya menyerap betul di otaknya. Dia ingat kalau ayah-ibunyanya sering bilang agar hemat. Begitu bertemu ibunya, Kaka langsung bilang, "Mau rumah mau Handphone". Tentu jawaban Bu Eri pun belepotan. Kena deh dikick sama anak...Ha ha ha.(*)

Pameran Buku: Menelan Ludah


PAMERAN Buku Ikapi kembali digelar di Landmark Building, Kamis lalu. Kali ini, peserta atau stan penerbit yang ikut jauh lebih banyak. Dan kabarnya pula, diskonnya makin gila.

Sebagai pecinta buku, saya tentu sangat senang Bandung memiliki event tahunan pameran buku. Bagi saya, pameran dan bazaar buku merupakan tempat satu-satunya untuk membeli buku. Yang dikejar ya apalagi kalau bukan diskonnya. Jadi carilah buku-buku bagus yang harganya didiskon gede. Lumayan bisa mengurangi pengeluaran.

Tapi pameran buku kali ini, dan sangat mungkin kali yang akan datang, membuat saya sedih. Saya hanya bisa neureuy ciduh alias menelan ludah saat mengelilingi stan-stan penerbit buku. Kamis malam itu, saya dan Bu Eri menyempatkan mampir ke Landmark.

Di sana kami hanya membeli mainan anak dari kayu, untuk Kaka dan Adik. Maunya sih beli juga buku. Apalagi banyak buku-buku baru yang bagus. Tapi saya menahan diri untuk tidak membeli.

Ya, proyek pembangunan rumah kami yang tengah berjalan ini membuat saya harus berpikir ulang seribu kali untuk membeli sesuatu, termasuk buku. Semua potensi keuangan dikerahkan untuk menyelesaikan pembangunan rumah. Walau kami tahu, sampai jungkir balik sekalipun, rumah itu tidak akan rampung tahun ini. Saya sendiri menargetkan rumah bisa selesai dalam waktu tiga tahun.

Akhirnya, saat di Pameran Buku itu, cuma menelan ludah yang bisa saya lakukan. Tanda kabita alias pengen tapi tak kesampaian. Padahal Bu Eri sudah menawari untuk membeli beberapa buku, tapi saya menggelengkan kepala. "Udah cukup mainan itu saja buat Kaka dan Adik. Keun we iraha-iraha, jaga (nanti, Sunda), kalau sudah selesai semua, bisa beli buku lagi," kata saya.(*)

Cuti

BARU lima hari Bu Eri masuk kerja. Seminggu lebih Bu Eri menikmati cuti di rumah. Merasakan jadi ibu rumah tangga, tak hanya wanita karier. Sayang, saya tidak bisa ikut cuti. Saya sudah cuti waktu awal-awal membangun rumah, Juni lalu. Dan jatah cuti saya tahun ini baru empat hari, sayang kalau diambil. Dikumpul saja, siapa tahu bisa cuti pas Lebaran nanti.

Selama cuti, Bu Eri tak kemana-mana. Dalam artian, tidak piknik, no vakantie, apalagi berwisata ria. Paling-paling, bareng saya menyusuri toko-toko bangunan di IBCC atau Mitra 10, mencari keramik dan bahan bangunan lainnya. Ternyata sulit juga, mencari barang-barang yang sesuai selera, tapi sesuai juga dengan selera dompet yang pas-pasan.

Saya sih sudah mewanti-wanti. "Coba ajak main anak-anak, kemana kek, supaya enggak kesal di rumah saja". Saya hapal, sebagai orang yang biasa di lapangan, berdiam di rumah pasti tidak kerasan. Pengennya ke luar terus.

Cutinya Bu Eri tentu membuat saya senang. Gimana gak senang, istri ada di rumah. Anak-anak ada yang menemani. Setiap pagi, kalau mau ke kantor, Bu Eri yang menyiapkan perbekalan makanan. Biasanya kan, kalau bukan Mbah Uti, ya si Teteh yang menyiapkan.
Ternyata mengurus dua anak juga membuat Bu Eri sibuk. Seperti biasa kalau sudah berhadapan dengan anak-anak yang manja nya minta ampun, membuat Bu Eri sedikit stres. Dua bidadari kecil di rumah itu lengket terus. Kemana Bu Eri pergi, maunya ngikut. He he, nikmati saja ya Bu.

Sehari jelang masuk kerja kembali, baru terasa kalau di rumah itu sebenarnya menyenangkan. "Haduh asa waregah begini mau kerja teh. Enaknya juga yah di rumah terus," gitu komen Bu Eri. Saya menimpali,"O iya, lebih enak lagi kalau di rumah terus gaji mengucur tiap bulan. Gak usah bingung cari tambahan untuk ngebangun rumah". Bu Eri pun tertawa.

Sebenarnya sejak awal menikah, saya sudah meminta Bu Eri tidak bekerja. Cuma memang sulit untuk membuat keputusan. Atau lebih tepat lagi, sulit untuk tidak bekerja karena kebutuhan hidup. Mungkin saat ini waktunya belum tepat. Karena ya itu tadi, kami tengah butuh banyak pemasukan, untuk menyelesaikan pembangunan rumah. Mudah-mudahan ke depan mah, kalau sudah ada bisnis rumahan yang prospektif, kenapa tidak bekerja di rumah saja?. (*)

Tim Pemburu Tikus

TIKUS tergolong binatang pengerat. Masih satu keluarga dengan hamster dan marmut. Apa yang dipikirkan jika kita bicara tentang tikus? Tentu yang keluar dari otak adalah bayangan sosok tikus yang berkumis dan berekor panjang suka hidup di tempat kotor, kumuh, dan sebagian orang sangat menggelikan sekaligus menjijikkan.

Stigma yang melekat dalam pikiran, tikus adalah binatang yang suka merusak dan menggerogoti karung-karung beras, kotak kardus, tempat sampah, dan barang apapun yan ada di rumah. Intinya, tikus adalah binatang pengganggu.

Karena sifat pengganggu dan penggerogot itulah, sosok tikus selalu dilekatkan pada koruptor, pelaku korupsi. Bukankan tikus dan koruptor memiliki hobi yang sama, yaitu mengerat dan menggerogoti? Bedanya, tikus hanya menggerogoti barang di seputar rumah, sementara koruptor menggerogoti uang negara dan menyengsarakan rakyat banyak.

Beberapa hari lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji melantik 32 orang jaksa di lingkungan Kejaksaan Tinggi Jabar menjadi anggota Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTKP) Kejati Jabar. Inilah tim khusus untuk mengungkap kejahatan korupsi, memburu para koruptor, para tikus-tikus berdasi yang beraksi di Jawa Barat.

Tentu ini langkah yang harus didukung semua pihak. Bagaimanapun, korupsi yang meruyak di negeri ini bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dari balik meja, di keriuhan kafe-kafe, ruang lobi dan kamar hotel, suap menyuap untuk menutup kasus korupsi terjadi. Sekelas menteri hingga rakyat jelata pun sudah dihinggapi penyakit kronis ini. Karena itu butuh kekuatan besar dan tekad kuat, untuk membasmi korupsi dan menyeret para koruptor ke balik jeruji.

Di daerah Jawa Tengah atau Jawa Timur, juga di sebagian Jawa Barat khususnya Pantura, untuk membasmi tikus di sawah, sering diadakan gropyok atau berburu secara massal. Warga, terutama para petani dan pemilik sawah, secara bersama-sama dan gotong royong mengejar tikus-tikus pengerat padi hingga tuntas. Semua goa-goa tempat persembunyian tikus diasapi agar tikus pemakan padi itu keluar. Saat muncul di pematang sawah, tikus- tikus itu langsung diburu dan digebuki beramai-ramai.

Mungkin pola semacam itupun bisa dipakai untuk mengejar para koruptor. Masyarakat diajak untuk berani melaporkan setiap bentuk korupsi. Bersama-sama saling mengawasi sekecil apapun tindak korupsi.

Mulailah dari diri sendiri untuk bertekad tidak korupsi dalam bentuk apapun, dan mengajarkan kepada anak bahwa korupsi adalah kejahatan yang menyengsarakan umat.
Kita berharap, kinerja tim pemburu koruptor Kejati Jabar menjadi syok terapi dan memiliki efek jera bagi mereka yang sudah korupsi dan berniat korupsi. Jika hukuman mati memang pantas bagi koruptor, tak ada salahnya dipertimbangkan. Kita juga berharap, tahun 2008 yang dalam penanggalan Cina adalah tahun tikus, bakal menjadi kuburan bagi "tikus-tikus berdasi" itu.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 1 Agustus 2008