Saturday, December 29, 2007

Liburan Akhir Tahun

AKHIR minggu ini, tepatnya Jumat (28/12), kami kedatangan keluarga Mas Nur dan Mbak Ning. Mas Nur ini kakaknya Bu Eri. Jadi kakak ipar saya. Mereka bekerja dan tinggal di Cikopo Tangerang.

Bude Ani (kanan), Bude Ning (kiri, memangku Kaka). Adik dipangku Mbak Yasmi dan Mas Fathan
Mas Nur dan Mbak Ning datang beserta anak semata wayang, Yasmin. Umurnya 1,5 tahun lebih tua dari Kaka Bila. Tentu saja, Kaka Bila senang luar biasa, Mbak Yasmin --begitu Kaka memanggil--, datang.

Sejak dua hari lalu, Kaka sudah menelepon ke Tangerang, nanyain kapan Mbak Yasmin datang ke Cimahi. Kalau mereka berdua bertemu, woih, lengket. Kemana-mana mesti bareng. Mandi bareng, tidur juga bareng.

Seperti kemarin malam dan hari ini. Kaka tidur sama Mbak Yasmin di ruang tengah. Tapi begitulah. Tengah malam, Kaka bangun dan pindah ke kamar Bu Eri. Terus tadi pagi, sejak bangun sudah langsung main bersama. Mereka mandi di rumah Bude Ani. Lucunya, baju pun mereka pakai yang sama warnanya. Pink. Pake rok lagi, yang juga sewarna. Ah, pokoknya mau serba sama.

Ceritanya, Mas Nur dan Mbak Ning mau liburan akhir tahun. Mumpung ada waktu libur. Soalnya, waktu Lebaran kemarin, mereka enggak pulang ke Cimahi. Tapi langsung mudik ke Jawa.

Kebetulan anak-anak juga sudah libur semua. Kaka udah terima raport hari Jumat. Fat-han hari Kamis. Farid hari Sabtu baru terima raport. Ada beberapa rencana untuk meng-isi liburan bersama-sama. Mungkin hari Minggu besok, kami akan berenang di Tani Mulya. Soalnya Fathan ingin berenang. Sudah itu ingin main di Dunia Mainan Bandung. Pengen juga ke Pakuhaji. Wah, banyak acara lah...

Sementara saya, ikut saja sepanjang tidak mengganggu pekerjaan. Karena, seperti biasa, tidak ada libur bagi saya. Mau akhir tahun, Tahun Baru-an, tahun baru kuda, tahun baru badak, tahun baru tikus, atau dinosaurus, koran tetap terbit. Yang enak, Bu Eri. Hari Minggu jatah libur reguler, hari Seninnya libur liputan, karena Selasa tidak terbit. Enak bener....(*)

Friday, December 28, 2007

Sudah 11 Bulan

TAK terasa, usia Adik Namira sekarang sudah 11 bulan. Wah, tambah banyak saja kabisanya. Sekarang, Adik maunya berdiri terus. Padahal naik ke kursi saja masih sulit. Laganya dia, pegang kursi terus lepas tangan. Biasanya sambil membalik, dan jatuh ke pangkuan saya atau Bu Eri.


Kalau merangkak, duduk, berpegangan di teralis jendela, sudah jago. Badannya sih sekarang enggak gendut-gendut amat. Baru 11 kg. Soalnya makannya agak susah. Tapi ngemil paling jago. Setiap orang rumah pegang makanan, pasti ribut ingin makan juga.
Makan gorengan gehu, dia paling suka. Tapi yang diambil cuma tahu nya saja. Kalo enggak dikasih, wah nguadat.

Gigi Adik sekarang sudah tumbuh 6 biji. Dua di bawah tengah, persis kayak cepot, he he... Empat biji lagi di atas. Makanya kalau menggigit sudah terasa sakit. Adik paling suka nunjukkin telunjuk. Ngaciiirr... Kalau mau apa-apa, nunjuk-nunjuk. Melihat lampu juga dia suka. Pu...pu..., begitu dia bilang.

Oh iya, kalau soal kemampuan verbal, Adik sudah bisa ngomong beberapa kata. Yang paling gampang, ya ngomong A. Terus ngomong Ayah, Bapa, Bah (maksudnya Mbah kali yah). Lalu Apa, Mama, Mamam. Kalau manggil Ibu, masih belum bisa. Pernah sih beberapa kali bilang "Bu", sambil mulutnya nyembur...
Karena ayah ibunya jarang di rumah, ya jadinya Adik lebih dekat sama Bude, yang tiap hari suka gendong dia. Tapi kalau melihat Ibunya, woh pasti langsung pengen digendong terus. Ayah sih sekali-kali saja. Kalau mau berangkat kerja, biasanya Adik mau digendong dulu.
Hobinya setiap pagi, ya melihat ayam tetangga. Jadi cara ampuh kalau Adik ngadat, ajak saja melihat ayam, pasti berhenti nangisnya. Beberapa kali Adik sakit. Kemarin pun, Adik demam. Sudah diberi obat, demamnya reda kalau siang. Cuma kalau malam, suka demam lagi.
Kecil-kecil, Adik ini suka jahil. Kalau bangun pagi-pagi dan orang lain belum bangun, dia suka colok-colok mata. Ya siapa yang kuat dicolokin mata, orang tidur pun pasti bangun... (*)

Bennazir Bhutto

SAYA langsung terhenyak. Saat menyalakan teve, Kamis (28/1) jam 10 malam, ada breaking news di Metro TV dan RCTI. Benazir Bhutto, mantan PM Pakistan, pemimpin Pakistan's People Party (PPP), tewas ditembak, lalu penembak meledakkan bom bunuh diri.

Mengapa saya terhenyak? Padahal Bhutto bukan siapa-siapa, nun di Pakistan sana. Memang Benazir Bhutto, pastilah, tidak punya hubungan dengan saya. Hanya, seminggu terakhir ini, entah kenapa, saya suka mengumpulkan foto-foto Benazir Bhutto. Mulai saat dia kembali dari pengasingan, Oktober lalu, yang juga disambut bom bunuh diri sampai terakhir dua hari lalu, saat kampanye di sebuah daerah. Apa ini firasat gitu buat Bhutto?

Sebenarnya saya mengumpulkan foto Benazir Bhutto itu karena memang untuk kepentingan berita. Saya mengumpulkan foto-foto tokoh dunia yang dijepret fotografer Associated Press (AP). Saya dokumentasikan, karena yakin suatu hari akan bermanfaat. Setidaknya, kalau saya kebagian menggarap halaman internasional, tidak kesulitan lagi mencari foto headshot presiden atau tokoh luar negeri lainnya.

Yang pasti, kematian Benazir Bhutto juga memukul perasaan ibu saya. Saya tahu, Mama penggemar Benazir. Bahkan dinasti Bhutto. Saya kenal nama Zulfikar Ali Bhutto, waktu kecil dulu, juga dari Mama. Mama yang cerita, bahwa Ali Bhutto mati digantung rezim
militer Zia Ul Haq. Ketika muncul Benazir sebagai penerus Ali Bhutto, Mama pun ngefans juga. Mudah-mudahan saja, akan muncul lagi penerus dinasti Bhutto lainnya. (*)

Saturday, December 22, 2007

Hari Ibu dan Ema Poeradiredja

22 Desember, Hari Ibu. Begitu setiap tahun, selalu diperingati. Tapi tadi pagi, saya tidak ingat kalau hari ini hari Ibu. Bukan berarti saya melupakan Ibu. Justru karena saya selalu ingat ibu setiap hari, sehingga rasanya tidak ada hari atau tanggal khu-sus untuk memperingatinya.

Sebenarnya, setiap kali Hari Ibu, yang terlintas dalam pikiran saya malah Ibu Raden Dewi Sartika, wanita Sunda pelopor kesetaraan jender. Pendiri Sakola Istri. Sayang-nya, tidak ada hari Dewi Sartika. Yang ada hanya Hari Kartini. Padahal, Dewi Sartika pun tak kalah dengan Kartini, dilihat dari jasa-jasa memajukan kaum
wanita.

Nah, bicara soal Hari Ibu, terutama lahirnya, sebenarnya ada satu nama wanita Sunda yang sangat berperan, yaitu Ema Poeradiredja. Kalau membaca nama ini, warga Kota Ban-dung, terutama ibu-ibu, pasti ingatnya dengan Rumah Sakit Bersalin Ema Poeradiredja di Jalan Halmahera.

Tapi berapa banyak yang ngeh, ingat, dan tahu, siapa Ema Poeradiredja itu. Padahal jasanya sangat besar mendorong kaum wanita, tak hanya Sunda, tapi juga Indonesia, untuk turut mengorganisasikan diri. Beliaupun mengikuti Kongres Perempuan Indonesia I di Yogya, 22 Desember 1928. Tanggal inilah yang dipakai acuan penetapan Hari Ibu.

Seperti disebutkan dalam Ensiklopedi Sunda, Ema Poeradiredja lahir di Cilimus, Kuningan, 13 Agustus 1902. Ia adalah anak dari R KS Poeradiredja, guru Bahasa Sunda yang pernah menjadi redaktur kepala di Balai Pus-taka Jakarta. Ema pula tokoh wanita Sunda pertama yang menjadi anggota Dewan Kotapra-ja (Gementeeraad). Dia juga pendiria Paguyuban Pasundan Istri PASI).

Saat masih jadi pelajar MULO, Ema masuk organisasi Jong Java (1918). Setelah tamat (1921), Ema langsung bekerja di Jawatan Kereta Api. Karena minatnya terhadap politik sangat tinggi, Ema pun masuk ke Jong Islamieten Bond cabang Bandung yang dianggapnya
lebih progresif (1925).

Ema pun aktif mengikuti Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928) di Ja-karta. Pada tahun 1925-1940, menjadi pemimpin Pandu Puteri, mulai di Natipij, lalu di Pandu Indonesia.Tahun 1927, Ema mendirikan Perserikatan Perempuan, yang bertujuan memupuk kepemimpinan wanita. Anggotanya terdiri dari beragam suku bangsa. Inklusi-vitas ini sebagai ungkapan atau ekspresi wanita Bandung sesudah Kongres Pemuda I.

Karena organisasi Perserikatan Perempuan itulah, ia diundang untuk hadir pada Kong-res Perempuan I di Yogyakarta, 1928. Tahun 1930, Ema menjadi Ketua PASI. Lima tahun kemudian, ia pun mengikuti Kongres Perempuan II di Jakarta.

Saat Kongres Perempuan III, 1938, yang digelar di Bandung, Ema menjadi ketua Kongres. Dan wakilnya adalah juga wanita Sunda, Ema Somanagara. Salah satu hasil Kongres III adalah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Tahun 1949, saat Agresi Militer II, ia ditahan Belanda di Yogyakarta, sampai Mei. Bu-lan Agustus, ia mengikuti Permusyawaratan Wanita Seluruh Tanah Air di Yogya. Tahun 1952, ia mewakili KOWANI, menghadiri Seminar of Woman in South Eas Asia di India.

Selama memimpin PASI, banyak usaha Ema untuk memajukan kaum wanita. Di antaranya men-dirikan Koperasi Wanita di Jabar, sekolah "Atikan Murangkalih Istri", Badan Penolong Pengangguran Kaum Ibu (BPPKI), Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC), Woman Interna-tional Club (WIC) di Bandung, Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) Jabar.

Ema pun mendirikan rumah jompo dan panti asuhan yatim piatu. Pernah juga menjadi anggota KNIP, DPR, MPR, dan DPA. Juga anggota Dewan Penyantun ITB dan IKIP, serta salah seorang pendiri Unpad. Atas jasa-jasanya itu, Pemerintah memberi penghargaan piagam Bintang Maha Putra Utama Kelas VI. Ema Poeradiredja meninggal di Bandung, 14 April 1976.

Kini, jika menyebut nama Ema Poeradiredja, yang terbayang adalah Rumah Sakit Bersalin Ema Poeradiredja, di Jalan Halmahera. Sudah ribuan kaum ibu yang melahirkan di sana. Dan sebagai ucapan terima kasih, ingatlah Hari Ibu ini sebagai Hari Ema. (*)

Thursday, December 20, 2007

Giliran Adik yang Kurban

ASPAL lapangan parkir Unjani masih basah oleh siraman hujan semalam. Tapi kami, warga Babakansari, tak ambil pusing. Gelar koran sebagai alas, lalu sajadah pun terhampar. Lapangan inilah satu-satunya tempat bagi warga Babakansari dan sekitar kampus Unjani untuk salat Id. Idul Fitri dan Idul Adha.

Bukannya kami tak punya mesjid. Mesjid Al Ikhlas kebanggaan warga Babakansari malah sudah dirombak. Diperbagus. Sayang, daya tampungnya minim. Tak mampu menampung warga Babakan, asli maupun pendatang, untuk salat Id. Hanya waktu salat Jumat saja yang bisa dipakai.

Ustad Uning (baju merah) tengah menyembelih kambing atas nama Namira Zenechka Hayatunnufus. Unjani pun punya mesjid. Tapi saat Idul Fitri, mahasiswa libur dan pulang kampung. Otomatis, mesjid kosong, tak ada aktivitas. Barulah saat salat Idul Adha, warga dan mahasiswa Unjani bisa bergabung, salat Id di lapangan parkir.

Sambil terkantuk-kantuk, karena habis piket semalam, saya menuju ke lapangan parkir Unjani. Tak lebih dari 100 meter, atau bahkan kurang, jaraknya dari rumah. Rupanya lapangan hampir penuh. Dan jemaah pun terus berdatangan.

Berhubung Unjani sebagai tuan rumah, mahasiswa aktivis mesjid Unjani yang menjadi panitia salat Idul Adha ini. Imam dan penceramah adalah Ustad Kardita Kintabuwana Lc MA. Kalau tidak salah, sekarang ini Ustad Kardita adalah Ketua Ma'had Al Imarat Bandung. Saya pernah mewawancarainya, sekitar tahun 2000, saat ada kegiatan di Mesjid Ar Rahman Cihanjuang Cimahi.

Usai salat, bergegas pulang ke rumah. Semua kumpul dan gembira. Karena Mbah Uti sudah pulang dan berlebaran bersama di rumah. Karena sakit dan susah makan, badan Mbah Uti jadi kurus.

Ketupat lebaran buatan Mbak Ani pun jadi sarapan pagi. Tandas sepiring metung ke dalam perut. Barulah setelah itu, semua bersiap mengambil kambing di rumah Pak Didin, tetangga RT. Ya, Alhamdulillah, tahun ini keluarga punya rezeki, jadi bisa kurban.

Sejak menikah, memang saya selalu mengupayakan agar bisa beli kambing setiap Idul Adha. Seharusnya tahun ini giliran Bu Eri. Tahun lalu saya, sebelumnya Kaka. Tapi Bu Eri bilang, sekarang giliran Adik saja.

Saya dan Mas Rohman, yang juga selalu kurban saat Idul Adha, menjadi langganan Pak Didin. Pak Didin ini punya peternakan kambing. Karena langganan, harganya pun selalu lebih murah. Hanya kemarin, harga kambing Mas Rohman sedikit lebih mahal. Itu karena memang kambingnya lebih besar.

Saya bawa kambing itu ke mesjid. Di situ semua kambing untuk kurban disiapkan. Baru datang, sudah langsung maju ke tempat jagal. Dan kambing putih hitam itu pun pasrah, menjadi kurban. Seperti halnya kepasrahan Ismail, saat hendak disembelih Bapaknya, Nabi Ibrahim. "Balasan kurban itu sesuai dengan niatnya. Kalau niatnya penuh keikhlasan dan ketakwaan, maka itu adalah untuk Tuhanmu. Tapi kalau niatnya hanya untuk diri sendiri, untuk riya, untuk sombong, jangan pernah berharap kurban itu sampai di hadapan Tuhanmu", begitu kata Ustad Kardita, saat ceramah Idul Adha, tadi. (*)

Wednesday, December 19, 2007

Takbiran di Kantor

BEGINILAH kalau bekerja di koran yang tak kenal tanggal merah, kecuali Idul Fitri. Libur pun tetap terbit, nonstop, tak terkecuali saat Idul Adha, seperti saat ini. Rabu (19/12) adalah malam takbiran. Besok pagi, salat Id. Lalu potong kurban. Tapi sampai jam 23.30 ini, saat mesjid di belakang kantor riuh dengan suara takbir, saya masih berkutat mengoreksi halaman terakhir, halaman 1.

Koran Tribun memang menerapkan sistem terbit nonstop sejak awal berdiri. Kalau di Bandung, boleh lah kita bangga sebagai pelopor koran nonstop. Karena kompetitor utama, Pikiran Rakyat, sampai sekarang tidak berniat nonstop.

Sebagai prajurit, saya siap saja, mau terbit kapan juga. Tapi kalau sampai Idul Fitri tetap terbit juga, nah itu baru KAMALINAAN...Teungteuingeun we, tetep terbit mah, saha nu rek maca koran wayah kitu..

Lepas tengah malam, baru koran kelar. Semua PDF sudah dikirim ke Percetakan Kompas di Rancaekek. Tinggal lelah saja yang tersisa. Bersiap pulang ke rumah. Melipat jas hujan yang masih lembab, bekas tadi sore kehujanan.

Tukang nasi goreng yang biasanya menarik minat, tak sekalipun dilirik. Karena hati sudah ingin segera tiba di rumah. Istirahat, selonjoran badan. Tapi jarak masih membentang, antara Bandung dengan Cimahi. Kurang lebih 15 km, hingga sampai rumah, di sudut Cimahi sana.

Suara takbir masih terus bergema. Sesekali saya pun turut mengumandangkan takbir, perlahan. Saya ingat, sejak jadi wartawan, tujuh tahun lalu, tak pernah sekalipun saya ikut takbiran di mesjid lagi. Seperti dulu, ketika masih berkumpul di Cibabat. Ketika masih semangat pulang ke Cimahi dari Jatinangor. Sesudah kerja, banyak yang berubah. Waktu, yang sebetulnya masih banyak luang, terasa serba tak cukup. Sampai takbiran pun hanya bisa di jalan, di rumah, di tempat salat.
Ah, Cimahi masih jauh...(*)

Mbah Uti Pulang ke Rumah

RABU (19/12) sekitar pukul 13.00, Mbah Uti pulang ke rumah, setelah dirawat di RSUD Cibabat selama 6 hari. Tadi pagi Bu Eri ke RS untuk menjemput. Sebelum pulang dan memastikan tidak ada yang sakit, Mbah Uti belajar jalan dulu di lorong RS. Entah karena memang sudah ingin pulang, Mbah Uti bilang tidak ada yang sakit. Mbah Uti pun pulang, dijemput Mas Rikhan dan Bapak, yang setiam malam nunggu.

Saya tidak ikut menjemput. Soalnya lagi berkutat di Plasa Telkom. Menukarkan kompensasi Flexi. Lebih pedih lagi, saya harus kehilangan Sanex SC 7090. Karena ternyata HP itu diambil pihak Flexi, dengan alasan semua HP 1900 band tidak bisa dipakai dan ditukar dengan kompensasi, baik HP lagi maupun pulsa.

Sudahlah, saya tidak ingin berdebat lagi dengan pihak Flexi. Setelah menelepon Bu Eri bilang HP tidak bisa balik lagi, karena ditukar pulsa, akhirnya saya relakan saja HP Sanex yang sudah 4 tahun "melayani" diambil.

Yang penting mah, Mbah Uti sekarang sudah di rumah. Perhatian tidak terpecah lagi. Mungkin benar, dari sisi medis, saya masih ragu. Tapi setidaknya, masih di rumah sehingga perawatan kita bisa lebih intensif. (*)

Tuesday, December 18, 2007

Pileuleuyan Kang Tatang

SENIN (17/12) pagi jam 10 kurang, saya buka detikcom. Ada berita kecelakaan di Indramayu. Judulnya "Sepulang dari UNCCC, 5 Staf Deplu Tewas di Indramayu". Hmm, tewas kenapa nih, pikir saya.

Saya buka berita itu. Ternyata pendek, hanya tiga alinea. Seorang pejabat Deplu menyebutkan menerima SMS soal kecelakaan 5 staf Deplu di Indramayu. Saya pikir, pasti jadi running news nih.

Benar saja, 10 menit kemudian, muncul berita terbaru. "Nama 5 Staf Deplu yang Tewas Kecelakaan di Indramayu", begitu judulnya. Mereka adalah Darmadja, Tatang Santoni, Alif Suraji, Kusyono, dan Suryadi.

Saat membaca nama Tatang, saya tidak langsung ngeh. Hanya rasanya kok nama ini akrab di telinga saya. Tatang yang saya kenal adalah staf Informasi dan Media di Deplu. Apa Tatang yang ini?. Jangan-jangan ada nama yang sama. Saya masih belum yakin, karena dalam berita tidak disebutkan mereka staf bagian apa.

Baru pada berita keempat, saya menemukan para korban memang benar staf infomed Deplu. Berarti Tatang yang jadi korban adalah Tatang yang saya kenal.
Kang Tatang adalah orang yang paling rajin mengontak wartawan, di manapun berada. Dia yang selalu jadi seksi sibuk kalau Deplu menggelar acara. Pantas saja, kalau saat acara UNCCC di Bali, Kang Tatang juga turut serta.

Terakhir saya kontak-kontakan dengan Kang Tatang ini saat ada acara kedatangan Penerima Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, ke Gedung Merdeka Bandung. Kalau tidak salah ingat, bulan September atau Agustus. Sehari sebelum acara, Kang Tatang kirim faksimile undangan. Malamnya, saya lalu balik nelepon. "Kang, kalau ID Card ya gimana nih," tanya saya. "Udah kirim saja pasphoto reporter dan fotografer. Saya tunggu, mumpung belum pergi ke Bandung," jawab Kang Tatang.

Saya buru-buru kirim foto teman reporter Tribun, Kisdiantoro, dan fotografer, Deni Denaswara. Saya kontak lagi untuk menanyakan di mana mengambil ID Card, Kang Tatang jawab,"Gampang lah, besok di gerbang saya tunggu yah. Cari saya saja". "Oke Deh, Kang. Thanks yah," kata saya. Itulah Kang Tatang. Orangnya ramah, tak sungkan saat dimintai tolong. Pileuleuyan Kang Tatang, semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin. (*)

Saturday, December 15, 2007

Mbah Uti masuk Rumah Sakit

SUDAH dua hari ini, Mbah Uti, ini sebutan cucu-cucu karena cedal tapi menjadi panggilan akrab, terbaring di RSUD Cibabat. Mbah Uti mengalami perdarahan. Ini berarti kali kedua, Mbah Uti masuk rumah sakit dalam selang waktu kurang dari dua hari.

Sebelumnya kondisi kesehatan Mbah Uti baik-baik saja, tak ada masalah. Hanya waktu cek IUD, yang sudah kelamaan, 30 tahun mungkin, ngendon di rahim, baru ada masalah. IUD itu sulit dilepas. Alasan dilepas sederhana saja, "ingin suci" kalau suatu hari nanti dipanggil pulang Yang Maha Kuasa.

Rabu kemarin, IUD bentuk spiral itupun dilepas di RS Hermina Terusan Pasteur. Nah pascapelepasan itu yang gawat. Ada salarun urine yang jebol, sehingga bercampur dengan darah.

Bu Eri yang mengurus Mbah Uti sejak awal periksa sampai bawa ke rumah sakit sudah minta agar Mbah Uti dirawat saja. Malahan sudah booking kamar. Tapi Mbah Uti minta pulang. Saya, waktu pulang piket Rabu malam, juga kaget. Kok Mbah Uti ada di rumah, bukannya mau dirawat di rumah sakit.

Ternyata di rumah pun hanya bertahan satu hari. Karena Kamis malam, terjadi perdarahan lagi. Jumat pagi pun, Mbah Uti diangkut ke RSUD Cibabat. Sekarang kita yang repot nih di rumah. Biasa segala sesuatunya beres, tidak ada Mbah Uti, jadi berantakan.

Warung juga dibuka seadanya, karena tidak ada yang pergi ke pasar. Mbah Uti-lah yang memegang otoritas belanja ke pasar setiap dua hari sekali. Biasanya ke pasar Baros. Jadi kalau sekarang ini, saya atau siapa saja di rumah menggantikan Mbah Uti belanja ke pasar, jelas blingsatan. Apaan yang mau dibeli, ke pedagang mana belinya?

Kita pun sibuk atur jadwal untuk jaga di rumah sakit. Juga atur waktu untuk jaga Adik. Karena tidak mungkin adik ditinggal, ataupun dibawa ke rumah sakit. Sementara saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Bu Eri saja terpaksa izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Itu pun tiap hari ditelepon redakturnya supaya masuk kerja.

Baru sekarang, terasa bagaimana luar biasanya peran Mbah Uti di rumah. Kalau hari-hari biasa saat Mbah Uti sehat walafiat, mana terasa. Cepat Sembuh Ya Mbah. (*)

Sunday, December 09, 2007

Selamat Jalan Mbak Lina


Mbak Lina (tengah pakai kaus hitam)
MBAK Lina, teman kami, sahabat kami, rekan kerja yang ulet, telah meninggalkan kehidupan fana ini. Tepat pukul 17.49 WIB, Mbak Lina pergi untuk selama-lamanya di RS Immanuel Bandung, setelah mengalami masa kritis, lalu anvaal. Hebatnya, saat dirawat, Kamis (6/12), Mbak Lina masih memikirkan soal pekerjaan di kantor. Padahal kondisinya sudah kritis.

Lina Marliana, begitu nama lengkapnya. Mbak Lina adalah manajer keuangan Tribun Jabar. Lahir di Garut, 34 tahun lalu. Dari keluarga Tionghoa. Sejak 2 tahun lalu, Mbak Lina menderita kanker payudara. Malahan setelah diangkat, ternyata akar kanker masih ada dan menyebar menyerang tulang sumsum belakang.

Walau kanker itu menggerogoti badannya, tapi kanker itu tak pernah berhasil menggerogoti semangat hidup Mbak Lina. Mbak Lina tak pernah terlihat mengeluh. Padahal saya yakin, rasa sakit itu pasti ada, tapi tak pernah ditampakkannya.
Perubahan mencolok terjadi setelah ia pulang pengobatan di Singapura. Rambutnya habis, karena dikemoterapi, dan memakai rambut palsu. Namun kebiasaannya pulang larut malam, terus dilakoni.

Memang saya dan Mbak Lina beda bagian, sehingga tidak terlalu sering bersua dan berkomunikasi. Terlebih pekerjaan yang seabrek, membuat Mbak Lina lebih banyak menghabiskan jam kerja benar-benar di meja kerjanya.

Saya sendiri suka heran, melihat Mbak Lina pulang larut malam, jam 11 atau 12 malam. Saya menyangka tidak akan ada orang lain di luar Redaksi dan Produksi yang berada di kantor. Tapi ternyata lampu ruang Keuangan masih nyala. Tak lama keluar Mbak Lina. "Eh masih di sini, saya pulang duluan yah," kata dia, seolah waktu masih sore.
Begitulah, sosok ulet itu meninggalkan tapak jejak yang dalam di hati kami, All Tribuner. Sebuah teladan, sebuah pengabdian dan loyalitas bagi perusahaan. Selamat Jalan Mbak Lina. (*)

Tuesday, December 04, 2007

Mencari Ikan Dewa di Kolam Cigugur (3-Habis)


TIM ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Penelitian Departemen Pertanian pernah mempelajari ikan Dewa di Kuningan. Berdasarkan hasil penelitian, ikan kancra bodas atau ikan dewa tergolong Genus Tor. Spesiesnya adalah Labeobarbus Douronensis.

Ada empat spesies ikan sejenis yang hidup di wilayah Indonesia. Misalnya, jenis Tor soro, yang dikenal dengan nama lokal semah di Kalimantan dan garang di Sumatera. Ikan yang dapat tumbuh hingga satu meter itu dikenal enak dimakan. Karena sudah jarang, masyarakat yang menangkapnya pun menjualnya dengan harga mahal. Para pendatang di Kalimantan Barat banyak yang memburunya untuk dipasarkan hingga ke Malaysia.

Sementara Balai Riset Perikanan Perairan Umum juga pernah meneliti Ikan Semah yang hidup di Sungai Musi. Ikan Semah yang sejenis dengan Kancra Bodas atau Ikan Dewa di Cigugur ini tergolong jenis ikan endemik yang hampir punah. Habitatnya khas, yaitu di perairan torrential dengan kondisi air jernih, berbatu dan berarus deras. Tidak heran bila bentuk tubuhnya stream-line.

Ikan semah adalah jenis ikan pemakan segala (omnivora). Makanan utamanya adalah buah-buahan, moluska dan serangga. Ikan semah memijah di sungai dengan cara meletakkan telur di bebatuan. Jumlah telur (fekunditas) mencapai 63.360 butir. Panjang tubuhnya dapat mencapai ukuran 85,5 cm. Pada masyarakat Sumatera Selatan, ikan semah yang mencapai ukuran 1 kg biasanya dihidangkan pada acara tertentu seperti pernikahan. (*)

Mencari Ikan Dewa di Kolam Cigugur (2)


MENGAPA balong atau Kolam Cigugur ini keramat atau dikeramatkan? Itu tak lepas dari sejarah terbentuknya daerah Cigugur. Sebelum lahir nama Cigugur, tempat itu acap disebut dengan nama Padara. Nama ini diambil dari nama seorang tokoh masyarakat, yaitu Ki Gede Padara, yang memiliki pengaruh besar di desa itu.

Padara berasal dari kata padan dan tara yang artinya pertapa. Ki Gede Padara adalah seorang wiku yang konon lahir sebelum Kerajaan Cirebon berdiri, yaitu pada abad ke-12 atau ke-13.Ia memiliki ilmu tinggi, sehingga badannya transparan, bisa tembus pandang.

Ki Gede Padara disebutkan hidup sezaman dengan tokoh dari Talaga, Pangeran Pucuk Umun, Pangeran Galuh Cakraningrat dari Kerajaan Galuh, dan Aria Kamuning yang memimpin Kajene atau Kuningan. Bahkan, mereka ini sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan. Bedanya, Pucuk Umun, Galuh Cakraningrat, dan Aria Kamuning, disebut menganut agama Hindu, sementara Ki Gede Padara tak menganut agama apapun.

Di usia tuanya, Ki Gede Padara berkeinginan untuk segera meninggalkan kehidupan fana. Namun, ia sendiri sangat berharap proses kematiannya seperti layaknya manusia pada umumnya. Berita tersebut terdengar oleh Aria Kamuning, penguasa Kajene atau Kuningan, yang kemudian menghadap kepada Syekh Syarif Hidayatullah.

Atas laporan itu, Syekh Syarif Hidayatullah pun langsung bertemu dengan Padara. Syekh Syarif Hidayatullah merasa kagum dengan ilmu kadigjayan yang dimiliki oleh Ki Gede Padara. Dalam pertemuan itu Padara pun kembali mengutarakan keinginannya agar proses kematiannya seperti layaknya manusia biasa. Syekh Syarif Hidayatullah meminta agar Ki Gede Padara untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai syaratnya. Syarat yang langsung dipenuhi Ki Gede Padara. Namun, baru satu kalimat yang terucap, Ki Gede Padara sudah sirna.

Setelah Ki Gede Padara menghilang, Sarif Hidayatullah bermaksud mengambil air wudu. Namun, di sekitar lokasi tersebut sulit ditemukan sepercik air pun. Dengan meminta bantuan Allah SWT, dia pun menghadirkan guntur dan halilintar disertai hujan yang langsung membasahi bumi. Dari peristiwa inilah kemudian sebuah kolam tercipta. Kini, kolam yang dipakai untuk wudu Sunan Gunung Jati itu disebut Obyek Wisata Kolam Renang Cigugur. Begitu kisah Kolam Cigugur itu, sebagaimana terpampang di dinding dekat loket penjualan tiket masuk ke kolam. Benar atau tidaknya, Wallahu A'lam. (*)

Mencari Ikan Dewa di Kolam Cigugur (1)


KABUPATEN Kuningan dikenal sebagai daerah yang kaya akan tempat wisata. Kita tentu mengenal Linggarjati, sebuah desa di Kecamatan Cilimus yang menjadi tempat pelaksanaan Konferensi Linggarjati antara RI dengan Belanda tahun 1947. Linggarjati pula salah satu jalur masuk menuju ke puncak Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat, selain Palutungan.

Tak jauh dari Linggarjati, ada daerah Sangkanhurip. Sebuah desa yang dilintasi aliran air panas. Tak heran, kolam-kolam berendam air panas bertebaran di sini.
Lantas, kita bisa mengunjungi Telaga Remis yang menawarkan suasana khas alam pegunungan yang sejuk dan tenang. Nama telaga alami yang berjarak 25 km dari pusat kota Kuningan itu, berasal dari sejenis kerang yang hidup di sekitar telaga.

Kuningan pun memiliki Taman Purbakala Cipari, yang kaya akan peninggalan manusia purba. Disamping wisata air Waduk Darma, masyarakat adat Cigugur yang terkenal dengan Upacara Seren Taun juga menjadi satu tujuan wisata eksotik.


Nah saat pemantauan Adipura tempo hari, saya sempat menyinggahi salah satu lokasi wisata yaitu Obyek Wisata Kolam Renang Cigugur, di Kecamatan Cigugur. Daya tarik kolam ini bagi pengunjung adalah keberadaan ikan Kancra Bodas (Labeobarbus Douronensis), yang disebut masyarakat setempat sebagai Ikan Dewa.

Saya tidak sengaja mendatangi tempat ini. Saat melintasi Jalan Raya Cigugur, Mas Wawan, ketua tim dari PPLH Regional Yogyakarta, yang penasaran ingin tahu seperti apa kolam Cigugur itu. Terlebih, ia ingin tahu tentang ikan Dewa yang disebut-sebut ada di kolam ini. "Saya pernah ke Jombang dan di sana ada juga ikan Dewa. Apa ikan dewa di sini sama dengan yang di Jombang, itu yang membuat saya penasaran," kata Mas Wawan.

Kolam keramat Cigugur merupakan satu dari empat lokasi sejenis di Kuningan. Tiga tempat lainnya adalah Kolam Linggarjati di kompleks Taman Linggarjati Indah, Kecamatan Cilimus, Kolam Cibulan, dan Balong Darma Loka di Kecamatan Darma. Semuanya memiliki kolam-kolam yang dihuni ikan keramat Kancra Bodas.

Jangan pernah punya niat untuk memancing, apalagi memakan ikan Dewa. Konon, mereka yang memakan Ikan Kancra itu akan langsung mati. Ikan Dewa ini pun dianggap memiliki keanehan. Jumlahnya dari tahun ke tahun tidak pernah bertambah atau berkurang. Selain itu, ikan-ikan ini juga sangat akrab dengan manusia. Sudah jamak, pengunjung yang berenang bercengkerama, mengelus, dan memberi makan ikan Kancra Bodas, yang berwarna abu kehitaman ini.

Bila kolam dibersihkan, masyarakat sekitar sering melihat bahwa ikan-ikan yang ada di kolam tersebut menghilang. Mereka percaya bahwa ikan-ikan tersebut berpindah lokasi ke kolam-kolam keramat lainnya yang ada di Kuningan. Kearifan lokal itu pula yang menolong Ikan Kancra Bodas ini dari kepunahan.

Di dalam tempat wisata Kolam Cigugur ini, terdapat dua kolam besar berbentuk persegi panjang. Kolam pertama berukuran panjang 35 meter dan lebar 15 meter dengan kedalaman air sekitar 2 meter. Kolam kedua berukuran 45 x 15 meter persegi.

Meski semuanya itu dihuni puluhan ikan-ikan kancra bodas berbagai ukuran, mulai yang sepanjang 20-an sentimeter hingga hampir 1 meter, kolam-kolam di Cigugur dibuka sebagai kolam pemandian umum. Tempat rekreasi itu dilengkapi dengan fasilitas khas tempat pemandian, seperti tempat ganti pakaian, tempat bilas, dan kamar mandi/WC.

Pepohonan yang rimbun di belakang kolam menambah indah suasana kolam Cigugur. Lokasinya di tepi jalan raya besar memudahkan pelancong untuk singgah sebentar, melepas penat, sambil menikmati ikan Dewa berseliweran di kolam. (*)

Sunday, December 02, 2007

Kutu Kucing, Kutu Kupret

HARI Minggu ini saya dan Bu Eri sudah merencanakan untuk membongkar kamar tengah. Bukan temboknya yang dibongkar, tapi karpet bulu diganti karpet plastik. Ada dua alasan utama kenapa ganti karpet.

Pertama, batuk pilek Kaka dan Adik, terutama Adik, tak pernah sembuh. Sudah ke dokter, diberi obat. Tetap muncul lagi. Saran semua dokter yang dikunjungi, jangan pakai karpet bulu di rumah. Pakai karpet plastik saja. Mungkin itu dari alergi.

Kedua, ini yang jadi prioritas. Beberapa hari terakhir ini, bergentayangan kutu-kutu kucing di rumah. Korbannya tidak lain Bu Eri, Mbak Ani dan Nurul. Gatal-gatal di kaki karena gigitan kutu kupret yang bisa loncat itu. Tapi tak berdaya kalau kena air ludah (hah...).

Kutu-kutu itu berasal dari kucing yang tempo hari beranak di atas atap. Ukurannya kecil sekali, nyaris tak terlihat. Keberadaannya segera diketahui, kalau kulit kita terasa panas karena gigitan sesuatu. Maka tampaklah makhluk kecil berwarna hitam tengah nongkrong di betis kita. Jangan sungkan, oleskan saja air liur. Dijamin, kutu kupret satu itu tidak akan loncat atau terbang.

Walau sudah berobat, pakai salep segala macam, tetap saja si kutu kupret itu tak pergi. Bu Eri lebih mengkhawatirkan kalau kutu itu menyerang anak-anak. Selain itu, kutu-kutu itu jelas membawa virus Toksoplasma. Bu Eri pun pernah kena Tokso. Dulu Bu Eri penggemar kucing. Waktu hamil Kaka dua bulan, periksa ke dokter, ternyata ada tokso-nya. Untung sudah tidak aktif, dan tidak ganas. Kalau tidak, janin bisa habis dimakan virus kutu kupret itu.

Saya pun sudah merasakan gigitan tajam binatang itu. Saya tepuk, sang kutu kupret loncat, entah kemana. Tak lama bekas gigitan pun jadi bentol dan bercak merah. Saya tak yakin, setelah karpet dibersihkan, kutu itu itu hilang. Satu-satunya cara efektif adalah mengebom rumah dengan cairan PK dan Formalin, untuk membunuh semua serangga. Yang ini belum saya lakukan. Minggu depan, mungkin, (*)

Saturday, December 01, 2007

Jelajah Priangan dan Pantura: Terbakar Matahari

SELAMA sepuluh hari, saya menjelajahi daerah Priangan, terutama Priangan Timur, yang dilanjutkan ke daerah Pantura. Daerah Priangan Timur itu melingkupi Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, lalu Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar. Sementara Pantura meliputi Kabupaten/Kota Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Total ada 7 daerah yang saya sambangi.

Tujuan tur kali ini bukan jalan-jalan, tapi pemantauan Adipura tingkat Nasional. Saya tergabung dalam tim khusus Priangan Timur dan Pantura bersama Pak Asep Dakhyar dari BPLHD Jabar, Bu Irma Triastuti dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) ITB, dan Pak Wawan Rubianto dari Pusat Regional Jawa PPLH Yogyakarta.

Waktu pemantauan memang sangat sempit, 10 hari. Padahal standar untuk pemantauan bagi kota yang tergolong kota kecil adalah dua hari. Jadi harusnya 14 hari masa pemantauan. Karena banyak kendala teknis, baik di BPLHD Jabar maupun Kementerian Lingkungan Hidup, akhirnya hanya 10 hari waktu untuk memantau. Tentu saja tim harus bekerja cepat, berpindah dari satu kota ke kota lain dalam tempo paling lama 2 hari.

Obyek yang menjadi pemantauan tim Adipura sudah baku sejak tiga tahun lalu. Selain Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, sebagai komponen penyumbang nilai terbesar, obyek lainnya adalah rumah sakit, sekolah, perkantoran, pertokoan, taman dan hutan kota. Terus perairan, termasuk sungai dan saluran air, pasar dan sarana publik lainnya, seperti jalan dan stasiun KA atau pelabuhan laut.

Daerah pertama yang tim kunjungi adalah Singaparna. Karena tim berangkat siang, usai pembekalan, baru sore kami bisa memantau. Tempat pertama yang dipantau adalah TPA di daerah Salawu. Lalu masuk ke kota kecamatan Singaparna, memantau sekolah, Puskesmas, pasar, jalan arteri dan kolektor. Karena hari sudah gelap, pemantauan dihentikan. Dilanjutkan kembali keesokan harinya memantau pertokoan, perkantoran, taman kota dan seterusnya.

Usai pemantauan, tim tidak bisa berleha-leha. Karena tim harus memasukkan data penilaian dan juga foto-foto pantauan. Di sini yang paling krusial, karena menentukan nilai tidak sembarangan. Sering terjadi debat lebih dulu untuk menentukan kriteria yang pas dengan kenyataan di lapangan. Yang paling lama adalah memasukkan foto dan menamainya. Kebetulan saya pegang dua kamera digital, sementara Mas Wawan satu. Sehingga kami harus bergiliran untuk memasukkan foto ke laptop.

Begitulah. Dari satu kota, tim terus bergerak ke kota lainnya dengan aktivitas yang serupa. Memantau semua obyek, lalu menilai, dan memasukkan data. Singaparna, Ciamis, Banjar, lalu masuk Kuningan, ke Sumber Cirebon, Indramayu, dan terakhir di Majalengka, semua tak terlewat dipantau seteliti mungkin.

Cape, sudah pasti. Kalau fisik tidak kuat-kuat amat, rasanya mau tumbang saat itu juga. Saat pembekalan, Pak Setyo dari Pusreg Yogyakarta sudah mengingatkan, siapa yang merasa tidak fit, mundur saja dari tim ketimbang harus mundur di tengah jalan. Beruntung, tim kami tetap solid dan tetap sehat walafiat, hingga akhir pemantauan di Majalengka. Semua bersorak gembira begitu titik pantau terakhir selesai dinilai. Apalagi Mas Wawan, dia sudah satu bulan tidak pulang ke rumah, karena keliling Jawa Tengah, Jawa Timur, lalu kebagian juga memantau di Jabar bersama saya.

Oleh-olehnya? Ya muka jadi menghitam terbakar, karena selama pemantauan hujan tak turun, kecuali saat masuk Kota Majalengka, hujan turun sebentar. Matahari begitu terik menyengat, apalagi di Indramayu. Wah, kepanasan. Inginnya di dalam kamar ber-AC terus. Pulang ke rumah, langsung dipijat sama Bu Engkos, tetangga sebelah kampung, yang biasa mijat di rumah. (*)

Saturday, November 17, 2007

Adipura

MULAI SENIN (19/11), saya harus berpisah dulu dengan keluarga dan teman-teman di kantor selama 10 hari. Jumat kemarin, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jabar mengirimkan surat tugas ke kantor. Isinya penugasan untuk pemantauan kota terbersih di Jabar yang layak mendapat penghargaan Adipura 2008.

Tahukan Adipura? Itu lho penghargaan buat kota terbersih di Indonesia. Malahan kota terkotor pun diumumkan biar malu, dan rajin bersih-bersih. Sebetulnya penugasan ini tidak mengejutkan. Karena seharusnya saya berangkat sejak bulan Agustus lalu. Namun
karena ada masalah anggaran, baik di pusat dan daerah, pemantauan terus diundur, hingga akhirnya ada keputusan November ini berangkat.

Mengapa saya bisa terlibat dalam tim pemantau Adipura? Semua itu berawal dari undangan pelatihan menjadi tim pemantau Adipura, tahun 2005 lalu. Pelatihan itu dijadikan seleksi untuk memilih anggota tim. Mereka yang terpilih mendapat sertifikat sebagai Tim Pemantau Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Selain PNS dari BPLHD, unsur pemantau Adipura juga berasal dari PNS di luar BPLHD, seperti Dinkes, Dinas Pendidikan. Di luar itu, ada anggota independen, yaitu kalangan akademisi. LSM, dan pers. Di Jabar, hanya ada dua koran yang jadi pemantau, yaitu Tribun Jabar dan Pikiran Rakyat. Sementara LSM yang memantau adalah Walhi Jabar, lalu ada Yayasan Gerimis.

Sejumlah kota sudah saya jelajahi untuk saya pantau kebersihannya. Wilayah III Pantura (5 kota/kabupaten), lalu kota Depok, Bekasi. Untuk pemantauan kali ini saya mesti menjelajahi wilayah Priangan Timur, mulai Tasik, Ciamis, dan Banjar, lalu melingkar ke Pantura (Indramayu, Cirebon, Kuningan, dan Majalengka).

Satu tim yang berangkat biasanya terdiri dari 4 atau 5 anggota. Komposisinya beragam: satu orang PNS, satu orang LSM atau akademisi, dan satu orang pers, ditambah dari KLH Regional Jawa. Itu untuk memantau kota/kabupaten yang tergolong kota kecil. Atau bisa juga dua PNS dari BPLHD, satu pers dan LSM ditambah pemantau dari Regional Jawa dan KLH Pusat.

Nah di sini yang biasanya suka rame. Pusat dan daerah sering bentrok, berbeda pendapat, dalam memberikan penilaian. Tugas saya adalah menengahi dan memutuskan penilaian yang lebih objektif. Tugas saya yang lainnya adalah mengawasi jalur komunikasi antara anggota tim dengan pihak kota yang dituju. Ya, suka ada saja anggota, terutama PNS, yang nakal. Mereka memberitahukan lebih dulu rencana kedatangan tim ke kota bersangkutan agar bisa bersiap-siap. Dan tugas saya, mencegah
hal itu terjadi, agar penilaian tetap objektif, apa adanya.

Ya Alhamdulillah, kota-kota yang kebetulan kena giliran saya pantau belum ada yang memperoleh Adipura. He he... Entah karena saya terlalu ketat menilai, atau gimana yah.. Saya sih bersandar pada fakta saja. Kotor dibilang kotor, bersih ya dibilang bersih. Toh ada bukti kuat yaitu foto-foto seluruh penjuru kota. Itu yang menjadi andalan saya saat presentasi di hadapan bupati dan walikota.

"Ini lho Pak, rumah sakit negeri anu suka buang limbah seenaknya. Jarum suntik dibuang apa adanya, tak masuk mesin insinerator. Padahal itu berbahaya, mengandung banyak kuman dan kemungkinan infeksi..bla bla. Nih fotonya, mau membantah Pak?," begitu saya suka "belagu" di depan pejabat-pejabat daerah. Mumpung, punya kekuasaan, sedikit-sedikit boleh lah berlagak... (*)

Bandung Blossom: Kota Kembang Sesaat


BANDUNg semarak bunga. Pawai kendaraan hias keliling kota membuat Bandung dipenuhi bunga-bunga berjalan. Bandung Blossom, begitu nama acara karnaval memperingati HUT ke-197 Kota Bandung ini. Kayak nama factory outlet di Dago. Apa mungkin FO itu jadi sponsor utamanya? Yang pasti, pawai itu menyedot perhatian masyarakat Bandung. Terutama, karena pemain Persib turut diarak di atas kendaraan. Hidup Persib!!! Hidup Maung Bandung!!! Padahal Persib main terakhir kalah 0-2 dari Persik Kediri. Lah pokona mah Hidup Persib!

Tentu saja kaum hawa yang paling banyak jerit-jerit ketika pemain Persib yang ganteng-ganteng, seperti Redouane Barkawi, Edi Kurnia, Pato Jimenez, muncul. "Barkawi, Barkawi, Barkawi" begitu teriakan mereka.

Tentu hal yang mengasyikkan jika Bandung berbunga semerbak lagi seperti dulu. Bukan bunga buatan atau bunga seremonial setahun sekali, setiap Bandung ulang tahun. Bandung Kota Kembang, itu julukan tempo dulu. Tempo sekarang, yah dilihat saja lah, apakah memang masih Kota Kembang?

Ruang Terbuka Hijau yang menjadi elemen penting hadirnya bunga dan taman justru makin berkurang. Kecepatan pembangunan Mal mengalahkan kecepatan pembuatan taman. Memang belakangan ini, Pemkot berupaya keras memperbanyak jumlah RTH. Sejumlah SPBU tidak diperpanjang lagi izinnya dan lokasinya dijadikan RTH.

Lalu untuk membuat Bandung makin berbunga, sejumlah pertigaan atau perempatan dipasangi taman mobile. Ini taman buatan. Pot-pot bunga disimpan di pertigaan, jadi pembatas jalur. Padahal kalau dilihat, keberadaan taman mobile ini tidak efektif. Dan sangat memanjakan para pencoleng tanaman hias. Kari eh tinggal ngambil saja, haratis...

Tentu warga Bandung ingin Bandung berbunga, hijau, sepanjang masa. Nah untuk seperti itu, harus dikerahkan daya upaya seluruh kekuatan, baik pemerintahan maupun masyarakat, membangun sebuah kesadaran bahwa Bandung ini ditinggali tidak hanya untuk saat ini, tapi puluhan, ratusan, mungkin ribuan tahun yang akan datang, bagi anak cucu cicit.

Mungkin, generasi abad 30 akan merasa reueus, menyaksikan Bandung yang masih hijau, tetap berbunga. "Ehm ini teh karena masyarakat dan pemerintahnya sadar akan lingkungan," begitu meureun. (*)

Environmental Jurnalism Workshop

WELEH, makhluk apaan nih? Environmental Jurnalism Workshop. Ini cuma Pelatihan Jurnalisme Lingkungan, kok. Jurnalisme Lingkungan? Apaan lagi tuh? Ya sederhana saja, ini salah satu aliran dalam jurnalisme yang khusus menyoroti soal lingkungan.

Eit entar dulu. Lingkungan di sini, ternyata bukan hanya terkait hutan, keanekaragaman hayati, pencemaran, dkk. Tapi juga lebih luas lagi, melingkupi politik, hukum, kesehatan, budaya, ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Itulah yang seharian kemarin saya pelajari bersama dengan sejumlah kawan wartawan media cetak, radio, dan televisi pada Pelatihan Jurnalisme Lingkungan untuk Editor. Pelatihan itu bagian dari Pelatihan Jurnalisme Lingkungan yan digelar selama 4 hari, 3 hari untuk reporter 1 hari untuk editor. Saya tidak tahu berapa banyak peserta
reporter yang ikut pelatihan. Kalau untuk editor ada 10 orang.

Tempat pelatihan di kantor Tribun. Nah, trainernya adalah Mas Harry Surjadi. Lulusan Institut Publisistik Bogor, he he itu nama julukan buat IPB yang lulusannya lebih banyak jadi jurnalis ketimbang jadi petani.

Mas Harry ini adalah Fellow, penerima beasiswa dari Knight International Journalism Fellowship, AS. Karena dia ngelotok banget soal lingkungan, maka jurnalisme lingkungan yang dia sampaikan.

Menurut Mas Harry, Fellow dari Knight Internasional ini tidak perlu belajar di AS. Justru dia mendapat tugas untuk menyebarluaskan jurnalisme lingkungan, dengan cara pelatihan-pelatihan seperti ini. Rencananya dia bakal mendatangi 6 daerah, 6 koran, dan semuanya di bawah Persda KKG.

Oh ya, latar belakang jurnalistik Mas Harry tak perlu diragukan lagi. Dia dua tahun jadi wartawan Trubus. Lalu masuk ke Kompas. Sekitar 10 tahun di Kompas, Mas Harry keluar dan bersama teman-temannya mendirikan Astaga.com. Hanya setahun, Mas Harry memutuskan untuk jadi freelance. "Ya enak jadi freelance, gak perlu ada acara pagi ke kantor, diam di kantor, wah ribet deh," kata Mas Harry.

Ia pun menulis untuk sejumlah surat kabar di Jepang, Inggris, Jerman, dan AS. Bayarannya jelas pakai dollar. Satu tulisan diharga 250 dollar. Dan terakhir, sebelum jadi Fellow, ia rutin mengisi kolom di sebuah koran Jepang, entah Shimbun apa namanya.

Selama setahun menerima beasiswa, kata Mas Harry ia tak boleh menulis artikel apapun.
"Nah ini yang bikin pusing, saya tidak boleh menulis artikel apapun. Ya paling nanti kalau selesai fellow, selesai buku saya tentang jurnalisme lingkungan," kata dia.

Seharian itu, peserta pelatihan dibukakan pancainderanya kembali oleh Mas Harry, betapa persoalan banjir, longsor, cileuncang, pembalakan, dan sebagainya, bukan sekadar persoalan lingkungan, tapi juga menyangkut persoalan yang lain. "Kalian sebagai editor, harus tahu bagaimana kondisi utuh atau grand desain dari persoalan lingkungan. Kalau ada banjir, jangan berhenti di banjir. Coba telusuri, apa yang menjadi persoalan inti, penyebab, dan mengapa terus terjadi," papar Mas Harry.

Banyak yang bisa diambil dari pelatihan kemarin itu. Sesungguhnya, saya sendiri pernah berkali-kali meliput isu-isu lingkungan. Seperti pencemaran air dan tanah oleh pabrik tekstil di Rancaekek, pencemaran udara di Kota Bandung, bencana hujan asam yang mengancam, longsor dan banjir di sejumlah tempat.

Sayangnya, berhenti sampai di situ. Tidak ada dorongan keras kepada para pemegang kebijakan untuk berbuat maksimal demi lingkungan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Itulah yang akan kami, para peserta pelatihan lakukan. Bersama-sama terus melempar isu lingkungan, agar pemerintah tergerak, masyarakat pun bergerak, dan semua bergerak, menyelamatkan kondisi lingkungan yang kian parah ini. (*)

Thursday, November 15, 2007

Kantor Tribun Didatangi "Panglima" Geng Motor

RABU (14/11) siang, sekitar jam 13.00 saya ditelepon Bu Eri. "Ayah, kata teman di Bandung, itu kantor Tribun diserang geng motor". Informasi yang setengah mengagetkan. "Wah masa, nanti ayah cek," jawab saya. Saya langsung kontak ke kantor. Ari, staf Sekred, mengabari kalau tadi, sekitar jam 11.30, memang ada orang yang meminta klarifikasi berita geng motor. "Tapi cuma seorang kok Kang Mac. Tadi marah-marah minta klarifikasi," kata Ari. "Oh gitu, ya sudah, sebentar lagi saya ke kantor kok," kata saya.

Namun di luar perkiraan saya, isu kantor Tribun diserang geng motor meliar. Sejumlah wartawan berdatangan ke kantor. Bahkan dua truk Dalmas Polresta Bandung Tengah ngeburudul datang ke kantor. Rupanya ada rekan wartawan yang kontak ke Kapolresta, bilang kalau Tribun diserang geng motor. Lalu detikcom pun menyiarkan soal geng motor yang mendatangi kantor Tribun, gara-gara pemberitaan. Tentu saja hal itu membuat sibuk, dan sedikit panik karyawan yang lain.

Saya datang setelah polisi hengkang dari kantor. Saya tanya satpam, siapa yang datang. "Banyak wartawan, saya ditanya-tanya segala, apa yang rusak. Ya enggak ada yang rusak lah, orang cuma minta klarifikasi kok," sewot Taruna, satpam Tribun.

Tapi suasana tegang terasa benar di kantor. Geng motor, jangan coba-coba. Apalagi katanya yang datang itu adalah panglima geng motor. Weleh...

Awal kekisruhan ini bermula ketika, Selasa pagi, saya mendapat SMS dari rekan-rekan Masika ICMI. Jam 13.00 ada diskusi soal Geng Motor: Problema dan Solusinya. Pembicara yang bakal hadir adalah Kapolwiltabes, Kepsek SMP Darul Hikam, Ketua KNPI Jabar, dan Panglima Brigez.

Panglima Brigez? Wah menarik nih. Panglima geng motor yang selama ini ditakuti orang bakal hadir di sebuah acara diskusi. Saya langsung kontak Tif, wartawan. "Tolong meluncur ke gedung ICMI di Cikutra. Ada diskusi soal geng motor. Upayakan wawancara khusus dengan Panglima Brigez. Nanti saya kontak fotografer buat motret," kata saya.

Persoalan tentang geng motor memang lagi panas-panasnya di Bandung. Itu tak lepas dari aksi brutal mereka yang kerap memakan korban. Entah itu anggota geng motor lain, ataupun warga biasa. Ada beberapa geng motor terkenal di Bandung. Ada XTC (Exalt to Coitut), GBR (Grab on Road), Moonraker, dan Brigez (Brigade Zeven). Korban terakhir amuk geng motor hingga meninggal dunia adalah Putu Ogik, wisatawan yang sedang melancong di Bandung. Ia ditusuk belati geng motor tanpa sebab apapun.

Jam 14.30, saya kontak lagi wartawan di lapangan. Ternyata sampai jam segitu, panglima Brigez yang dijanjikan bakal hadir belum muncul juga. Saya minta wartawan tetap menunggu sampai acara selesai. Siapa tahu muncul di akhir acara. Namun ternyata, memang panglima Brigez itu tak hadir.

Walau tak datang, saya minta wartawan tetap menuliskan beritanya. Pertama, ini isu yang sedang sensitif di Bandung. Kedua, di saat bersamaan, Kapolwiltabes dan Walikota Bandung menandatangani MoU tentang penanganan geng motor. Salah satunya adalah memberikan sanksi moral. Seluruh RT RW se Bandung diberi tahu, siapa saja anggota geng motor yang tinggal di wilayah mereka, dan mengumumkannya kepada masyarakat, agar anggota geng motor malu dan jera. Jadi berita Panglima Brigez itu masih ada kaitannya secara tidak langsung.

Lalu blooom, setelah koran terbit, terjadilah "insiden" kantor Tribun diserbu geng motor. Chandra alias Ochan, tak terima disebut tidak punya nyali hadiri diskusi. Walau dalam berita tidak menyebutkan sedikitpun namanya ataupun geng motor Brigez, tapi ia mengaku dirinya yang disudutkan. Karena yang diundang ke diskusi itu adalah dirinya. Terlebih Tribun menyebutkannya sebagai tidak punya nyali. Wartawan sudah baik menuliskannya, tidak ada masalah. Namun saat pengolahan, terpeleset. Ada opini yang masuk dalam berita.

Saya sendiri sudah mengingatkan soal ciut nyali atau tidak punya nyali itu tidak perlu disebutkan, karena faktanya tidak ada yang menyebut hal itu, termasuk panitia. Lagian, siapa yang tahu alasan panglima Brigez itu tidak hadir, kecuali panitia yang mengaku sudah konfirmasi hingga Senin, Ochan mau datang. Tapi saat pelaksanaan, tak bisa dikontak.

"Empat hp saya nyala terus, aktif terus. Masa tidak bisa dikontak. Saya tidak bisa hadir, karena memang ada rapat di tempat kerja. Dan siapa yang bilang saya panglima Brigez. Pendiri, memang iya. Tapi panglima? Saya sudah mundur dari Brigez sejak lama. Sebutan panglima itu tidak ada waktu dulu, itu zaman sekarang-sekarang saja ada sebutan panglima," begitu jelas Ochan pada rekan saya, Ichsan, wartawan yang biasa ngepos di kepolisian.

Kalau tidak cepat-cepat diselesaikan, permasalahan ini terus berkembang. Sampai-sampai, Komandan Tim Bulik (Bunuh dan Culik) atau Tima Cepat Tanggap Polda Jabar, Bang Zul Azmi,langsung turun ke lapangan. Mendatangi kantor Tribun, tanya kiri kanan soal insiden tersebut. Seandainya ada tindak kekerasan dari "panglima" Brigez itu, saya yakin dia langsung diciduk. Kabarnya, dia sudah diincar polisi sejak lama.

Hanya urusannya tidak berhenti di sini. Urusan dengan "Panglima" Brigez itu mungkin bisa dianggap selesai. Tapi bagaimana dengan anggota di bawah? Siapa yang bisa menjamin, anak-anak itu bisa dipegang? Berdoa saja, mudah-mudahan pulang ke rumah selamat. (*)

Tuesday, November 13, 2007

Pohon Pepaya Bercabang 5


ADA satu keunikan yang saya temukan di Kampung Bumen, Borobudur, Magelang. Tepat di pinggir kanan jalan masuk ke rumah Mbah Buyut, tumbuh sebatang pohon pepaya. Memang cuma pohon pepaya. Tapi pepaya yang satu ini beda dengan yang lain. Bercabang lima.

Ho ho, bercabang lima? Jarang bukan. Rasanya baru kali ini saya temukan pohon pepaya bercabang lima. Dan di setiap cabangnya, ada buah pepaya atau kembang yang bakal jadi buah. Saya tidak menghitung berapa banyak buah yang sudah muncul. Yang pasti, pohon pepaya yang satu ini tumbuh tinggi. Lebih tinggi dari pohon pepaya biasa.

Herannya, tidak semua orang tahu keberadaan pohon pepaya bercabang lima ini. Mbah Uti malahan tidak pecaya kalau ada pohon itu. Padahal setiap hari, lewat jalan itu. Ya, memang letaknya tidak mencolok. Berada di tengah rerimbunan tanaman pagar. Jadi agak tersamar.

Bagi saya, ini kali kedua saya menemukan pohon agak aneh. Yang pertama, tahun 2000 saya menemukan buah kelapa yang muncul di tangkai kecil yang menjulur dari batang pohon kelapa. Pohon ini tumbuh di halaman rumah bapak angkat saya, Pak Hidayat di Sangkuriang Cimahi. Foto buah kelapa ini pernah diminta wartawan Majalah Misteri untuk dipublikasikan. Sampai saya diwawancara segala. Mimpi apa semalam, sebelum menemukan buah kepala, eh kelapa itu. Ada-ada saja.

Tour of Borobudur: Last Day in Kiai Langgeng (5-Habis)

MINGGU (28/10), hari terakhir kami di Borobudur. Rencananya, Senin pagi, kami mau kembali ke Bandung. Karena itu, kami manfaatkan waktu itu untuk berekreasi ke Taman Kiai Langgeng, Kota Magelang. Ini sebuah tempat wisata tengah kota. Ya, mirip Dufan Jakarta, tapi mini.

Mobil Avanza penuh sesak. Kali ini keluarga Mbak Bib yang ikut. Memang setiap kali pergi ke suatu tempat, kami atur agar bergantian. Maklum, mobil cuma satu, sementara anggota keluarga banyak. Cuma Mbak Bad yang selalu ikut dalam setiap kunjungan. Waktu ke Salatiga, keluarga Mas Hasyim dan Mbak Bad yang ikut. Kalau ke Yogya, keluarga Mas Oyan.

Ternyata, minggu itu Kiai Langgeng banyak dikunjungi wisatawan. Mereka datang dari Semarang, Magelang, Ambarawa, juga dari Yogya. Kebanyakan memanfaatkan Kiai Langgeng untuk halal bihalal. Kalau kita mah, sekalian ngasuh anak saja. Mau naik mobil air, ayo. Naik komedi putar, hayo. Naik kincir besar, ayo.

Kalau untuk kawasan Magelang dan sekitarnya, keberadaan Taman Kiai Langgeng ini cukup sebagai tempat rekreasi lokal. Lahannya lumayan luas. Jenis permainannya juga cukup banyak. Ada bus keliling, kereta api, mobil air, mini jetcoaster. Juga ada kebun binatang mini. Di sini pun ada desa buku Kiai Langgeng. Itu lho, sebuah program untuk membudayakan membaca pada masyarakat.

Selain itu ada wahana --ini istilah di Dufan-- baru. Naik pesawat. Ini benar-benar pesawat terbang, cuma disimpan di lahan khusus, tidak mengudara. Bayarnya Rp 5.000. Pengunjung cuma masuk, nengok-nengok, yang mau foto-foto mangga, yang mau duduk di seat pesawat, silakan. Lalu keluar lagi. Lha, apa enaknya? Bagi yang pernah atau sering naik pesawat, jelas enggak ada enaknya. Tapi bagi mereka yang datang dari pelosok, yang tahunya pesawat dari televisi, naik pesawat itu seperti mimpi.

Suasana di dalam taman wisata ini cukup nyaman. Banyak pepohonan besar, jadi enak untuk berteduh sekalian makan. Lalu pemandangan ke lembahnya juga bagus. Ada sungai besar di bekalang taman ini. Nah, di sebelah pinggir taman, ada kolam renang. Sehabis keliling-keliling dan ikut permainan, anak-anak pun berenang.

Saya pun ikut nyebur ke kolam, karena Kaka belum bisa berenang. Tapi lama-lama, setelah dibiasakan pakai pelampung, Kaka pun berani berenang sendirian. Ia asyik berenang bareng kakak-kakak sepupunya, Mbak Uum dan Mbak Hanifah. Bu Eri pun tak tahan untuk nyebur. Akhirnya, berbasah-basah ria di kolam, karena berenang pakai baju.

Yang lainnya cuma jadi penonton. Mbah Uti, gendong Adik yang tidur. Mbak Bad dan Mbak Bib juga cuma nonton. Yeti, keponakan, yang datang bersama teman-temannya dari Yogya, juga enggak berenang. Setelah semua kecapean bermain di air, kami pun pulang ke Borobudur.

Tak terasa, empat hari kita berada di Borobudur. Badan ini terasa lelah dan capai, karena selama berada di Borobudur, main terus. Keliling dan silaturahmi. Kita pun mengemasi barang-barang dan oleh-oleh yang akan dibawa ke Cimahi. Bu Eri masih sempat dipijat. Saya memilih untuk tidur saja.

Senin pagi, setelah sarapan, kita pamitan. Entah kapan lagi kita bisa kembali ke Borobudur. Maklum, sekali pulang itu butuh duit banyak. Ya paling 5-6 tahun lagi bisa ke sana lagi. Senin malam, di tengah guyuran hujan deras sejak Banyumas, kami tiba dengan selamat. Hatur nuhun Kang Asep, yang sudah menyopiri mobil dengan baik dan ramah. (*)

Monday, November 12, 2007

Historia Vitae Magistra: Reuni Barudak Sejarah


SABTU (10/11), bertepatan dengan Hari Pahlawan, saya meluncur ke Jatinangor. Ada undangan untuk reuni barudak Sejarah, Himpunan Mahasiswa Sejarah (Himse) Unpad. Sebelumnya saya mampir dulu ke kantor Tribun dan Pramita Lab mengambil hasil pemeriksaan tes kesehatan Bu Eri.

Rasanya saya baru kemarin keluar dari kawasan Jatinangor. Tapi begitu lewat pertigaan tol, saya seperti masuk ke Jatinangor yang lain. Jatinangor yang sudah berubah dan saya nyaris tak mengenalinya lagi.

Di kiri jalan, dekat pertigaan itu, sudah berdiri sebuah mal. Makin mendekati wilayah kampus, suasana makin ramai. "Weleh, ini Jatinenzer bukan," pikir saya. Jalan angkutan di depan STPDN, eh IPDN, tak lagi lurus, tapi melipir ke kiri dekat gerbang IPDN terus Ikopin. Dan, saya pun bengong...

Jalan raya yang biasanya lurus itu ternyata sudah berbelok ke kiri. Membelah saung budaya di pinggir Ikopin, terus tembus ke Unwim dan berakhir di Pangdam (Pangkalan Damri) Unpad. "Wah ada jalan baru toh," kata saya dalam hati.

Sekilas saya melihat ke sebelah utara, lahan Unpad, ada gerbang dekat pemberhentian bus Damri. Lalu terlihat pula semacam koridor menuju ke waduk dan fakultas kedokteran. Namun berhubung saya ini "kolot", saya tetap ingin menempuh jalur biasa, seperti yang biasa saya tempuh 10-12 tahun ke belakang.

Dan masih seperti dulu, kemacetan langsung menyergap mulai pertigaan Sayang hingga depan kampus Unpad. Pemandangannya luarrr biasa. Berubah. Tak ada satupun bangunan yang saya kenal. Mungkin hanya warung makan Munggaran yang saya kenal. Tapi tampilannya pun sudah jauh berubah. Kiri kanan banyak toko. Depan Munggaran, yang dulu masih sawah apa kolam, habis oleh beragam toko. Wah, pokona mah, makin pusing lihat Jatinangor yang padat suradat begitu.

Belok kiri, gerbang utama kampus Unpad Jatinangor. Kalau ini masih seperti dulu. Cuma pintu gerbang yang buka hanya sebelah kiri, yang kanan tutup. Entah kenapa. Melaju terus, saya lewati pos Satpam, lalu ke arah Bunderan. Saya tengok sebelah kanan. Wuih, ini stadion Unpad, tempat dulu saya biasa main dan berlatih bola. Tribunnya kini memakai atap. Tapi kualitas lapangannya tidak berubah. Tetap buruk. Sempat terlihat, sejumlah anak tengah bermain bola di genangan air. "Kirain sudah seperti Siliwangi..."

Saya terus menanjak ke gedung Fakultas Sastra. Terasa adem saat lewat depan Fisip, dekat Mesjid Ibnu Sina. Pohon yang dulu masih kecil-kecil sekarang sudah rimbun. Yang mencengangkan, lahan dekat lapangan basket Pedca (dulu) kini jadi toko-toko kecil. Rame pokona mah.

Masuk halaman Fakultas Sastra, suasana sepi. Mungkin Sabtu, tidak ada mahasiswa yang kuliah. Saya parkir motor di depan PSBJ. Pede saja saya nyelinap ke belakang PSBJ, terus tembus ke Gedung B. Katanya acara reuni di Aula Gedung B. Naik tangga. Satu dua, tiga lantai. Ada panitia penyambut di dekat pintu Aula.

Saya lihat daftar hadir. Tidak begitu banyak yang hadir. Waktu masuk ke aula, beberapa teman langsung menyambut. Ada Tanti R Skober, teman seangkatan. Lalu Nyai Kartika, adik angkatan. Mereka berdua ini sudah jadi dosen Sejarah. Bersalaman, lalu kami pun cerita-cerita.

Saat saya masuk, rupanya Kang Hikmat Kurnia tengah "memprovokasi" anak-anak baru Himse. Sepintas saya dengar, Kang Hikmat menyemangati anak-anak itu supaya tidak patah arang dengan menjadi mahasiswa Sejarah. "Baik buruknya kalian itu tergantung kalian sendiri. Sukses, kalian yang mengusahakan. Buruk, ya kalian juga yang melakukannya," kata Kang Hikmat.

Kang Hikmat Kurnia ini, anak Sejarah angkatan 86. Jabatannya mentereng, Direktur Agromedia Grup. Sebuah grup yang menaungi sejumlah penerbitan, seperti Puspa, Canting, Agromedia Pustaka, Gagas Media, dsb. Selain Kang Hikmat, ada satu senior lagi. Cuma saya lupa namanya. Juga ada Guntur, angkatan 89. Mas Anto, Sekjur Sejarah, terselip di antara mereka. Dia angkatan 90.

Lalu wajah-wajah yang lebih familiar muncul. Ada Maulana Yudiman, angkatan 92. Dia ini mantan wartawan dan Korlip Majalah Swa. Sekarang jadi entrepreneur, penulis di Jakarta Post. Lalu Kang Jaja, juga angkatan 92. Ternyata alumni yang datang kebanyakan angkatan 80 ke bawah. Angkatan 70 tidak ada yang datang. Yang lainnya, angkatan di bawah saya, 95 sampai 2000-an.

Kang Hikmat panjang lebar mencekoki anak-anak Himse dengan "petuah-petuah". "Jangan lihat kalian ini dari jurusan apa, tapi lihat apa yang bisa kalian lakukan. Bisanya menulis, ya tekun di menulis. Bisanya motret, ya motret. Bisanya melawak, ya jadi pelawak. Jangan minder lah," kata dia menyemangati.

Ya, memang ada anak Sejarah yang jadi komedian. Juhana "Joe" Sutisna, dedengkot P Project adalah jebolan Sejarah. Dia seangkatan dengan Hikmat Kurnia. Lalu masih di P Project, ada juga Aep. Kalau pernah nonton klip P Project yang zaman Piala Dunia, ada pemain pendek berambut kribo seperti Maradona, itulah Kang Aep.

Bagi saya, Hikmat Kurnia, adalah salah seorang inspirator untuk terjun di dunia jurnalistik. Cerita senior-senior saya dulu, selalu menyebut nama Hikmat Kurnia untuk mencontohkan alumni yang sukses di jurnalistik dan penerbitan. Dan orang ini tidak pernah berubah. Setiap kali ada undangan reuni dari Himse, pasti datang dan memberi semangat.

Selain Hikmat, ada pula nama M Subhan SD, juga anak Sejarah angkatan 86. Dia adalah wartawan Kompas. Ini nama-nama "sakti" yang melecut semangat untuk bisa seperti mereka. Akhirnya, wartawan memang jadi jalan hidup saya. "Dia bisa, mengapa saya tidak bisa," begitu pikir saya waktu masih mahasiswa dulu.

Memang banyak anak Sejarah yang terjun ke dunia jurnalistik. Entah kenapa. Di Tribun saja, ada tiga orang. Saya, Teh Umi, angkatan 90, dan Irna angkatan 93. Tapi Teh Umi dan Irna sudah keluar.

Yang saya tahu, ada pula Tri Juli angkatan 91, wartawan Media Indonesia. Lalu Mochamad Asep BS, teman Yudiman di Majalah Swa. Ada juga Dadan Hendaya, angkatan 88, di Pikiran Rakyat. Oh ada juga Kang Dudi Rahman dan Kang Doddy Kusmayadi. Dulu mereka berdua kompak di Majalah Panji. Waktu Panji bubar, Kang Dudi loncat ke Gatra, Kang Doddy ke TV7. Sekarang Dudi Rahman di Investor

Kemudian Taufik BW, angkatan 93, dia di Kantor Berita 68H Komunitas Utan Kayu, sebelumnya di Majalah Gatra. Di Gatra juga ada Teh Ida Farida, angkatan 80-an. Juga ada, siapa tuh, saya lupa lagi namanya. Pokoknya anak angkatan 93. Dia kerja di Suara Karya. Lalu Dani Asmara, teman seangkatan saya yang kerja di penerbitan, Mujahid Press. Dan banyak lagi yang saya tidak tahu.

Walau sederhana, reuni itu cukup mengasyikkan. Selain saya dan Tanti, dari angkatan 94 yang hadir adalah Dani Santoso alias Dani Botak. Teman-teman lain tidak datang karena kesibukannya. Mas Gunawan, lagi ke Singapura, ngirim barang arkeologi dari Depdagri. Lalu Deni "Obo" Budiman, saat dikontak, bilang ada acara keluarga mendadak. Wawan, yang semangat mau datang, ternyata tak nongol. Yuli Jasad sibuk mau manggung di Saparua. Rini "oin" Murliani, masih kerja kalo Sabtu di Sumitomo Serang. Purnamawati lagi sekolah PGSD. Yang lainnya, tidak ada kabar.

Yang menggembirakan, reuni kecil ini bakal menjadi awal menuju Reuni Akbar. Katanya panitia mau menggelar pada 2008 mendatang. Makanya, setiap angkatan diminta menyerahkan database masing-masing personel. Dan saya kebagian mengkoordinir teman-teman 94. Awal Desember, data base harus beres, bertepatan dengan reuni Ikatan Alumni Unpad.

Saya baru tahu, kalau senior-senior 80-an membuat milis jasmerah di yahoo. Tahu gitu saya join dari dulu. Katanya di situ berseliweran informasi barudak sejarah. Nanti saya join deh, biar seru.

Acara tidak berlangsung lama. Setelah makan siang, acara selesai dan seluruh hadirin bersalaman. Lalu pulang ke rumah masing-masing. Satu hal yang setidaknya bisa diambil dari pertemuan itu adalah sejarah harus mampu menyemangati diri dan menjadi faktor perubah dari situasi yang kurang baik ke situasi yang lebih baik. Mengutip ungkapan seorang filsuf, entah Socrates, entah Aristoteles, entah Cicero: Historia Vitae Magistra. Sejarah adalah Guru Kehidupan. Belajarlah dari Sejarah, Kau pun Akan Mampu Memperbaiki, Minimal Memperbaiki Dirimu Sendiri. Sampai ketemu lagi, di tahun 2008. Semoga. (*)

Sunday, November 11, 2007

Tour of Borobudur: Salatiga dan Yogya Pun Dikebut (4)

Ini rumah Pak Jayin di Suruh, Salatiga
TAK hanya berkutat di Borobudur, kami sekeluarga pun bersilaturahmi ke saudara-saudara di luar Magelang. Jumat (26/10), kami meluncur ke Salatiga menuju rumah Pak Jayin, orang tuanya Mbak Ani, atau besannya Mbak Kakung. Lokasi rumah Pak Jayin berada di daerah Suruh, sebelah timut Terminal Tingkir Salatiga.

Jarak Magelang-Salatiga, kira-kira sektar 65 km. Kami mengambil jalur via Kopeng. Kopeng ini daerah di ketinggian, mirip Cisarua Lembang, atau Puncak Bogor. Kiri kanan jalan penduduk menanam sayuran. Lalu tanaman hias pun banyak. Mirip Cihideung Parongpong, kalau di Bandung. Hanya memang jalur via Kopeng ini berbelok-belok. Tak heran, Mbak Bad pun dibuat puyeng dan masuk angin.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, beberapa saat sebelum azan Jumatan, kami tiba di rumah Pak Jayin ini. Kedatangan kami sudah dinanti-nanti. Karena Mbak Ani sudah mengabari Pak Jayin, kami bakal mampir ke Salatiga. Lalu saya, Mbah Kakung, Mas Hasyim, dan Kang Asep, salat Jumatan dulu di mesjid besar yang belum selesai dibangun.

Mesjid ini berada di sebelah timur rumah Pak Jayin. Kalau sudah jadi, saya yakin mesjid ini megah. Konstruksinya saja beton, dengan beberapa pilar di dalam. Lalu kubah bulat berukuran besar. Katanya biaya pembangunan sudah menghabiskan 800 juta. Diperkirakan sampai selesai habis duit 1,6 miliar. Namun kata Pak Jayin, panitia pembangunan tidak terlalu kesulitan. Pasalnya, desa Suruh ini punya warga andalan, yang sekarang menjadi anggota DPR RI dan DPRD Provinsi Jateng, dari PPP. Dari saku merekalah, paling banyak mengucur dana pembangunan mesjid besar ini.

Usai Jumatan, kita pun makan siang dan istirahat. Sementara Kaka senang main ayun-ayunan di samping rumah. Kebetulan ada pohon cukup besar dan kuat, sehingga bisa untuk ayun-ayunan. Di pinggir rumah Pak Jayin ini ada kolam lele dan kebun Salak. Sayang, saat itu, salaknya belum besar-besar.
Kaka Bila main ayunan di samping rumah Pak Jayin
Jelang sore, kami pamit pulang. Jalur pulang pun kembali lewat Kopeng, karena lebih dekat, ketimbang lewat Ambarawa. Setelah Salatiga, rencananya, Sabtu (27/10), kami akan ke Parangtritis. Tapi Kaka sakit panas. Mungkin kecapean main terus.

Akhirnya rencana pun diubah, tidak jadi ke Parangtritis, tapi sampai Yogyakarta saja. Kita silaturahmi ke Mbak Siyah dan Mas Slamet. Ini saudara sepupu Bu Eri, anaknya Bude. Nah, kalau ke Yogya, ya sekalian belanja oleh-oleh. Apalagi kalau bukan Bakpia Pathuk dan Dagadu. Berhubung "umat" yang harus dioleh-olehi banyak, kita pun memborong Bakpia dan makanan lainnya.

Sebelum beli bakpia, kita mampir dulu ke Dagadu di Pakuningratan. Pilih-pilih baju Dagadu yang asli. Soalnya merek Dagadu itu sudah banyak yang membajak. Mending sedikit mahal, tapi asli, langsung dari pabriknya.

Beres dari "Matamu" alias Dagadu, baru kita beli Bakpia. Kita pilih Bakpia 75, karena katanya sih ini yang paling enak. Di sepanjang jalur itu, ada beberapa bakpia. Ada 25, 125, ada juga bakpia 21. Tapi begitulah, kalau sudah jadi komoditi wisata, harga bakpia jadi mahal.

Beruntung, kita diantar Mbak Siyah. Dia tahu celah untuk beli Bakpia. Kalau pembeli diantar oleh guide, biasanya guide juga dapat persenan. Rp 2.000 per dus Bakpia. Lumayan kan. Tapi karena beli banyak, jatuhnya mahal juga. Akhirnya kita beli Bakpia, di pusat pembuatannya di belakang Bakpia 75. Masuknya lewat gang sempit di pinggir Bakpia 75. Soal harga jangan tanya, murah pisan. Jika beli di depan Bakpia 75, satu dus harganya Rp 15 ribu atau Rp 14 ribu, di sini harganya cuma Rp 9.000.
Nah ini konter penjualan Bakpia 75
Soal rasa, hampir sama, karena produsen di belakang ini juga masok bakpia ke toko-toko Bakpia 75. Jadilah, kita borong bakpia murah meriah itu. Kalau mau rada keren, tinggal ganti kemasan dus saja. Pakai Bakpia 75. Gitu lho... (*)

Thursday, November 08, 2007

Tour of Borobudur: Adem, Akur, dan Mangan Ora Mangan Kumpul (3)

SUASANA di dusun Bumen, sangat khas tipikal pedesaan Jawa. Rumah-rumah masih banyak yang memiliki halaman cukup luas dihiasi dengan pohon-pohon. Bentuk atap rumah masih banyak yang mempertahankan bentuk joglo. Sebagian masih ada yang berupa rumah panggung. Karena itu di bagian depan rumah, ada teras. Di Sunda, dinamakan golodog. Entah di Jawa, saya tidak sempat menanyakan apa sebutan teras di depan rumah.

Sementara rumah Mbah Buyut, sudah tergolong modern. Karena sudah dibeton dan dinding pakai bata merah. Atap pun bukan lagi Joglo. Tapi atap piramid lurus, tanpa ada talang ari. Ini memang rumah yang baru dibangun beberapa tahun lalu. Rumah lama, tepat di sisi rumah baru, sudah lapuk. Bentuknya memang masih Joglo. Karena takut ambruk, mungkin, rumah baru pun dibangun. Sedang rumah lama dipakai untuk semacam lumbung dan kandang ayam.

Yang mungkin susah ditemukan di Cimahi, Bandung, atau kota besar lainnya adalah peralatan di dapur atau pawon. Jangan harap menemukan kompor minyak di sini. Semua masih pakai tungku, anglo, atau orang Sunda bilang Hawu. Perapian. Jadi kayu bakar adalah bahan utama untuk bisa memasak. Di sini masih mungkin, karena masih banyak pepohonan, hutan masih lebat, tinggal mencari ke kebun dan ladang, pasti menemukan kayu bakar.

Rumpun bambu di dekat halaman samping rumah Mbah Buyut membuat adem suasana di rumah. Apalagi di belakang rumah, ada sungai kecil mengalir. Sungai yang biasa dijadikan tempat mandi, mencuci, dan juga kakus. He he, urusan yang satu ini memang sulit dihilangkan. Sudah terbiasa kali yah. Tapi di rumah SiMbah punya kakus kok. Jadi enggak perlu terjun ke sungai. Pura-pura berendam, padahal....

Memang saat kami mudik tempo hari, cuaca lagi panas. Hujan tidak turun selama berbulan-bulan. Tak heran, sungai di belakang rumah pun nyaris kering kerontang. Padahal, biasanya saat berkunjung ke sini, kami selalu menyempatkan untuk mandi di sungai. Wuihh, airnya segar. Terakhir saya dan Bu Eri ke sini, sekitar 3 tahun lalu. Waktu itu Kaka Bila masih umur 2 tahunan. Kami ajak dia untuk merasakan mandi di sungai. Tapi kemarin, itu cuma impian. Menengok ke sungai pun enggan, karena air tak mengalir lagi.

Ya, tidak ada yang berubah dari rumah Mbah Buyut yang juga ditempati keluarga Mas Hasyim, kakak sepupu Bu Eri. Yang berubah adalah aroma rumah yang agak bau, karena di samping rumah dekat pintu dapur, kini ada kandang sapi. Bau kotorannya jelas menyengat. Walau begitu, rumah ini tetap menawarkan kesejukan. Adem. Lebih dari itu penghuninya akur-akur. Kalau Kang Asep, sopir Avanza, bilang keluarga di sini mah akur, tidak pernah ada cekcok. Makan seadanya pun, bahagia saja. Masih bisa tertawa.
Mangan ora Mangan sing penting kumpul kabeh.

Ngomong soal makan ini, jadi ingat Mbah Buyut yang selalu menyuruh kita-kita ini makan. "Hei madhang sek, madhang sek," begitulah Mbah dengan suara khasnya, mengingatkan kita untuk makan.

Sejak tiba di Bumen Borobudur, setiap pagi saya harus membawa Adik keluar rumah. Berdiri dekat pintu dapur, dekat kandang sapi. Atau ke tengah halaman samping. Buat apa? Adik senang melihat ayam. Jadi setiap pagi, saya memberi makan ayam. Ketika ayam-ayam itu berkumpul, Adik berkerejet-kerejet ingin turun, ingin memegang ayam. Dan kebiasaan itu terbawa hingga pulang ke Cimahi. Setiap pagi, Adik inginnya ke luar rumah, melihat ayam. Padahal di rumah tidak ada ayam. Ada juga ayam tetangga yang jumlahnya beberapa gelintir. Karena setelah merebak flu burung, banyak ayam yang diberangus...(*)

Wednesday, November 07, 2007

Tour of Borobudur: Tidak ke Candi Tidak Afdal (2)

KAMIS (25/11). Seharian itu kami sekeluarga bersilaturahmi ke saudara-saudara di Borobudur. Beruntung kami memakai mobil rental, jadi tidak susah untuk bepergian. Jarak antara Kampung Bumen, yang menjadi "basecamp" kami, dengan Janan sekitar 4 kilometer. Jalan kecil di pinggir Candi Borobudur, paling sering kami lalui karena itulah jalan tercepat ke Janan atau ke Bumen.


Mentari sore di balik stupa

Kami keliling menemui para pinisepuh di Borobudur. Silaturahmi ke rumah para Pakde dan Bule di Janan. Rumah Pakde Tir sekarang pindah ke belakang. Rumah di depan, pinggir jalan Borobudur, ditempati Mas Adib, anaknya. Setelah bertemu keluarga Janan, kami pun bersiap-siap wisata ke Candi Borobudur. Jaraknya cuma 100 meter pinggir kanan rumah Mas Adib. Sebenarnya agak malas juga sih ke candi, tapi rasanya tidak afdal kalau pulang kampung tidak sempat ke Borobudur. Begitu kata Bu Eri.

Kami sudah ditunggu Mas Anas. Dia suami Mbak Bib, sepupu Bu Eri. Mas Anas bertugas di hotel komplek Borobudur. Sementara Mbak Bib di bagian tiketing. Jadi mereka inilah jalan masuk ke Borobodur secara gratis.
Kaka Bila akrab sama patung Budha
Mobil Avanza masuk lewat gate menuju Hotel. Dari tempat parkir, masuk ke pelataran Candi. Sebelum mendaki puncak stupa, kami naik kereta keliling candi dulu. Toh gratis ini, he he... Puas berkeliling, barulah kami naik seundak demi seundak candi terbesar di Asia Tenggara ini. Kaka Bila yang paling semangat untuk mencapai puncak. Sementara Bu Eri menunggu di undakan pertama, karena capai dan menggendong Adik yang tidur.

Saya ingat-ingat lupa cerita soal Borobudur ini. Dulu pernah belajar mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI). Buku pegangannya karangan R Soekmono. Kalau tidak salah, Borobudur didirikan oleh Wangsa Syailendra, sekitar abad 8 M. Tujuh undakan menuju puncak dengan stupa terbesar itu bukan tidak berarti apapun. Itu me- nunjukkan fase kehidupan. Bagian kaki merupakan Kamadatu, kehidupan duniawi yang penuh dengan nafsu. Lalu undakan 2-4 adalah Rupadatu. Artinya dunia yang sudah membebaskan diri dari nafsu, tapi masih terikat rupa dan bentuk. Lalu tingkat lima sampai tujuh merupakan Arupadatu, pembebasan dari rupa tanpa bentuk, bebas dari segala keinginan, tapi belum sempurna. Karena kesempurnaannya harus menempuh Stupa terbesar, yang polos tanpa relief.
Kaka, Mbah Uti (kiri), dan Bude Bad, berpose di depan stupa terbesar. Saking besarnya, puncak stupa tak terlihat.
Oh iya setiap tingkat, terutama di bagian Rupadatu, selalu dihiasi relief-relief. Kabarnya relief itu menggambarkan cerita-cerita, seperti Ramayana atau Kamawibhangga. Tapi mana yang Ramayana, mana yang Kamawibhangga, terus terang, saya enggak tahu dan tidak memerhatikan. (*)

Tuesday, November 06, 2007

Tour of Borobudur: Asyiknya Rame-rame (1)

INI cerita tentang "mudik" ke Magelang yang belum sempat diposting. Saya mengambil cuti pascalebaran selama 5 hari, sementara Bu Eri cuti 8 hari. Kita sepakat untuk mudik pakai mobil rental, Toyota Avanza. Rabu, 24 Oktober, malam jam 20.00 WIB, kita berenam: Saya, Bu Eri, Mbah Kakung, Mbah Uti, Kaka, dan Adik, pun berangkat.

Semua orang, keluarga Mas Rikhan dan Mas Rohman, mengantar dan membantu bawa barang. Soalnya, barang yang dibawa buanyak banget. Koper 2, tas travel 3, tas jinjing 2, dan ransel daypack satu. Belum lagi dus-dus kue bolu dan makanan kecil. Mobil Avanza itu sampai "muntah" saat semua barang harus dimasukkan. Akhirnya, karena sudah tidak muat lagi, babywalker Adik terpaksa ditinggal. Wah, pokoknya perlengkapan mudik ini rasanya cukup buat satu bulan.

Mobil ini disopiri Kang Asep, sopir dari rental 888 Car Jaya. Orangnya ramah, tidak banyak bicara. Sekali-kali ikut nimbrung obrolan dan juga tertawa. "Biar tidak ngantuk," kata Kang Asep. Maklum, perjalanan malam mesti lebih hati-hati. Sopir tidak boleh lengah sedikitpun. Dan itu terbukti, saat di turunan Gentong Malangbong, dari arah berlawanan, truk tronton melaju lalu secara tiba-tiba mobil Kijang menyalip dari arah kiri dan langsung berhadapan dengan Avanza yang kita tumpangi. Untung Kang Asep ini gesit. Dia banting setir ke kiri, hingga keluar jalan aspal untuk menghindari tabrakan.

Perjalanan malam memang kurang mengasyikkan. Saya lebih banyak tidur ketimbang melek. Bangun saat mobil berhenti di SPBU atau di Rumah Makan. Selama perjalanan, kita sempat singgah untuk makan tengah malam di Saung Lesehan SPBU Imbanagara Ciamis. Hanya saya, Bu Eri, dan Bapak yang makan.

Di sebelah saung kita, ada beberapa orang yang tengah ngobrol sambil menikmati lagu-lagu live, yang rupanya kawan-kawan mereka juga. Saya perhatikan satu orang di saung tetangga itu. Rasanya kok kenal yah, tapi di mana? Setelah memeras ingatan, baru saya ingat. "Oh itu Pak Syarif Hidayat, Wakil Walikota Tasikmalaya, yang tempo hari menang Pilkada mengalahkan Walikota Incumbent, Bubun," kata saya pada Bu Eri. Dan ternyata benar. Saat penyanyi di depan mempersilakan Pak Syarif untuk tampil ke muka dan menyanyi. "Rupanya begini yah kesukaan Walikota baru Tasik ini, suka nyanyi-nyanyi, ditemani kolega yang kemungkinan besar para pendukungnya saat Pilkada kemarin," pikir saya.

Tapi saya tak hirau. Selesai makan, langsung tancap gas lagi. Avanza melaju menyusuri Jalur Selatan. Melewati Ciamis, Banjar, Majenang, Cilacap, Banyumas, Karanganyar, dan Gombong. Di Gombong, Avanza ini nyaris saja celaka. Kang Asep melarikan Avanza cukup cepat di tengah jalan. Secara tiba-tiba Kang Asep banting setir ke kiri. Ternyata di median jalan itu, ada pagar kawat setinggi satu meter, tipis di median jalan tanpa ada rambu peringatan. "Nyaris celaka," kata saya dalam hati. Untung Kang Asep cekatan. "Saya ingat ada pagar ini, tapi lupa di sebelah mana. Kemarin kan saya juga mengantar tamu lewat jalur ini," ujar Kang Asep.

Masuk Purworejo, Avanza sempat nyasar ke jalur menuju Yogyakarta. Memutar lagi, melaju ke Utara menuju Magelang. Di Salaman, mobil belok ke kanan menuju Borobodur. Sepi, lengang. Terminal Borobodur tak ada orang. Namun pasar Janan sudah mulai ramai. Waktu menunjukkan pukul 04.30 saat tiba di Janan, kampung halaman Bapak, persis di pinggir Candi Borobudur. Tapi kami tidak berhenti di sini. Avanza terus melaju ke pinggiran candi, lalu ke belakang, menuju ke Bumen, kampung halaman Mbah Uti, tempat Mbah Buyut, Bude, dan lain-lain tinggal.

Saat Avanza berhenti di pinggir jalan dekat rumah Mbah Buyut, beberapa ibu-ibu yang baru pulang salat Subuh dari mesjid menghampiri. Begitu tahu siapa yang datang, mereka langsung menyalami kami. Akhirnya, sampai juga kami dengan selamat. (bersambung)

Sunday, November 04, 2007

Virus Brontok dan Pendekar Blank

TERNYATA laptop HP NX5000 yang biasa saya dan Bu Eri pakai di rumah kena virus Brontok, virus Pendekar Blank, virus SPH, lalu virus satu lagi. Saya mulai curiga laptop kena virus, waktu mengklik file, ternyata langsung ada duplikasinya. Di-delete, tapi muncul lagi. Kalau file duplikasinya dibuka, ternyata kosong melompong. "Wah, jangan-jangan kena virus nih," pikir saya waktu mau menyimpan foto-foto mudik Magelang kemarin ke Flash Disk.

Lalu saya lihat My Document. Ada file yang aneh. (Read Me) Pendekar Blank. Perasaan, saya tidak pernah menamai file semacam itu. Walah, beneran nih, ini mah virus. Karena enggak enak hati, saya tidak klik itu file. Dan memang beruntung. Kalau saja diklik, menyebarlah virus-virus menjengkelkan itu.

Tapi saya tetap tidak bisa tenang. Rupanya sang virus sudah merasuk ke sistem laptop. Jalannya laptop kian melambat. Dan ternyata lagi, laptop itu tak dibekali anti virus. Dulu terlupa menginstal Norton antivirus. Susah payah saya installkan Norton, beruntung bisa. Tapi waktu itu sang vitus tidak terdeteksi.

Saya putuskan bawa laptop ke kantor, buat diotak-atik anak-anak IT. Setelah berjuang keras, karena laptop tak bisa beroperasi, akhirnya ketahuanlah virus apa yang menyerang. Ary, tukang IT di kantor, bilang ada Pendekar Blank alias Blankon di laptop. Ada pakai Un Sav buat menetralisir. Akhirnya bisa juga dihilangkan itu virus. Namun berhubung sudah kena ke sistem, laptop tetap tak bisa jalan.

Terpaksa deh harus diinstall ulang. Memang sudah saatnya. Laptop itu sudah 3 tahun menemani kami. Membantu kerja kami, mengirim berita dari rumah, mengirim sorot, mengirim foto, kadang searching. Kalau laptop ini tidak bisa dipakai lagi, mana tahan. Komputer PC sudah teronggok, karena rusak berat. Hard disknya saya selamatkan dan saya pasang di komputer di kantor, biar memorinya besar. Yang tertinggal cuma monitor dan CPU saja. (*)