Monday, March 31, 2008

Bike Family

SEJAK mendapat doorprize sepeda gunung dari Tribun, saya sering menjelajah pakai sepeda itu. Minimal seminggu sekali, setiap hari Jumat saat libur reguler, atau Minggu pagi. Beruntung, dari kantor saya pun dapat sepeda kredit, jadi naik sepeda bisa bareng-bareng dengan Bu Eri.


Nah karena Kaka sudah tinggi, sementara sepeda kecilnya sudah terlalu mini, akhirnya kami membelikan dia sepeda yang agak besar. Cukuplah untuk anak usia 5 tahun. Kami beli di toko sepeda di daerah Tagog Cimahi. Warnanya dia yang pilih sendiri, warna pink. Warna kesukaan Kaka.

Jadi setiap Minggu pagi, kami bertiga sering keliling di Kampus Unjani dan Lapang Brigif. Seperti biasa, setiap naik sepeda, saya pasti pake stelan tempur bersepeda. Helm, celana pendek, kaus tangan panjang, dan sepeda sepeda. Jadilah kami ini keluarga sepeda, bike family.

Cuma berdua, karena yang ngejepret kamera Kaka
Saat kami bertiga ke luar rumah untuk bersepeda, mata para tetangga kampung kami selalu memerhatikan. Sekali-kali mereka menyapa:"Bade jalan-jalan ieu teh. Meni resep nya tiasa sasarengan. Nuju lalibur?" sapa mereka sekaligus bertanya. Kami hanya menjawab,"Muhun Bu," sambil tersenyum.

Sayang adik masih kecil, jadi tidak bisa ikut naik sepeda. Kami pun sebenarnya membelikan dia sepeda dorong. Tapi itu kan khusus buat bayi atau yang baru berjalan. Dia belum bisa ngegoes. Lagian kasian, cape deh kalau ngegoes. Sementara di rumah dulu saja, diasuh Teteh. Nanti kalau sudah seumur Kaka, pasti Adik pun akan mendapatkan sepeda. Minimal sepeda warisan dari Kaka. Ngirit. (*)

Arsitek Amatiran

CITA-cita membangun rumah tahun 2008 ini sudah dipancang sejak dua tahun sebelumnya. Karena itu, saya dan Bu Eri giat menabung, menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilan. Tak hanya itu, saya pun wara-wiri mencari referensi tentang rumah. Tentu kami ingin rumah itu lebih baik dari sebelumnya, dari sisi konstruksi ataupun artistik.
Langkah awal yang saya lakukan adalah membuat denah rumah idaman itu. Saya buat beberapa denah alternatif. Dan proses itu melalui diskusi, debat panjang dengan bapak mertua saya. Sampai pernah, bapak mertua saya marah, mungkin tersinggung, gara-gara usulannya saya debat. Memang benar, tanah rumah itu beliau yang membangun. Tapi kan anak juga tentu punya selera dan cita rasa sendiri yang berbeda dengan bapak.



Tapi karena saya ini arsitek amatiran, maksudnya arsitek dadakan, karena denah harus
cepat beres, ya membuatnya pun seadanya. Dan ternyata tidak pernah beres. Kalau soal denah,
masih okelah. Tapi kalau harus menggambar rumah tampak muka, tampak samping, saya menyerah.
Akhirnya, setelah konsultasi dengan Teh Teti, istrinya Kang Embing (Harry Sujana, fotografer PR), tanya ini itu, diputuskan pembuatan denah harus memakai jasa arsitek beneran. Digaetlah teman Teh Teti untuk menjadi arsitek, perancang rumah kami. Pak Cardi namanya. Karena atas rekomendasi Teh Teti, tarif Pak Cardi pun tidak dipatok mahal. Yah, tarif pertemanan lah.
Memang di tangan ahlinya, semua urusan pasti beres dalam waktu cepat. Setelah beberapa kali revisi dan mengakomodasi keinginan bapak untuk membuat tangga di luar, akhirnya blue print
rumah itu pun selesai.
Sebetulnya, bukan sok-sokan kami pakai jasa arsitek. Lha, rumah kami di tengah kampung kok, ngapain juga pakai arsitek. Persoalannya, kami tidak punya dana yang cukup untuk membangun rumah sampai tuntas. Jadi satu-satunya cara adalah meminjam dana ke bank. Nah untuk meminjam dana itu dibutuhkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).  Untuk mengurus IMB, dibutuhkan yang namanya gambar teknis rumah. Di situlah peran arsitek.
Tak hanya itu, saya pun meminta ke Pak Cardi untuk dibuatkan Rencana Anggaran Belanja (RAB). Itu juga salah satu persyaratan meminjam ke bank. Berbekal rancangan Pak Cardi itulah, saya akan mengutang dan memulai membangun rumah, bulan depan. (*)

Lumayan, Juara Tiga

WADUH, ini cerita sepekan lalu. Lagi dirundung malas untuk menulis di blog, jadi belum sempat menuangkannya. Maklum, lagi sibuk banyak pekerjaan. He he kapan gak sibuknya?...
Latihan tenis beberapa kali itu berbuah hasil. Tim Tribun menjadi juara tiga Kejuaraan Antarmedia Batununggal Indah Club 2008 se-Bandung Raya.

Tribun dikalahkan RRI Bandung di semifinal. Lalu saat memperebutkan tempat ketiga, Tribun berjaya. Menang 2-1 atas Galamedia. Lumayanlah, jadi obat lelah dan bukti ke rumah. Ini lho hasil latihan kemarin. Dapat piala, ada voucher berenang di Batununggal Indah Club. Terus juga ada jam dinding.

Selain tenis lapangan, Tribun pun menyabet juara ketiga cabang tenis meja. Duo Erwin dan Yana yang mempersembahkan gelar itu. Mereka dikalahkan Galamedia di semifinal, lalu menang atas Radio Dahlia saat memperebutkan tempat ketiga.

Nah, berkat kemenangan ini, perusahaan mulai melirik potensi olahraga karyawan Tribun. Jumat 28 Maret, ada pertemuan pembentukan pengurus Badan Olahraga Tribun. Perusahaan memberi fasilitas, walau minim, untuk olahraga Futsal, Bulutangkis, dan Tenis Lapangan. Ya syukurlah, sudah ada perhatian. Setidaknya kalau bertanding lagi, kita tidak perlu ngiri melihat tim lain makan nasi kotak atau Hokben. Masa air putih terus, mana bisa berprestasi...(*)

Monday, March 24, 2008

Kang Ibing dan Joe Meriahkan Reuni Sastra

WAH, reuni alumni fakultas Sastra Unpad, Sabtu (22/3) kemarin, heboh bener. Kehebohan terjadi saat MC, Joe P Project, mengundang Kang Ibing untuk tampil di panggung. Dua pelawak itupun beradu kabisa, ngabodor, membuat alumni Sastra tertawa ngakak. Tentu Kang Ibinglah yang paling banyak ngabojeg alias ngebodor.

Bodorannya, serius, lucu pisan, dan cawokah alias vulgar pisan. Padahal, setelannnya mah setelah dai, orang mau ceramah. "Dua minggu kamari, saya panggih jeung bentang Sastra baheula. Baheula mah saya teh bogoh, ayeuna mah beu, embung ah geus kolot," kata Kang Ibing.

Pemilik nama lengkap Rd Aang Kusmayatna Kusumadinata itu memang alumni Fakultas Sastra Unpad. Pokona mah angkatan jadul weh, 60-70-an. Kang Ibing adalah lulusan Sastra Rusia. "Rugi lah datang ka Sastra mah, geus pasti moal dibayar. Tapi da ka
ngaran Sastra, moal ninggalkeun urang mah. Ngaran Ibing ge pan datangna ti Sastra," cerocos Kang Ibing. "Eh kang tong salah, Kang Ibing pasti dibayar, tuh ku sangu," timpal Joe.

Joe atau Juhana Sutisna adalah senior saya di Jurusan Sejarah. Dia angkatan 1986. Saat Ospek jurusan atau PS2 di Pangalengan, Joe datang. Dan itu terakhir kalinya Joe datang ke PS2. Karena tahun-tahun kemudian, Joe tak pernah datang lagi. Sibuk pemotretan, cenah. Dua orang ini yang menjadi maskot acara reuni kemarin.

Alumni yang datang, saya perhatikan, lebih banyak dari angkatan 70-an dan 80-an.
Juga sebagian lagi dari angkatan 60-an. Memang angkatan 90-an juga banyak yang hadir. Tapi nuansanya adalah nuansa 80-an. Terlebih acara ini pun dibungkus dengan tema Eighties. Dan reuni ini akan disiarkan di Metro TV pada acara Zone Eighties, yang tayang setiap hari Minggu sore. Hostnya, ya sapa lagi kalo bukan Joe.

Dari Sejarah, yang datang cukup banyak. Ketua Jurusan, Awaludin, angkatan 86 seangkatan Joe. Lalu Hikmat Kurnia, Direktur Agromedia. Dan banyak lagi lah. Nah, kali ini angkatan 92 banyak yang hadir. Solih, Ayi, Maul, Kang Wowo, Teh Yiyin, dan Yedi, kumpul kembali bersama alumni 90-an lainnya, seperti Mas Anto, Kang Ristadi, Mas Andi, Teh Ummi, dll. Dari angkatan saya, angkatan 94, cuma saya dan Tanti yang datang.

Saya sempat juga berbincang dengan Kang Amir, angkatan 91. Sekarang Kang Amir jadi Koordinator Staf ahli anggota DPR RI, Yudi Chrisnandy. Dia banyak bertanya tentang pemetaan politik Jabar saat Pilgub ini. Bagi saya sih, nu penting mah bisa ngumpul, memanjangkan silaturahmi, dan sedikit bisnis.

Da kalau melihat acara mah, reuni pasti gitu-gitu aja. Ada musik, ada game, stan jurusan. Agar suasana jadul lebih tercipta, sengaja band penghibur pun dipilih yang khusus sering membawakan lagu-lagu lawas, dari Rolling Stones dan The Beatles. (*)

Sunday, March 23, 2008

Tak sedahsyat Novelnya: AAC

AKHIRNYA setelah beberapa kali tertunda dan menunggu sebulan lebih, saya dan Bu Eri pun berkesempatan menonton film fenomenal saat ini, Ayat Ayat Cinta (AAC). Bioskop yang kami pilih untuk menonton adalah Empire 21 BIP. Karena tempat ini yang paling dekat dari Cimahi. Sebelumnya, berencana menonton di BSM atau di Megablitz. Tapi BSM terlalu jauh, sementara Megablitz tidak menayangkan film AAC.

Ceritanya, setelah gagal menonton pada Minggu lalu, kami berencana menonton hari Kamis (20/3). Dan datanglah kami ke BIP jam 11.00. Tentu saja, tiket untuk pertunjukan awal pada 11.45 sudah ludes. Juga untuk pukul 12.15, 14.15, habis sudah. Untuk menonton pada jam tayang lebih sore, jelas tidak mungkin. Saya harus bekerja. Walau libur Maulid Nabi, Tribun tetap terbit. Hanya Bu Eri yang punya jatah libur, karena hari Jumat, koran PR tidak terbit.

Karena tak jadi nonton, akhirnya Bu Eri beli beberapa keperluan. Setelah itu makan siang di pujasera BIP. Lalu saya ingat, punya janji bertemu teman bisnis di Pujasera Merdeka. Akhirnya bertemu Agus, teman bisnis saya. Agus adalah adik angkatan saya di SMA 2. Dia anak yang tekun, pintar, dan rajin ibadah. Sambil berjualan pun, tasbihnya terus bergerak. Saya banyak belajar tentang tauhid pada Agus.

Nah, rencananya Jumat siang, kami mau mencoba nonton film AAC. Sejak awal, saya ingatkan, walau sudah sebulan lebih tayang, penonton AAC masih mengular, sehingga beli tiket pun harus lebih awal.
Tapi begitulah, selalu saja ada halangan untuk mewujudkan rencana. Dua sohib saya, Nana Sate dan Otoy, bertandang ke rumah sebelum Jumatan. Mereka ngajak saya main basket. Ya sudah, kita pun main basket sesudah salat Jumat. Sementara Bu Eri sudah berangkat ke Bandung untuk beli tiket AAC. Sayangnya, tiket untuk jam 14.15 sudah habis. Tiket hanya tersedia untuk jadwal jam 5 sore dan seterusnya. Dan Bu Eri memutuskan untuk beli tiket jam 5 itu.

Saya memang keasyikan ngobrol dengan sohib-sohib saya itu. Terlebih, tambah satu sohib lagi yang datang, yaitu Irwan. Makin larutlah saya dalam obrolan. Jam 3 saya pamit, karena harus ke Bandung. Perkiraan saya, karena tayang jam 5, maka dari Cimahi bisa berangkat jam 4. Memang benar, jam 4 lebih sedikit saya berangkat dari rumah. Namun di tengah jalan, saya mesti isi bensin, lalu memompa ban karena gembos.

Tiba di tempat parkir BIP, tepat jam 5 sore. Bu Eri sudah beberapa kali menelepon. Dan rupanya, saya telat datang. AAC bukan diputar jam 5 teng, tapi jam 5 kurang seperempat. Wah, lumayan lama telatnya. Bu Eri yang nunggu sejak siang, sudah pasang tampang cemberut saja. Lagi-lagi nonton AAC gagal. Akhirnya kami ke Bakso Malang Karapitan (BMK), cari makan.

Saat makan di BMK itu, dengan hati masih kesal, kami pun tertawa. "Susah pisan nya nonton ayat ayat Cinta. Kemarin kehabisan tiket. Sekarang tiket sudah di tangan, eh telat datang. Aya we hahalangna teh," kata saya.

Tapi bukan saya kalau tidak nekat. Kagok asong lah, sudah kepalang basah. Saya usul ke Bu Eri untuk nonton pada malam hari, jam tayang terakhir pukul 21.30. Bu Eri pun setuju, dengan syarat, pekerjaan sudah selesai. Saya pun ikut antrean untuk memesan tiket, dan akhirnya menggenggam dua tiket film AAC. Sambil menunggu Bu Eri selesai, saya ada di Gramedia. Lalu nongkrong di warnet Gazeboo.

Setengah jam sebelum pertunjukan, saya sudah bersiap di BIP. Menit demi menit berlalu, dan jam pertunjukan kian dekat. Bu Eri belum muncul juga. Akhirnya, lima menit sebelum pintu studio 1 dibuka, Bu Eri muncul. Kesampaian juga akhirnya.
Walau malam dan jam tayang terakhir, ternyata studio tetap penuh. Mereka yang menonton, saya perhatikan sangat beragam. Ada sepasang kakek nenek, ibu-ibu, bapak-bapak berjas rapi, suami istri, anak muda gaul, dan sebagainya.

Dan sampai selesai menonton film AAC, saya berkesimpulan, film ini tidak sedahsyat novelnya. Kalau novelnya mampu membuat saya menitikkan airmata, filmnya tidak begitu. Bagi Bu Eri dan mereka yang tidak sempat membaca novelnya lebih dulu, film ini pasti akan mengharu biru. Air mata pasti akan mengalir, deras. Tapi saya tidak. Karena banyak hal yang berbeda jauh, antara imajinasi hasil saya membaca novel dengan kenyataan di film. Entah, setting film itu sangat mengganggu. Tidak ada sama sekali bau Mesir, yang sesungguhnya menjadi jiwa dari novel itu. Itu pendapat saya, entah pendapat orang lain.

Tapi sebagai sebuah tontonan, film ini memang menyegarkan. Menawarkan sesuatu --dan bisa jadi sebagai pelepas dahaga-- yang lain dari film lain. Sangat mungkin, masyarakat jenuh disodori tema film yang seragam, kalau tidak horor, hantu, pocong, kuntilanak, ya seputar seks. AAC sarat dengan pesan kemanusiaan dan persaudaraan.

Thursday, March 20, 2008

Kelahiran Begitu Dekat dengan Kematian

ADA kelahiran, ada kematian. Begitulah sunnatullah kehidupan, selalu berpasangan. Pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Dan setiap kelahiran, akan berakhir pula dengan kematian. Yang membedakan, hanya dalam ekspresi menyikapi dua proses kehidupan ini. Saat seorang bayi lahir ke dunia, pasti akan disambut dengan penuh suka cita. Kalaupun ada tangisan, maka air mata yang jatuh adalah air mata kebahagiaan dari sang ibu atau ayah yang menunggu penuh harap cemas selama sembilan bulan. Sementara kematian, ekpresi yang lazim muncul adalah tangis kesedihan dan duka cita yang mendalam.

Sesungguhnya, kelahiran begitu dekat dengan kematian. Dia ibarat dua sisi mata uang. Berada di satu koin, hanya beda sisi. Uniknya, Maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW tahun Masehi 2008 ini berselang sehari dengan peringatan wafatnya Yesus Kristus. Begitu dekat, sangat dekat malah.

Sudah jamak orang zaman sekarang memperingati hari kelahirannya. Walau bisa jadi, kakek neneknya tidak pernah mengalami hal itu. Bahkan, peringatan Maulid Kanjeng Nabi pun masih menjadi bahan perdebatan. Konon, peringatan maulid nabi ini dimulai saat Salahuddin Al Ayubi memerintah dan tengah menghadapi peperangan antara dua peradaban, Perang Salib. Peringatan itu perlu digelar agar umat Islam menjadikan Kanjeng Nabi Muhammad betul-betul sebagai contoh dan suri tauladan dalam kehidupan. Sehingga semangat keislaman tak akan pernah padam, walau tengah dikepung ratusan ribu lawan.
Itu pula sejatinya, hikmah yang harus kita ambil. Bahwa peringatan Maulid Kanjeng Nabi Muhammad adalah menumbuhkan semangat untuk meneladani dan melanjutkan tapak jejak kehidupan beliau. Semangat untuk menebar salam, keselamatan, dan kebaikan, bagi seluruh umat manusia.

Di sisi lain, kita pun jangan terlena dengan jarum jam dunia yang terus berputar. Kesempatan kita menikmati dunia ini akan semakin sempit, seiring berkurangnya jatah melanglang buana di dunia ini. Jangan pernah menyia-nyiakan waktu, manfaatkan semaksimal mungkin. Jadilah orang yang bermanfaat bagi banyak orang, karena itulah sebaik-baiknya manusia.

Kalau ada yang bilang life begin at fourty, hidup dimulai pada usia 40 tahun, rasanya terlalu naif. Bagaimana kalau orang itu tidak mencapai usia 40. Bukankah banyak bayi yang begitu lahir, hanya sebentar menghirup udara dunia, lalu tak lama harus berakhir, karena dibekap sang ibu yang malu bayinya tak memiliki ayah?.

Jadi, sekecil apapun kesempatan waktu yang kita miliki, pergunakan untuk kebaikan. Karena kita tidak pernah tahu, apa yang ada di depan kita. Apa yang akan terjadi hari esok, tak pernah ada yang tahu. Nawaitu-kan dari sekarang, untuk tak terlena dengan kehidupan sementara ini, tapi gigih berjuang untuk memanusiakan diri dan bermanfaat bagi kemanusiaan. (*)
Tulisan Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar, edisi Kamis 20 Maret 2008

Tuesday, March 18, 2008

Jangan Lupa, Reuni Akbar Sastra Unpad!

SEJAK sebulan lalu, rencana reuni akbar Alumni Sastra Unpad sudah berdengung. Di milis jasmerah, milis anak-anak Sejarah Unpad, pengumuman soal reuni itu berseliweran. Terlebih, dedengkot acara Reuni itu adalah Joe P Project, Sejarah angkatan 86, seangkatan dengan Kang Hikmat.

Tak kurang, undangan pun berseliweran lewat ponsel. SMS-sms dari sejumlah teman masuk ke ponsel saya. Mengabari, Sabtu 22 Maret 2008, bakal digelar Reuni Akbar Sastra Unpad. Bertempat di Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) Fakultas Sastra Unpad Jatinangor. Acaranya bakal heboh. Selain kangen-kangenan, juga ada game, musik, doorprize, dll.

Saya pun tak ketinggalan menyebarkan kabar itu kepada teman-teman. Lewat milis, SMS, atau dari mulut ke mulut (hih jijay...). Bertemu teman sesama Sastra, langsung beri kabar soal reuni itu. Pokona mah biar rame gitu. Makanya, yang ngaku alumni Sastra Unpad, angkatan berapapun, hayu kita serbu itu Jatinangor, Sabtu ini. Kita kenang kembali saat-saat kita masih jadi aktipis (he he..) di Sastra.

Kalau saya lihat, banyak teman-teman Sastra Unpad yang sukses. Seperti Joe itu contohnya. Joehana Sutisna, begitu nama asli Joe, adalah pentolan kelompok komedi P Project. Tampilannya khas, rambut gondrong, tapi dahi lebar.

Di P Project, juga masih ada Wawan Hanura, Sastra Indonesia. Masih dari Sastra Indonesia, ada Gola Gong, aktivis Rumah Dunia. Ada Irfan Hidayatullah, dosen dan sastrawan FLP. Lalu dari Sastra Inggris, ada nama Adib Hidayat. Pegiat musik pasti kenal nama satu ini. Dia adalah editor senior Majalah Musik Rolling Stone Indonesia.
Itu baru sebagian yang memang saya tahu. Yang lainnya, tentu saja banyak yang lebih sukses lagi. Semoga mereka juga hadir di Jatinangor, Sabtu nanti. (*)

Toto: Konser yang Terlewatkan

SAYANG sekali saya melewatkan kesempatan emas yang belum tentu bisa terjadi tahun depan. Toto, band lawas yang beken dengan lagu-lagu progresif rock model Rosanna, Africa, dll, manggung di Bandung, Jumat (14/3). Tepatnya mentas di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga).

Padahal saya sudah merencanakan menonton Toto ini sejak Februari. Terlebih, hari Jumat saya libur reguler. Seminggu sebelumnya, saya sudah menghitung-hitung bujet buat beli tiket. Kalau mau yang ramai-ramai berdiri berdesakan, tapi asyik goyang, ya beli tiket festival. Harganya Rp 100 ribu. Sementara yang kelas 1, duduk paling atas dan tentu saja paling jauh dari panggung, cuma Rp 75 ribu. Yang VIP dan VVIP, gak usah disebut, pasti di atas 250 ribuan.

Namun begitulah, rencana tinggal rencana. Empat hari menjelang hari H, ada undangan silaturahmi dari tim sukses calon bupati. Dan mereka minta bertemu pada hari Jumat, jam 7 malam. Ya, sudahlah. memang bukan rezeki saya buat nonton Toto. Saya mendahulukan bertemu dengan tim sukses, karena ini terkait dengan rencana mereka memasang iklan.

Saya kenal musik Toto sekitar tahun 87-an. Lebih intensif lagi di tahun 90-an, saat tinggal di Sangkuriang Cimahi. Karena di situ, teman-teman Friday berkumpul, dengan selera musik yang relatif sama. Lagu-lagu Toto selalu mengiringi malam-malam saat mengerjakan tugas kuliah, bahkan skripsi. Ah jadi malas menulisnya, enggak nonton sih. Apalagi waktu di BSM hari Minggu, saya lihat ada orang pake baju Tour Toto warna hitam. Walah, kepincut deh... Belum lagi, teman saya di Jakarta, Yoel, telepon. "Hei aku lagi di Bandung nih. Habis nonton Toto sama Ayu". Halah, makin bete deh... (*)

Monday, March 17, 2008

Gagal Menonton Ayat-ayat Cinta

MINGGU 16 Maret. Saya dan Bu Eri merencanakan untuk menonton film Ayat-ayat Cinta (AAC). Jauh hari sebelumnya, rencana ini dikemukakan. Tapi tak pernah kesampaian. Kebetulan, minggu kemarin saya bisa libur, mengambil jatah libur pengganti hari raya Nyepi. Jadi klop dengan jadwal Bu Eri off dari liputan.

Saya sudah mewanti-wanti, kalau mau nonton AAC harus datang lebih pagi. Walau sudah satu bulan ditayangkan, antrean penonton tetap mengular di bioskop manapun. Film ini memang fenomenal, sedahsyat novelnya. Saya sudah khatam novel ini tahun lalu saat tugas di Batam, sementara Bu Eri belum sempat membacanya. Sedikit ulasan soal novel ini baca di sini.

Namun ternyata, hari Minggu pagi itu, konsultan arsitek yang akan merancang renovasi rumah, datang. Kang Cardi, arsitek dari Biro Leaving, membawa gambar denah untuk dikoreksi. Tentu kami harus menghargai Kang Cardi yang susah payah datang jauh dari Dayeuhkolot ke Cimahi. Selain itu, saya pun kedatangan dua teman, Nana Sate dan Otoy, yang mengajak main basket. Jadilah sampai siang itu, kami masih berada di rumah.

Tanggung sudah kesiangan, saya masih sempat main basket di Unjani sampai bada Lohor. Pulang ke rumah, langsung mandi dan bersiap pergi ke Bandung Super Mall (BSM). Selain saya dan Bu Eri, Kaka Bila dan Teh Nurul pun ikut. Sebelum ke Bandung, kami menjemput dulu Neng Diah, adik saya. Ternyata dia malah sudah dua kali nonton film AAC. Ok deh, berarti nanti Neng Diah bisa mengasuh dan mengajak Kaka main. Dan saya bisa nonton bareng Bu Eri.

Tapi begitulah, rencana tinggal rencana. Saat masuk ke lantai 3 BSM tempat bioskop berada, jubelan orang begitu padat. Antrean panjang terjadi. Dan saat melihat papan informasi, ternyata tiket yang tersisa hanya untuk jam 21.45. Wah, hilang sudah nafsu untuk menonton. "Gak mungkin nonton jam segitu, adik gimana, pulang pasti malam," kata Bu Eri.

Ya sudah, memang saya sudah memperkirakan sebelumnya. Akhirnya kami mengasuh Kaka Bila sambil main di sejumlah wahan Kota Fantasi BSM. Berulang kali naik Ontang-Anting, Biangla, Korsel, Jumper. Dan terakhir, masuk ke Wahana Adventure Indiana Jones, The Lost Temple. Lumayan lah, Kaka berani gelap-gelapan dengan tempat duduk yang terus bergoyang mengikuti alur cerita. Mirip wahana Tiga Dimensi di Dufan, tapi dalam bentuk mini.

Akhirnya saya rencanakan ulang untuk menonton film AAC ini. Saya ambil hari Kamis 20 Maret. Karena itu hari libur, jadi Bu Eri tidak banyak liputan. Dan saya tidak kebagian jatah rapat pagi. Mungkin bisa mencuri waktu untuk sekadar menyaksikan kefenomenalan AAC. Walau pasti tidak akan plek seperti novelnya. (*)

Kalah, Tapi ke Semifinal

Sabtu 15 Maret. Tim tenis lapangan Tribun kembali berlaga di ajang Kejuaraan Antarmedia Batununggal Indah Club. Minggu lalu, tim ini sukses menggulung tim tenis Bandung TV, 3-0.
Rencananya Tribun akan berhadapan dengan tim Radio Dahlia dan Pikiran Rakyat. Namun Radio Dahlia tak muncul, sehingga Tribun menang WO. Tiket ke semifinal pun sudah digenggam.

Tribun pun harus menghadapi tim unggulan, Pikiran Rakyat, untuk memperebutkan juara Pool A. Sejak awal, Tribun sudah melepas game ini. PR diperkuat jago-jago tenis, bahkan pelatih tenis pun ikut serta. Jelas Tribun kalah kelas. Pemain Tribun baru belajar pegang raket tenis, sementara mereka sudah menguasai seluruh sudut lapangan.

Tribun kalah telak 0-3. Benar-benar telak, karena dari tiga partai ganda, Tribun hanya diberi satu angka. Angka 1 itu didapat saat saya dan Deden berhadapan dengan Purnomo/Zulkifli di partai pertama. Saat bermain, saya pun tak bisa fokus karena berbagai alasan. Servis melenceng ke sana ke mari. Sementara di partai kedua dan ketiga, pemain Tribun tak satupun yang bisa memecahkan telur.

Pemain Tribun memang kelabakan. Selain harus bermain tenis lapangan, ada pemain yang juga harus bermain bulutangkis di saat yang bersamaan. Jadinya, ya di bulutangkis kalah, di tenis pun begitu. Karena tidak bisa fokus. Hanya memang, diotak-atik seperti apapun, pemain Tribun tidak akan menang melawan tim dengan pelatih yang turun bermain. Tak mengapa, itu
jadi pelajaran dan pengalaman bagi kami, para pemain Tribun, bagaimana bermain yang baik.

Walau kalah, Tribun tetap lolos ke semifinal, karena menjadi runner up Pool A. Rencananya, Minggu 22 Maret, Tribun akan menghadapi tim unggulan lainnya, RRI yang jadi jawara Pool B. Strategi pun mulai dipancang, supaya kekalahan kemarin tidak terulang. Setidaknya, kami bisa menapak ke Final. Itu target Tribun. Masuk semifinal saja, senangnya bukan main. Apalagi bisa jadi nomor dua, atau malah jadi nomor satu. Hmm, siapa tahu. (*)

Berat

BISA dibilang begitu, minggu kemarin adalah hari-hari yang berat secara batin, secara psikologis. Ada hal yang harus kami, saya dan Bu Eri, selesaikan. Saya tak bisa mengungkapkannya di sini. Ini urusan internal dan sangat personal.

Tulisan singkat ini hanya sedikit kilasan, agar menjadi tanda dan pengingat bahwa saya punya komitmen kuat untuk berbuat lebih baik, bagi bidadari-bidadari yang mengelilingi saya di rumah. (*)

Monday, March 10, 2008

Berlatih Tenis Lagi

SENIN (10/3) jam 08.00, tim Tenis Tribun yang kerja malam, kembali berlatih. Selain saya, ada Ari Eko TI, Oo Okto Redaksi, dan Kang Toto imaging foto. Ini kesempatan terakhir kami untuk berlatih sebelum bertanding melawan tim unggulan PR, Sabtu (15/3) depan.

Kami pilih latihan lebih pagi, supaya lebih leluasa. Maksudnya, yang mau ke kantor pagi, seperti saya, masih bisa ngejar rapat pagi. Yang mau liputan, seperti Oo, juga masih bisa ngejar acara pagi. Yang mau meneruskan tidur, seperti siapa yah, dipersilakan, he he.

Untuk kelas kita, lapang tenis outdoor Sabuga sudah cukup mewah. Ongkos sewanya hanya Rp 30 ribu untuk dua jam pemakaian. Akan lebih murah lagi, kalau mainnya jam 10-12. Itu hanya Rp 20 ribu perak. Cuma ya, selamat bergosong-gosong kulit saja, kena terik matahari.

Memang tim tidak komplet, karena anggota tim yang lain, seperti Mas Pur dan Deden Sirkulasi, dan Mas Medi PSDM, tidak bisa ikut. Mereka masuk kerja pagi hari. Jadi bisanya latihan sore atau malam. Tapi tidak mengapa, yang penting kita latihan deh. Sepukul dua pukul, lumayan lah ketimbang tidak sama sekali. Soalnya lawan yang akan kami hadapi jago-jago. Mereka sudah biasa pegang raket tenis, biasa tanding di Porwanas. Sementara kita, beli raket saja baru kemarin. He he...

Tapi di luar latihan itu, sebenarnya lumayan juga olahraga tenis ini. Lumayan menguras keringat. Lari ke sana ke mari, mengejar bola. Untuk dapat satu poin saja, mesti melewati sub poin dulu. Baru bisa selesai satu game. Padahal satu set ada 6 game. Kebetulan, untuk pertandingan di Batununggal menggunakan sistem 9 game. Artinya yang lebih dulu mencapai poin 9, dia yang menang.

Sayangnya, saya masih menderita cedera di pergelangan tangan kanan. Persendian ini ngilu rasanya. Diputar sedikit, bunyi krek, dan sakit. Kambuh lagi rupanya. Biasanya karena cuaca dingin, langsung sakit sendi. Mungkin rematik kali yah. Berdoa saja, Sabtu depan sudah fit kembali. (*)

Sunday, March 09, 2008

Skid Row di Stadion Siliwangi

BAND rock era 90-an, Skid Row, manggung di Stadion Siliwangi, Bandung, Minggu (9/3) malam. Konser ini merupakan rangkaian tur di Indonesia yang dimulai di Jakarta, Rabu (5/3).

Ingat Skid Row, tentu ingat masa-masa SMA dulu, tahun 90-an. Karena band ini memang beken saat zaman itu. Lagu paling top-nya, ya apalagi kalau bukan "I Remember You". Ini lagu kesukaan sohib saya, Nana Sate. Nyebut You-nya dengan bibir monyong, Yu aaaaahh, begitu biasa dia nyanyi. He he...

Sayangnya, vokalis yang sekarang ini bukan lagi Sebastian Bach yang dulu jadi idola remaja, karena lengkingan suaranya. Ia digantikan Johnny Solinger. Jelas karakter suaranya beda dengan Bach. Tapi kata Log Zelebour, sang promotor,"Vokal Johnny lebih punya power. Lebih keras dan sangat cocok untuk tren sekarang. Kalau dulu Sebastian Bach menonjolkan lengkingan, karena memang waktu itu sedang tren".

Sementara personel band lainnya tetap sama. Ada Rachel Bolan di bass. Lalu dua gitaris, Dave
"The Snake" Sabo dan Scotty Hill. Tak ketinggalan Rob Affuso yang pegang beduk Inggris. Namun saat mentas di Indonesia, gitaris Dave tak ikut, karena masih tersangkut masalah hukum di AS sana.

Hit single Skid Row lainnya yang juga terkenal adalah 18 and Life. Saya hanya ingat kalimat pembuka lagu ini," Ricky was a young boy...". Lalu ada juga lagu Youth Gone Wild. Hingga kini, Skid Row sudah menelurkan lima album. Masing-masing Skid Row (1989), Save to The Grind (1991), Sub Human Race (1995), Thickskin (2003), dan Revolutions Per Minute (2006).

Kedatangan Skid Row membuka kembali kenangan-kenangan saat sekolah dulu. Saat sering dikejar-kejar guru BP karena rambut gondrong atau pakai sepatu putih. Saking bosannya guru BP motong rambut saya, akhirnya setiap kena razia, teman sekelas saja, Selly, yang memotong rambut saya. He he he...(*)

Saturday, March 08, 2008

Kejuaraan Antarmedia: Jadi Petenis Dadakan


SEMINGGU terakhir ini, saya terus berlatih main tenis lapangan. Tidak terus-terusan sih, tiga kali latihan di tiga tempat berbeda. Lumayan, banjir keringat. Tentu ada sebab, kok saya tiba-tiba bermain tenis lapangan. Padahal tenis bukanlah olahraga yang saya geluti secara serius. Saya hanya pernah pegang raket dan bermain tenis, waktu zaman SMP dan kuliahan dulu. Waktu SMP suka main di Pusdikhub Cimahi, kalau waktu kuliah, pernah main di lapang Tenis Unwim Jatinangor.

Latihan ini terkait dengan penyelenggaraan Kejuaraan Antarmedia yang digelar Batununggal Indah Club, Sabtu (8/3) ini. Ada tiga cabang olahraga yang dipertandingkan. Ada bulutangkis, tenis meja, dan tenis lapangan. Apabila bulutangkis dan tenis meja banyak peminat dan pemainnya, maka tenis lapangan minim peminat. Setelah saya cari-cari pemain, akhirnya terkumpul dengan susah-payah beberapa orang yang siap bermain. Ada Mas Purnomo dan Deden dari Sirkulasi, Ari Eko dari TI, Mas Toto dari Imaging Foto, lalu Mas Medi dari PSDM, serta Okto dan saya dari Redaksi.

Karena lama tak pegang raket tenis, saya tentu mesti berlatih dulu. Yang pertama dilakukan adalah membeli dulu raket tenis bekas di BABE (Barang Bekas). Walau bekas, harganya lumayan juga menyedot isi dompet,Rp 300 ribu kurang serebu. Lalu beli bola tenis merek Tens saja yang murah, Rp 25 ribu per sloft.

Susahnya, tim ini tidak bisa bertemu, karena masing-masing memiliki waktu kerja di kantor yang berbeda. Saya kerja sore sampai malam. Teman-teman di Sirkulasi dan PSDM, pagi sampai sore. Karena saya butuh berlatih, akhirnya teman-teman yang kerja malam, nekat berlatih pagi hari di lapang tenis Sabuga. Sebelumnya sempat berlatih di Lapang Tenis Taman Maluku milik Pelti, tapi tidak optimal, karena nebeng lapangan punya orang lain.

Supaya seluruh tim bisa padu, latihan pun digelar malam hari. Saya kerja super ngebut. Jam 21.30 sudah meluncur ke lapangan tenis Bikasoga, Kamis (6/3). Kebetulan di situ lapangannya in door, jadi buat adaptasi untuk bertanding di Batununggal.

Yang bikin pusing, secara mendadak, ada juga kejuaraan futsal antarmedia dan suporter yang digelar Tabloid Soccer dengan waktu yang bersamaan. Wah, ini sih udah gak bisa fokus. Karena saya pikir pemain futsal lebih banyak, saya akhirnya memilih konsentrasi di tenis saja.

Tibalah hari pertandingan. Tim tenis Tribun berada di Pool A bersama PR, Bandung TV, dan Radio Dahlia. Jadwal main pertama melawan Bandung TV. Saya main di ganda kedua berpasangan dengan Deden. Alhamdulillah, kami menang telak, 3-0.

Di cabang olahraga lain, tim bulutangkis harus takluk di tangan RRI, 0-3. Sedangkan tim tenis meja menjungkalkan Bandung TV, 3-0. Kabar menggembirakan datang dari teman-teman yang bermain futsal di Soccercoop Soekarno-Hatta. Dengan jumlah pemain yang pas-pasan, mereka berhasil lolos ke semifinal, menumbangkan Radio Ardan 6-4 dan Galamedia, 8-3.

Di semifinal, dengan kondisi fisik yang kepayahan, karena pertandingan harus selesai dalam waktu satu hari, dan tidak ada lagi pemain pengganti, Tribun kalah dari tim suporter Liverpool. Yang membanggakan, hanya Tribun tok dari tim media massa yang lolos keempat besar. Kalau saja, jarak Batununggal dan Caringin, tempat futsal berlangsung cukup dekat, mungkin saya bisa ikut bermain membantu teman-teman yang sudah tidak punya tenaga lagi untuk menendang bola. Sayang, jadwalnya bentrok. (*)

Little Farmers

RABU (5/3), Kaka Bila bersama teman-temannya dari TK Mutiara Ibunda pergi ke Little Farmers, Cisarua, tepatnya di Jalan Kolonel Masturi No 339. Ini tempat wisata dan pendidikan, terutama buat anak-anak. Tempat mengenalkan seluk-beluk pertanian. Sebetulnya sudah lama ingin ke sana, tapi belum ada waktu yang longgar. Nah, kebetulan ada acara dari sekolahan, sehingga bisa kesampaian ke sana. Tapi begitulah, saya dan Bu Eri tidak bisa ikut serta, berhubung kesibukan kerja masing-masing. Akhirnya yang menemani Kaka Bila adalah Bude Ani, seperti biasa.

Saya hanya mendapat cerita dari Kaka, keesokan harinya, tentang aktivitas di Little Farmers ini. Kaka yang memakai sepatu boot merah ikut memanen wortel dan sayuran lainnya. Ada juga stroberi, arbei, dan tanaman hias anggrek. Maklum, lokasinya memang berada di ketinggian, di bawah kaki Gunung Burangrang.

Di sini, anak tak hanya diperkenalkan pada tanaman, tapi juga pada hewan ternak. Ada Sapi, kelinci, dan juga hamster. Dan aktivitas tantangannya juga tersedia di Little Farmers. Ada flying fox, menyusuri sungai, melintasi jembatan goyang, atau spider web.

Dan tentu saja, seperti kebanyakan tempat wisata di sebelah Utara Cimahi lainnya, seperti Katumiri, Paku Haji, dan All About Strawberry, horse riding pasti ada. Menunggang kuda pula yang Kaka lakukan, keliling berkali-kali. Ya, dia sudah biasa naik kuda. Di Brigif saja, kalau hari Minggu, dia tidak bisa hanya satu keliling. Mesti empat keliling berkuda, baru mau turun.

Ngomong-ngomong soal farmer, petani, saya jadi teringat pada salah satu cita-cita saya yang belum terwujud, jadi petani. Petani agrobisnis yang sukses, begitu mimpi saya. Ini tak lepas dari omongan orangtua dulu yang bilang bahwa saya punya bakat jadi petani. Apa pasal? Karena setiap tanaman yang saya tebar, selalu tumbuh subur. Halah, masa iya sih? Pertandanya, orangtua dulu melihat waktu kecil, saya suka menebar biji jagung di halaman rumah, dan tumbuh subur, walau cuma 5 batang, sampai pohon itu mengeluarkan jagung. Lalu pernah pula menebar biji roay, kacang-kacangan dan hiris (nah pohon apaan tuh..) di kamar berlantai tanah. Dan ajaib, semua tumbuh subur sampai memenuhi kamar belum jadi itu.

Apa saya berbakat jadi petani? Tertarik, mungkin iya. Saya bersama teman-teman Friday pernah mencoba bisnis jamur Shitake. Dan sukses besar, tumbuh semua. Padahal, tidak ada satupun yang memiliki ilmu pertanian, ilmu perjamuran, dan pernah mencoba sebelumnya. Pengetahuan soal menanam jamur itu saya dapat dari hasil ngobrol dengan teman satu kos-an di Jatinangor yang kebetulan anak pertanian. Lalu bertanya pada juragan dan petani Jamur di daerah Cikadut dan Cilengkrang. Jadilah bisnis jamur. Hanya sayangnya, waktu itu belum fokus, sehingga lebih berat ke kuliah. Ya, mudah-mudahan saja, mimpi itu bisa diwujudkan, karena jadi wartawan tidak mungkin seterusnya. Pasti harus ada bidang lain yang ditekuni, untuk bisa menyambung hidup. (*)

Sunday, March 02, 2008

Gito Rollies

INI persis seperti kejadian sebelum Benazir Bhutto meninggal terkena pecahan bom. Entah kenapa, saya rajin mengumpulkan foto-foto Benazir. Waktu itu yang terpikir, foto-foto Benazir akan dibutuhkan untuk halaman internasional, mengingat konstelasi politik Pakistan kian memanas. Namun di tengah keasyikan mengumpulkan foto itulah, justru Benazir Bhutto, obyek yang fotonya tengah dikoleksi itu, tewas. Baca selengkapnya di sini.

Begitu pula yang terjadi seminggu sebelum Gito Rollies meninggal dunia. Entah kenapa pula, tiap hari saya putar terus lagu-lagu The Rollies di komputer saya. Di komputer saya, ada folder "Rock Jadul". Isinya lagu-lagu Nicky Astria, Godbless, dan The Rollies. Tapi saya pilih memutar The Rollies.

Kang Janu, Manajer Tribun Online, kalau melihat saya menyetel The Rollies, juga suka berkomentar. "Tah si Mac keur nostalgia," katanya. Sedang Erwin, redaktur ekonomi, yang duduk di sebelah kanan saya, suka langsung tertawa begitu mendengar lagu-lagu lama itu diputar. "Waduh, itu lagu kapan, lama banget," kata dia.

Saya sih enjoy saja, karena memang menyukai lagu-lagu Gito dan The Rollies. Saya masih ingat, lagu "Kemarau" saya jadikan bahan untuk ujian kesenian waktu SD. Saya pakai suling Yamaha membawakan lagu itu.

Ada dua kenangan terkait Gito Rollies ini. Waktu zaman jahiliyahnya, Gito sering ke Cimahi. Sering main ke samping rumah saya. Kebetulan itu adalah rumah anak-anaknya Pak Suhaeli, orang kaya di Cimahi. Dan mereka memang akrab dengan Gito, akrab dalam hal minum dan narkoba. Saya sering melihat Kang Gito di rumah besar itu. Bahkan beberapa kali mampir ke warung bapak saya, untuk beli roti tawar. Tapi itulah, saat itu Kang Gito membawa pengaruh buruk. Anak-anak muda Sukajaya jadi doyan ngeganja. Sampai akhirnya Bozo, tetangga saya, yang juga teman Gito, ditangkap polisi karena bawa ganja.

Kenangan lain tentang Kang Gito adalah setelah dia insyaf. Tahun 2000, saya meliput di daerah Cililin. Saat itu ada tablig akbar, dan penceramahnya adalah Gito Rollies. Luar biasa, dia bercerita tentang masa-masa kelamnya kepada hadirin yang kebanyakan anak-anak SMA Cililin. Tentu bukan untuk diikuti, tapi sebagai contoh, betapa buruknya narkoba, free sex, dan jauh dari Tuhan. Istilah Kang Gito,"Saya bukan cuma berkawan dengan setan, tapi saya kawin dengan setan. Karena semua bentuk kemaksiatan sudah pernah dilakoni," katanya. Begitulah Kang Gito, Insya Allah mendapat khusnul khatimah. Semoga amal dakwahmu akan menerangi kuburmu dan menjadi penyelamat di hari pengadilan nanti. (*)