BARU kali ini selama di Batam, saya begadang, bukan nonton bola tapi mengobrol panjang lebar, hingga Subuh menjelang. Senin (28/5) dini hari jam 01.00 saya pulang dari kantor. Saya mengantar pulang Bang Eddy Messakh pake motor. Rumahnya di komplek Garden itu tidak begitu jauh dari Mess Tribun, kira-kira 500 meter sebelah timur Mitra Raya.
Jam 01.30 saya sudah sampai di mess. Rupanya Mas Febby, bosnya Batam, lagi makan. Saya pun ikut menyikat habis nasi goreng plus capcay. Lagi lapar segala sesuatu terasa enak Sambil makan, kami mengobrol. Usai makan, perbincangan makin hangat.
Saya disodor data-data perusahaan (Tribun Batam dan Kaltim), yang seharusnya mungkin tidak boleh dibaca kroco macam saya. Tapi Mas Febby terbuka. "Ini lho progressnya. Kamu mesti tahu dan belajar cara membaca keuangan semacam ini," kata Mas Febby. Obrolan pun mengalir terus, mulai kemungkinan dan prospek di Bandung, tugas saya nanti hanya sedikit disinggung. Justru lebih fokus pada proyek-proyek yang akan datang. Mas Febby mengharapkan saat proyek di Pontianak nanti saya mengikuti proses awal, rmulai rekruitmen, pelatihan reporter dan redaktur, sampai muncul koran baru. "Ya short time tiga bulan dulu. Kalau ternyata kerasan, kita perpanjang," begitu kata Mas Febby.
Dia juga menerangkan cara-cara pelatihan dan teknik menyampaikan materi. Mas Febby menyuruh saya untuk mulai mengumpulkan contoh-contoh berita dengan konsep khas Persda. Mana yang benar, mana yang salah, semuanya digunting dan dikumpulkan, untuk dijadikan sebagai contoh. Karena dengan contoh akan lebih mudah menerangkannya.
Lalu bicara pula soal manajemen dan hasil workshop tempo hari di Jakarta. Tapi yang satu ini tidak boleh saya bicarakan sembarangan, top secret, karena menyangkut ranah internal perusahaan.
Intinya, saya diminta membuka diri dan wawasan dengan lebih banyak berkreasi di luar Bandung. Daripada membusuk di Bandung, padahal potensi berkembangnya itu besar. Di Bandung, kata Mas Febby, dari skala 10, potensi yang muncul hanya 2. "Ya kalau lingkungannya kayak gitu, cuma dua pilihannya. Apatis dan kontraproduktif atau Anarkis," itu kata Mas Febby.
Wadah yang sekarang di Bandung ini sudah tidak mungkin lagi dikembangkan. Sementara potensi yang ada meluber, bukan lagi penuh, tapi wadah sudah tak sanggup menampungnya. Jalan keluarnya adalah mencari medan perjuangan baru, medan tempur baru yang lebih fresh, lebih punya tantangan untuk mengembangkan diri dan karier.
"Dari seluruh mabes, Bandunglah yang memiliki potensi luar biasa, sangat besar. Ini tinggal kita pinter pinter cari momen, masuk listnya talent scouter, lalu ada penjamin atau guarantee, punya komitmen kuat dan tidak ada persoalan dengan keluarga, sudah beres," jelas Mas Febby.
"Saya itu kasihan lihat teman-teman yang sudah lama. Di Jakarta kayak Arifin, siapa lagi, lalu di Bandung ada Daf, Akuy, apa mereka mau terus seperti itu. Harus diberi kesempatan biar mereka bisa berkembang dan naik kelas. Masa reporter terus, padahal mereka angkatan lama. Tengok saja Domu, dia bisa ternyata berkembang di Jakarta, bulan depan status dia sudah karyawan Persda, bukan lagi Tribun. Dade saya siapkan untuk di Pontianak. Saya perlu tim yang fresh untuk mengembangkan proyek ke depan. Orang-orangnya ya dari Bandung ini, tapi mesti menyebar dulu. Kalau cuma di Bandung, ya mati," cerocos Mas Febby. Saya mengangguk-angguk, sekali-kali menyela, minta penjelasan, dan lain-lain.
Tak terasa, subuh hampir menjelang, pembicaraan pun selesai. Jam 04.47, saat saya tengok jam di HP. Mending salat Subuh dulu baru tidur. Saking lelapnya tidur, telepon dari rumah jam 06.30 pun tak terdengar, apalagi diangkat.
Dan hari ini saya kesiangan ikut rapat pagi. Baru bangun jam 10.45, ke kantor jam 11 lewat. Rapat pun sudah bubar sejak lama. Redaktur lain entah pada kemana. Hah, kepala pening nih.
No comments:
Post a Comment