Thursday, April 10, 2014

Ternyata Cuma 4 Caleg DPR RI yang Saya Kenal

SEHARI menjelang pemilihan umum legislatif, Rabu 9 April, saya masih belum memutuskan untuk memilih atau tidak. Tapi niat untuk mengakhiri masa panjang Golput itu sudah ada. Hanya masih bingung, siapa yang berhak mendapat coblosan saya. Saya perhatikan di lini massa Facebook atau Twitter, rupanya banyak yang senasib dengan saya. Mereka kebingunan hendak memilih siapa atau partai apa.



Kemudian saya pun sedikit menjelajah di beberapa situs yang memajang para caleg dan kurikulum vitaenya.
Dari daftar Caleg yang saya peroleh di KPU dan jariungu.com, untuk Caleg DPR RI daerah pemilihan I (Kota Cimahi-Bandung), tempat saya memilih, ada 83 orang caleg. Saya mencoba mengerucutkan daftar caleg itu melalui kriteria sangat sederhana: TAHU dan KENAL.

 Ternyata dari 83 orang itu, hanya ada 27 orang yang saya tahu (minimal saya pernah membaca nama ybs): Ricky Achmad Soebagja (Nasdem), DG Nayoan, Ikin Sodikin (PKB), Ledia Hanifa, Arif Minardi, Achmad Zulkarnaen (PKS), Ketut Sustiawan, Dedy Djamaludin Malik, Junico BP Siahaan (PDIP), Happy Bone, Popong Otje Djundjunan, Muhammad Egi, Aat Safa'at Hodijat, Dina Wahyuningrum (Golkar), D Sodik Mudjahid, Nanang Sudjana, Bucky Wikagoe (Gerindra), Agung Budi Santoso, Daday Hudaya, Sugianto Nangolah (Demokrat), Mariana Gandakusumah, Juniarso Ridwan, Rimba Dirgantara Drajat, Clara Sinta (PAN), M Itoc Tochija (PPP), Moh Arief Soeditomo (Hanura), dan Abidin (PKPI).

Saya mengerucutkan lagi atau menyeleksi dari nama-nama yang saya tahu itu dengan kriteria Kenal. Kenal di sini dalam artian, pernah berinteraksi (wawancara, komunikasi, ngobrol, kongkow, dll). Maka jumlah caleg yang saya kenal hanya empat orang, yaitu Ledia Hanifa, Arif Minardi, D Sodik Mujahid, dan Itoc Tochija.

Bu Ledia saya kenal saat beliau berkunjung ke kantor saya, beberapa tahun lalu, memberi kartu nama dan beberapa kali mengirim rilis berita.

Pak Arif Minardi saya kenal saat beliau jadi Ketua SPFKK PTDI. Ketika itu, pegawai PTDI yang di-PHK menggelar demo besar-besaran menuntut pesangon dll. Saya tidak yakin, Pak Arif mengenal saya, karena saking banyaknya wartawan yang berkomunikasi dengan beliau ketika itu.

Pak Sodik Mujahid, saya kenal karena beliau adalah pembimbing umrah saya. Dulu pernah menjadi anggota DPRD Jabar dan Direktur Pusdai. Sekarang pimpinan Darul Hikam Dago.

Pa Itoc, saya kenal karena beliau adalah mantan Wali Kota Cimahi. Kenal pertama Pa Itoc saat beliau pertama kali pindah dari Bogor, menjadi penjabat Wali Kota Cimahi. Setelah itu lama tak berinteraksi, karena saya pindah daerah liputan. Namun informasi tentang Pak Itoc tetap mengalir. Begitu pula informasi tentang saya, mungkin mengalir juga ke Pak Itoc. Karena pernah bertemu di beberapa acara, sempat bertegur sapa: Masih di Radar? Eh di Tribun? Kemudian pernah bertemu secara formal menghadap Pak Itoc saat menemani pimpinan kantor tempat saya bekerja dan pengurus IKA SMAN 2 Cimahi untuk audiensi. Interaksi terakhir adalah ketika Pak Itoc mengundang saya dan istri saya, lebih tepatnya mengundang istri saya, untuk hadir pada pernikahan putrinya di Pusdai.

Apakah informasi di atas cukup memadai untuk dijadikan alasan memilih seseorang? Tentu belum. Karena kriteria yang dipakai sangat-sangat sederhana: TAHU dan KENAL saja. Masih harus ada penggalian lebih dalam untuk melihat rekam jejak dari orang-orang yang saya tahu dan kenal ini. ‪#‎asajangarrekmilihteeeeh‬....(*)

Thursday, April 03, 2014

Mengapa Sulit Membangun Jembatan?

CIBALONG adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Garut. Jaraknya sekitar 100 km dari pusat kota Garut, ke arah selatan, sebelah timur Sayang Heulang. Kecamatan ini melingkupi kawasan hutan terkenal, Hutan Sancang, di pesisir pantai selatan. Kecamatan ini dilalui dua sungai besar, Cibaluk dan Cimerak.

Dua sungai inilah yang selama ini menjadi potensi sekaligus kendala dalam membangun wilayah pelosok Garut selatan ini. Namun yang lebih banyak dikabarkan terkait sungai dan Cibalong adalah justru kendalanya. Tengok saja, beberapa kali surat kabar ini mengangkat isu tentang pelajar-pelajar tsanawiyah atau SMP dari beberapa desa di Cibalong yang kesulitan untuk mencapai lokasi sekolah, karena jembatan ambruk atau memang tidak ada jembatan.

Mereka terpaksa mengarungi sungai berarus deras dengan lebar antara 40 meter sampai 70 meter. Apabila ketinggian air mencapai dua meter, bisa dipastikan para pelajar itu tidak akan pergi ke sekolah atau menginap di sekolah.

Jembatan menjadi sarana vital di Kecamatan Cibalong untuk menghubungkan satu desa dengan desa lainnya. Jembatan pula yang menghubungkan desa-desa dengan pusat kecamatan. Tentu ini berkaitan erat dengan kehidupan ekonomi masyarakat Cibalong yang didominasi petani. Mereka menjual hasil bumi ke pusat kecamatan.

Sayangnya, puluhan tahun sudah negeri ini merdeka, kehadiran jembatan yang kokoh kuat seolah hanya mimpi. Selama ini, jembatan utama berupa jembatan bailey yang terbuat dari rangka baja dan dasar jembatan berupa kayu. Itu pun ambruk ambruk karena dimakan usia dan telah rusak. Pernah pula ada jembatan gantung, namun sejak 1971 warga tak pernah memakainya lagi karena rusak dan lapuk.

Tentu wajar jika muncul pertanyaan, mengapa sulit membangun jembatan yang kokoh dan kuat di daerah ini? Apakah karena Cibalong merupakan daerah pelosok dan terpencil, sehingga dipandang remeh dan sebelah mata? Atau hal itu membuktikan bahwa selama ini kue pembangunan memang hanya berputar di pusat-pusat kekuasaan dan yang menikmatinya pun hanyalah lingkaran-lingkaran penguasa?

Tak habis pikir, berkali-kali bupati yang memimpin Garut berganti, tapi daerah di selatan ini tak pernah menjadi prioritas pembangunan. Bukankah anggaran pembangunan pun tidak hanya berasal dari daerah sendiri, tapi bisa mengajukan, alih-alih meminta, ke tingkat provinsi dan pusat.

Sepinya perhatian dari pusat kekuasaan semakin memperkuat keyakinan, bahwa berpisahnya Garut Selatan dari Kabupaten Garut menjadi kabupaten sendiri adalah sebuah keniscayaan. Tentu dengan tujuan, agar tidak lagi daerah-daerah yang sulit dijangkau, daerah yang tak tersentuh pembangunan. Agar masyarat pun merasakan kehadiran pemerintah, setidaknya dengan pembangunan infrastruktur yang lebih bagus dan pelayanan yang berkualitas. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi 3 April 2014.

Gunung Padakasih Memprihatinkan.

GUNUNG Padakasih. Gunung ini berada di perbatasan Cimahi dengan Batujajar. Tak heran, orang Cimahi atau Batujajar sangat mengenal gunung ini. Ketinggian asal gunung ini sekitar 946 meter.

 Gunung Padakasih dilihat dari Google Maps 2014.

Berjejer bersama gunung-gunung kecil lainnya, membentuk rangkaian gunung di sebelah barat dan selatan Cimahi. Kadang-kadang, orang suka salah menunjuk Gunung Padakasih sebagai Gunung Lagadar. Padahal, keduanya berada di dua tempat berbeda. Gunung Lagadar berada di Cikuya, Nanjung. 
 Gunung Padang diliha dari arah Perumahan Sanghyang Pancanaka.

Kondisi Gunung Padakasih sangat memprihatinkan. Puncaknya sudah habis terpapas cabikan alat berat Beckhoe. Sejak lama, batu andesit Gunung Padakasih ditambang. Tidak akan lama lagi, gunung ini hanya tinggal nama. Padakasih.

Kalau menurut teman saya, Kang Deni Suwarja, yang orang Batujajar, pemilik pertambangan pasir batu itu pernah bilang: Kalau Padakasih tidak ditambang, tidak akan ada Jalan tol Padaleunyi. Mungkin memang benar, bahwa material batu pasir dari Gunung Padakasih itu digunakan untuk mengurug, mengecor, dan membangun jalan tol. 

Lalu kenapa setelah pembangunan jalan tol selesai, pengerukan dan penambangan masih terus berlangsung. Dan pertanyaan besarnya: Kok bisa yah, sebuah gunung dimiliki seseorang?. Bukankah gunung termasuk lahan yang dimiliki negara?. Kalo bisa begitu mah, saya juga mau ngaku sebagai pemilik Gunung Burangrang saja, hehe.(*)