Saturday, May 26, 2007

Amien Rais



Amien Rais menerima koran mini dari Kang Yusran Pare (Pemred Tribun Jabar). Amien dikerubuti warga sekitar kantor Tribun.

AMIEN Rais memang tokoh yang lurus, konsisten, berani, dan siap menanggung risiko. Tokoh yang satu ini dikenal cerdas, dan pintar mengeluarkan istilah-istilah unik. Bagi wartawan, omongan Amien Rais paling mudah dipindahkan ke komputer. Karena sudah runut, plek, tinggal kasih judul, beres.
Di zaman Orde Baru, Amien sudah lantang meneriakkan suksesi kepemimpinan.Padahal saat itu, Soeharto lagi kuat-kuatnya memegang kekuasaan. Tapi Amien tidak takut. Busang pun dia bikin kalang kabut. Tambang milik AS di Kalimantan itu dibongkar habis oleh Amin, karena menipu mentah-mentah Indonesia. Ya, Amien Rais sangat kritis pada setiap kebijakan dan kepentingan AS.
Saya juga ingat, ketika Amien menjadi lokomotif gerbong Reformasi. Jelang kejatuhan Soeharto, tepatnya 20 Mei 1998, Amien berencana mengadakan Aksi Sejuta Umat di Monas. Tapi aksi itu akhirnya batal dengan sejumlah pertimbangan. Dibatalkannya pun malam hari, dekat ke pergantian waktu ke tanggal 20 Mei.
Dan akhirnya lokomotif reformasi terus bergerak. Amien selalu berada di depan. Ia didaulat mahasiswa sebagai tokoh reformasi. Tapi politik memang selalu berubah-ubah. Yang abadi adalah kepentingan politik. Begitu pula Amien. Dia menaikkan Gus Dur jadi Presiden RI keempat, dia pula yang menggalang kekuatan untuk melengserkan Gus Dur.
Tahun 2004, Amien sebagai Ketua Umum DPP PAN mencalonkan diri sebagai Presiden RI bersanding dengan Siswono Yudhohusodo. Amien pun sempat singgah ke Kantor Tribun Jabar (waktu itu masih Metro Bandung) saat silaturahim dan kampanye di Bandung. Sayang, Amien kandas pada putaran pertama. Amien pun pensiun dari Ketua MPR RI, kembali ke Yogya, namun tetap menjadi watchdog bagi penguasa.

Hingga hari-hari belakangan ini nama Amien Rais kembali bergaung. Amien lah yang membuka kebusukan kampanye Pilpres tempo hari. Dia mengaku mendapat kucuran dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar Rp 400 juta. Pengakuan itu berasal dari tudingan atau kesaksian Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, serta anak buahnya yang menyebutkan ada 1.700 aliran dana dari DKP. Mereka yang mendapat kucuran itu antara para calon presiden saat Pilpres 2004, tim sukses, ormas, dan lain-lain.
Di saat orang lain ramai-ramai membantah menerima dana haram itu, dengan elegan Amien Rais justru mengakuinya. Bahkan ia meminta agar capres lainnya pun jujur dan mengakui menerima dana DKP dengan besaran yang berbeda.
Bola yang digelindingkan Amien semakin liar dan panas. Sudah dua kali ini, dalam sepekan, saya mengangkat kasus DKP dalam liputan Fokus on Tribun Batam, sebuah liputan mendalam. Sedikit banyak saya jadi tahu bagaimana kasus ini terus bergulir.
Baru setelah Amien, beberapa orang mulai mengaku. Padahal sebelumnya, mentah-mentah membantah. Seperti KH Hasyim Muzadi, ketua KNPI, lalu Gus Solah. Dan bola panas itu pun mental ke arah Istana Presiden. Giliran SBY yang kepanasan dan membuat konferensi pers. "Itu fitnah, tidak benar saya menerima dana DKP, apalagi dana asing dalam pemilihan presiden," ujar SBY dengan wajah tegang, menahan kemarahan. Bola Amien terus bergulir dan sepertinya akan memunculkan testimoni-testimoni baru di jagat politik terkini Indonesia.
Namun ngomong-ngomong soal Amien Rais, saya punya sedikit kenangan mengecewakan tentangnya. Ini kisah sepuluh tahun lalu, tahun 1997. Waktu itu, saya dan kawan-kawan di Himpunan Mahasiswa Sejarah Unpad, menggelar Seminar tentang Suksesi Kepemimpinan. Itu isu yang hangat sekaligus sensitif. Pembicara yang kita undang di antaranya Rudini (sudah almarhum), Rusadi Kantaprawira (di penjara), Anhar Gonggong (sejarahwan), Arbi Sanit (politik UI), Ahmad Mansur Suryanegara (sejarahwan Unpad), Cak Nur, Gus Dur, dan Amien Rais. Namun Cak Nur dan Gus Dur tak bisa memenuhi undangan panitia, karena acaranya padat. Nah Amien Rais menjanjikan akan datang ke Jatinangor.
Antusiasme mahasiswa dan masyarakat saat itu begitu tinggi untuk ikut seminar tersebut. Kenapa? Karena pembicaranya kahot-kahot dan isu yang dibicarakan soal suksesi yang jelas-jelas masih sangat tabu dibicarakan. Waktu itu kami cuek saja menggelar seminar itu, toh akhirnya diizinkan juga oleh Sospol. Untuk berjaga-jaga supaya seminar tidak dilarang, kami pun mengundang Letkol Herman Ibrahim, waktu itu Kapendam III Siliwangi untuk juga berbicara soal suksesi. Herman Ibrahim (sekarang aktivis Majelis Mujahidin Indonesia dan FUUI, dulu pernah di PAN) memang sosok militer yang moderat, bahkan keras. Dia biasa saja mengkritik pemerintah. Tak heran, pangkatnya tidak pernah naik-naik. Sampai pensiun, ya tetap saja Letkol. Padahal teman seangkatannya, Wiranto, jadi Pangab. Herman juga sempat membantu Wiranto di LSM yang dibentuk Wiranto.
Balik ke Amien Rais. Waktu itu, saya sendiri yang menemui Amien Rais di kantor PSIK (Pusat Studi Ilmu Kebijakan) di Yogyakarta. Bertemu dengan tokoh kritis, cendekiawan sekelas Amien, tentu menjadi kebanggaan bagi saya. Saya jelaskan maksud seminar ini, bla bla bla. Dengan ramah, Amien Rais menyatakan kesanggupannya datang ke Jatinangor. Tentu hati ini girang luar biasa, akhirnya bisa juga mendatangkan tokoh kritis ke kampus.
Namun, ini yang menjadi setitik rasa kecewa saya pada Amien Rais. Sehari menjelang seminar, Amien membatalkan janjinya itu. Wah, cilaka 12. Apa yang harus dibilang pada teman-teman mahasiswa yang datang dari penjuru Indonesia ini? Ya seminar itu juga sekaligus sebagai pembuka acara Musyawarah Nasional Mahasiswa Sejarah se Indonesia. Kedatangan mereka ke Jatinangor, karena mereka tertarik dengan tokoh-tooh nasional yang akan jadi pembicara dalam seminar.
Akhirnya, karena pembatalan sepihak dari Amien Rais inilah, saya harus berkeliling ke setiap blok kamar penginapan peserta seminar dan munas bahwa Amien Rais batal datang ke Jatinangor. Saya tahu, peserta pada ngedumel. Tapi acara harus jalan terus, dan alhamdulillah, lancar dan sukses. Walau kami, para panitia, jadi bahan intaian para telik sandi Koramil, Kodim, Bakorstanasda, dll. Yang penting, sukses... (*)

No comments: