Saturday, February 18, 2017

Catatan 15 Februari

RABU, 15 Februari 2017, akan dicatat dalam sejarah sebagai pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak yang paling panas di Indonesia. Walaupun pilkada serentak ini berlangsung di 101 daerah, semua mata, terlebih media, lebih menyorot ke satu hotspot, yaitu DKI Jakarta.
 

Nama Basuki Tjahja Purnama atau Ahok menjadi magnet besar perhatian itu tertumpah ke ibukota negara. Persidangan yang tengah bergulir terkait dugaan penistaan agama, debat calon gubernur dan wakil gubernur yang mengobarkan "perang" di media sosial, lalu aksi- aksi umat Islam yang bersinggungan pula dengan persoalan kepemimpinan di Jakarta, membuat panas jagat politik Indonesia.
 

                                   Penghitungan suara di salah satu TPS saat pilkada Kota Cimahi
                                                       Sumber foto: Tribun Jabar/Zelphi.

Di hari-hari terakhir jelang pencoblosan, media sosial tetap melimpah-ruah dengan kampanye-kampanye hitam dari berbagai pihak. Entah memihak Agus Yudhoyono, Ahok, atapun Anies Baswedan. Pencoblosan bukan lagi sekadar pencoblosan biasa, tapi menjadi pertarungan iman. Itulah itu mengapa jagat maya dan jagat nyata benar-benar digoncang oleh isu-isu yang tersebar dari ibu kota republik ini.
 

Melihat eskalasi semacam ini, rasanya "perseteruan" politik ini tidak akan pudar walau pilkada usai. Kasus pemilihan presiden beberapa tahun lalu saja menyisakan kekecewaan bagi pendukung yang kalah. Apalagi ini, pemilihan gubernur Jakarta yang sudah membagi secara terang benderang dan diametral: kamu kubu si anu, kamu pilih si itu, kamu pilih si ini. Warga Cibaregbeg nun jauh di Cianjur saja serasa bakal ikut memilih gubernur DKI. Padahal KTP Jakarta pun tak punya. Itulah pengaruh media sosial yang meniadakan batas kewilayahan dan administrasi seseorang.
 

Pilkada serentak kali ini tercatat dalam sejarah juga karena ada calon wali kota yang terpaksa tak bisa meneruskan kampanye karena dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga seorang calon bupati di Buton yang ditahan KPK, lagi-lagi karena kasus korupsi dan suap. Walhasil, pilkada di Buton tinggal menyisakan satu calon wakil bupati saja, yang akan berhadapan dengan bubung kosong dalam pemilihan suara.
 

Tiga bulan terakhir ini, daya dan energi masyarakat habis tersedot oleh urusan politik. Tak ada habisnya orang membicarakan hal yang sama dari waktu ke waktu. Seolah hanya itulah urusan terpenting di muka bumi. Padahal persoalan keseharian saja membekap dan menunggu penyelesaian yang tuntas. Adakah calon pemimpin yang menjanjikan bisa menurunkan harga cabai kembali normal? Untuk hal kecil seperti itu saja, kita kelabakan, tak tahu harus berbuat apa.
 

Sudahlah, kita akhiri semua dagelan politik ini dengan akhir yang baik. Kita semua berharap, "perseteruan" itu tak berlarut-larut dan mendarah daging. Kita harus terus bergerak ke depan. Kalah hari ini, bukan berarti akhir dari segalanya. Menang hari ini pun bukan berarti bisa jemawa seenaknya. (*)