Wednesday, May 23, 2007

Rendra: Kesadaran adalah Matahari


SAYA iseng-iseng searching puisi Rendra di Goggle. Sudah lama tidak baca-baca puisi yang memberi semangat. Saya ingat penutup Pidato Megatruh WS Rendra yang terkenal menjadi semacam slogan perlawanan. Bahkan saat demo-demo jelang Reformasi 1998, ungkapan itu paling sering diucapkan sang orator. Atau ditulis pada sebuah baliho besar, seperti saat demo di Bundaran Unpad Jatinangor 1998.
KESADARAN ADALAH MATAHARI

KESABARAN ADALAH BUMI

KEBERANIAN MENJADI CAKRAWALA

DAN

PERJUANGAN

ADALAH PELAKSANAAN KATA-KATA

Itu bait akhir penutup pidato kebudayaan Rendra di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 10 November 1997.

Luar biasa. Bait ini rasanya paling banyak dikutip orang. Aktivis-aktivis senang sekali memajang tulisan ini sebagai slogan perlawanan.
Tapi saya perhatikan, banyak yang tidak tahu atau hanya sekadar menempel saja sebagai gagah-gagahan. Woi keren banget. Bahkan ada pula yang ngaku-ngaku sebagai hasil tulisannya. Weleh, plagiator... Atau ada pula yang dikasih tahu teman, itu dari Rendra. He he...setelah diperhatikan, ternyata salah.

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Kehidupan adalah cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
(Kata Aka kalimat ini adalah milik Rendra
*thx Aka atas inspirasinya)--> ini dari blognya Maya Fajar atau Maya Hirai, penulis 30 Origami Favorit.

Di luar dari itu, Rendra memang sosok luar biasa. Seniman, budayawan, terkemuka Indonesia. Maestro malah, sebutan yang pas untuknya. Memang belakangan ini jarang muncul di panggung-panggung kebudayaan. Usia tak menghalangi semangatnya. Dia punya daya linuwih yang bisa memengaruhi orang lain, terpesona dengan kehadirannya. Dan tetap konsisten sepanjang hayat.
Generasi saya dan Rendra tentu sangat jauh. Seingat saya, saya bertemu muka secara langsung dengan Rendra adalah ketika Panggung Seni di Fakultas Sastra tahun 1999. Lalu bertemu lagi di Lapang Gasibu dan mewawancarainya di Lapang Gasibu, tahun 2002. Waktu itu Rendra orasi di depan Gedung Sate dalam sebuah demo. Khalayak peserta demo kebanyakan mahasiswa, kalau tidak salah BEM se-Bandung Raya. Ketika Rendra naik panggung, para mahasiswa ini tak ada yang memerhatikan tokoh besar ini. Ini yang membuat marah teman saya, Asep Berlian, seniman pelukis Bandung. Dia sampai ngamuk-ngamuk, nantang berkelahi para mahasiswa, karena dianggapnya tidak menghargai Rendra. Selepas itu, saya tak pernah berjumpa lagi dengan Rendra. Biasanya kalau dia ke Bandung, Kang Asep Berlian selalu kontak memberi kabar Si Burung Merak itu ada di Kota Kembang.

No comments: