Friday, February 27, 2009

Melawan Kelaziman

TRANSPARENCY International Indonesia (TII) menilai suap dan korupsi sudah menjadi kelaziman dalam mengurus berbagai perizinan terutama di birokrasi Kota Bandung. Hal itu didasarkan pada survei Indeks Persepsi Korupsi TII di puluhan kota di Indonesia tahun lalu. Hasilnya menempatkan Kota Bandung di urutan nomor delapan terburuk.
Sungguh mengkhawatirkan apabila korupsi menjadi sebuah kelaziman.

Patut diapresiasi langkah yang ditempuh Pemkot Bandung melalui Pakta Integritas. Pakta ini berupa komitmen yang dibangun pemerintah daerah, termasuk Pemkot Bandung, bahwa korupsi haram hukumnya dan para pejabat pemerintahan tak akan pernah tergoda lambaian uang yang bukan haknya dan diperoleh secara batil.

Tapi komitmen tak cukup sekadar komitmen. Para pejabat berikut staf-staf bawahannya harus memperlihatkan secara nyata pelaksanaan dari komitmen itu. Indikator keberhasilan komitmen itu mudah saja. Jika tidak terdengar lagi keluhan soal pungli di pasar, perparkiran, pembuatan KTP, KK, membuat IMB, izin usaha, dan sebagainya, maka itulah keberhasilan pakta integritas.

Di sisi lain, masyarakat pun harus pula ikut melawan kelaziman ini. Jika selama ini lazim memberikan uang atas nama apapun: uang lelah, uang jalan, uang administrasi, uang rokok, uang fotokopi, uang suap, dan uang-uang lainnya, baik diminta maupun tidak, kepada para penyelenggara pemerintahan dan layanan publik, mulai saat ini harus dihentikan. Kebiasan memberi itulah yang sesungguhnya menjadi cikal bakal suap dan korupsi itu berlangsung.

Masyarakat jangan pernah memberi peluang terjadinya kelaziman-kelaziman itu. Aparatur negara sebagai abdi masyarakat memang bertugas untuk membantu masyarakat dalam hal layanan publik. Karena itu jangan pernah merasa sungkan, jika tidak memberi uang lelah kepada petugas. Bayaran untuk keringat mereka sudah ditanggung oleh negara.

Hal sama berlaku untuk para jurnalis yang bekerja di media massa. Sudah menjadi pengetahuan umum instansi pemerintahan dan BUMN, humas, public relation, panitia penyelenggaran kegiatan, sering menyediakan amplop dana khusus untuk wartawan. Mereka beralasan amplop itu sebagai uang bensin, bukan sebagai bentuk suap agar berita dimuat. Padahal memang sudah tugas jurnalis untuk mencari berita, dan tanpa diminta dan diberi uang pun apabila berita itu menarik pasti diburu. Berani menolak amplop dan sekaligus menyampaikan kepada pihak pemberi, bahwa kelaziman seperti itu harus dihentikan.

Sejarah nusantara pernah mencatat, Kerajaan Kalingga atau Kaling atau Keling dikenal sebagai kerajaan yang rakyatnya tak pernah mencuri. Itu semua karena Sang Ratu Shima yang berlaku adil dan menerapkan hukuman berat berupa potong tangan, bagi para pencuri, penyuap, atau koruptor. Utusan dari negeri Tiongkok pernah mencoba membuktikan hal itu. Mereka menyimpan pundi-pundi berisi koin emas di tengah jalan. Ternyata selama tiga tahun koin-koin itu tetap utuh, tak berkurang, ataupun berpindah tempat. Ketika putra mahkota yang melewati jalan itu tanpa sengaja kakinya menyentuh pundi-pundi uang itu, tanpa ampun Ratu Shima menjatuhkan hukuman potong kaki. Hanya karena permohonan dari pejabat kerajaan, hukuman itu bisa diperingan.

Merdeka dari korupsi, merdeka dari amplop, merdeka dari kebiasaan- kebiasaan suap menyuap harus menjadi gerakan kita bersama. Melawan kelaziman korupsi seperti ini memang berat, tapi tetap harus ada yang bergerak. Lawan terus suap dan korupsi!.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 27 Februari 2009.

Monday, February 23, 2009

Slumdog Millionaire: Oscar Rasa India

PERTAMA kali melihat judul film ini, saya merasa tak tertarik. "Apaan sih, slumdog millionaire, anjing kumuh yang jadi jutawan?. India lagi, gak nonton deh," kata saya waktu itu.

Saya tidak memperhatikan siapa yang jadi sutradara, editor, dll. Saya hanya lihat nama pemeran pria dan wanita, dari India semua. Tak heran, cap film India ala Bollywood lah yang membayang dalam pikiran.


Lama kemudian, baru saya membaca resensi film itu. Eeh, bentar-bentar, kok menarik juga yah. Film ini, kata resensi, bercerita tentang seorang anak yang menjadi peserta kuis milioner, mungkin semacam Who Wants to be a Millionaire. Dan berhasil, ia sukses menjawab pertanyaan-pertanyaan kuis.

Namun cerita ternyata tidak berakhir semudah itu. Ketika ia sudah menjawab 19 pertanyaan dan tinggal menjawab 1 pertanyaan terakhir, disinilah inti film akan bertutur. Ya gitu lah, pokoknya mah ceritanya menggambarkan masa lalu si anak. Setiap jawaban dari pertanyaan dalam kuis itu ternyata ada kaitannya dengan jalan hidup si anak.

Dan ternyata di ajang Oscar, festival film terbeken sejagat, film ini jadi yang terbaik, mengalahkan film-film lain. Sayangnya, sampai sekarang saya belum menonton film ini. Hiks.(*)

Mencari Komet Lulin Saat Dini Hari

ALAM semesta adalah fenomena terluar sekaligus terdalam dari ciptaan Allah SWT yang tabir misterinya masih rekat. Hanya sedikit, sungguh secuil, pengetahuan manusia tentang semesta ini. Tak heran, karena mengandung misteri, manusia pun berlomba untuk mencapai luar angkasa. Mungkin, dengan begitu, bisa sedikit memahami seperti apa sesungguhnya semesta ini.

Dan diantara jutaan benda langit di semesta itu, terdapatlah Komet. Benda langit yang kerap melintasi Bumi. Kali ini komet yang akan dekat dengan Bumi adalah Komet Lulin. Ini komet baru di jagad antariksa yang akan terlihat dengan mata telanjang pada rentang tanggal 24 Februari hingga awal Maret 2009. Komet ini memiliki dua ekor, ekor debu dan ion. Ekor ion relatif redup sehingga tidak terlihat oleh mata telanjang. Yang terlihat jelas adalah ekor debu.

Sangat sayang untuk dilewatkan karena komet Lulin tidak terlihat jelas periodisasi kemunculannya. Bahkan, karena orbit lintasannya sangat lonjong, Komet Lulin tidak memiliki periodisasi untuk terbang rendah melintasi bumi. Setelah mengelilingi matahari, komet Lulin akan ke luar dari susunan tata surya. Kabarnya, waktu yang tepat untuk menyaksikan komet ini adalah menjelang matahari terbit atau dini hari atau saat matahari terbenam.


Komet Lulin masuk pada lintasan yang sangat dekat dengan bumi pada tanggal 24 Februari. Jaraknya sekitar 38 juta mil. Ia berada di dekat Saturnus, dua bintang terang Spica, dan Regula di langit sebelah selatan.

Kilauan cahayanya bisa dinikmati pada dini hari sekitar pukul 01.00. Lokasi untuk pengamatan harus berada di daerah yang bebas dari polusi cahaya dan terang. Apabila langit malam bersih tanpa mendung, sangat mungkin untuk menyakskan komet ini.

Komet Lulin ini ditemukan pertama kali oleh Quanzhi Ye dari Sun Yat-sen University, Cina, 12 tahun lalu. Salah satu pesona keunikan Komet Lulin dalam perjalanannya menjauhi matahari adalah warna hijau yang terang benderang. Warna hijau itu berasal dari pelepasan molekul gas cyanogen (CN2) yang beracun dan karbon diatomik (C2) yang mendominasi atmosfernya. Selain Lulin, hanya sedikit komet berwarna hijau, seperti Komet Swan, Lovejoy, dan Machholz.

Keunikan lainnya, ekor Lulin berada di depan. Setiap komet pasti memiliki ekor debu dan ion. Ekor debu adalah yang selalu tampak lurus membelakangi matahari, sedangkan ekor ion sedikit melengkung. Yang tampak pada Lulin seperti ekor di depan dan menghadap matahari adalah sebuah sub poin, berlawanan dengan ekor debu dan ion, yang biasa disebut antitail.

Pada zaman dahulu di lingkungan masyarakat tradisional, kemunculan komet dipercaya sebagai pertanda jatuhnya kekuasaan sang raja. Komet juga dipercaya sebagai pertanda adanya kabar baik dan buruk. Pulung, begitu istilahnya. Siapa yang akan kejatuhan bintang jatuh, dialah yang akan menjadi penguasa. Percaya? (*)

Saturday, February 21, 2009

Tos Titis Tulisna: Pileuleuyan Wa Guru

RABU malam, 18 Februari, pukul 20.20, sebuah SMS dari nomor XL mampir ke HP. Ternyata adik saya, pake nomor baru, memberi kabar duka: Wa Guru pupus tadi tabuh satengah dalapan. Deg. Saya langsung berhenti kerja. Kebetulan sedang mengedit berita.

Lalu saya kontak kakak saya meneruskan kabar itu. Juga saya menelepon Bu Eri. Saya putuskan segera pulang ke rumah, menjemput Bu Eri, dan berangkat ke rumah duka di Gang Mama Idris Parapatan Cihanjuang.

Wa Guru, begitu kami biasa memanggil Wa Haji Warma Solihin. Beliau memang seorang guru, yang murid-muridnya tersebar kemana-mana. Beliau adalah Uwa paling tua atau anak pertama dari kakek-nenek saya, Aki dan Nini Haji.

Beberapa hari sebelum Uwa meninggal, Bu Eri sebenarnya ingin menjenguk. Karena sejak dipindahkan perawatannya ke RS Mitra Kasih, belum pernah menengok lagi. Tapi waktu dirawat di RSUD Cibabat, saya dan Bu Eri sempat menjenguk sepulang kerja. Ngobrol sampi tengah malam. Waktu di Mitra Kasih, hanya saya yang sempat menjenguk. Biasanya, saya ke RS apabila ada SMS atau telepon dari keluarga kalau Uwa Guru sedang gawat. Uwa sakit sejak akhir Januari lalu. Serangan jantung dan sesak napas.

Dari obrolan dengan Uwa istri dan uwa-uwa yang lainnya ada cerita menjelang Wa Guru meninggal. Rabu pagi atau siang, Wa Guru keluar dari RS Mitra Kasih. Kebetulan Bapak, sebagai orang Mitra Kasih, yang mengantar. Sore hari, jelang Ashar, Wa Guru ingin mandi. Lalu makan dan salat. Setelah itu tidur. Magrib bangun lagi untuk salat, juga Isya. Tentu, salatnya pun di tempat tidur. Setelah itu, tidur kembali.
Dan saat itulah, ajal pun menjemput. Tidak ada penderitaan saat sakaratul maut datang. "Sangat tenang," begitu ujar menantu Uwa, Teh Neneng, yang melihat saat-saat terakhir Wa Guru.

Kamis pagi, jenazah Wa Guru dimakamkan. Sebelumnya disalatkan di Masjid Agung Cimahi Utara. Tanah masjid ini adalah hibah dari Uwa sewaktu hidup dan Uwa pula yang memakmurkannya. Tak heran, koleganya banyak. Ketua DPRD Cimahi Rd Sutardja dan Camat Cimahi Utara Totong Solehudin pun datang melayat mewakili Pemkot Cimahi.

Hampir seluruh keluarga dan kerabat datang. Mang Ade dari Purwakarta, Mang Usup dari Kuningan, kakak saya dari Majalengka, dari Cianjur, Ciwidey, semua menyempatkan untuk datang. Tak pelak, pemakaman di Babut Cihanjuang pun bak reuni keluarga besar H Achmad Solihin. "Mun kieu we nya urang teh papendak, atawa lebaran," kata Kang Mamat, kakak sepupu saya.

Pileuleuyan Wa, mugia sagala rupi amal, iman-islamna, Uwa ditampi, diperenahkan di sisi Zat Allah nu Maha Kawasa, dicaangkeun kuburna, dilegakeun alam barzahna. Cing ngocor dua-dua sareng hasil amal Uwa nu baris nyarengan di alam kubur. Amin.(*)

Tuesday, February 17, 2009

Miskin Itu Nggak Enak

TEPAT sekali apa yang diungkapkan oleh Wali Kota Bandung Dada Rosada di sela acara bakti sosial di Kelurahan Jamika dan dikutip koran ini kemarin. "Jadi orang miskin itu tidak enak...," begitu potongan pernyataan Dada Rosada.

Benar belaka, jadi orang miskin itu tak membuat enak, tak membuat tenang, hidup orang. Jangankan untuk membeli televisi, kulkas, atau barang lainnya, untuk makan sehari-hari saja pusing tujuh keliling. Sebabnya tak ada kemampuan untuk membeli makanan apapun.

Di sisi lain, lingkungan sekitar memamerkan sejuta kemewahan yang membuat si miskin kian dahaga dan membatin. Setan-setan bertanduk membujuk rayu tak habis-habisnya. Menggoda iman setiap manusia, termasuk orang-orang miskin, agar tergiur dengan kekayaan.

Bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran, itu yang menjadi kenyataan saat ini. Karena fakir, karena miskin, seseorang bisa buta hati dan pendek pikiran. Mereka mau melakukan apapun, termasuk menduakan Tuhannya, untuk sekejap kekayaan di dunia.
Tengok saja setiap berita kriminal di media massa. Pasti alasan utama para pelakunya adalah terdesak kebutuhan ekonomi. Entah untuk makan sehari-hari, entah untuk keperluan sekolah.

Itu pula yang dirasakan 330 ribu warga Kota Bandung yang tergolong miskin, dan 5 ribu lainnya yang digolongkan sangat miskin. Setiap hari harus berjuang keras mencari sesuap nasi dalam arti yang sesungguhnya.

Padahal jika dibandingkan, jumlah orang miskin ini jauh lebih sedikit dibanding mereka yang lebih mampu. Penduduk Kota Bandung sebanyak 2,6 juta, sementara warga yang tergolong miskin hanya 330 ribu lebih atau hanya 12 persennya saja. Berartinya sisanya, yaitu 88 persen, tergolong mampu. Taruhlah yang sangat mampu itu sebanyak 40 persen. Amboi, sungguh elok jika mereka yang kondisi ekonominya sangat mampu ini tercambuk hati dan kesadarannya ikut membantu mereka yang papa dan miskin. Berapa besar potensi zakat harta dari warga yang mampu ini? Seandainya semua warga memiliki kesadaran yang sama untuk mengeluarkan zakat mal, bukan dongeng jika kita akan kesulitan mencari orang miskin di Kota Bandung ini.

Kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat memang ada di tangan pemerintah. Karena itu tepat pula yang dilakukan Pemkot Bandung dengan meluncurkan program Bawaku Makmur. Namun bantuan ini, walaupun bentuknya dana hibah, harus diiringi pula dengan proses pembelajaran pada masyarakat.

Mereka yang menerima bantuan harus belajar untuk bertanggung jawab melaporkan penggunaan bantuan. Dana hibah itu berasal dari seluruh masyarakat dan hanya menjadi stimulus agar kehidupan bisa lebih membaik. Karena itu pertanggungjawaban penggunaan dana hibah itu harus ditekankan kepada setiap penerima agar mereka sadar bahwa yang memerlukan modal bukan hanya mereka, tapi juga ribuan warga lainnya.

Ingat kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz? Khalifah yang adil itu sampai kebingungan membagikan zakat karena tidak menemui lagi orang-orang miskin di negaranya. Seperti itulah mimpi yang harus kita wujudkan bersama.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 17 Februari 2009.

Monday, February 16, 2009

10 Tanda Kecanduan Facebook


SEJAK diluncurkan 4 Februari 2004, situs jejaring sosial facebook telah memikat juaan hati penggunanya. Mulai siswa sekolah, ibu rumah tangga, selebriti, hingga politisi, kini memiliki jejaring sosial facebook. Berkat kemajuan teknologi, kini kita pun dapat memperbarui status facebook dan mengomentari foto setiap saat. Rasanya, kini ada yang kurang bila setiap hari tidak masuk ke situs ini dan melakukan aktivitas "facebook-ing".

Manfaat facebook memang tak cuma untuk pergaulan, tapi juga sarana komunikasi, mencari pekerjaan, hingga kampanye. Sayangnya kesibukan mengutak-atik facebook membuat banyak orang kini lebih banyak menghabiskan waktu ketimbang bekerja. Tak heran bila sebuahah penelitian juga menunjukkan adanya kaitan antara facebook dengan meningkatnya angka perceraian di Inggris dan Australia.

Memang benar apa yang diungkapkan di atas. Saya merasakan sendiri, rasanya aneh kalau sehari tidak membuka facebook. Terlebih, internet memang keseharian saya. Jadi rasanya gatal kalau tidak membuka FB. Heran, mungkin ibarat shabu-shabu. Kalau tidak mengisap sehari saja, langsung sakaw. Apakah seperti itu? Tidak juga. Hari Minggu saya tidak mengakses internet sedikitpun dan biasa saja, tidak sakaw. Hanya memang hari Seninnya pagi-pagi buka internet, FB pun sudah buka. Saya ambil positifnya saja. FB membuat silaturahmi semakin erat. Yang jauh jadi dekat, yang semula longgar menjadi erat.


Nah, apakah Anda termasuk dalam orang yang hidupnya mulai dikendalikan facebook? Simak 10 tanda berikut ini.

1. Facebook telah menjadi homepage internet di komputer atau laptop Anda.
2. Anda mengubah status lebih dari dua kali sehari dan rajin mengomentari perubahan status teman.
3. Daftar teman Anda sudah melebihi angka 500 orang dan setengahnya hampir tidak dikenal.
4. Bila sedang jauh dari komputer, Anda mencek facebook melalui BlackBerry, iPhone, atau ponsel pintar lainnya.
5. Rajin membaca profil teman lebih dari dua kali sehari, meski ia tidak mengirimkan pesan atau men-tag Anda di fotonya.
6. Anda mengubah profile foto lebih dari 12 kali.
7. Anda membaca artikel ini sambil mencek facebook.
8. Anda membersihkan "wall" agar terlihat sudah lama tidak masuk ke fb.
9. Anda menjadi anggota lebih dari 10 grup dan merespons setiap undangan meski sebenarnya tak berminat.
10. Anda mengubah status hubungan hanya untuk meningkatkan popularitas di facebook.
Sumber : yahoo seperti dikutip Kompas.com.


Thursday, February 12, 2009

Keluarga, Ujung Tombak Perubahan

SELAMA ini kita sering mendengar ungkapan bahwa mahasiswa atau pemuda adalah agent of change, agen perubahan. Mengapa mahasiswa, mengapa pemuda? Mungkin yang menjadi alasan utama adalah mereka kelompok muda yang progresif, produktif, berpikiran maju dalam artian melek keilmuan, dan memiliki semangat serta tenaga yang masih fresh. Dengan kapabilitas itulah, mahasiswa menggulirkan isu-isu perubahan. Mereka bisa berdemonstrasi di jalanan dengan penuh semangat.

Tapi perubahan yang dilakukan mahasiswa pemuda hanyalah perubahan elite politik, hanya perguliran kekuasaan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Perubahan itu tak merambah pada akar rumput, tak mengubah masyarakat secara fundamental, apalagi mentalitas bangsa ini.

Saya tidak apriori dengan reformasi, toh saya pun ikut dalam arus besar itu. Hanya saja perubahan yang terjadi tak mampu mengangkat masyarakat ini pada kondisi yang lebih baik. Sehingga yang muncul adalah impian-impian dari masyarakat untuk kembali ke masa rezim lama yang katanya segala sesuatunya lebih murah, lebih damai, dan nyaman. Ini yang berbahaya, perubahan yang terjadi bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi menatap masa depan.


Saya lebih sepakat, sesungguhnya ujung tombak perubahan adalah sebuah keluarga. Dialah yang menjadi inti dari masyarakat dan berada di dalam masyarakat itu sendiri. Mahasiswa saat ini seperti mercu suara, berada di menara gading, tak menapak pada realita. Jika benar mahasiswa mampu mengubah masyarakat, seharusnya program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sudah berlangsung puluhan tahun mampu membawa masyarakat pada sebuah titi kesejahteraan, perubahan paradigma, dan sebagainya. Tapi kenyataannya tidak demikian. KKN hanya program perjumpaan sesaat, basa basi, mahasiswa agar bisa disebut merakyat.

Keluargalah yang bisa menjadi pelopor dan penggerak perubahaan itu. Dimulai dari keluarga inti, melebar ke kiri dan ke kanan baik itu kerabat ataupun tetangga, Lalu menyebar ke kelompok yang lebih besar, lebih besar, dan lebih besar, sehingga perubahaan itu akan berupa bola salju yang digelindingkan dari puncak gunung. Semula sebutir kerikil yang lama kelamaan jadi bola raksasa perubahan.

Pertanyaannya, bagaimana kemudian menjadikan keluarga ini sebagai keluarga perubahan, keluarga motivator, keluarga yang mampu menyuarakan perbaikan bagi keluarga sendiri dan lingkungannya? Itu semua kembali pada niatan untuk menata hidup lebih baik. Jika keluarga itu kompak berbuat sesuatu kemaslahatan bagi ummat, dia akan menjadi teladan bagi keluarga yang lain.

Saya sendiri tak merasa sudah melakukan perubahan untuk bangsa ini lewat keluarga. Hanya prinsip mulailah dari yang kecil, dari diri sendiri, dan dari yang kecil, itulah yang saya pegang. Jika perubahan itu dimulai dari keluarga, maka keluargalah yang harus saya ubah agar menjadi teladan bagi kerabat dan tetangga lainnya.

Saya mengajarkan pada anak dan istri untuk selalu memerhatikan orang-orang tak mampu. Ini bukan ingin menyombongkan atau riya. Saya hanya ingin mencontohkan bahwa keluarga bisa menjadi contoh perubahaan. Setiap bulan kami selalu menyisihkan sebagian pendapatan untuk diberikan kepada beberapa keluarga tak mampu, baik itu janda, orang miskin, tak punya pekerjaan, ataupun yang sakit dan panti asuhan. Ajarkan pada anak dan istri untuk selalu peduli pada sekitarnya. Niscaya orang lain pun akan memandang serupa.

Saya mengajarkan pula pada anak dan istri untuk membiasakan menabung dan merencanakan segala sesuatu jauh sebelumnya. Menabung adalah hal sepele. Tapi jika diajarkan sejak dini, anak tak perlu lagi dipaksa untuk berhemat. Berhemat bukanlah kikir bin pelit. Berhemat itu mengeluarkan uang sesuai dengan proporsinya. Jika sesuatu barang tak perlu tergesa-gesa dibeli, mengapa pula dibeli? Belilah barang-barang yang memang kita butuhkan, bukan kita inginkan.

Soal lingkungan pun tak luput saya pahamkan pada keluarga. Mulailah mengurangi volume sampah sejak dari rumah. Dengan pembuatan lubang biopori, ada media atau wadah untuk menyimpan sampah-sampah organik rumah tangga. Dan bisa menghasilkan pula. Memahamkan pentingnya pemisahan sampah itu harus diajarkan pada keluarga, karena sampah adalah musuh keluarga, musuh lingkungan, musuh bersama. Jika tak ditangani sejak sekarang, bukan mustahil bencana longsor sampah seperti terjadi di TPA Leuwigajah akan terus terjadi. Selain itu, mengurangi sampah sejak dari rumah juga meringankan beban tukang sampah. Jika bola salju biopori dan pemisahan sampah organik ini menyebar, manfaatnya akan sangat dirasakan kita semua.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk perubahan dan itu bermula dari keluarga. Sosok ibu punya peran sentral untuk mengajarkan sendi-sendi perubahan itu. Bagaimanapun seorang ibu adalah pilar peradaban. Jika dia tidak mampu menggulirkan perubahan, niscaya peradaban bangsa ini akan jalan di tempat sampai kapanpun juga. Mulai dari sekarang, dari hal kecil, dan dari diri sendiri.(*)

Membuat Biopori; Berbuat untuk Masa Depan

SEJAK awal membangun rumah, saya sudah merencanakan untuk membuat lubang biopori di lahan tanah yang tersisa. Bagi saya, biopori adalah solusi untuk lahan sempit. Seharusnya, seperti disarankan dalam IMB dalam setiap pembangunan rumah, ada lahan yang dialokasikan untuk ruang hijau dan sumur serapan. Berhubung lahan rumah kecil, hampir seluruh tanah itu terisi bangunan. Dan lubang biopori itulah yang jadi solusi tepat.

Saya mesti berdebat dulu untuk membuat biopori ini. Memang tidak mudah mengenalkan, mengajarkan, dan memahamkan sesuatu yang baru. Orangtua kan inginnya mudah saja. Tak perlu susah-susah bikin lubang segala, sudah saja semua lahan disemen. Saya jelaskan, bahwa tanah yang disemen tidak akan mungkin menyerap air hujan. Padahal, air hujan itulah yang menjadi sumber dari sumur-sumur di rumah. Jika tidak ada lagi air hujan yang terserap dan tertampung, jangan menyalahkan jika dalam waktu 5-10 tahun, akan kesulitan mencari air. Sekarang saja, dengan berdirinya bangunan kos=kosan baru di sekitar rumah, sudah mulai terasa sulit mencari air. Apalagi kalau di musim kemarau. Sumur di rumah kering. Akhirnya harus minta air dari rumah kakak di sebelah.

Apa sih biopori itu? Definisi jelasnya sih saya juga tidak tahu. Hanya definisi secara awam, biopori itu adalah lubang-lubang dalam tanah untuk mempermudah masuknya aliran air. Pencetusnya adalah dosen IPB, Kamir R Brata. Dia pula yang membuat alat pengebor khusus yang memudahkan untuk membuat lubang biopori.

Tujuan pembuatan lubang biopori ini sama dengan sumur resapan, yaitu menyimpan air. Air hujan yang turun dari talang tidak terbuang percuma ke selokan, tapi menyerap ke dalam tanah. Manfaat lain, lubang biopori ini bisa menghasilkan pupuk kompos, karena lubang-lubang itu diisi sampah-sampah organik. Karena pembusukan oleh organisma di dalam tanah, sampah organik pun jadi pupuk.

Lahan yang saya manfaatkan untuk membuat biopori adalah gang sempit di antara rumah baru dan rumah warung. Dua minggu lalu, bapak sudah membeli paving block dan pasir batu untuk alas gang sempit itu. Nah sebelum dipasangi paving block, harus dibuat dulu lubang-lubang biopori. Akhirnya dibuatlah tiga lubang biopori di lorong kecil itu.

Karena tidak punya alat khusus pengebor, linggislah yang berbicara dan menyelesaikan pembuatan lubang sedalam 1 meter dengan diameter 10 cm. Setelah itu, barulah paving block dipasang. Jadinya, gang itu lebih rapi, tidak becek lagi. Mulut lubang pun dipasangi paralon sekitar 10-20 cm. Karena belum beli penutup paralon, untuk sementara lubang paralon ditutupi tutup kaleng susu.

Langkah selanjutnya setelah lubang tersedia adalah mengisinya dengan sampah organik. Ini yang agak sulit. Maksudnya, saya mesti memberikan pemahaman dan penyadaran pada orang-orang di rumah untuk mulai membiasakan memisahkan sampah organik dan anorganik. Plastik, kertas, benda yang tak bisa hancur, harus disimpan di tempat khusus. Begitu pula daun, kulit pisang, bekas potongan sayur, nasi, ditempatkan di wadah berbeda. Pemisahan ini untuk memudahkan dan meringkan beban tukang sampah. Saya tes, dalam dua hari, sampah organik yang terkumpul sebanyak 2 kantung keresek. Artinya, berkuranglah jumlah sampah sebanyak dua keresek dan itu masuk ke lubang biopori. Dalam satu bulan berarti saya bisa mengurangi jumlah sampah 30 kantung keresek. Lumayan bukan?

Jika lubang biopori sudah penuh sampah, biarkan saja dia membusuk dengan sendirinya. Satu bulan lagi, sampah itu akan jadi kompos. Tinggal memanfaatkannya untuk pupuk tanaman dan bunga-bunga di depan rumah. Jika manfaatnya sudah terlihat, giliran saya untuk menularkan pengetahuan ini pada para tetangga.(*)

Thursday, February 05, 2009

Tirani dan Anarki

KETIKA penguasa bertindak sewenang-wenang, akan lahir tirani. Dan ketika aksi rakyat menjadi liar dan brutal tak terkendali, muncullah anarki. Dua kejadian di tempat berbeda memunculkan fenomena yang sama: kekerasan.

Demo ribuan pendukung pembentukan Provinsi Tapanuli berakhir rusuh. Pendemo mengobrak-abrik isi ruang rapat paripurna. Tak hanya itu, Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Aziz Angkat menjadi korban pemukulan dan akhirnya meninggal dunia karena penyakit jantung.

Di Pakenjeng, Kabupaten Garut, seorang oknum anggota polisi setempat memeragakan laku seorang tiran. Dengan kekuasaan, pangkat, dan jabatannya, ia menggebrak Ucu, sopir truk. Gara-garanya, truk Ucu yang tengah memuntahkan muatan pasir dianggap menghalangi jalan. Tak hanya itu, kabarnya oknum petugas itu sempat mengeluarkan pistol. Tindakan itu rupanya membuat kaget jantung Ucu sehingga tak kuat lagi berdetak. Ucu pingsan dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan ke puskesmas.

Jika aparat mengagung-agungkan jabatan, pangkat, dan kekuasaan, maka tindakannya tidak akan pernah berbuah pelayanan yang ikhlas kepada rakyat. Gerak pengabdiannya bukan lagi untuk kemaslahatan umat. Tapi semata demi memuaskan syahwat kuasa.

Aparat semacam itu tak lebih dari Louis XIV yang berseru: L'Etat c'est moi, negara adalah saya. Dengan segenap kekuasan di tangannya, kekerasan demi kekerasan adalah kebenaran.

Dan rakyat yang mengatasnamakan demokrasi, kebebasan untuk bersuara, namun berlaku anarkis dan tak mengindahkan nilai-nilai demokrasi, sesungguhnya adalah tiran berjubah humanis.

Kekuasaan bukanlah untuk menakut-nakuti wong cilik dan demokrasi bukanlah alat untuk menghakimi. Kita akan merasa ngeri bila aparat dan massa pamer kekuatan tanpa rasio.
Apa jadinya negeri ini bila aparat dan rakyat bermental seperti despot? Hanya kekerasan demi kekerasan yang akan mengular ke tengah masyarakat dan menghancurkan perjalanan bangsa ini.

Tidak ada pembenaran atas nama apa pun terhadap tindakan para pelaku. Demonstrasi adalah keniscayaan demokrasi, tapi tentu tak perlu dengan jalan anarki. Masih banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menemukan solusi sebuah persoalan.

Sungguh suatu pelajaran yang sangat berharga dari kejadian di Medan dan Garut ini. Berlaku santun dalam menyampaikan pendapat, sabar dalam menjalankan tugas, tidak akan membuat harga diri jatuh.

Justru di situlah nilai seseorang berada. Ketika mempunyai kuasa dan mampu untuk memperbudak seseorang, ia tidak melakukannya. Begitu juga, ketika seseorang mampu membuat kerusakan, tapi ia bisa meredamnya, itulah nilai tertinggi yang diperoleh. Seperti halnya yang diteladankan Ali bin Abi Thalib tatkala musuh yang tak berdaya meludahi wajahnya. Dia tak jadi membunuh musuh itu. Ali berperang bukan karena nafsu diludahi, tapi semata karena Allah SWT. Itulah nilai kemuliaan sejati.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 5 Februari 2009.