Sunday, July 29, 2007

Soundrenaline: Sound of Change

SOUNDRENALINE, ajang musik terbesar di tanah air, digelar untuk kesekian kalinya. Kota Cimahi, kota hijau --bukan hijau oleh pohon, tapi oleh tentara, kembali menjadi salah satu tempat penyelenggaraan Soundrenaline.  Nah, Minggu (29/7) ini, suara bising musik kencang dari berbagai grup musik kahot Indonesia, begitu memekakkan telinga, mengusik hening, kampung saya, Babakan Sari.

Ya, Soundrenaline yang mengusung tema Sound of Change, suara perubahan, itu digelar di Lapangan Brigif II/Kujang 15 Kebon Rumput. Jaraknya cuma 500 meter-an dari rumah saya di pinggir Kampus Unjani. Kalau lewat jalan pintas menyusuri sungai kecil di depan Unjani, mungkin jaraknya lebih singkat lagi.

Sejak pagi, para pemuja, entah penikmat musik, sudah berduyun-duyun datang ke daerah Kebon Rumput. Ini daerah militer, Bung! Komplek perumahan panggede AD. Dulu teman SMA saya, Hendri Siswo, juga rumahnya di sini. Saya sering main di rumah besar bercat putih itu, dengan halaman luas.

Bapaknya, Pak Samsudin, waktu itu masih Kolonel apa Brigjen gitu, adalah Komandan Pussenif. Sekarang ini, Pak Syamsudin sudah pensiun, tapi aktif di Komnas HAM. Dia juga produktif menulis buku. Sementara Hendri, pangkatnya apa yah, Kapten (Tek) AL, kalo tidak salah, tugas di Jakarta. Istrinya, teman saya juga di SMA, Renny Anggraeni.


Nah, lapangan Brigif itu ada di ujung Jalan Kebon Rumput. Belok ke kanan, terbentang stadion Brigif. Setiap hari Minggu pagi, tempat ini jadi tujuan orang Cimahi berekreasi. Awalnya untuk ikut senam pagi. Lama-lama, mirip sama Gasibu. Ribuan pedagang tumplek blek di tempat ini.

Sebenarnya saya ingin juga larut bersama ribuan penonton lainnya. Jingkrak-jingkrak menikmati sajian musik Indonesia. Apalagi Tribun Jabar, koran tempat saya bekerja, jadi semacam media partner lokal Soundrenaline. Tidak heran, saya punya tiket gratis sebagai undangan untuk masuk arena Soundrenaline.

Tapi keinginan itu berbenturan dengan kebutuhan. Ya, hari Minggu ini saya sudah merencanakan bersama Bu Eri untuk belanja bulanan ke Carefour Mollis. Terlebih, jam 9, kita sudah ditunggu sama Taksi Pak Bandi dari Bluebird di kampus Unjani. Makanya, saya tidak bisa menonton Soundrenaline kali ini.

Memang pertunjukan sampai malam, tengah malam malah. Tapi sama juga dengan bohong, karena sejak sore hingga malam saya harus bekerja. Menyiapkan halaman Tribun untuk edisi Senin. Jadi saya relakan saja tiket gratisan itu teronggok begitu rupa di laci meja kerja saya. Sudah saya tawarkan kepada beberapa teman. Jawabannya sama,"Mana bisa nonton malam?".

Kembali lagi soal Soundrenaline ini. Ini yang kedua kalinya Soundrenaline digelar di Lap Brigif Cimahi. Yang pertama tahun 2005 lalu. Waktu pertama digelar di Bandung tahun 2004, itu tempatnya di Lapangan PPI (Pussenif Bandung). Nah untuk 2007, Cimahi merupakan kota ketiga, setelah Padang dan Palembang, yang disinggahi pemusik-pemusik hebat tanah air.

Ada Dewa 19. Ari Lasso, Shanty, Nidji, Ungu, Slank, The Titans, Melly Guslaw, Naif, Naff, dan Tompi. Juga tampil Pas Band, yang waktu konser tempo hari di Stadion Sangkuriang Cimahi membuat heboh karena 4 penggemarnya tewas terinjak-injak. The Cangcutter, D'Massiv, Seringai, dan lain-lain yang saya engak tahu, tapi pasti asyik. Ah, jadi nyesel deh, gak melihat mereka. He he (*)

Wednesday, July 25, 2007

Suhu di Rancabali Minus 2-10 Derajat Celcius

TAK perlu jauh-jauh pergi ke Eropa, kalau hanya ingin merasakan cuada dingin. Di Bandung Selatan pun, ada daerah yang sangat dingin. Suhunya di bawah 0 derajat Celcius. Wow...
Memang seminggu belakangan ini, Bandung diterpa cuaca dingin menusuk. Tapi tentu masih taraf wajarlah. Paling dingin 15-16 derajat Celcius. Mungkin ini pengaruh transisi dari musim hujan ke kemarau. Pagi dingin menusuk sumsum, siang menyengat mengiris kulit.
Nah daerah yang temperaturnya menurun ekstrem hingga di bawah 0 derajat Celcius itu adalah kawasan Ciwidey dan Rancabali. Seperti dilaporkan reporter Tribun, Oktora, hasil pengukuran suhu yang dilakukan Petugas KPH Bandung Selatan memakai alat Termometer FM Transmitter, menunjukkan suhu Rancabali berada di kisaran 5-10 derajat Celcius.
Suhu terendah berada di perkampungan pemetik the Cibuni dan Kawasan Kawah Putih yang suhunya mencapai minus 2 hingga 10 derajat Celcius.
Suhu minus itu memang tidak sepanjang hari. Hanya terjadi pada pukul 05.00 hingga 09.00 WIB. Lewat jam itu, mungkin setelah matahari semakin tinggi, suhu di Rancabali kembali normal di kisaran 10-8 derajat Celcius.

Ha ha ha, normalnya saja 10-18 derajat, yang bagi kita di Bandung, sudah terasa dingin banget. Sedangkan pada malam hari, suhu tidak mengalami penurunan yang drastis. Paling-paling 5 - 8 derajat Celcius saja.
Tidak terbayang betapa dinginnya daerah selatan Bandung itu. Makanya teh bisa tumbuh subur, ya karena ada di dataran tinggi dan dingin. Kalau bagi para pemetik teh, suhu segitu mungkin gak ada apa-apa. Mereka lahir, besar, dan hidup di daerah super dingin. Sudah biasa, katanya.
Ingat kondisi dingin begini, ingat waktu berkemah di Ranca Upas. Ini tempat perkemahan, di dekat Cimanggu dan Kawah Putih. Kalau tidak salah, bulan Desember 1990. Saya bersama teman-teman Pramuka SMAN 2 Cimahi, kemping di sini. Selama kami kemping seminggu, tak pernah sehari pun matahari tampak bersinar. Dari pagi sampai pagi lagi, kabut tebal menutup kawasan perkemahan.
Bisa dibayangkan, semua perlengkapan kami basah. Baju seragam, ransel, tenda, semua basah. Kami pun tak pernah mencuci baju, karena percuma. Akhirnya baju-baju kering di badan. Tapi namanya Pramuka, ya senang saja. Bisa liburan, berkemah, nyanyi-nyanyi sambil duduk melingkari api unggun. Karena setiap hari cuaca berkabut terus, mau tak mau, acara api unggun pun digelar tiap hari. Supaya kita tidak kedinginan. Untungnya di bagian depan Ranca Upas, ada mata air panas. Ya, airnya benar-benar panas. Entah dari mana. Mungkin nerobos dari Kawah Putih, muncul di Ranca Upas. Jadi walau dingin membekukan badan, air panas selalu siap sedia mencairkan kembali badan yang kaku-kaku karena dingin. Brrrr... (*)

Saturday, July 21, 2007

Tukul: Saya Populer Berkat Warga Bandung


TUKUL 'Reynaldi' Arwana, sang Bintang Empat Mata, datang ke Bandung, Jumat (20/7), untuk jumpa dengan penggemar. Selain itu, saat malam hari Tukul pun live siaran Empat Mata dari pelataran Bandung Super Mal (BSM). Dua reporter Tribun, Ricky RY dan Dedi H, meliput kedatangan Tukul itu. Berikut liputannya:

Tukul mengaku sangat berterimakasih atas waktu dan kesempatannya untuk bisa bertemu langsung dengan warga Bandung. Karena diakui Tukul, dukungan terhadap acaranya Empat Mata dari warga Bandung cukup banyak, sehingga acaranya berada pada rating yang tinggi.

"Saya sangat berterima kasih bisa bertemu langsung dengan warga Bandung. Karena warga Bandung itu wah, banyak sekali yang suka melihat Empat Mata. Hingga ratingnya naik dan membawa saya jadi populer seperti ini," tutur Tukul dengan gaya katro-nya khas saat jumpa pers di Hotel Jayakarta, Jumat (20/7).

Tukul yang saat itu mengenakan kaus oblong hitam bertuliskan Empat Mata, tampak tidak banyak bicara. Kecuali saat ada pertanyaan wartawan. Terutama saat ditanya perasaannya setelah sukese seperti sekarang ini, Tukul mengaku dirinya masih belum merasa puas, sehingga ia akan terus menggali lawakan-lawakan yang terkini dan baru agar tetap mampu menghibur dan menghilangkan stres setiap orang.

"Saya itu sebetulnya sudah merasa sukses sejak beberapa waktu lalu. Tapi saya merasa masih belum puas, karenanya saya akan terus berusaha menggali lawakan-lawakan terbaru agar bisa membantu menghilangkan stres setiap orang," kata Tukul yang saat itu didampingi sejumlah pendukung acara Empat Mata dan pemain variety show Full Color.

Malamnya, memang benar-benar jadi milik Tukul Arwana. Belasan ribu warga Kota Bandung yang datang ke Plasa BSM (Bandung Supermal) tak bisa menahan tawa ketika melihat langsung aksi panggung Tukul.

Setting panggung dibuat menyerupai suasana di studio. Begitu juga kursi penonton yang disusun menjadi sepuluh undakan. Di luar area steril tentu penonton meluber.
Kemarin malam, buat pertama kalinya kru TV7 menggelar road show Empat Mata. Acara ini disiarkan langsung mulai pukul 21.30. Biasanya ketika show di dalam studio, penonton yang hadir hanya sekitar 400 orang. Tapi di Plasa BSM jumlah penonton bisa mencapai belasan kali lipat.

Setelah menyapa penonton, Tukul yang tampil mengenakan stelan hitam seperti pakaian orang desa, dengan gaya kocaknya memanggil satu per satu bintang tamu. Di antaranya Dewi Gita, Abah Us Us, Inka Christie, Dewi Lestari, Doel Sumbang. Tukul mengajukan pertanyaan menggelitik tentang situasi terkini Kota Bandung, setelah melihat rujukan melalui laptop.

"For all. Bagaimana tanggapan kalian tentang perubahan gaya fashion cewek-cewek Bandung. Dulu mungkin dikenal sopan, dan pakai busana tertutup. Waktu tadi saya roadshow di jalan-jalan Kota Bandung, wuah... banyak yang pakai pakaian terbuka," Tukul melempar pertanyaan.

Para narasumber pun memberi jawaban berbeda sesuai persepsi masing-masing. "Bisa jadi sekarang cowok-cowok Bandung lebih suka melihat cewek berpakaian yang agak terbuka," ujar Inka Christie yang langsung mendapat applause penonton.

Pembicaraan pun berlanjut ke topik lain yang ada di Kota Bandung. Di antaranya menjamurnya mal-mal, berkurangnya kesejukan kota, dan lain sebagainya. (*)

Asyiknya Main Bola di UPI


TRIBUN FC pernah main di sejumlah lapang di Kota Bandung. Stadion Persib, Sabuga ITB, Lapang Batununggal, Lapangan Lodaya, Lapangan Tegallega, Lap Brigif 15 Cimahi, Lap Palber Dayeuhkolot, Lap STT Telkom, Lap Tugu Lembang, Lap JM&Martin di Cihanjuang, dan tentu saja Lapang Kavaleri Jalan Ciremai, sebagai basecamp Tribun FC. Hanya Stadion Siliwangi Bandung dan Stadion Jalak Harupat di Soreang yang belum diinjak. Tinggal tunggu waktu saja. Pernah akan bertanding di Stadion Siliwangi, tapi lawannya membatalkan. Lalu di Jalak Harupat, sedang menunggu lobi-lobi politik kelas tinggi.
Nah Jumat 20 Juli kemarin, Tribun berkesempatan mencicipi empuknya Lapangan Kampus UPI Setiabudi. Selama melanglang ke beberapa lapangan, semua berkomentar inilah lapangan terbaik. Lapangannya rata banget, seakan bola dengan dengan badan kita. Tanahnya empuk, rumputnya pun tipis. Dan bersih.
Tak heran, Persib Bandung pun suka latihan di sini. Harga sewanya Rp 750 ribu per 2 jam. Itu sama dengan sewa tiga bulan Lapangan Kavaleri, ha ha ha... Karena perawatannya apik, Persib pun pernah diusir saat latihan turun hujan. Keapikan rumput benar-benar dijaga. Tak ada yang boleh main saat hujan turun.

Di pinggir lapangan ada trek buat lari. Lumayan lebar, sama untuk lintasan atletik di Siliwangi. Lalu ada satu Tribun di sebelah barat. Ya, penonton hanya bisa menonton dari tribun ini. Tidak ada tempat lain. Sementara di pinggir trek joging, ada 4 tempat bangku cadangan atau bench.
Kenapa Tribun FC bisa main di Lap UPI? Ini bermula bulan lalu, saat Gani, fotografer Tribun, bilang pada saya, kalau pengelola Lap UPI ingin main dengan wartawan. "Gimana kalau dengan Tribun?" tanya Gani. "Boleh, boleh, sok diantos," kata Nunu, pengelola Lapangan UPI.
Nah dari Gani-lah info itu meluncur dan langsung saya sambar. Saya kontak Kang Nunu dan minta jadwal tanding persahabatan. Dia pun oke. Semula mau bertanding 30 Juni, tapi diundur. Lalu tanggal 6 Juli, juga diundur, karena ada lapangan dipakai untuk Kompetisi Suratin Jabar. Akhirnya setelah Suratin beres, kita diberi jadwal tanding Jumat 20 Juli jam 08.00.
Awalnya saya riskan, khawatir teman-teman banyak yang tidak hadir. Karena itu hari kerja. Makanya saya pesan pada teman-teman yang bisa hadir untuk bawa teman lagi, jaga-jaga kalau pemain kurang. Apalagi UPI minta dua tim yang main. Walah, satu tim aja belum tentu ada, Kang...
Saat teng tanding, ternyata banyak juga yang datang. Dan di Lapangan UPI itu pula saya untuk pertama kalinya bertemu muka dengan Kang Nunu. Selama ini, kami hanya kenal di telepon. Waktu masuk lapangan, ada seorang bapak, masih muda sih, sebaya dengan saya, sedang berdiri. Pake kemeja dan jaket, lalu bawa tas. Saya langusng tembak saja. "Kang Nunu yah?". Ternyata lelaki itu pun mempunyai feeling yang sama. "Kang Mahmud yah," tanya dia. Kita pun berjabat tangan sambil tertawa. "Wah ketemu juga kita. Sebelumnya cuma ditelepon saja kita kenal. Ya ini mah cari keringat saja. Kita di sini tak pernah latihan tapi punya lapangan," tutur Kang Nunu.
"Nuhun Kang, kita yang harus berterima kasih. Kalau Tribun itu sebaliknya, ingin latihan tapi gak punya lapangan," kata saya sambil tertawa.
Tribun pun bermain melawan PS Karyawan UPI. Menang kalah tak jadi soal, yang penting silaturahmi sudah terjalin, lain waktu kita bisa main di sini lagi. GRATIS... Dan untuk tandang kali ini, Tribun FC harus mengakui keunggulan tim tuan rumah 3-5, setelah melewati pertandingan yang melelahkan. Walau kalah, kita tetap ceria dan bersenang-senang, karena bisa juga main di Lapangan UPI ini. Kapan lagi yah kita main di sini...? (*)

Thursday, July 19, 2007

Foto-foto Pakuhaji (Part-4)





MOTOR ATV. Inilah permainan yang paling ditunggu-tunggu para keponakan saya saat main di Pakuhaji. Mereka berebut ingin mencoba mengendarai motor kecil itu. Mungkin mereka ingin merasakan sensasi saat melaju di trek yang menurun dan tak rata itu.
Ada tiga ATV kecil dan satu ATV besar yang jalan. Ternyata penggemarnya memang banyak. Hampir satu jam, kami menunggu giliran menunggang kuda besi ini. Saya sampai ketiduran di saung dekat tempat antrean ATV ini.

Setelah hampir satu jam menungg, akhirnya anak-anak kebagian juga giliran naik ATV. Fathan langsung naik dan tancap gas. Tapi karena gas ATV itu hanya ditekan oleh jempol, jadi agak karagok. Akhirnya cuma bisa jalan pelan-pelan. Sementara Farid baru dua keliling, sudah menyerah. Ia terus menabrak ban pemisah di pinggir. "Susah beloknya," kata Farid.
Karena waktunya belum selesai, motor itu akhirnya dipakai Nurul. Ini yang seru. Kami semua tertawa melihat Nurul naik ATV. Begitu naik, langsung tancap gas. Ajrut-ajrutan, karena trek agak bergelombang. Yang membaut kami tertawa adalah Nurul memakai motor yang kecil dan tidak pas dengan bodinya yang memang bongsor. Ha ha ha...(*)

Foto-foto Pakuhaji (Part-3)






BERKUDA adalah satu di antara banyak kegemaran Kaka. Saya sudah membiasakan Kaka untuk menunggang kuda sejak dia umur 1 tahun. Kaka pertama kali naik kuda di Jalan Ganesha, depan ITB Bandung. Awalnya masih berdua dengan saya. Setelah itu, saya lepas, biar dia sendiri naik kuda.
Entah kenapa kuda jadi hewan favorit Kaka. Mungkin karena bisa ditunggangi. Karenag selain menunggang kuda, Kaka juga senang naik delman. Di mana ada delman, pasti dia setop. Pokoknya harus naik, gitu kali pikiran Kaka.
Mungkin juga ada faktor turunan atau genetis yang mengalir dalam darah Kaka, sehingga senang pada Kuda. Dan darah itu dari saya. Kakek saya seorang pemilik kuda di daerah Prapatan Cihanjuang. Aki Ica, namanya. Bukan kakek langsung memang, tapi adiknya kakek. Tapi ya masih terhitung kakek juga. Beliau sudah meninggal waktu saya masih kecil.
Terus ada satu lagi kakek. Juga bukan kakek langsung, tapi kakek dari pinggir. Aki Oma namanya. Nah kalo dia ini rajanya kuda di Prapatan Cihanjuang. Siapa saja tukang kuda atau delman, baik di Cimahi, Cimindi, maupun Lembang, pasti kenal Aki Oma. Dan sampai sekarang masih sehat walafiat. Jagjag waringkas, kata orang Sunda. Padahal umurnya sudah mau 80 tahun-an.

Aki Oma memang tersohor sebagai tukang delman. Waktu zaman Roma Irama main film Satria Bergitar, gerobak dan delmannya Aki Oma disewa untuk dipakai pada film. Dulu kudanya banyak. Sekarang paling cuma 3 ekor lagi. Delmannya pun kalo gak salah cuma tinggal 2 lagi.
Setiap naik delman atau kuda, saya pasti bercerita tentang Aki Oma ini pada kusir delman. Dan rata-rata mereka kenal pada Aki Oma. Di Katumiri, misalnya. Usai Kaka menunggang kuda, saya ngobrol dengan pemilik kuda. Waktu saya cerita soal Aki Oma, dia langsung tanggap. "Oh cucunya Aki Oma. Wah itu sesepuh perkudaan di Cimahi. Saya juga kenal atuh," kata si emang tukang kuda yang tinggalnya di Lembang itu. Sampai kini, kita sekeluarga kenal baik dengan tukang kuda di Katumiri. Malah Kaka manggil dia Uwa.
Juga tukang delman di Pasar Atas atau di Cimindi, kenal juga dengan Aki Oma. Wah, Aki Oma memang punya nama besar di dunia perkudaan. Sampai sekarang, Aki Oma masih suka ke Unjani mengambil rumput. Sejak dulu, daerah Unjani sudah terkenal sebagai daerah penghasil rumput. Makanya muncul nama daerah Kebun Rumput. Sekali-kali saya bertemu dengan Aki Oma di jalan. Dan Kaka pun paling senang kalau naik delmannya Aki Oma.
Alasan lain kenapa saya menyuruh Kaka supaya bisa menunggang kuda adalah memenuhi Sunnah Rasulullah SAW. Nabi pernah bersabda," Ajarilah anak-anakmu menunggang kuda, memanah, dan berenang". Dua hal sudah saya lakukan, mengajar naik kuda dan berenang. Cuma satu yang belum, memanah. Dan tentu bukan saklek memanah, karena itu juga bisa berarti menembak. Kalau ada waktu dan Kaka-Adik sudah besar, saya akan ajarkan mereka menembak. Gini-gini juga saya pernah ikut latihan menembak waktu di Pramuka. Pernah juga ikut Kejuaraan Menembak AntarWartawan di Pindad. Untuk senapan sniper saya dapat poin sempurna. Cuma pistol yang nilainya 8. Sementara mitraliur, itu lho senapan mesih yang sekali keluar bisa 5-10 peluru, dapat nilai 9. Yah, gak jelek-jelek amat... (*)

Wednesday, July 18, 2007

Foto-foto Pakuhaji (Part-2)





MEMANJAT tali juga asyik, bisa menumbuhkan keberanian, mengatur langkah antara tangan dan kaki. Berpegang erat, lalu hup, nangkring di batang kayu. Asyik lah Pakuhaji.

Kaka pun semangat masuk ke lorong-lorong ban. Walau harus jongkok, dia oke-oke saja. Nah waktu naik tali, Kaka mesti dibantu Bapa, karena takut jatuh katanya. Ya, takut mah manusiawi...

Foto-foto Pakuhaji (Part-1)


KALAU melihat bagian depan atau pintu gerbangnya, saya tidak menyangka kalau tempat itu adalah tempat wisata Pakuhaji. Kiri kanan, depan belakang, dipenuhi kebun. Hanya baligo besar yang menunjukkan itulah Kawasan Wisata Kuda dan Warung Liwet Pakuhaji.
Bu Eri, Kaka Bila, Mas Fathan, Farid, Nurul, semua mencoba berjalan di ayunan. Kalau tidak hati-hati dan berpegangan erat, bisa jatuh juga, lho. Ternyata Kaka berani dan bisa melewati halang rintang ayunan ini.

Ingat halang rintang, jadi ingat waktu ikut pendidikan kepemimpinan di Sekolah Calon Tamtama (Secata) Pangalengan, dulu, 18 tahun lalu. Tepatnya bulan Desember 1989. Saya sebagai anggota Gerakan Pramuka Ambalan Sunan Rachmat SMA Negeri 2 Cimahi, bersama 3 rekan lainnya, menjadi peserta Gladian Pimpinan Satuan (Dianpinsat atau GPS) III Pangalengan.

Selama 2 minggu, kami digojlok habis oleh instruktur-instruktur militer. Ya, pelatih kami adalah orang militer yang biasa melatih Catam-catam. Yang saya ingat, pangkat instruktur tertinggi adalah Sersan Dua. Lainnya adalah Kopral-kopral.
Porsi latihan hampir sama dengan porsi latihan catam. Bedanya, Catam tidur di asrama, kami tidur di lapangan luas, memakai tenda. Catam makan teratur, kami tidak. Karena kami harus memasak sendiri. Pernah karena kekurangan makanan, saya "merembes" keluar dari tenda, cari makanan ke warung di kampung. Merembes itu istilah keluar dari markas secara diam-diam, dan tentu tanpa izin. Kalau ketahuan, weleh berabe. Hukumannya macam-macam. Lari keliling lapang sepakbola atau push up di atas lumpur tahi sapi. Hiiiy..
Tapi senang juga merembes kayak gitu. Memacu adrenalin, sport jantung, takut tepergok pelatih atau petugas piket. Senangnya kalau pulang lagi ke tenda secara sukses sambil menggondol makanan dari warga. Beli kok, bukan mencuri. Kadang ada juga warga yang memberi, tanpa mau dibayar. Begitulah kalau di desa, sikap tolong menolong dijunjung tinggi. Tak peduli saudara atau bukan, pasti akan ditolong.
Nah soal halang rintang. Ini adalah makanan sehari-hari kami setiap pagi. Para calon-calon pemimpin satuan ini harus melewati sekitar 15 rintangan yang mengelilingi lapangan. Ada jembatan goyang, kandang gajah, berayun di tali, berjalan di balok kayu datar dan miring, manjat pagar tinggi, merayap di bawah kawat berduri, dll.
Saya adalah peserta Gladian paling pendek. Tapi soal kemampuan melewati halang rintang, saya bisa diadu dengan mereka yang lebih besar. Karena cekatan dan fisik bagus, instruktur-instruktur militer menjuluki saya "Tentara Jepang". "Nah, ini ni si Tentara Jepang, ayo ayo lari," begitu mereka menyemangati saya.
Ada satu instruktur yang sampai kini saya ingat betul namanya. Kopral Dua Rubiyanto. Kenapa masih ingat? Soalnya dia ini yang memarahi saya waktu mau Rappeling dari tower. Waktu saya masang tali tubuh dan carabiner, dia mencak-mencak di depan saya. "Hei kamu, jangan sok jago yah. Kalo kamu bisa melompat satu kali lompatan, saya kasih kamu duit seribu," kata dia dan bla bla lainnya yang intinya mah meremehkan saya.
Dimarahi sekaligus ditantang seperti itu, semangat saya makin tinggi. Setelah semua peralatan oke, saya pun bersiap, mulai meloncat-loncat kecil, memijak ke papan tower untuk ancang-ancang. Dan... Bismillah. Saya pun melompat sambil mengulur tambang dadung (emang kuno banget, bukan tali karmantel) sejauh mungkin. Dan Hup, saya melayang cukup lama, lalu mendarat di tanah sambil mengendurkan kaki seperti orang jongkok. Hanya satu kali lompatan, dari ketinggian 25 meter. Saya pun menerima uang Seribu Perak sebagai hadiah dari Kopral Dua Rubiyanto yang perawakannya gemuk itu.

Tuesday, July 17, 2007

Hari Pertama Masuk TK


ALHAMDULILLAH, Senin (16/7), Kaka mulai masuk Taman Kanak-kanak (TK). Kaka sekolah di TK Mutiara Ibunda, Jalan Warung Contong. Sekitar 1 kilometer dari rumah di Unjani.
Dari malam, dia sudah enggak sabar ingin segera sekolah. Waktu saya di kantor, Kaka telepon. "Bajunya udah siap, tasnya juga udah siap," lapor Kaka.
"Ya udah, tidur jangan terlalu malam. Kalau sudah jadi anak TK, gak usah disuruh la-gi kalau mau tidur sikat gigi dulu yah. Jangan lupa cuci kaki cuci tangan," kata sa-ya. "Oke bos, siap bos," jawab Kaka, tanggap. Dasar anak enel...

Senin jam 06.00, Kaka sudah bangun. Seperti biasa, dia nyelinap masuk ke kamar yang ditempati saya, Bu Eri, dan Adik. Kaka memang sudah tidur terpisah dengan kita. Tapi
masih dengan Mbah Uti. "Kaka mau nonton tivi dulu," katanya sambil menyetel tivi.
Sejam berikutnya, Bu Eri menyuruh Kaka segera mandi. "Ayo ayo, nanti telat, cepat mandi," kata Bu Eri. Saya sih masih leyeh-leyeh di kasur, jagain Adik yang baru bangun. Setelah Kaka beres mandi, baru saya yang mandi.
Jam 07.45, saya mengantar Kaka ke Warungcontong. Rupanya di sana sudah ada beberapa orangtua siswa yang datang lebih dulu. Dan sepertinya, mereka orangtua siswa yang la-ma. Waktu mereka melihat Kaka, ada yang tersenyum geli. Saya sih cuek saja, lalu ma-suk ke dalam. Setelah dekat, baru seorang ibu bilang,"Eh itu pake celana panjangnya yah? Kenapa gak pake rok? celana panjang kan buat laki-laki," kata dia.

Weiks...saya enggak ngeh. Ternyata Kaka saya lihat memang pake celana panjang. Saya kira memang celana panjang itu bawahan khas TK Mutiara Bunda. Ternyata bukan, ha ha ha...
Saya telepon Bu Eri. "Bu, di rumah ada celana rok gak? Ini harusnya pakai rok loh, bukanya celana panjang," tanya saya. "Oh bukannya celana panjang toh? Waktu kemarin gak dikasih rok, dikasihnya memang celana panjang," jawab Bu Eri.
Ya sudah, saya datangi ibu guru TK Mutiara Bunda. Lalu minta celana panjang Kaka di-ganti dengan rok. Mereka pun dengan senang hati mengganti celana panjang dengan rok.
Untung, masih ada stok rok di kantor TK itu. Kalau enggak, he he he...terpaksa pakai celana panjang.
Awalnya Kaka malu-malu, sembunyi di balik badan saya. Namun setelah agak lama, lang-sung tune in. Apalagi ada Alia, siswa baru yang juga temannya waktu di Playgrup Lem-bah Madu. Langsung saja mereka bermain bareng. Kalau sudah begini sih, saya pilih pulang saja. Apalagi jam 10, saya harus ikut kursus Bahasa Inggris. Jadi tidak bisa
menjemput Kaka saat pulang. Tapi saya sudah minta sama guru Bahasa Inggris, agar masuk kursus jadi jam 10.30, jadi ada waktu buat menjemput. Dan ternyata disetujui...(*)

Monday, July 16, 2007

Tempat Wisata Baru: Pakuhaji


MINGGU (15/7) kemarin adalah hari terakhir liburan sekolah. Di rumah, Kaka dan kepo-nakan yang lain ribut, pingin ke Pakuhaji. Malah Kaka sudah dari seminggu sebelumnya ribut mau ke sana. Apalagi di koran Pikiran Rakyat, ada foto-foto kegiatan outbond anak-anak di Pakuhaji. Tentu bikin penasaran anak-anak untuk segera berpetualang di tempat wisata Pakuhaji itu.

Nama resminya adalah Kawasan Wisata Kuda dan Warung Liwet Pakuhaji. Ini adalah tem-pat wisata baru di dekat Kota Cimahi. Kira-kira baru 6 bulan lalu. Lokasinya berada di Desa Pakuhaji, Kecamatan Ngamprah, Bandung Barat. Sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Cimahi.

Bagi saya, daerah Pakuhaji tidaklah asing. Ini termasuk daerah "jajahan" saya waktu masih sering berkelana, hiking, dan naik gunung. Kalau pergi ke daerah Cisarua atau ke Gunung Burangrang, saya tidak pernah naik mobil. Tapi jalan kaki. Itupun tidak melewati jalan raya, melainkan melewati jalan-jalan kampung, salah satunya jalur Pakuhaji ini.
Setahu saya, ujung jalan Pakuhaji ini akan tembus di belakang Koperasi Cisarua, saya lupa nama koperasinya. Yang pasti ini koperasi besar, tempat kita biasa beli susu murni. Juga tembus dekat bangunan SMA Cisarua. Dari situ tinggal nanjak sedikit, ti-ba di Panyandaan atau Panyandakan. Ini daerah tinggi, tempat stasiun televisi nasio-nal menyimpan tower relai mereka. RCTI, SCTV, TPI, memasang tower di sini. Kalau ke-betulan melintas jalan layang Cimindi pada malam hari, tengoklah ke sebelah utara. Pasti akan tampak kerlip beberapa lampu merah berjejeran. Itulah Panyandaan. Dari Pa-nyandaan, turun sedikit, tiba di Barukai, tempat SPN (Sekolah Polisi Negara) Cisarua berada. Dan jika kita menengok ke utara, nampak gamblang dan jelas, Gunung Burang-rang. Pepohonan, hutan-hutan di punggungan gunung tampak jelas menggurat.

Semula mau ke Pakuhaji pakai motor. Cukup dua motor. Saya bertiga dengan Bu Eri dan Kaka Bila. Satu motor lagi, Mas Rohman bareng Mbak Ani dan Fathan. Tapi keponakan yang lain juga ingin ikut. Akhirnya kita carter angkutan kota. Tambah dua orang, Nu-rul dan Farid, berdelapan kita ke Pakuhaji.
Untuk mencapai Pakuhaji, bisa melewati dua jalur. Jalur Haji Gofur dan Jalur Cipage-ran Cidahu. Namun saya menyarankan untuk lewat ke Jalan Haji Gofur. Dari Jalan Raya Barat Cimahi, belok kanan (kalau dari arah Bandung) dan belok kiri kalau dari arah Padalarang ke Jalan Haji Gofur. Tinggal lurus terus, dengan jalan yang turun, dan me-nanjak, menanjak, dan menanjak. Tak jauh dari kantor desa Pakuhaji, sebelah kanan, ada Baligo dan pintu gerbang besar. "Selamat Datang di Kawasan Wisata Kuda dan Wa-rung Liwet Pakuhaji", begitu tulisan di baligo itu.
Tiket masuk ke tempat ini sangat murah. Hanya Rp 1.000 per orang. Sementara kendara-an Rp 2.000. Tempat parkir cukup luas, setelah pintu gerbang. Masuk sedikit, tampak-lah sejumlah permainan buat anak-anak. Ada motor ATV, berkuda, lalu terlihat pula arena flying fox.
Kondisi geografis tur daerah wisata ini memang menurun. Luas lahannya saya kira se-kitar 5 hektare. Lebih kecil dari Wisata Katumiri di Cihanjuang. Tapi lebih besar dari All About Strawberry (Baca postingan: All About Stawberry).
Yang membuat tempat ini lebih ramai dari Katumiri yaitu karena letak arena permainan berdekatan. ATV, Berkuda, juga flying fox yang melintasi arena ATV. Sementara arena bermain gratis lainnya, seperti main pasir, perosotan, berjalan di balok kayu, dan jembatan goyang juga berdekatan.
Tapi yang paling menonjol dan jadi suguhan utama wisata di sini adalah warung liwet. Saung-saung berjejer rapi. Selain memakai meja, ada juga saung lesehan. Nah, kita memilih lesehan di warung lantai dua. Dari tempat ini, bisa melihat pemandangan luas sambil makan.
Harganya makanannya pun cukup murah. Satu nasi liwet pakai kastrol untuk 4 orang cuma 15 ribu. Lebih murah dibanding Strawberry. Kita pun pesan nasi liwet komplit, ikan nila goreng, karedok, Batagor kuah. Lalu minumnya kelapa muda Dawegan atau Degan kalau kata Mbak Ani. Jus Strawberry juga ada.
Bagi saya tempat ini cukup bagus untuk keluarga. Anak-anak bisa main. Orangtua pun bisa memanjakan lidah dengan makanan yang cukup enak. Nah usai makan, anak-anak ma-sih ingin main. Cukup dengan tiket seharga Rp 10.000, Kaka bisa naik kuda yang jadi hobinya. Sementara untuk menunggang motor ATV mesti bayar dua kali lipat.
Walau baru, ternyata pengunjung ke tempat ini sangat banyak. Hampir semua sudut wisa-ta Pakuhaji penuh oleh pengunjung. Pengunjung yang datang tak hanya dari Cimahi atau Bandung. Tapi juga dari daerah lain, termasuk Jakarta. Ini terlihat dari nomor plat mobil yang parkir. Kebanyakan D dan B.
Saat kita pulang pun, sering berpapasan dengan mobil berplat B yang mengarah ke
Pakuhaji. Sayangnya, akses ke Pakuhaji ini kurang bagus. Jalannya sempit dan rusak di beberapa titik. Ini tugas Bupati Bandung Barat, Tjatja Kuswara, untuk memperbaiki sarana sekaligus mempromosikan tempat wisata ini. Bisa nambah PAD Bandung Barat yang minim itu lho, Pak! (*)

Sunday, July 15, 2007

Indonesia vs Arab Saudi: Nasionalisme yang Terbangkitkan

GEMURUH suara puluhan ribu penonton yang memadati Stadion Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, membuat merinding siapapun yang mendengarnya. Suara itu, bak dengung ribuan tawon, seolah memberikan suntikan darah dan semangat kepada 11 pemain PSSI yang tengah berlaga melawan Arab Saudi, Sabtu (14/7) malam.

Ya, itulah suasana yang tampak saat Timnas Indonesia menjalani pertandingan kedua Piala Asia 2007. Warna merah dengan nuansa putih mendominasi pemandangan di stadion terbesar se Asia Tenggara itu. Teriakan "Indonesia, Indonesia" membahana memenuhi udara, menghambur ke angkasa, membuat jantung setiap orang Indonesia yang menonton di televisi tersedot. Seakan merasakan atmosfer pertandingan yang begitu gegap gempita.
Apalagi pertandingan kali ini istimewa. Karena Presiden SBY hadir di tengah penonton. Boleh jadi, dia pun ikut teriak ketika Elie Eiboy, mencetak gol ke gawang Arab Saudi.
Tak ada sekat antara penonton. Semua lebur dalam satu nama: Indonesia. Tidak ada Bobotoh Persib yang juga melurug ke Jakarta. Tidak ada The Jak. Tidak ada Slemania, Bonek, dan lainnya. Tidak ada fans klub yang selama ini selalu membuat rusuh. Hanya satu kaus tim yang mereka pakai: Indonesia.

Inilah nasionalisme yang terbangkitkan. Hanya dengan sepakbola, rasa persatuan itu begitu kentara, begitu terasa, meresap ke dalam dada. Ada rasa bangga menjadi orang Indonesia. Selama ini, kita kehilangan harga diri sebagai sebuah bangsa. Semenjak reformasi, sudah semakin jarang orang yang ingat dengan Hari Kebangkitan Nasional. Orang pun sudah jarang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Tapi lewat olahraga, nasionalisme itu muncul. Dengar bagaimana koor megah puluhan ribu orang menyanyikan Indonesia Raya. Tidak pernah ada kejadian semacam itu, kecuali saat Timnas bermain. Mungkin kita masih ingat, tahun 1998 di Barcelona, saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan emas untuk Indonesia. Air mata itu mengalir tulus di pipi Susi ketika Bendera Merah Putih naik diiringi lagu kebangsaan. Perasaan haru pun saya yakin dirasakan pula orang berjuta rakyat Indonesia yang menyaksikan momen itu.
Seorang wartawan senior, kahot, yang telah meliput pertandingan sepakbola selama puluhan tahun (Piala dunia, Eropa, Amrik Latin dsb), saya lupa namanya, yang pasti dia orang Amerika keturunan Yahudi, bilang bahwa tidak pernah ada dalam sejarah manusia yang bisa mempersatukan perbedaan ras, agama, dll, kecuali sepakbola. Sepakbola telah menjadi "agama" baru. Nasionalisme pun bangkit ketika tim negaranya bertanding. Persis seperti saat Indonesia melawan Arab Saudi.
Ketegangan begitu terasa, ketika pertandingan menyisakan beberapa menit injury time. Kedudukan masih imbang 1-1. Dan sesaklah napas seluruh rakyat Indonesia malam ini, ketika pemain Arab Saudi, Saad, melesakkan gol ke gawang Jendri Pitoy dan membawa kemenangan negeri Petro Dolar itu.
Walau menyesakkan, kebanggaan tetap ada. Menyaksikan perjuangan 11 pemain Timnas yang dengan gagah berani meladeni pemain Arab, rasanya memunculkan harapan. Kita bisa sejajar dengan mereka. Heroik. Itulah kesan yang muncul.
Dan sesungguhnya, kemampuan orang Indonesia memang tidak bisa diremehkan. Di ajang Olimpiade Matematika, Fisika, dan Astronomi, anak-anak muda Indonesia sudah lama mengharumkan ibu pertiwi ini. Nama-nama mereka melambung, melesat, ketika berhasil merengkuh penghargaan tertinggi, mengalahkan negara lain yang dianggap lebih "pintar" dari orang Indonesia. Walau sambutan yang didapat tidaklah seheroik penonton sepakbola, tapi mereka tak putus semangat. Mereka tetap bangga membawa bendera Merah Putih.
Nasionalisme itu masih ada, Bung!. (*)

Saturday, July 14, 2007

Nampang Dulu


Ah, nampang dulu bentar. Mumpung ruang redaksi lagi kosong. Yang ada cuma komputer-komputer lapuk. Dan tikus-tikus kecil di kolong meja. Beneran lho, di kolong-kolong meja para jurnalis ini banyak tikusnya. Entah dari mana. Mungkin peringatan buat kita. Jangan jadi "Tikus-tikus" yang menggerus uang rakyat. "Tikus" yang melubangi kantung Bulog, DKP, dll. Jadilah tikus yang mampu mengendus ketidakadilan, kezaliman.

Tapi siapa yang memotret? Yang pasti bukan saya. Rasanya juga tidak pakai jepret otomat. Pake tripod? Enggak juga. Karena saya baru beli tripod minggu lalu. Ini memang foto tahun lalu. Saat saya mau berangkat ke Cirebon. Jadi yang memoto sapa neh? Ayo ngaku!! Masa jurig? Hiiiy.....

Buku dari Mas Joko


JUMAT (13/7) kemarin, saya kedatangan tamu istimewa. Mas joko Subinarto. Seorang kawan lama. Beberapa kali komentarnya mampir di blog ini. Malahan lewat blog pula, Mas Joko bilang mau main ke rumah saya di Babakan Sari Unjani.
Jam 09.17, HP saya menjerit-jerit. Rupanya ada sms yang masuk. Sms dari Mas Joko. "Bos, pasisiang saatos jumaahan tiasa ameng nya ka dinya? mung abdi hilap deui rutena. Ka palih mana nya?". Tapi baru dibalas jam 10.00-an. Saya kasih tahu petunjuk arah ke rumah saya.
Memang rumah Mas Joko dengan rumah saya tidak terlalu jauh. Saya di RW 09, sementara Mas Joko di RW 05, Lapang Tembak, Gunung Bohong. Masih satu kelurahan, Kelurahan Padasuka. Tinggal jalan kaki menyusuri jalan Cibeber, belok di pabrik batako. Menyusuri gang kecil di pinggir sawah, masuk kampung. Pasti kesasar.. he he he.
Ya maklum lah, di kampung banyak gang kecil dan rumah berdempeten. Sekarang ini kawasan Unjani memang kian padat. Padat oleh mahasiswa pendatang, dan rumah kos-an yang berdiri di sana sini.
Mungkin Mas Joko susah payah menemukan rumah saya (Dan ternyata benar, tersesat dulu) Sekitar jam 13.30, baru Mas Joko muncul di depan pintu rumah. Akhirnya, berhasil berhasil hore...
Mas Joko pernah sama-sama jadi wartawan di Metro Bandung (sebelum menjadi Tribun Jabar). Dia angkatan paling awal. Dia ini jago Bahasa Inggris. Maklum lulusan Bahasa Inggris IKIP Bandung. Waktu itu kalau tidak salah, kebagian meliput di bidang pendidikan.

Namun tak lama, Mas Joko keluar dari Metro Bandung. Sekarang Mas Joko lebih dikenal sebagai penyiar Radio Litasari Cilember. Juga seorang penulis lepas dan penerjemah. Tulisannya beberapa kali muncul di Pikiran Rakyat dan Kompas Jabar. Tak cuma itu, Mas Joko juga adalah seorang dosen. Pastinya juga ngajar Bahasa Inggris, di Universitas ARS Internasional. Di sisi lain, dia juga adalah kakak angkatan saya di SMAN 2 Cimahi. Mas Joko lulusan tahun 1987. Saya sih lebih muda 5 tahun.
Kami ngobrol banyak hal. Tentang pekerjaan, sedikit tentang politik lokal Cimahi
yang kini semakin hangat. Juga tentang keinginan saya dan Bu Eri untuk privat Bahasa Inggris pada Mas Joko. Walau saya lulusan LBIB LIA zaman dulu, kalau tidak dipake, namanya bahasa itu bisa ngilang!. Paroho deui, dan arap-ap eureup eup kalau berhadapan dengan bule-bule kesasar...
Selain itu juga, banyak sekali tawaran beasiswa Jurnalistik yang datang. Kemarin ada tiga tawaran beasiswa. Satu dari Jeffersonfellowship, itu beasiswa khusus buat redaktur dan koordinator liputan. Lalu datang juga tawaran beasiswa short course dari Institut Jurnalistik Internasional, Jerman. Mulai 24 Agustus sampai 5 Oktober. Kemudian dari lembaga yang sama, beasiswa khusus Jurnalisme Politik.
Tapi karena enggak pede dengan kemampuan bahasa Inggris saya, aplikasi beasiswa tidak saya kirimkan. Padahal saya bersama tiga orang redaktur lainnya sudah
direkomendasikan ke Jakarta, untuk dikirim ke Jerman. Weleh, sayang...
Dari situ, saya terpacu lagi untuk me-refresh kemampuan Bahasa Inggris. Mulai Senin besok, saya masuk kelas khusus Conversation dan TOEFL di sebuah tempat kursus dekat SMP 2 Cimahi. Supaya lebih mantap, saya ingin juga privat ke Mas Joko. Di ujung pertamuan itu, Mas Joko mengeluarkan sebuah buku. Cukup tebal, dengan cover warna hitam bergambar seorang Muslimah memakai jilbab. Pantesan, waktu datang, saya lihat Mas Joko bawa kantong keresek hideung. Oh, ternyata buku toh. Dan ternyata lagi, buku itu adalah hasil terjemahan Mas Joko. Weis, luar biasa. Saya bangga punya teman bisa berprestasi dan mampu berkarya seperti ini.
Buku ini diterbitkan MQ Grees, sebuah penerbitan di bawah naungan MQS Publishing. Menyebut nama MQ, tentu tidak akan lepas dari nama besar KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, pemimpin Pesantren Daarut Tauhiid.
Eh, ngomong-ngomong tentang DT, gimana Aa Gym sekarang yah? Rasanya jarang melihat dia nongol di televisi swasta. Paling lihat Aa Gym di MQ TV saja, karena itu memang TVnya dia.
Hampir 4 tahun saya tidak menginjak halaman mesjid DT. Paling juga dikontak orang DT. "Ada rilis Kang, besok ada acara di DT". Dan saya tak pernah datang. Hanya menyuruh teman reporter yang meliput di sana. Seperti Sabtu (14/7) ini. Sejak minggu lalu, orang DPU DT memberi tahu saya ada acara di DT. "Ya makasih Kang, nanti teman reporter datang ke sana," jawab saya. Ah, nanti lagi deh, di lain episode, cerita soal DT.
Kembali ke buku hasil terjemahan Mas Joko. Saya belum sempat membaca buku ini. Karena kebetulan saya juga sedang menyelesaikan membaca setumpuk buku hasil berburu di Pesta Buku Paris van Java. Waktu Mas Joko datang saja, saya tengah baca buku "Kala Nurani Tertindas Tirani". Itu buku tentang perlawanan kaum sufi terhadap penguasa yang lalim di seluruh penjuru dunia.
Dari sedikit cerita Mas Joko, buku hasil terjemahannya yang berjudul "Misteri Muslimah: Kehidupan Luar Biasa Muslimah Amerika", menarik untuk disimak. Kata Mas Joko, penulis buku ini adalah Donna Gehre-White, seorang wartawati peraih Pulitzer, penghargaan tertinggi buat jurnalis. Sekarang Donna jadi penulis feature untuk Miami Herald. Buku ini ditulis setelah peristiwa 11 September atau 911.
Semula Donna hanya ingin mengetahui bagaimana sikap kaum muslim pasca911. Namun ia tertarik untuk menyelami kehidupan para Muslimah yang berdiam di Amrik. Ada yang datang dari Afrika, Timur Tengah dll. Ada yang sudah muslim dari sononya. Ada pula yang mualaf, baru memeluk Islam saat di Amerika. Dan juga ada pula cerita tentang wanita Amrik yang menjadi Muslim. Begitu kata Mas Joko yang memerlukan waktu satu bulan untuk menerjemahkan buku ini. Yang lain-lainnya saya belum tahu, karena belum baca.
Nah berlanjut soal buku, saya pun bercerita pada Mas Joko tentang cita-cita saya
membuat perpustakaan umum. Karena di Cimahi belum ada semacam Book Corner. Juga
tentang Klab Membaca dan Menulis. (Baca Postingan: Cita-cita).
Ternyata Mas Joko mendukung penuh. Bahkan mau membantu dan menyumbang buku. Ah, ada pendukung juga nih. Siapa tahu kalau begini, semakin mendorong saya untuk mewujudkan cita-cita itu .
Hatur Nuhun Mas Joko, mudah-mudahan bukunya bermanfaat. Jangan lupa, kalau buku terjemahan yang satu lagi tentang CIA dan Bush sudah terbit, kasih lagi dong saya. Minimal kasih pinjam buat dibaca, dan tidak dikembalikan. Ha ha ha... (*)

Tuesday, July 10, 2007

Menang Telak 7-1


TRIBUN FC kembali berlaga di lapangan hijau, Sabtu (7/7). Seperti biasa, Tribun main di Lapangan Kavaleri Jalan Ciremai, dekat Sesko AD. Kali ini, lawan Tribun adalah PS PORPAS Ujungberung. Ini kesebelasan dari gunung. Mereka biasa main di kampung. Kebetulan kenal dengan Kang Toto, pemain senior Tribun, sehingga tercapai kesepakatan untuk bertanding.
Sejak Rabu saya sudah pasang woro-woro pengumuman Tribun FC bakal tanding di papan pengumuman tak resmi. Kaca pos Satpam, dinding penutup ruang redaksi, dan tembok dekat cermin di dekat dapur. Itu lokasi-lokasi yang paling strategis dan semua pasti lihat pengumuman itu.
Saya datang terlambat, karena berangkat dari Cimahi pukul 08.30. Padahal main jam 09.00. "Wah mesti ngebut ini, bisa gak yah setengah jam sampai Ciremai," pikir saya di perjalanan. Dan ternyata memang saya terlambat. Sudah ada beberapa orang yang kumpul. Ada Dedi, Erwin, Anwar. Tapi yang lain pun belum datang. Juga lawan tanding belum terlihat batang hidungnya.

Akhirnya kita ngobrol ngaler ngidul sambil menunggu teman-teman komplet. Hampir setengah jam kita menunggu, satu persatu teman-teman Tribun datang. Tak lama, datang pula satu angkot hijau. Isinya pemain PORPAS semua. "Oh, cuma pake angkot. Syukurlah," kata saya. Soalnya saya sudah woro-woro sama teman-teman, PORPAS ini biasa datang ke lapang pake Truk. Maklumlah, namanya tarkam alias antarkampung, kalau bertanding, yah yang ikut itu satu kampung. Masih untung cuma pake angkot, he he...
Akhirnya tak banyak cingcong, dengan pemain yang pas-pasan. Pemain Tribun cuma ada 12 orang. Itupun satu orang tidak bawa sepatu bola. Bermainlah kita. Dengan semangat tinggi dan napas ngos-ngosan, Tribun FC bisa menang juga. Telak lagi, 7-1. Satu gol hiburan itu pun hasil bunuh diri Arief, anak Canvaser. Masih untung itu juga, bisa menang... (*)

Thursday, July 05, 2007

Dua Bidadariku Panas Dingin



DUA hari terakhir ini, saya kerepotan. Dua bidadari cantikku sakit demam, panas dingin. Awalnya Kaka yang demam. Suhu badannya 38,6 derajat Celcius. Karena sering menciumi Adik, menularlah virus-virus panas itu. Suhu badan Adik pun naik sampai 39 derajat Celcius.

Yang membuat saya repot adalah tidak ada orang yang mengurus dua anak ini. Bu Eri hanya bisa malam dan pagi sampai jam 9. Karena lewat itu, dia sudah ke lapangan. Tinggal saya yang harus merawat. Memang di rumah ada Mbah Kakung dan Mbah Uti. Tapi tentu saya tidak bisa melepas begitu saja. Mereka sudah repot dengan pekerjaan di rumah. Akhirnya saya yang mengasuh dua bidadari itu.

Sejak tidak punya lagi pembantu rumah tangga, memang beban pekerjaan semakin banyak. Mau tidak mau sebelum berangkat kerja, harus menyelesaikan dulu pekerjaan di rumah.
Minimal tidak terlalu seperti kapal pecah lah. Rapi-rapi dikit.

Waktu Bu Eri berangkat ke Ambon tempo hari, saya pun kelabakan. Sendirian mengurus dua anak, berat juga yah. Makanya hebat tuh yang jadi singel parent atau orangtua tunggal. Membesarkan anak-anak sendirian. Luar biasa... Lha saya baru ditinggal Bu Eri empat hari saja kelabakan. Padahal saya lebih sering meninggalkan Bu Eri. Berbulan-bulan lagi, he he...

Untungnya dua bidadariku ini tidak terlalu rewel. Walau badannya panas, Adik malah semakin banyak tersenyum. Setiap ada orang, dia pasti senyum. Ada orang ngajak main, dia tertawa. Memang kalau Kaka agak rewel belakangan ini. Sedikit-sedikit ngek, ngok, kayak anak cengeng. Malam-malam kalau lagi tidur, dia suka bangun sambil ngarenghik. Minta dipijit lah, cape lah...

Tapi begitulah, risiko orangtua. Mesti sabar menghadapi tingkah anak. Bagaimanapun mereka adalah darah daging kita. Walaupun mereka sesungguhnya bukan anak-anak kita, seperti dibilang oleh Khalil Gibran. "Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka dilahirkan melalui engkau tapi darimu. Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu..." (*)

Wednesday, July 04, 2007

Langit Pagi Babakan Sari





Tak sengaja saya lihat langit, pagi itu, akhir pekan kemarin. Luar biasa indah. Langit biru. Awan berupa gumpalan kecil. Berlapis-lapis. Dan yang membuatnya indah adalah pohon nangka yang tumbuh di halaman rumah tetangga. Pohon itu jadi siluet yang indah. Momen jarang datang dua kali. Saya ambil kamera Canon mini. Jepret tiga kali. Jadilah momen pagi itu. Langit Pagi di Babakan Sari.

Akhirnya Punya Juga Gelang Ambon

BU Eri pulang dari Ambon, Minggu (1/7) malam pukul 21.00 WIB. Jadi perjalanan lebih dari 12 jam. Berangkat dari Ambon jam 07.00 WITA, pakai Lion Air. Transit dulu di Makassar, ganti pesawat, tapi masih Lion Air. Lalu menuju ke Surabaya. Di sini juga transit dan ganti pesawat lagi.

Delay tiga jam, dipakai buat jalan-jalan ke Tanggul Angin. Baru jam 13. WIB, mengudara ke Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Jam 3.30 sore, sudah sampai. Setelah urus sana sini, baru meluncur ke Bandung jam setengah 6. Tiba di Pemkot jam 8 malam. Ambil barang-barang dari bagasi, dan nunggu mobil, baru sampai di Kampus Unjani jam 8 lewat 50 menit.

Saya, Kaka Bila, dan Mbah Uti yang menjemput di Kampus Unjani. Bu Eri diantar Kang Faisal pakai mobil dia. Kang Faisal ini staf Dainkom Pemkot Cimahi. Kami sudah kenal lama dan akrab. Waktu Bu Eri melahirkan, Kang Faisal bersama keluarganya datang menengok ke RS Cibabat.

Kalimat pertama yang meluncur dari bibir Kaka saat bertemu kembali dengan Bu Eri adalah"Ibu, mana oleh-olehnya?". Ha ha ha, ditinggal empat hari, ketemu malah nanya oleh-oleh. "Kamu ini bukannya salam dulu sama Ibu," kata Bu Eri.

Di rumah, Bu Eri gelar oleh-oleh. Banyak banget. Saya bilang, mirip orang mau jualan, segala macam dibeli. Mulai kaus bertuliskan Ambon Manise, beragam gelang mutiara, kalung mutiara, cincin. Lalu makanan khas Ambon. Entah apa namanya. Rata-rata kuenya berasa jahe. Ada pula dodol duren dan kacang mede. Tak ketinggalan, minyak kayu putih asli dari tanah Maluku. Wah bejibun deh...

Dan ternyata harganya tidak murah. Puluhan ribu rupiah. "Ini kan buat banyak orang. Buat di rumah aja berapa orang. Belum teman-teman di kantor. Itu juga orang humas Pemkot pesan oleh-oleh juga. Ya wajar lah banyak gini," kata Bu Eri.

Saya kebagian gelang kulit penyu dan akar bahar. Saya memang sudah pesan minta gelang. Tapi sebetulnya yang saya maksud adalah gelang tali atau hasil rajut, atau juga gelang batu-batu. Waktu di Batam, saya beli gelang batu-batu Kalimantan. Tapi tertinggal di sana, waktu saya pulang. "He he kayak preman aja pake gelang akar bahar," canda saya disambut tawa orang rumah.

Selain oleh-oleh dari Ambon, ternyata Bu Eri juga beli oleh-oleh di Surabaya. Dia memborong tas kulit, dompet kulit, dan ikat pinggang kulit. Bu Eri memang perhatian. Kalau melihat kaus hitam saya sudah pada belel, besoknya dia bawa kaus baru.

Sikap berbagi memang menjadi bawaan Bu Eri. Dia selalu tak tega kalau orang lain tidak kebagian. Makanya oleh-olehnya banyak, biar orang lain juga ikut merasakan kegembiraan dan kebahagiaan kita. Saya sepakat... (*)

Tuesday, July 03, 2007

Upacara Adat dan Menari




Ini foto waktu upacara adat pelepasan wisudawan. Kaka berada di tengah barisan pertama. Maklum, anak-anak playgrup memang sedikit. Jadi diprioritaskan di depan. Lagipula, mereka cuma menari tok. Dan tidak ada pelepasan secara khusus untuk playgrup. Hanya diberi raport lalu pulang dan tidak berjumpa lagi dengan teman-teman sesama Playgrup.

Naik Delman



Kaka naik delman ditemani Teteh Nurul. Ada Wawa yang duduk di depan, yang di tengah saya gak tahu namanya. Di belakang Kaka, ada Aya sama ibunya. Ibunya Aya ini ternyata teman Bu Eri. Kalau gak salah teman SMP gitu. Lalu di depannya ada Teteh Nurul dan neneknya Wawa. Plus kusir dan asistennya, total jenderal ada 9 penumpang di delman itu.

Yang ikut acara ini bukan hanya anak-anak Playgrup dan TK, tapi juga anak-anak TPA, Azzahra English Course, lalu RA, yang semuanya di bawah yayasan Attaqwa. Karena jumlah muridnya banyak, dibutuhkan 33 delman untuk mengangkut semua. Tapi ternyata tidak semua murid ikut naik. Karena tiga delman paling belakang, diisi oleh orangtua murid.
Bagi Kaka, naik delman bukan hal yang istimewa. Aki Oma, dia ini masih terbilang saudara, adalah pengusaha delman di Prapatan Cihanjuang. Seminggu dua kali, Aki Oma yang sudah sepuh, tapi tampak sehat dan kuat ini, mengambil rumput di Unjani. Sejak dulu, daerah Unjani sudah terkenal sebagai daerah penghasil rumput. Tak heran, daerahnya disebut Kebon Rumput. Waktu kecil pun saya suka naik gerobak ikut Aki Oma mengambil rumput. Eh tahunya punya istri orang Unjani, tempat mengambil rumput itu, he he he ...
Sejak usia satu tahun, Kaka sudah sering naik kuda. Kalau ke Cihanjuang, selalu ingin naik delman Aki Oma. Bahkan kalau hari Minggu, dulu selalu ingin naik kuda. Terpaksa harus ke Pasar Atas dulu, karena di sana juga ada delman yang nongkrong menunggu para pembeli pulang dari pasar. Sampai sekarang, naik kuda adalah hobi Kaka. Dan naik kuda pun adalah sunnah Rasul. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad menyebutkan, ajarilah anakmu berkuda, berenang, dan memanah. Mudah-mudahan jadi amal.

Foto Pelepasan Playgrup





Ini foto Kaka sebelum berangkat ke Unjani. Seperti biasa, lokasinya di teras rumah, yang banyak bunga-bunganya. Foto juga berdua dengan saya di ruang tamu.

Pelepasan Playgrup




MINGGU 1 Juli. Saya sengaja mengambil libur hari Minggu itu. Libur pengganti saat Waisak 1 Juni lalu. Hari ini Kaka Bila ikut pelepasan wisudawan Playgrup dan TK Attaqwa di Sasana Krida Unjani. Selain karena acara Kaka, alasan mengambil libur karena Bu Eri belum pulang dari Ambon. Jadi tidak ada orang lagi, selain saya yang harus mengantar Kaka. Sementara Adik dipegang sama Mbah Uti.
Bu Neneng, gurunya Kaka, sehari sebelumnya sudah mewanti-wanti agar kumpul di depan Sasana jam 06.30. "Pagi amat," begitu pikir saya. Emang mau kemana sih, mesti pagi-pagi. Katanya sih mau ada acara keliling kota dulu pakai delman. Untungnya saya ditemani Nurul, keponakan paling besar. Kalau enggak, wah saya mesti ikut ke sana ke mari, naik delman istimewa, ke panggung, dll.
Dari rumah, kami bertiga jalan kaki ke Unjani. Semula Mbah Uti mengira saya mau pakai motor. "Enggak usahlah, orang dekat begini masa naik motor. Lagian saya enggak akan ngikutin delman kok, nunggu saja di Aula," kata saya saat Mbah Uti memberikan kunci motor.
Walau saya dan orang tua yang lain sudah berkumpul sejak jam 06.30, ternyata acara naik delman baru dimulai pada jam 08.00. Dan ternyata lagi, keliling kota seperti yang dijanjikan itu, tidak jadi kenyataan. Cuma sampai Cibeber, lalu pulang lagi.
Setelah itu barulah acara seremonial. Diawali dengan upacara adat, semacam Mamang Lengser yang menjemput para wisudawan.

Kaka dan anak-anak playgrup lainnya berada di barisan paling depan. Mereka memakai seragam yang sama, baju terusan warna pink dan kerudung warna hitam. Lucu lucu...
Setelah itu tarian Merak pun menyambut rombongan wisudawan hingga ke tempat duduk di depan panggung.
Nah, sementara yang lain duduk, anak-anak playgrup naik ke panggung. Mereka langsung tampil pertama. Menari dengan iringan musik minus-one lagu "Eling-eling Umat" yang dibawakan rapper Ebiet Beat A, rapper asal Rancaekek. Lagu ini sebenarnya lagu atau nyanyian anak-anak madrasah menjelang salat. Biasanya setelah azan, sambil menunggu jemaah lain datang ke mesjid, jemaah yang lain membaca salawat atau nadzom. Salah
satunya, ya lagu Eling-eling Umat ini.
Ya namanya masih anak-anak, playgrup pula, tak ada namanya harmonisasi gerak dengan musik. Kompak pun tidak. Tapi yang penting adalah mereka berani tampil di atas panggung. Yang tidak semua orang, bahkan orang dewasa sekalipun, berani tampil seperti itu.
Selepas tarian, baru masuk ke acara untuk anak-anak TK. Sementara Kaka sudah bermain-main lagi dengan teman-temannya sesama Playgrup. Mereka lari-lari di depan panggung, bahkan naik ke panggung, saat acara berlangsung. Ha ha ha....
Cuek saja mereka seliweran, juga guling-guling di lantai. Mereka mengambil saweran saat upacara adat. Sambil teriak-teriak dan jerit-jerit, mereka asyik saja bermain, tanpa mempedulikan saat itu sedang berlangsung acara apa dan siapa yang ada di depan mereka.
Saya biarkan saja Kaka seperti itu. Asal tidak menangis saja. Saya perhatikan saja supaya tahu posisinya di mana. Soalnya banyak orang seliweran, jadi pandangan agak terhalang. Baru setelah cape, Kaka mulai mencari-cari di mana Ayahnya. Tanpa sengaja
ia melihat ke sebelah kiri. Barulah di situ, Kaka tahu Ayahnya duduk di sayap kiri. Ia pun berlari lagi ke depan panggung. Bermain lagi.
Rupanya Bude Ani juga sempat ke Unjani melihat-lihat suasana. Dan kebetulan Mas Rikhan jualan eskrim di depan Aula. Soalnya saya lihat, Kaka keluar dan masuk lagi ke Aula sambil nyeruput es krim. Dengan enaknya, ia bersama Salwa, temannya, naik ke panggung, sambil bawa es krim, saat acara pembagian piala. Ha ha ha...malu-maluin Ayahnya saja
Turun dari panggung, Kaka menuju ke arah saya. Dan ups..es krimnya tumpah di depan kursi para tamu undangan. Sambil cemberut ia mendatangi saya. "Tuh kan jatuh, Ayah sih," katanya. "Lho, kok nyalahin Ayah?. Sudah nanti minta lagi sama Uwa," jawab saya menghibur.
Sampai jam 11.30, acara pembagian raport untuk anak-anak playgrup belum juga dimulai. Kaka sudah kesal, ia pun mengajak pulang. Saya, yang juga kesal, langsung meng-okekan. "Ayo deh pulang. Ini panitia gimana sih. Playgrup tampil pertama, tapi raportnya nanti paling akhir. Pasti kesel lah nunggunya," gerundel saya. Yang membuat saya kesal juga adalah audio di Aula tersebut
Baru sore harinya, raport Kaka diambil Mbah Uti yang diantar Bude Ani. Saya sih malas mengambilnya. Sudah kadung kesal sama acara yang kacau, dan tidak memerhatikan kondisi anak-anak playgrup. Jadinya yang mengambil raport hanya tiga orang, karena yang lainnya sudah pada pulang semua.