MENGAPA ada nama Leuwigajah di Cimahi? Apa dulu memang pernah hidup
Gajah di Cimahi, terus mandi di Leuwi? Begitu pertanyaan beberapa kawan
soal toponimi atau asal usul nama Leuwigajah.
Sebelum mengupas nama Leuwigajah, perlu diketahui sebelumnya, bahwa
binatang Gajah sudah lama hidup di tanah Sunda. Gajah purba pernah hidup
di Tatar Sunda sekitar 35 ribu tahun yang lalu. Fosilnya ditemukan di
Rancamalang, Kabupaten Bandung. Juga ditemukan di Baribis Majalengka,
Cibinong Bogor, Cikamurang, dan Tambakan Subang.
Lalu memasuki fase
sejarah, di zaman kerajaan Tarumanagara, abad ke 4 Masehi hingga 7
Masehi, binatang Gajah pun familiar dan dikenal masyarakat. Salah satu
buktinya adalah Prasasti Kebon Kopi peninggalan raja termasyhur
Tarumanagara, Maharaja Purnawarman, yang ditemukan di kebun kopi milik
Jonathan Rig di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
Selain tulisan beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, pada prasasti itu, terdapat lukisan tapak kaki gajah. Tulisan prasasti itu berbunyi "jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam" (Kedua
jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti
Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara
Indra, dewa perang dan penguasa guntur.
Kekuatan binatang gajah ini juga menjadi inspirasi pemberian nama. Misalnya saja, Prabu Gajah Agung, raja Sumedanglarang, keturunan Prabu Tajimalela.
Nama lahirnya adalah Atmabrata, namun saat jeneng jadi raja menggantikan
kakaknya, Prabu Lembu Agung, ia memakai nama nobat Prabu Gajah Agung.
Kini nama Prabu Gajah Agung diabadikan sebagai nama jalan di Sumedang
kota.
Selain nama Gajah, untuk menyebut binatang besar itu,
masyarakat pun mengenal nama Liman, berasal dari bahasa Sanskerta. Liman
pun dipakai sebagai nama orang. Misalnya, Rajaputera Suraliman, adalah
raja kedua Kerajaan Kendan di Nagreg. Lalu ada pula nama Liman Sanjaya.
Dalam Babad Limbangan, disebutkan, Liman Sanjaya adalah putra dari Prabu
Siliwangi hasil perkawinannya dengan Nyi Putri Limbangan, anak Sunan
Rumenggong. Ia menjadi Prabu di Kerajaan Dayeuh Luhur atau Dayeuh
Manggung.
Nama Liman dijadikan pula sebagai nama tempat, yaitu
Palimanan. Malah di Cirebon pun, ada nama Pagajahan. Konon, diberi nama
Pagajahan, karena banyak terdapat gajah-gajah pemberian dari negeri
asing kepada Cirebon. Nama gajah juga dikenal dalam carita pantun
Sunda. Seperti Gajah Lumantung. Gajah Lumantung adalah nama seorang raja
di daerah yang disebut Pasir Batang Lembur Tengah.
Nah soal
Leuwigajah, memang benar berasal dari cerita gajah yang mandi, lebih
tepat, dimandikan di leuwi. Leuwi adalah kosakata bahasa Sunda. Dalam
bahasa Indonesia, kira-kira sama artinya dengan Lubuk.
Berdasarkan
Babad Batulayang, seperti yang dikutip dalam buku Sejarah Cimahi, dulu
Dalem Batulayang, yaitu Dalem Abdul Rohman, ditugaskan membantu VOC di
Palembang. Jabatan Dalem Batulayang lalu diserahkan kepada adiknya.
Tahun 1770, Abdul Rohman kembali pulang ke Batulayang, sambil membawa
oleh-oleh berupa seekor gajah besar.
Karena itu pula, Abdul Rohman
dikenal sebagai Dalem Gajah. Selama gajah itu hidup, selalu dimandikan
di sebuah Leuwi atau lubuk di daerah Cimahi Selatan. Akhirnya, tempat
itu pun dikenal sebagai Leuwigajah.
Dalem Batulayang tinggal di daerah Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan
Kutawaringin. Karena gajah dari Palembang itu berkandang di sana,
kampung itu pun dikenal pula sebagai Kampung Gajah. Lama-kelamaan,
namanya bertambah menjadi Kampung Gajah Mekar dan Kampung Gajah Eretan.
Makam Dalem Abdul Rahman atau Dalem Gajah bisa ditemukan di Kampung
Bojong Laja, Kutawaringin. Di Kampung Gajah Eretan, juga terdapat situs
makam Eyang Dalem Gajah. Bisa jadi ini petilasannya. Lalu, masih di
Kutawaringin, juga ada makam Eyang Gajah Palembang. Apakah makam
terakhir ini adalah makam sang gajah? Patut ditelusuri!. (mac)
Bingkai kecil ini bercerita tentang apa pun: Keseharian, tentang cerita sejarah, petualangan, rekreasi, ataupun pemikiran dan opini. Semoga Bermanfaaat!
Monday, August 25, 2014
Monday, August 18, 2014
Mudik Lebaran 1435H: Pengalaman Pertama (1)
TIGA belas tahun saya menikah dengan istri saya, Eri Mulyani. Tapi baru tahun ini, saya bisa merasakan mudik Lebaran ke Magelang, Jawa Tengah. Maklum, saya tinggal di Cimahi dan kampung halaman saya di daerah Cihanjuang, Cimahi. Seperempat menit pakai motor, sudah tiba di tujuan. Jadi tidak seperti mudik orang lain ke tempat yang jauh.
Memang pergi ke Magelang, bukan kali ini saja. Sudah beberapa kali. Tapi bukan di saat mudik. Biasanya, berlibur ke sana, ketika libur akhir tahun. Atau dua bulan setelah Lebaran. Jadi aura lebarannya sudah hilang.
Nah, Lebaran 28 Juli lalu, kami sekeluarga besar, secara berombongan, pulang kampung dan mudik ke Dusun Bumen, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tak hanya: saya, istri saya, dua anak saya, Nabila dan Namira, bapak dan ibu mertua yang mudik. Keluarga kakak ipar saya dari Tangerang, Mas Nur, serta Mas Rohman juga ikut barengan mudik. Jadilah, tiga mobil berkonvoi menuju Jawa Tengah.
Hanya saja, ketiga mobil ini berbeda tujuan. Mobil sedan Honda yang disopiri Mas Rohman hanya bareng sampai pintu tol Cileunyi, Lepas tol, mobil sudah belok ke arah Sumedang menuju Pantura. Karena Mas Rohman dan keluarga akan mudik ke Salatiga. Sementara Mas Nur, akan mudik ke Purwokerto. Tapi sebelumnya, akan mampir dulu ke Borobudur, mengantar Mbah Uti yang ikut mobil Avanza Mas Nur.
Seperti biasa, saya pakai Avanza rentalan. Tentu sopirnya adalah Pak Asep. Sopir yang sejak tujuh tahun lalu menyertai ke mana pun kami pergi ke luar kota. Pertama kali bekerja sama dengan Pak Asep ini, ya saat liburan ke Borobudur.(Baca juga : Tour of Borobudur).
Hanya satu keluarga yang ditinggal di Cimahi. Keluarga Mas Rikhan. Maklum, kakak paling tua itu mau pulang ke Sukabumi. Namun sebelumnya, selama seminggu lebih, menunggu rumah dulu yang ditinggal kami.
Saya memilih berangkat mudik selepas salat Ied, Senin 28 Juli. Alasannya, hari itu, puncak mudik sudah lewat. Hari Sabtu dan Minggu sebelumnya adalah puncak mudik. Dengan perkiraan, kemungkinan macet jalur selatan hanya di seputar Nagreg. Itu pun karena dipenuhi pemudik lokal, yang mau ke Garut dan Tasik saja.
Alasan lainnya, karena berangkat sebelum tanggal itu tidak mungkin. Bisnis istri saya, jualan Baju Enggal, yang tengah pameran di Citylink, baru tutup pada Minggu 27 Juli malam. Pas saat malam takbiran. Jadi hanya Senin selepasi Ied saja, satu-satunya pilihan untuk waktu berangkat.
Setelah molor sejam setengah dari waktu yang direncanakan, akhirnya jam 11.30, tiga mobil pun konvoi keluar dari Kampus Unjani menuju Jalan Tol Cileunyi. Untuk selanjutnya, melaju di jalur selatan menuju Magelang. Magelang, Here We Come! (bersambung)
Memang pergi ke Magelang, bukan kali ini saja. Sudah beberapa kali. Tapi bukan di saat mudik. Biasanya, berlibur ke sana, ketika libur akhir tahun. Atau dua bulan setelah Lebaran. Jadi aura lebarannya sudah hilang.
Nah, Lebaran 28 Juli lalu, kami sekeluarga besar, secara berombongan, pulang kampung dan mudik ke Dusun Bumen, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tak hanya: saya, istri saya, dua anak saya, Nabila dan Namira, bapak dan ibu mertua yang mudik. Keluarga kakak ipar saya dari Tangerang, Mas Nur, serta Mas Rohman juga ikut barengan mudik. Jadilah, tiga mobil berkonvoi menuju Jawa Tengah.
Hanya saja, ketiga mobil ini berbeda tujuan. Mobil sedan Honda yang disopiri Mas Rohman hanya bareng sampai pintu tol Cileunyi, Lepas tol, mobil sudah belok ke arah Sumedang menuju Pantura. Karena Mas Rohman dan keluarga akan mudik ke Salatiga. Sementara Mas Nur, akan mudik ke Purwokerto. Tapi sebelumnya, akan mampir dulu ke Borobudur, mengantar Mbah Uti yang ikut mobil Avanza Mas Nur.
Seperti biasa, saya pakai Avanza rentalan. Tentu sopirnya adalah Pak Asep. Sopir yang sejak tujuh tahun lalu menyertai ke mana pun kami pergi ke luar kota. Pertama kali bekerja sama dengan Pak Asep ini, ya saat liburan ke Borobudur.(Baca juga : Tour of Borobudur).
Hanya satu keluarga yang ditinggal di Cimahi. Keluarga Mas Rikhan. Maklum, kakak paling tua itu mau pulang ke Sukabumi. Namun sebelumnya, selama seminggu lebih, menunggu rumah dulu yang ditinggal kami.
Saya memilih berangkat mudik selepas salat Ied, Senin 28 Juli. Alasannya, hari itu, puncak mudik sudah lewat. Hari Sabtu dan Minggu sebelumnya adalah puncak mudik. Dengan perkiraan, kemungkinan macet jalur selatan hanya di seputar Nagreg. Itu pun karena dipenuhi pemudik lokal, yang mau ke Garut dan Tasik saja.
Alasan lainnya, karena berangkat sebelum tanggal itu tidak mungkin. Bisnis istri saya, jualan Baju Enggal, yang tengah pameran di Citylink, baru tutup pada Minggu 27 Juli malam. Pas saat malam takbiran. Jadi hanya Senin selepasi Ied saja, satu-satunya pilihan untuk waktu berangkat.
Setelah molor sejam setengah dari waktu yang direncanakan, akhirnya jam 11.30, tiga mobil pun konvoi keluar dari Kampus Unjani menuju Jalan Tol Cileunyi. Untuk selanjutnya, melaju di jalur selatan menuju Magelang. Magelang, Here We Come! (bersambung)
Labels:
Borobudur,
Jalur Selatan,
Lebaran,
Mudik
Friday, August 15, 2014
Tantangan untuk Pramuka
KEMARIN, 14 Agustus 2014, merupakan Peringatan HUT ke-53 Pramuka. Momentum peringatan kali ini bersamaan dengan pemberlakuan Pramuka sebagai ekstakurikuler wajib di sekolah-sekolah dalam Kurikulum 2013 mulai tahun ajaran 2014-2015.
Kita tahu, bahwa Gerakan Pramuka memiliki misi edukasi dan pembentukan karakter serta pembinaan moral dalam kegiatan-kegiatannya. Itu pula salah satu alasan Pramuka dijadikan sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah.
Namanya wajib dan memaksa, mau tidak mau, suka tidak suka, seluruh pelajar, mulai tingkatan SD hingga SMA, harus mengikuti kegiatan Pramuka. Setidaknya, dalam satu minggu, pelajar berpakaian seragam cokelat-cokelat khas Pramuka.
Sangat mungkin tidak seluruh pelajar suka dengan kegiatan Pramuka. Boleh jadi, masih banyak yang beranggapan bahwa Pramuka itu kuno, ketinggalan zaman, kegiatannya kemping dan nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya.
Bisa jadi anggapan itu tidak salah seluruhnya. Justru di situlah tantangannya. Gerakan Pramuka harus mampu membongkar paradigma lama kegiatan kepramukaan dan menampilkan wajah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Era globalisasi dan teknologi yang deras menjerat generasi muda saat ini harus bisa dibaca dan dijawab Gerakan Pramuka dalam aplikasi kegiatannya.
Jelas kita tidak bisa menghindar dari kondisi kekinian, ketika anak-anak remaja lebih akrab dengan teman di dunia mayanya ketimbang di dunia nyata. Ketika anak-anak SD sudah biasa selfie dan mengunggahnya ke media sosial. Ketika generasi muda lebih familiar dengan dunia teknologi ketimbang bermain di alam. Dan ketika nilai-nilai moral kian tergerus dan terdegradasi. Ketika mereka, anak-anak muda itu, kian permisif, tak sungkan lagi berpacaran di tempat umum, sudah biasa mengakses pornografi, bahkan melakukan tindakan asusila. Ketika narkotika menjadi pelarian anak-anak muda. Ketika tawuran menjadi solusi pelepas emosi kaum pelajar. Ketika geng motor menjadi wadah berorganisasi dan berekspresi generasi muda.
Tengok hasil survei sebuah lembaga di awal tahun 2014, 54 persen remaja di Kota Bandung mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual. Dibandingkan dengan tiga kota lainnya, Bandung paling tinggi. Jakarta "hanya" 51 persen. Surabaya, 47 persen remaja yang disurvei mengaku pernah berhubungan seks. Hanya Medan yang mengalahkan Jakarta dengan 52 persen remaja yang tak lagi tuna seks.
Inilah realita sebenarnya di tengah generasi muda saat ini. Dan kondisi seperti itulah yang harus dijalani Gerakan Pramuka, yang digadang-gadang sebagai lokomotif pembangunan sikap, mental, dan moral generasi muda menghadapi globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta pesatnya perkembangan media baru.
Sungguh tak ringan tugas dan tantangan yang dihadapi Gerakan Pramuka. Dibutuhkan kerja sama yang kuat antara Gerakan Pramuka sebagai organisasi informal, pemerintah, dan masyarakat. Tak kalah penting adalah dibutuhkan pembina dan pelatih yang tangguh, mumpuni, untuk bisa membangun generasi muda yang tangguh pula. Bagaimanapun, tanpa dukungan semua pihak, keinginan menjadikan Gerakan Pramuka sebagai garda terdepan pendidikan informal yang positif dan benteng nasionalisme generasi muda akan sia-sia belaka.
Kita berharap pada tahun-tahun yang akan datang, dari rahim Gerakan Pramuka, akan lahir generasi yang kuat kepemimpinannya, mandiri, memiliki rasa kebersamaan dan sosial yang tinggi, cinta terhadap alam dan manusia, serta mampu menjadi contoh terbaik di tengah masyarakat. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 15 Agustus 2014.
Kita tahu, bahwa Gerakan Pramuka memiliki misi edukasi dan pembentukan karakter serta pembinaan moral dalam kegiatan-kegiatannya. Itu pula salah satu alasan Pramuka dijadikan sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah.
Namanya wajib dan memaksa, mau tidak mau, suka tidak suka, seluruh pelajar, mulai tingkatan SD hingga SMA, harus mengikuti kegiatan Pramuka. Setidaknya, dalam satu minggu, pelajar berpakaian seragam cokelat-cokelat khas Pramuka.
Sangat mungkin tidak seluruh pelajar suka dengan kegiatan Pramuka. Boleh jadi, masih banyak yang beranggapan bahwa Pramuka itu kuno, ketinggalan zaman, kegiatannya kemping dan nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya.
Bisa jadi anggapan itu tidak salah seluruhnya. Justru di situlah tantangannya. Gerakan Pramuka harus mampu membongkar paradigma lama kegiatan kepramukaan dan menampilkan wajah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Era globalisasi dan teknologi yang deras menjerat generasi muda saat ini harus bisa dibaca dan dijawab Gerakan Pramuka dalam aplikasi kegiatannya.
Jelas kita tidak bisa menghindar dari kondisi kekinian, ketika anak-anak remaja lebih akrab dengan teman di dunia mayanya ketimbang di dunia nyata. Ketika anak-anak SD sudah biasa selfie dan mengunggahnya ke media sosial. Ketika generasi muda lebih familiar dengan dunia teknologi ketimbang bermain di alam. Dan ketika nilai-nilai moral kian tergerus dan terdegradasi. Ketika mereka, anak-anak muda itu, kian permisif, tak sungkan lagi berpacaran di tempat umum, sudah biasa mengakses pornografi, bahkan melakukan tindakan asusila. Ketika narkotika menjadi pelarian anak-anak muda. Ketika tawuran menjadi solusi pelepas emosi kaum pelajar. Ketika geng motor menjadi wadah berorganisasi dan berekspresi generasi muda.
Tengok hasil survei sebuah lembaga di awal tahun 2014, 54 persen remaja di Kota Bandung mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual. Dibandingkan dengan tiga kota lainnya, Bandung paling tinggi. Jakarta "hanya" 51 persen. Surabaya, 47 persen remaja yang disurvei mengaku pernah berhubungan seks. Hanya Medan yang mengalahkan Jakarta dengan 52 persen remaja yang tak lagi tuna seks.
Inilah realita sebenarnya di tengah generasi muda saat ini. Dan kondisi seperti itulah yang harus dijalani Gerakan Pramuka, yang digadang-gadang sebagai lokomotif pembangunan sikap, mental, dan moral generasi muda menghadapi globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta pesatnya perkembangan media baru.
Sungguh tak ringan tugas dan tantangan yang dihadapi Gerakan Pramuka. Dibutuhkan kerja sama yang kuat antara Gerakan Pramuka sebagai organisasi informal, pemerintah, dan masyarakat. Tak kalah penting adalah dibutuhkan pembina dan pelatih yang tangguh, mumpuni, untuk bisa membangun generasi muda yang tangguh pula. Bagaimanapun, tanpa dukungan semua pihak, keinginan menjadikan Gerakan Pramuka sebagai garda terdepan pendidikan informal yang positif dan benteng nasionalisme generasi muda akan sia-sia belaka.
Kita berharap pada tahun-tahun yang akan datang, dari rahim Gerakan Pramuka, akan lahir generasi yang kuat kepemimpinannya, mandiri, memiliki rasa kebersamaan dan sosial yang tinggi, cinta terhadap alam dan manusia, serta mampu menjadi contoh terbaik di tengah masyarakat. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 15 Agustus 2014.
Subscribe to:
Posts (Atom)