Tuesday, December 22, 2009

Kisah Asep dan Penjara

ASEP Suhara tak menyangka narapidana yang dipanggil untuk menemui tamu pengunjung itu akan menyerangnya dengan sebilah pisau. Bergumul sebentar, Rasyid si napi itu, kabur ke luar Lapas.

Begitu mengejar ke luar, Asep disambut berondongan tembakan dari orang tak dikenal yang akan menjemput Rasyid. Tiga tembakan mengenai tiga bagian tubuhnya. Asep pun roboh bersimbah darah. Sementara napi dan penembak Asep kabur.

Kisah heroik Asep, sipir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin itu, menghadang napi yang kabur, mengundang simpati Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Selang beberapa jam setelah kejadian, Patrialis datang ke Lapas Sukamiskin. Ia pun menengok Asep di rumah sakit.

Penjara bagi Asep sudah seperti rumah kedua. Ia tentu sudah paham risiko menjadi penjaga lapas. Dan tembakan di dada kirinya itu adalah risiko yang harus diterimanya.


Yang harus dipertanyakan, bagaimana sesungguhnya pengamanan di lapas dan jaminan keamanan bagi para sipir. Jika kita menyimak data Kanwil Hukum dan HAM Jabar, di Jabar ini ada 24 penjara yang kapasitasnya 8.000 orang. Tapi tengok, berapa banyak jumlah napi yang kini mendiami hotel prodeo itu? Lebih dari 16.000 napi atau dua kali lipat lebih banyak dari daya tampung penjara.

Patrialis sendiri secara terbuka pernah meminta kepada Pemerintah Provinsi Jabar untuk membantu pembangunan penjara. Setidaknya, pemerintah daerah membantu pengadaan lahan. Dan memang hanya itu domain yang bisa dilakukan pemda terkait pembangunan penjara. Kalau pemda memprioritaskan pembangunan penjara, tentu akan muncul pertanyaan dari masyarakat.

LP Sukamiskin sendiri, tempat Asep bertugas, terdapat sekitar 510 napi. Jumlah sipir atau penjaga penjara 1 berbanding 60, jauh dari perbandingan ideal 1:25, satu sipir mengawasi 25 orang napi. Jadi seorang Asep harus menjaga dan mengawasi 60 napi semodel Rasyid.

Lebih miris lagi, ternyata LP yang pernah dihuni Soekarno di zaman kolonial itu pun tak dilengkapi close cirkuit television (CCTV) canggih. Canggih itu dalam artian bisa merekam setiap aktivitas napi, tamu pembesuk, dan penjaga. CCTV yang dimiliki LP Sukamiskin hanya untuk memantau, tidak bisa untuk merekam.

Jadi praktis, bagaimana sesungguhnya pergulatan Asep dengan Rasyid, dan bagaimana para pembesuk itu menembak Asep tak bisa diputar ulang. Selain itu, yang patut ditanyakan pula, bagaimana mungkin Rasyid bisa memperoleh pisau di dalam penjara? Bagaimana pula cara Rasyid dan teman-temannya merancang aksi pelarian yang begitu menghebohkan itu? Adakah sistem pengamanan dan keamanan yang memang bolong di dalam Lapas, dan itu dimanfaatkan oleh Rasyid Cs?

Sesungguhnya, kasus yang menimpa Asep adalah cerminan kondisi penjara dan hukum di seluruh Indonesia. Sekaligus menyiratkan bahwa tingkat kejahatan di negeri ini kian tahun kian meningkat. Kriminalitas menjadi satu dengan nadi kehidupan masyarakat kita.

Sungguh jauh berbeda dengan kondisi penjara di Jerman. Saking sepinya penjara, polisi pun terpaksa menjebloskan seekor kambing ke dalam penjara. Gara-garanya si kambing itu membuat kemacetan arus lalu lintas karena berdiri di tengah jalan.

Suatu hari nanti, penjara di Indonesia pun harus seperti itu. Kosong, tak bertuan, karena kriminalitas tak lagi jadi santapan berita setiap hari. Suatu saat nanti, kita berharap tak ada lagi cerita narapidana melarikan diri masuk telinga kita. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 22 Desember 2009.

Monday, December 14, 2009

Koin Keadilan

JUSTITIA, dewi keadilan dalam mitologi Roma, pernah menjadi ikon dalam koin uang masa Roma kuno. Dewi yang bertelanjang dada dengan tangan kanan memegang pedang dan timbangan di tangan kiri itu tak beda jauh dengan Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani kuno. Keduanya digambarkan mengenakan penutup mata sebagai perlambang keadilan yang tak pandang bulu, berlaku bagi siapa pun juga.

Kini, koin keadilan itu bergemerincing kembali. Hanya bukan gambar Justitia atau Themis yang ada di koin itu, melainkan Prita Mulyasari. Koin Peduli Prita, begitu aksi solidaritas mengandalkan uang recehan itu, bergulung menjadi bola salju yang kian membesar. Hukuman Pengadilan Negeri Tangerang yang memutuskan Prita harus membayar denda Rp 204 juta menjadi penyebabnya. Ibu rumah tangga yang berkeluh kesah karena pelayanan dan perlakuan tak prima dari RS Omni Internasional itu tak tahu dari mana mendapatkan uang sebesar itu.

Tapi begitulah, solidaritas yang awalnya diretas di dunia maya, dipelopori para blogger, berbuah kepedulian masyarakat yang kian meluas. Bermula dari koin recehan kecil, satu celengan, dua celengan, hingga akhirnya hingga kemarin saja, lebih dari Rp 500 juta uang yang terkumpul dari hasil sumbangan anak SD, ibu rumah tangga, artis, mantan menteri, anggota DPD, pemulung, bikers, dan kalangan lainnya.
Memang tidak semuanya koin. Tapi semangat kepedulian itu, dan terutama soal keadilan bagi rakyat kecil, yang melecut masyarakat untuk membantu Prita.

Koin itu tak sekadar koin. Begitu Prita menanggapi haru gelombang kepedulian terhadap dirinya itu. Koin itu merupakan perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan. Nilai uang koin memang tak besar. Paling banyak Rp 1.000. Tapi karena masyarakat berkehendak, ternyata nilainya melebihi yang diperlukan. Mereka tidak akan menyumbang apabila tidak melihat kebenaran di dalam kasus Prita.

Keadilan, itulah yang susah diperoleh di negeri ini. Keadilan tak memihak pada Minah, seorang ibu renta yang dituduh mencuri tiga buah kakao yang harganya tak lebih dari Rp 2.000 per buah. Neraca keadilan pun tak condong pada kasus pencurian buah semangka yang dilakukan dua orang warga.

Dalam khazanah Islam, tak selamanya pencurian itu harus dihukum dengan potong tangan. Bahkan pencurian dengan nilai di bawah seperempat dinar (kurang dari 1 gram emas) atau sekarang di bawah Rp 375 ribu tidak dikenai hukuman.

Hadis riwayat Aisyah ra, ia berkata: Pada zaman Rasulullah Saw tangan seorang pencuri tidak dipotong pada (pencurian) yang kurang dari harga sebuah perisai kulit atau besi (seperempat dinar) yang keduanya berharga (Shahih Muslim No 3193). Tapi meski tidak dihukum, barang curian harus dikembalikan.

Bahkan Khalifah Umar bin Khattab ra pernah membebaskan seorang miskin yang mengambil buah yang jatuh di jalan. Sebaliknya, Umar menghukum orang kaya yang melaporkan pencurian itu karena orang itu tidak berperikemanusiaan dengan membiarkan tetangganya miskin kelaparan.

Selalu kita optimistis, selama masih ada yang peduli, ada harapan keadilan akan terwujud di negeri ini. Tentu kita pun berharap, koin-koin keadilan itu juga bergemerincing untuk Prita-Prita yang lain. Tak hanya untuk mereka yang terbelit kasus-kasus hukum, tapi juga untuk mereka yang terbelenggu kemiskinan dan buta pendidikan. Bagaimanapun koin peduli Prita hanyalah trigger, pelecut. Dari sini, koin-koin itu akan semakin menggunung dan bermanfaat bagi banyak orang. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 12 Desember 2009.

Thursday, December 10, 2009

Menguji Taji Hak Angket

KASUS Bank Century kian memanas. Bola panas dilempar Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), sebuah jaringan aktivis lintas kota, yang merilis dana Century meruap kemana-mana. KPU, tim sukses SBY, bahkan anak SBY, dituding Bendera kecipratan uang panas itu.

Di sisi lain, DPR pun menerima usulan pengajuan hak angket Bank Century. Tim 9, kumpulan inisiator pengusul hak angket, bergerilya menemui sejumlah tokoh nasional untuk meminta dukungan agar kasus ini terus dipantau hingga akhir.

Hak angket merupakan hak yang dimiliki DPR, selain hak interpelasi. Jika interpelasi merupakan hak untuk bertanya, hak angket, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27 UU No 22 Tahun 2003 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak angket bukanlah hal baru di dunia parlemen negeri ini. Masih ingat dalam ingatan kita, saat harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan beberapa tahun lalu, DPR masa itu meresponnya dengan membentuk Pansus Hak Angket BBM. Jauh sebelumnya, hak angket pun diajukan kepada pemerintah terkait dengan kasus BLBI.

Tapi apa lacur, dua hak angket itu tak jelas rimbanya. Tak ketahuan bagaimana hasilnya. Mungkin yang terjadi hanya tawar-menawar di bawah meja dan di balik layar. Keingintahuan rakyat tentang apa yang terjadi di balik kasus itu dipadamkan oleh wakil rakyat sendiri.

Begitu pula dengan hak angket terkait pengucuran dana Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, kini berganti jadi Bank Mutiara, ini. Apakah nasibnya tak akan jauh berbeda dengan hak-hak angket sebelumnya? Hanya ramai di permulaan, lalu lenyap tak berbekas di akhir.

Sekarang pun yang hangat terjadi di parlemen adalah soal siapa yang akan memimpin panitia khusus (pansus) Century ini. Kursi ketua Pansus menjadi incaran kubu pengusul dan fraksi pendukung pemerintah, Demokrat.

Sebagai fraksi terbesar, tentu Demokrat memiliki ego untuk jadi ketua. Terlebih lagi, Demokrat merupakan pendukung pemerintah, yang setidaknya punya kepentingan menyelamatkan wibawa pemerintah. Kubu inisiator tak mau hak angket yang mereka gulirkan kandas di tengah jalan, karena adanya penumpang gelap di tubuh Pansus yang eksis belakang. Jadi jangankan untuk membahas inti persoalan dari kasus Bank Century, yang terjadi malahan adu kuat politik memperebutkan kursi ketua.

Tak sedikit yang menjadikan kasus ini sebagai ajang mumpung-mumpung untuk menaikkan popularitas dan citra di mata masyarakat. Menyiratkan bahwa mereka adalah penyambung lidah rakyat, wakil rakyat yang betul-betul menyerap suara hati rakyat.

Tentu kita berharap, hak angket, pansus, dan lain sebagainya bukan merupakan bargaining politik. Kita pun tak berharap panggung politik ini ujung-ujungnya telah kita ketahui bersama, tak ada bekas dan pengaruh. Kita ingin, kali ini ada kejutan di ujung dagelan politik ini.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 3 Desember 2009.