Monday, June 20, 2011

Suara Melorot

MELEDAKNYA pemberitaan soal M Nazaruddin di media massa ternyata membawa pengaruh negatif bagi Partai Demokrat. Gara-gara Nazaruddin, perolehan suara partai pemenang pemilu itu diprediksi bakal melorot.

Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juni 2011 menunjukkan ketidaktegasan Partai Demokrat mengawal kasus Nazaruddin membuat publik tidak percaya dengan partai tersebut.

Di sisi lain, tingkat kepercayaan publik terhadap Partai Golkar dan PDI Perjuangan naik, bahkan melewati Partai Demokrat. Tentu ini semacam bola muntah dari publik yang tidak memilih Demokrat, lalu berpindah ke partai lain. Dalam hal ini, Golkar dan PDI Perjuangan menangguk keuntungan dari munculnya kasus-kasus politik dan hukum yang melibatkan kader Demokrat.

Hakim Suap

DUH, mau bagaimana lagi negeri ini jika suap dan korupsi sudah menjadi menjadi tontonan, tuntunan, dan tuntutan sehari-hari. Sepertinya tak ada lagi ruang hampa korupsi dan suap. Tak lagi bisa kita temukan sudut-sudut kehidupan yang bebas dari perilaku curang, rakus, dan tamak.

Tak terkecuali pada diri seorang hakim. Di tangannya, timbangan yang dipegang Dewi Themis atau Justitia dalam mitologi Roma akan condong ke sebelah kiri, ke kanan, atau diam di tengah.

Tapi begitulah, kemilau dunia sering kali membuat lupa nurani dan rasa keadilan seorang hakim. Tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali menangkap sejumlah hakim yang ditengarai terlibat suap untuk memenangkan pihak tertentu.


Itu pula yang menimpa Hakim Syarifuddin, hakim kepailitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Syarifuddin ditangkap di rumahnya dengan dugaan menerima suap dari pihak yang kasusnya sedang ditanganinya.

Memang, tak ada ruang kebal suap dan korupsi bagi siapapun di negeri ini. Semua celah sudah dimasuki. Menyelundup dengan lincah walau di ruang sempit, suap dan korupsi terus merajalela,

Tak peduli hakim, jaksa, polisi, politikus, wakil rakyat, menteri, istana presiden, tukang parkir, petugas jembatan timbangan, pedagang, semua telah disusupi siluman suap. Kelasnya pun beragam, semua kelas tersedia, mulai kelas anak teri, teri, bapak teri, hingga paus jombo dan mbahnya paus jumbo.

Perhatikan saja apa yang ditayangkan televisi atau diwartakan media cetak. Suap dan korupsi selalu berada di garda terdepan tayangan berita. Entah tokoh sosialita yang kabur ke luar negeri karena dugaan kasus suap, politikus yang sembunyi di negeri jiran juga karena dugaan suap, atau mantan kepala penjara yang disidang karena diduga menerima suap dari raja suap, Gayus Tambunan.

Jadi apa lagi yang bisa diharapkan dari negeri ini? Tidakkah kita menyadari apa yang dipertontonkan hari ini berpotensi menjadi sebuah tindakan dari generasi muda di masa depan. Peristiwa suap dan korupsi karena muncul setiap hari lama-lama mengendap dalam memori bawah sadar, sehingga menjadi sebuah tindakan yang lumrah. Ketika di masa depan generasi muda ini bertindak seperti itu, tidak akan muncul rasa bersalah, karena hal itu sudah lumrah. Orang-orang dulu pun berlaku seperti itu.

Inilah, ketika moral tak lagi jadi panglima, maka tak ada pilihan lain, selain kehancuran. Ketika iman tak lagi jadi pegangan, apapun akan diterjang demi merehttp://www.blogger.com/img/blank.gifngkuh harta dunia berlimpah.

Benar apa yang diungkapkan aktivis Indonesia Corruption Watch, bahwa pangkal dari suap dan korupsi saat ini adalah ketamakan, kerakusan, dan keserakahan terhadap dunia. Remunerasi gaji bagi hakim ataupun pegawai negeri lainnya tak mempan dan tak cukup menghentikan gelombang suap dan korupsi. Para pelaku tidak lagi mendasarkan diri pada kebutuhan, tapi mereka serakah terhadap dunia yang sudah mereka miliki.

Cinta dunia, itulah pangkal segala malapetaka. Kepada mereka yang masih muda dan berpikiran bersih, tak hanya menanamkan semangat antikorupsi antisuap pada hati dan pikiran terdalam, tapi wujudkan dalam tindakan sehari-hari demi menyelamatkan generasi mendatang dari cengkeraman siluman-siluman suap dan korupsi. (*)
Sorot, dimuat di Harian Tribun Jabar edisi 4 Juni 2011