Wednesday, January 30, 2008

Buku "Baru": Pesta Buku Bandung (2-Habis)

SELASA (29/1), Pesta Buku Bandung dimulai. Wow, tentu saya tak melewatkan kesempatan ini. Biasa, mengejar buku-buku yang dijual dengan diskon besar. He he..Ya apalagi, karena itulah yang sesuai dengan isi dompet.


Pesta Buku Bandung dibuka oleh Walikota Bandung, Dada Rosada. Ada sekitar 85 penerbit dari Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, yang ikut pamera. Stan-nya kalo tidak salah ada 135 stan. Jadi satu penerbit ada yang menempati dua stan.

Saya merasa senang bisa meluangkan waktu ke Pesta Buku ini. Bukan apa-apa. Saya pasti bakal bertemu teman-teman kuliahan dulu. Mereka banyak yang berkecimpung di dunia penerbitan.

Dan memang benar. Saya bertemu dengan Dani Asmara, teman karib saya di Jurusan Sejarah Unpad. Dia sekarang pengelola Mujahid Press, sebuah penerbit buku-buku bertema Islam di Bandung. Penerbit ini awalnya merangkak dari nol. Tapi sekarang, omzetnya sudah miliaran rupiah. Dan yang lebih menyenangkan lagi, Dani memberi saya 4 buku baru. He he lumayan, tidak perlu keluar uang. Cukup pertemanan saja.

Lalu saya pun bertemu Hendra Gunawan. Nah, kalau yang ini teman satu perjuangan di Fakultas Sastra. Dia dari Sastra Arab, sama-sama angkatan 94. Kita berdua pula yang pernah sama-sama diancam akan di-DROP OUT dari Unpad. Gara-gara nekat terus
melanjutkan acara Ospek. Sampai-sampai, Bakorstanasda Jabar turun untuk menghentikan rombongan mahasiswa baru yang akan menuju ke Bumi Perkemahan Kiarapayung, Jatinangor. Pihak Dekanat dan Rektorat mencium di tubuh kepanitiaan Kansas (Kemah Anak Sastra), ada elemen kiri radikal, bahkan komunis. Mereka khawatir, elemen
ini mencekoki mahasiswa baru dengan pengaruh kiri, pada pelaksanaan Kansas. Sekarang Hendra jadi aktivis MQ (Manajemen Qalbu)-nya Aa Gym. Salah satu bidang usahanya adalah penerbitan MQS Publishing.

Saya membeli sekitar 11 buku. Kebanyakan buku tentang tasawuf. Buku terbitan terbaru adalah Novel Rahasia Meede. Ini novel memang sudah saya incar. Merupakan novel kedua ES Ito, pengarang yang secara luar biasa menjelajahi ruang sejarah dengan fiksinya.
Katanya sih isinya tentang jalan rahasia menuju harta karun tinggalan VOC. Novel pertama ES Ito adalah Negara Kelima. Yang ini bercerita tentang Benua Atlantis yang hilang, dan itu diyakini adalah Nusantara!!

Ada berkah saya mengunjungi Pesta Buku ini. Saya bertemu dengan senior saya, Kang Hikmat Kurnia, yang baru pulang dari Tanah Suci Mekkah. Dia ini Direktur Agromedia, sebuah kelompok usaha penerbitan di Jakarta. Gagasmedia, salah satu yang masuk kelompok ini. Setelah ngobrol sana-sini, Surprisenya, saya ditantang Kang Hikmat untuk membuat buku tentang Bandung Gaul dalam tempo satu bulan. Wah, tantangan yang menarik, dan saya terima. Tak terbayangkan sebelumnya, ada tawaran seperti ini. Mudah-mudahan, bisa terwujud dan saya terpacu untuk menyelesaikan buku itu. (*)

Buku "Baru" (1)

MINGGU lalu, saya memborong buku-buku murah di bazaar yang digelar Penerbit Mizan, di Gedung Gramedia Jalan Merdeka, Bandung. Itu gelaran Mizan merayakan ulang tahunnya. Cuma saya lupa, ulang tahun ke berapa.

Ada sebanyak 28 buku yang saya beli. Beragam jenis. Ada buku agama, novel remaja, juga teenlit. Lalu komik. Tentu saya mencari buku yang harganya murah, Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Buku paling mahal adalah buku Munir: Kitab Melawan Lupa yang dibanderol Rp 12.500, karena ada diskon 50 persen.

Sepertinya buku tentang Munir itulah terbitan yang paling baru. Karena buku-buku lain merupakan buku terbitan tahun 2006 ke belakang. Tapi bagi saya, tetap saja buku-buku tahun lawas itu baru, karena baru memilikinya.

Sampai kini, setumpuk buku baru itu masih teronggok di meja dekat televisi. Belum semua saya baca. Paling baru 15 yang sudah selesai dibaca. Menunggu waktu agak luang untuk menyelesaikannya, lalu membereskannya masuk ke lemari buku. (*)

Bu Eri Sakit

SUDAH dua hari ini, Bu Eri sakit. Senin sore, berobat ke Dokter Eka di Apotek Budi Rahayu. Karena Bu Eri bilang badan terasa sakit-sakit, eh Bu Dokter nya malah mendiagnosis ini kayaknya gejala penyakit Chikungunya. Penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk si belang, cuma bukan aedes aegypti, dan membuat badan lemas serta persendian sakit-sakit. Penyakit ini tidak membahayakan.

Bu Eri sudah mengeluh sakit sejak minggu lalu. Tepatnya, keluhan itu bukan sakit, tapi badan terasa remuk dan capek banget. Apalagi pekan kemarin, ada acara ulang tahun Adik Mira dan insiden di Parisj van Java. Mungkin itu yang menyebabkan Bu Eri
kian capek.

Saya justru mengira, Bu Eri bukan sakit Chikungunya, tapi sakit gejala tipus. Mungkin karena pengalaman, beberapa kali kena gejala tipus, jadi rada-rada tahu kalau itu gejala tipus. Ciri-cirinya seperti badan meriang, kepala pusing luar biasa, ada batuk sedikit, lidah terasa pahit, mual-mual. Seperti itulah.

Wartawan juga manusia, tetap punya batas daya tahan. Kalau badan sehat, disuruh meliput operasi SAR berhari-hari di gunung pun bisa bertahan dan enjoy. Tapi sekali saja, badan tidak bisa diajak kompromi, meliput sunatan massal pun tidak akan sanggup.

Yang penting mah, Bu Eri bisa sembuh dan sehat seperti sedia kala. Istirahat adalah kata yang paling tepat. Baru nanti bertempur kembali di lapangan. (*)

Tuesday, January 29, 2008

Bundel Tempo

SAYA punya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi --yang akan dipublikkan. Koleksinya macam-macam. Dari buku, koran, majalah, jurnal, dan sebagainya. Itu impian saya.

Nah, salah satu koleksi yang tengah saya kumpulkan untuk mewujudkan mimpi itu adalah Majalah Tempo. Memang benar, Majalah Tempo yang saya koleksi bukanlah majalah edisi tempo dulu. Tapi edisi sejak saya berlangganan tahun 2005.

Supaya koleksi itu terlihat rapi, kumpulan Majalah Tempo itu saya bundel. Dijadikan satu, dibundel hardcover. Beruntung, di dekat rumah banyak kios foto kopi dan penjilidan. Maklum, rumah dekat kampus. Jadi tidak susah untuk mencari tukang jilid.
Sudah dua tahun edisi Majalah Tempo yang saya bundel. Tahun 2005 dan 2006. Biasanya, satu tahun itu ada 13 bundel. Jumlah bulan 12, dan satu lagi, bundel edisi khusus. Edisi khusus ini selalu saya pisahkan. Dalam setahun, Tempo biasanya mengeluarkan edisi khusus, antar 4-5 edisi. Jadi pas untuk bundel satu bulan.

Baru beberapa minggu lalu, bundel Tempo tahun 2006 selesai dijilid. Enak melihatnya. Lebih rapi. Bukan sekadar mengikuti idiom Tempo: Enak dibaca dan perlu. Tapi bagi saya, bundel arsip seperti ini memang perlu. Sewaktu-waktu ada sesuatu yang lupa dan itu ada di Tempo, tinggal membuka bundelan saja.

Selain itu, saya ingin mengaplikasikan apa yang pernah dikatakan dosen saya, Dr Nina Herlina Lubis. Menurut dia, kesadaran sejarah masyarakat Indonesia sangat kurang. Hal itu bisa dilihat dari minimnya kesadaran arsip. Jarang sekali infividu yang bisa memiliki arsip lengkap dokumen apapun. Padahal arsip merupakan hard fact, fakta keras dan otentik. Karena itu, saya ingin memulai membangkitkan kembali kesadaran sejarah pribadi, dengan mengarsip Majalah Tempo.

Saya belum sempat membundel Tempo tahun 2007. Majalahnya sudah disusun rapi, lengkap semua edisi tahun 2007. Namun saya belum membuat cover. Belum sempat. Mungkin minggu-minggu ini, saya sempatkan membuat cover dan mengeprint-nya. Supaya majalah-majalah itu tidak bertumpuk terus, tapi tersusun rapi di rak buku. Mudah-mudahan, ini jadi cikal bakal perpustakaan yang saya impikan. (*)

Monday, January 28, 2008

Ultah Adik dan Kematian Soeharto

MINGGU (27/1), pukul 13.00, kami sekeluarga berkumpul bersama di ruang tengah. Mbah Kakung dan Mbah Uti. Lalu keluarga Mas Rohman komplet, 3 orang. Ditambah keluarga Mas Rikhan, minus Mas Rikhan. Plus Teh Imas, pembantu kami di rumah. Kami ngariung (berkumpul) untuk berdoa bersama.

Hari Minggu itu adalah hari ulang tahun pertama Adik Namira Zenechka Hayatunnufus,
putri kedua saya dan Bu Eri. Kami menggelar acara perayaan secara sederhana. Tak ada kirim undangan segala macam ke tetangga. Cukup berdoa saja untuk Adik. Memang ada juga acara tiup lilin dan sedikit nyanyi Selamat Ulang Tahun. Biar terasa ulang tahunnya gitu.

Kami tak lupa untuk membuat makanan berupa nasi kuning plus lauknya untuk dibagikan kepada tetangga. Ada 30 dus nasi kuning untuk tetangga sekitar rumah. Dua itu ditempeli foto Adik dan ucapan syukuran ultah. Biar tetangga tidak bertanya-tanya, ini dus hajat apa.

Bertepatan dengan waktu kami berdoa itulah, berita meninggalnya Soeharto, Presiden RI ke 2, tersiar dari televisi. Kami semua bergeming, sejenak memerhatikan berita itu. Setelah doa selesai, kami matikan sementara televisi, lalu fokus untuk menyantap nasi kuningan buatan Mbah Uti.

Baru sore hari, selepas Ashar, kami nonton televisi lagi. Semuanya tentang kepergian Soeharto. Sambil menonton, kami mengobrol soal Soeharto ini. Apapun itu, dia memang pernah menjadi pemimpin bangsa ini. Pernah membuat bangsa ini ditakuti bangsa asing. Dan tentu tak luput dari kesalahan seorang pemimpin.

Ingat Soeharto, saya malah jadi ingat beasiswa Supersemar yang saya terima saat kuliah dulu. Berkat Beasiswa Supersemar, saya bisa lulus dari Jurusan Sejarah Unpad. Ya, karena biaya pendidikan per tahun sudah ditanggung Supersemar. Padahal saya sempat kocar-kacir untuk membayar SPP kuliah.

Saya pikir, saya pun akan terus teringat dengan hari kematian Soeharto ini. Karena bertepatan dengan ulang tahun anak saya. Tanggal 27 Januari. (*)

Saturday, January 26, 2008

Pengalaman "Terburuk"

RASANYA hari Jumat kemarin merupakan terburuk yang pernah saya alami. Bukan harinya yang buruk, karena tidak ada hari yang buruk. Apalagi hari Jumat adalah Penghulunya hari dan sangat dimuliakan, jadi tak mungkin buruk.

Yang buruk adalah pengalamannya itu. Saya dan Bu Eri sudah merencanakan untuk belanja kebutuhan bulanan pada hari Jumat. Kebetulan saya libur reguler, lalu Bu Eri pulang piket, sehingga bisa libur.

Tapi yang namanya libur, tetap saja ada sisipan kerjanya. Sejak pulang piket, Bu Eri berkutat dengan bahan tulisan. Dan baru beres selepas orang salat Jumat. Saya pun kebagian tugas mengirimkan file itu via internet. Sejak jam 1 siang, saya sudah duduk di warnet dekat rumah. Tapi sampai jam 3, belum satupun file yang bisa dikirim. Leletnya minta ampun. Membuka Yahoo saja susah buanget. Weleh, ini warnet apaan sih?

Waktu saya tanya ke tukang operator warnet, dia beralasan, kalau Yahoo emang lelet kalau siang hari. "Soalnya banyak yang pakai yahoo," gitu kata si tukang warnet itu. Alasan yang mengada-ada, pikir saya.

Saya coba buka Gmail. Awalnya lambat, tapi kesananya cepat. Sayangnya, saat mengirim file tulisan dan foto, langsung error. File pun tak bisa dikirim. Saya sudah keringat dibuatnya. Terus coba beberapa account Yahoo. Akhirnya bisa dibuka juga. Kirim dokumen dan foto, lamanya gak ketulungan. Karena sudah mepet, saya coba kirim dokumen saja. Butuh 20 menit untuk bisa terkirim. Beres dah, yang penting dokumen tulisan dulu yang masuk, biar foto menyusul.

Semula saya, Bu Eri, Kaka Bila, dan Nurul, mau naik taksi. Tapi setelah tahu Mas Rikhan tidak kemana-mana, Bu Eri minta Mas Rikhan mengantar kita, sekalian main.
Berangkatlah kita pakai mobil carry merah tahun 70-an. Saya sudah agak ngeri naik mobil ini, karena sering mogok. Kaka pun awalnya enggak mau naik. Tapi karena Mas Rikhan sudah kadung ke garasi, ya sudah, terima apa adanya.

Di jalan, baru diputuskan mau belanja ke mana. Ada beberapa tempat yang biasa jadi tujuan untuk belanja. Carrefour Mollis, lalu Carrefour Paris van Java. Juga Hypermart dan Borma. Kami pilih Carrefour Paris van Java, karena di sana ada tempat main untuk anak dan lebih ramai.

Oh iya, sebelum berangkat, Bu Eri menyempatkan periksa Kaka ke Bidan Endah. Sudah dua hari Kaka mengeluh sakit, dan suka menangis kalau malam hari.
Sepanjang jalan hingga belanja sih tidak ada masalah. Hanya Kaka yang menangis saat main seluncuran. Dia sakit gatal lagi. Jam 8 malam, acara belanja selesai. Setelah itu kita makan.

Nah mimpi buruk pun dimulai ketika hendak pulang. Setelah semua barang dimasukkan ke dalam mobil dan semua siap berangkat, mendadak mobil tak bisa distarter. Semua orang terdiam dan menahan napas. Cetek, cetek, kunci diputar, tak juga menyala.
"Mungkin ini accu-nya tertindih barang, jadi ada kabel lepas," kata Bu Eri. Memang accu mobil tua ini ada di dekat jok tengah. Namun setelah diperiksa, tidak ada masalah.

Bongkar sana bongkar sini, pasang sekering yang putus, tak juga mobil bergerak. Hampir 2 jam kita berkeringat, karena stres dan kepanasan, di parkiran Paris van Java Mal.

Karena mobil lama tak kunjung menyala, akhirnya kita putuskan naik taksi saja. Pesan Taksi Bluebird untuk masuk ke parkiran. Namun terlewat. Saat kita di dalam mobil, taksi melaju. Pesan lagi beberapa kali ke operatornya, tak kunjung datang juga.
Kita semua udah pasrah saja deh. Orang rumah menelepon, nanyain posisi di mana. Begitu tahu mobil mogok, Mas Rohman pun menyusul pakai motor sambil bawa tetangga yang bisa ngoprek mobil.

Eh, tahunya Mas Rohman malah ke Carrefour Mollis, ya jelas jauh. Terpaksa putar arah ke Sukajadi. Menunggu Mas Rohman datang tentu lama, sementara Blue Bird yang sudah dijanjikan nomor 042 yang datang, ternyata tak kelihatan juga, akhirnya saya keluar tempat parkir, ke jalan raya.

Saya cari taksi di jalan. Ketemu GR. Mintanya diborong aja. Gak perlu pikir panjang lagi, saya oke kan saja. Yang penting, anak-anak yang sudah tertidur bisa pulang. Mana tahan mesti nginap di tempat parkir mall.

Jam 23.15 malam, baru sampai di rumah. Itu pun belum selesai, karena harus mengangkut barang belanjaan. Terpaksa membangunkan Mbak Ani, meminjam gerobak dorong. Maklum, rumah kami di gang sempit di tengah kampung, lumayan jauh dari jalan Unjani.

Baru bisa menarik napas lega setelah semua beres, sekitar jam 12.00 malam. Itu pun dengan keringat membanjiri badan. Kebayang atuh, mendorong gerobak penuh barang melewati gang sempit, cape pisan. Huh, enggak akan deh sekali-kali lagi belanja ke Carrefour Paris van Java Sukajadi. Beberapa kali ke sana selalu saja kesulitan buat pulang. Pesan taksi, enggak pernah datang. Ada mobil dari rumah, eh mogok. Nasib...(*)

Thursday, January 24, 2008

Giliran Bang Yos Sowan

PAGI jam 09.00,HP saya berdering. Rupanya Ari, Sekred Tribun, yang mengontak. Dia mengingatkan saya untuk datang ke kantor lebih awal, karena jam 11.00, Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta, mau datang ke kantor Tribun.

Yap, Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso, akhirnya mampir juga ke kantor Tribun di Jalan Malabar no 5, Kamis (24/1) ini. Dia memang sedang punya acara di Bandung sejak Rabu. Tepatnya acara Forum Komunikasi dan Kerjasama Islamic Center se-Indonesia di Pusdai Jalan Diponegoro. Katanya, Bang Yos didaulat jadi Dewan Pembina.

Tentu kedatangan Bang Yos ini tidak dengan tangan hampa. Bang Yos sedang keliling untuk memperkenal diri sebagai calon presiden (Capres). 1 Oktober tahun lalu, Bang Yos mendeklarasikan diri sebagai Capres dan siap maju di Pemilu 2009.

Alasan Bang Yos untuk deklarasi sejak awal, karena dia merasa belum terlalu beken di luar Jakarta. Karena itu road show pun digelar. Terutama ke media-media. Seperti diakui Bang Yos, media punya peran besar untuk menggelembungkan seseorang menjadi lebih dikenal.

Dalam pertemuan, seperti biasa tamu selalu diterima di ruang rapat utama Tribun, di meja panjang dengan ujung bundar, Bang Yos lebih banyak cerita soal pengalaman dia mengelola Jakarta hingga seperti sekarang ini.

Background sebagai prajurit tempur, pada awalnya sempat membuat Bang Yos grogi. Dunia sipil adalah dunia baru baginya dan berbeda dengan militer. Tapi itu pula yang membuatnya sering disebut ndablek. Dia pakai manajemen krisis untuk menangani Jakarta. Seperti halnya saat pasukan tempur sedang terkurung musuh, yang dialaminya saat di Timor Timur.

Sikat dulu, baru urusan belakangan. Ketika menangani pemagaran Monas pun begitu. Bang Yos sikat habis preman-preman di sana, PKL dipindah keluar, WTS pun tak diberi tempat. Dan dia didemo setiap hari oleh orang-orang yang berkepentingan di sana. Tapi Bang Yos jalan terus. Dan buktinya, Monas kini lebih cantik, tak kumuh
lagi. "Peluru berdesingan di telinga saya sudah biasa. Ini cuma didemo saja, ya enggak akan membuat bulu kuduk saya berdiri," kata Bang Yos.

Banyak lagi yang Bang Yos ungkapkan, termasuk cerita dia saat di operasi rahasia di Timor Timur. Namun mantan prajurit Kopassandha/Kopassus selama 23 tahun itu wanti-wanti agar cerita itu off the record. Ya, kita manut saja deh, untuk yang satu itu. Hanya intinya saja lah, Bang Yos mengaku tidak tahu menahu dengan persoalan Balibo. "Saya tidak pernah ke sana. Dari Batugede saya terus ke Atambua, Dili, lalu Baucau. Tidak pernah di Balibo," kata Bang Yos.

Saat situasi politik, khususnya Jawa Barat, jelang Pilgub seperti sekarang ini, kantor memang bakal sibuk terus menerima tamu, para kandidat yang mau bertarung. Kadang-kadang kalau dipikir, mereka datang kalau ada maunya saja. Kalau sudah terpilih, mana ada istilah silaturahmi lagi. Dikonfirmasi saja susahnya setengah
mati. Cape deh... (*)

Wednesday, January 23, 2008

Agum-Nu'man ke Tribun

TERNYATA benar, apa yang saya tulis dalam Sorot Tribun Jabar Edisi Senin 21 Januari 2008. Para kandidat calon gubernur dan wakil gubernur Jabar sudah menggelar sejumlah pendekatan, pengakraban, yang intinya kampanye terselubung, di sejumlah tempat.

Pasangan Agum Gumelar-Nu'man Abdul Hakim, yang memperkenalkan diri dengan nama AMAN, mengunjungi sejumlah media massa di Kota Bandung, termasuk Tribun Jabar. Kedatangan mereka ini bisa dibilang mendadak. Rapat bujeting para pengelola halaman Tribun setiap jam 4 sore harus mengalah, demi pasangan Agum-Nu'man ini, yang katanya mau datang jam 4.

Sementara pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf, menyebut diri Hade, juga menggelar acara di Ciamis. Ciamis adalah daerah konstituen Dede Yusuf. Sedangkan Danny Setiawan-Iwan R Sulandjana juga menggelar acara serupa. Iwan ikut kampanye pasangan calon walikota-wakil walikota di Bekasi. Danny bersiap safari kerja alias road show ke sejumlah daerah di Jabar Selatan.

Kesibukan pun terjadi di kantor kami begitu terdengar Agum-Nu'man mau ke kantor. Ruang rapat segera dibersihkan, makanan ringan pun dipesan. Tentu, sebagai pengelola halaman kota dan penyebar isu politik lokal, saya mesti ikut dalam pertemuan itu.

Biasalah, kalau yang datang kandidat yang akan bertarung di Pilkada,isi pertemuan takkan jauh beda dengan yang sudah-sudah. Awalnya menyebut sebagai silaturahmi. Hal yang tak pernah mereka, para calon itu, lakukan ketika sebelum proses Pilkada digelar. Mana ada cerita, Gubernur atau Wakil Gubernur, atau seorang Agum Gumelar, ujug-ujug datang ke kantor kami saat hari-hari biasa?

Agum Gumelar-Nu'man A Hakim mengangkat cendera mata khas Tribun Jabar berupa koran mini dengan foto master pertemuan hari itu.
Lalu keluarlah, isi sesungguhnya pertemuan itu. Keprihatinan atas kondisi Jawa Barat sekarang dan keinginan untuk memajukannnya, jika mereka terpilih. "Insya Allah, kalau terpilih, saya tidak ingin lagi melihat ada antrean minyak tanah, ibu yang tidak bisa memasak lagi saking miskinnya, bla bla bla," kata Agum.

Agum pun mengudar alasan mengapa ia memilih Nu'man sebagai pasangannya. Seperti diketahui, semula Agum dipasangkan DPP PDIP dengan Rudi Harsa Tanaya, Ketua DPD PDIP Jabar. Tapi Agum bergeming. Ia enggak mau sejoli dengan Rudi. "Saya ingin pasangan yang bisa diajak lari dengan cepat. Dan itu ada pada diri Pak Nu'man. Dia sudah berpengalaman dan mengetahui bagaimana Jabar. Saya jadi tidak akan meraba-raba lagi," kata Agum, percaya diri.

Nu'man pun ikut nimbrung dalam obrolan yang guyub dan penuh canda tawa itu. Ia setengah curhat soal perannya yang dibatasi oleh gubernur. "Saya diundang oleh Pangdam di suatu acara, ternyata Gubernur malah menugaskan asisten I yang membacakan pidato. Terus terang saya dongkol, langsung walk out," kata Nu'man. Omongan Nu'man ini langsung dipotong Agum. "Sudah-sudah, jangan semua tumpah di sini," kata Agum yang disambut tawa semua orang yang hadir dalam pertemuan itu.

Bagi Tribun, kunjungan para kandidat ini tentu menjadi sarana ampuh untuk berpromosi. Bagaimanapun, Pilkada adalah magnet yang bisa mengumpulkan dana sekaligus menggelontorkan kembali dana itu dalam jumlah besar. Ibaratnya mah, pilkada itu rezeki bagi media. (*)



Adakah Cagub-Cawagub yang Memikat Hati Anda?

AKHIRNYA tiga pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat dipastikan bakal bersaing memperebutkan sekitar 30 juta suara pemilih. Mereka adalah Danny Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana yang didukung Partai Golkar dan Partai Demokrat. Saat Pemilu 2004 lalu, Partai Golkar mendapat 28 kursi, sementara Demokrat 9 kursi. Pasangan ini menyebut diri Da'i.

Lalu pasangan kedua adalah Agum Gumelar-Nu'man Abdul Hakim dengan partai pengusung terbanyak, yaitu tujuh. PDIP, PPP, PKB, PBB, PKPB, PDS, dan PBR berkoalisi mengajukan pasangan Aman ini. Pasangan ketiga adalah Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade). Partai pengusung adalah PKS dengan 14 kursi, dan PAN yang mendapat 7 kursi.

Dari sisi kuantitas pendaftar, sebetulnya jumlah tiga pasangan sangat sedikit, dibandingkan dengan banyaknya penduduk Jawa Barat. Tapi setidaknya, nasib Jawa Barat tidak semiris DKI Jakarta, yang kaya akan tokoh nasional berpengalaman, tapi hanya mampu memunculkan dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada beberapa bulan lalu.

Walau harus diakui pula, Jawa Barat pun sesungguhnya miskin tokoh dan figur. Karena hingga jelang pendaftaran, tokoh-tokoh yang muncul, itu itu juga. Berkutat di lingkaran figur yang sama.

Dari tiga pasangan itu, hanya satu pasangan yang benar-benar fresh dan murni kader partai, yaitu pasangan Hade. Kita ketahui bersama, Danny Setiawan adalah Gubernur Jabar saat ini. Pasangannya, Iwan R Sulandjana adalah mantan Pangdam III/Siliwangi yang tentu mengenal betul lekuk-lekuk Jawa Barat. Lalu Agum Gumelar adalah mantan Menhub, Menko Polkam, dan Ketua Umum KONI Pusat. Sementara Nu'man masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Jabar.

Dari sisi popularitas, nama Danny Setiawan dan Agum Gumelar yang paling nyongcolang. "Kebesaran" nama mereka tentu menjadi modal awal untuk mengeruk dukungan suara. Selain itu, mereka juga didukung partai besar dengan kucuran dana besar pula.

Tapi jangan lupa, pasangan Hade merupakan pasangan alternatif yang memberi harapan perubahan. Setidaknya, mereka adalah tokoh- tokoh baru, menawarkan sesuatu yang fresh. Di lain pihak, partai pendukung mereka pun tak bisa dianggap enteng, khususnya PKS. Selama ini, PKS dikenal sebagai partai dakwah dengan anggota yang sangat loyal dan solid. Dari 8 pilkada yang sudah digelar di sejumlah kota dan kabupaten di Jabar, 5 di antaranya dimenangkan oleh pasangan yang didukung oleh PKS.

Mulai hari ini, masyarakat Jabar akan disuguhi berbagai aksi simpatik para kandidat, walau masa kampanye belum dimulai. Spanduk dan baliho akan semakin banyak bertebaran. "Kesalehan sosial" berupa acara-acara sosial dan bantuan mendadak jadi menu utama untuk mengakrabi calon pemilih. Daerah yang dulu tak pernah dilihat, jadi agenda wajib untuk dianjangi.

Adakah dari ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu yang akan berhasil memikat hati Anda dan Anda rela memilihnya saat pencoblosan nanti? Itu semua tergantung cara mereka mendekati Anda dan tergantung kejernihan hati Anda untuk bersikap. Saatnya buka mata buka telinga buka rekam jejak untuk menelisik lebih jauh calon-calon pemimpin Tatar Sunda ini. Bagaimanapun, salah satu pasangan di antara tiga pasangan itu bakal menjadi pemimpin kita. Karena itu, jangan salah menentukan sikap. (*)
  • Tulisan ini dimuat pada Kolom Sorot, Harian Pagi Tribun Jabar edisi Senin 21 Januari 2008.

Saturday, January 19, 2008

Ketika Anak Bisa Protes

APA yang harus dilakukan orangtua ketika anak-anak mereka beranjak besar dan sudah bisa memprotes? Protes segala hal, baik soal kasih sayang yang diberikan kepada setiap anak, tentang perhatian, dan sebagainya.

Itu pula yang dialami saya dan Bu Eri. Kaka Bila yang usianya sekarang 5 tahun 4 bulan, sudah bisa protes. Tentu dengan caranya yang unik. "Kenapa sih ibu gak libur-libur, kerja terus?," tanya Kaka. Atau protes jealous seperti ini. "Adik terus yang diurusin.  Kok aku gak pernah diurusin lagi?". "Sejak ada pembantu, kok ibu  tidak pernah nyuapin aku makan lagi sih?. Atau,"Ayah libur yah? Aku mau main dong sama Ayah". Glek. Semua pertanyaan itu 
dilancarkan dengan nada-nada "mendesak" dan menuntut.

Setiap berangkat kerja, saya dan Bu Eri membiasakan untuk pamit pergi secara langsung kepada anak. Biar anak tahu ayah ibunya bekerja. Tidak dibohongi atau main kucing-kucingan. Tadi ada di rumah, tapi anak mencari, sudah tidak ada. Supaya menjadi kebiasaan. Kalau malamnya kebagian piket di kantor, saya dan Bu Eri pun selalu bilang. "Nanti malam ayah dan ibu piket yah, tidur jangan terlalu malam". Tapi apa komentar Kaka. "Ehhm, piket lagi piket lagi, pulangnya malam terus," gerundel dia.

Awalnya kami juga kelimpungan untuk menjawab pertanyaan ini. Wah, anak lima tahun kok protesnya kayak orang dewasa. Tapi setelah lama dipikirkan, kami sadar, bagaimanapun ini kesalahan kami sebagai orangtua. Kami berdua bekerja, sehingga tidak bisa fokus memerhatikan anak-anak. Sangat mungkin, kasih sayang itu berlimpah, tapi jadi beda bentuknya. Tidak dalam bentuk "keberadaan diri" dekat anak-anak. Tapi membayarnya dengan bentuk lain, seperti jalan-jalan, membelikan oleh-oleh atau barang. Sebenarnya itu kebiasaan jelek dan saya sudah sering kali  mengingatkan pada Bu Eri, agar tidak membiasakan membeli barang sebagai kompensasi kurangnya perhatian kita.

Yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan penjelasan secara perlahan-lahan. Mengapa kita berdua bekerja keras. Lalu kita berdua pun sebenarnya care pada Kaka Bila atau Adik Mira. Hanya tidak bisa setiap saat selalu disamping mereka. Ada waktu-waktu tertentu, kita tidak bisa bersama. Tapi ada pula waktunya kita berkumpul bersama.

Upaya lainnya adalah memanfaatkan secara maksimal waktu luang untuk berkumpul. Misalnya, saat saya atau Bu Eri libur reguler. Ya,  itulah waktu yang harus dimanfaatkan betul untuk bermain dengan anak. Walau, terus terang, kondisi badan pun sebenarnya tidak  menunjang. Cape dan penat luar biasa. Saya saja, kalau libur reguler, lebih banyak menghabiskan waktu untuk istirahat.  Membalas dendam jam tidur yang tidak cukup di hari-hari sebelumnya. Kendalanya, saya dan Bu Eri memiliki hari libur yang berbeda, sehingga tidak pernah bertemu seharian penuh, kecuali cuti.

Susah juga yah mau betul-betul care sama anak. Belum lagi si kecil, Mira. Walau belum satu tahun, tapi dia sudah tahu cara protes. Terutama pada Bu Eri. Kalau melihat Bu Eri ada di rumah. Dia maunya dipangku terus sama Bu Eri. Kalau enggak, ngamuk.  Kepalanya dipelantingkan ke belakang, sehingga leher melengkung.  Wah, bisa patah itu tulang. Kalau sudah begini, Bu Eri menyerah.

Tapi begitulah, namanya proses berkeluarga. Semua pengalaman menjadi bahan masukan agar kita bisa benar-benar memberi yang terbaik untuk keluarga. (*)

Wednesday, January 16, 2008

Harta Jarahan Keluarga Soeharto

Benarkah Soeharto memiliki kekayaan yang luar biasa dan disimpan di luar negeri? Benarkah harta itu hasil korupsi puluhan tahun dan tidak habis tujuh turunan sekalipun? Sampai kini pertanyaan itu tak pernah terjawab. Proses hukum Soeharto, khususnya pidana, sudah dihentikan Kejaksaan Agung. Sementara proses hukum perdata tak tentu rimbanya. Berikut ini ada laporan Majalah Time, edisi 24 Mei 1999, yang menurunkan soal harta Soeharto. Ini hanya sebagai memori saja, karena gara-gara tulisan ini pula Time didenda Rp 1 miliar. 
*****
LAPORAN MAJALAH TIME - 24 MEI 1999


Penyelidikan TIME ke dalam kekayaan keluarga Suharto dan anak- anaknya menemukan harta jarahan sebesar $ 15 milyar dalam bentuk uang tunai, properti, barang-barang seni, perhiasan dan pesawat- pesawat jet pribadi
Oleh: JOHN COLMEY dan DAVID LIEBHOLD Jakarta

PERUSAHAAN KELUARGA
Ketika tiba masa akhir Suharto, presiden Indonesia terlama, ia hanya nampak pasif. Sementara para mahasiwa dan massa rakyat yang marah turun ke jalan-jalan, dan disambut dengan tembakan dan gas air mata; jenderal berbintang lima itu mundur ke belakang sambil mencoba menata segala sesuatunya dengan baik. Ketika ia akhirnya turun tahun lalu, ia hanya berdiri menyingkir ke sebelah, sementara B.J Habibie mulai diambil sumpahnya. Setelah itu Suharto jarang kedengaran lagi.

Tetapi nyatanya Suharto jauh lebih sibuk dari yang disadari oleh banyak orang. Sesaat setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan, telah tercium adanya usaha-usaha untuk menyelamatkan harta pribadinya.  Di bulan Juli 1998, serangkaian laporan mengindikasikan bahwa uang dalam jumlah luar biasa yang berhubungan dengan Indonesia telah dipindahkan dari sebuah Bank di Switzerland ke Bank lain di Austria, yang dipertimbangkan sebagai tempat berlindung yang lebih aman untuk deposito-deposito rahasia. Pemindahan tersebut memperoleh perhatian dari kementerian keuangan Amerika, yang mengikutinya secara seksama, dan menggerakkan penyelidikan- penyelidikan diplomatik di Wina. 

Sekarang, sebagai bagian dari penelitian empat bulan yang meliputi 11 negara, TIME telah menemukan bahwa $ 9 milyar dari uang Soeharto dipindahkan dari Switzerland ke sebuah account Bank di Austria. Nilai yang tidak jelek untuk seseorang yang gaji kepresidenannya sebesar $ 1.764 per bulan. Jumlah milyaran ini hanyalah sebagian dari kekayaan Soeharto.

Meski pun krisis keuangan Asia telah memotong kerajaan keluarga secara signifikan, bekas presiden ini dan anak-anaknya masih menguasai kekayaan luar biasa. Kerajaan ini dibangun dalam waktu lebih dari tiga dekade yang mencakup perusahaan-perusaha an dari skala kecil hingga besar. Menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan majalah properti Indonesia, keluarga Soeharto baik yang dimiliki sendiri maupun melalui perusahaan-perusaha annya, mengontrol 3,6 juta hektar real estate di Indonesia, sebuah area yang lebih besar dari Belgia. Luas ini mencakup 100.000 meter persegi ruangan kantor di Jakarta dan hampir 40 persen dari luas seluruh propinsi Timor-Timur.

Di Indonesia, enam anak Soeharto memiliki saham dalam jumlah signifikan sekurang-kurangnya di 564 perusahaan, dan kekayaan luar negeri mereka mencakup ratusan perusahaan-perusaha an lainnya, tersebar dari Amerika ke Uzbekistan, Belanda, Nigeria dan Vanuatu. Keluarga Soeharto juga memiliki sejumlah besar hiasan-hiasan berharga. Selain itu, sebuah ranch untuk berburu seharga $ 4 juta di Selandia Baru and memiliki setengah dari kapal pesiar (yatch) seharga $ 4 juta yang ditambatkan di luar Darwin, Australia.

Hutomo Mandala Putra (nama kecilnya Tommy) putra terkecil, mempunyai 75 prsen saham di sebuah lapangan golf 18 lubang dengan 22 apartemen mewahnya di Ascot, Inggris. Bambang Trihatmojo, putra kedua Soeharto, memiliki sebuah penthouse seharga $ 8 juta di Singapura dan sebuah rumah besar seharga $ 12 juta di sebuah lingkungan eklusif di Los Angeles, letaknya dua rumah dari rumah bintang rock Rod Steward dan hanya beda satu jalan dari rumah saudaranya Sigit Harjoyudanto yang bernilai $ 9 juta.

Putri tertua, Siti Hardiyanti Rukmana, mungkin telah menjual Boeing 747-200 jumbo jetnya, tetapi armada kapal terbang keluarga Soeharto masih mencakup, sekurang-kurangnya sampai saat ini, sebuah DC-10, sebuah Boeing 737 biru  dan merah, sebuah Canadian Challenger 601 dan sebuah BAC-111. Yang terakhir pernah dipunyai oleh the Royal Squadron of Britain's Queen Elizabeth II, menurut Dudi Sudibyo, managing editor dari Angkasa, majalah terbitan Indonesia.

Setelah melakukan ratusan wawancara dengan teman-teman Soeharto, baik yang dahulu mau pun sekarang, pegawai pemerintah, kalangan bisnis, ahli-ahli hukum, akuntan-akuntan, bankir-bankir dan keluarga mereka, serta meneliti berlusin-lusin dokumen (termasuk catatan-catatan Bank tentang pinjaman luar negeri terbesar), para ko-responden TIME menemukan indikasi bahwa sekurang-kurangnya $ 73 milyar melewati tangan-tangan keluarga Soeharto antara tahun 1996 hingga tahun lalu. Sebagian besar berasal dari pertambangan, perkayuan, komoditi-komoditi dan industri-industri perminyakan.

Investasi-investasi buruk dan krisis keuangan di Indonesia telah menurunkan jumlah kekayaan tersebut. Tetapi bukti mengindikasikan bahwa Soeharto dan enam anaknya tetap memiliki kekayaan $ 15 miliar tunai, saham.saham, modal-modal perusahaan, real estate, perhiasan dan benda-benda seni -termasuk karya-karya Affandi dan Basoeki Abdullah dalam koleksi Siti Hediati Hariyadi, putri tengah yang dikenal sebagai "Titiek".

Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskala nasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun. Anak-anaknya, pada gilirannya, memfungsikan kedekatan dengan Presiden kedalam peranan calo (perantara) untuk pembelian dan penjualan dari produk-produk minyak, plastik, senjata, bagian-bagian pesawat terbang dan petrokimia yang dimiliki pemerintah. Mereka memegang monopoli  pada distribusi dan import komoditi-komoditi utama. Mereka mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah melalui kerjasama dengan bankir-bankir, yang seringkali takut untuk menanyakan pembayaran kembali.

Subarjo Joyosumarto, managing director Bank Indonesia menyatakan bahwa selama pemerin-tahan Soeharto, "ada sebuah situasi yang membuat sukar bagi Bank-Bank negara untuk menolak mereka.  

"Sekarang, dengan setengah penduduk dibawah garis kemiskinan sebagai
hasil dari krisis keuangan, tidak ada keraguan bahwa keluarga Soeharto menumbuhkan kekayaan diatas penderitaan rakyat. Seorang bekas kolega bisnis anak-anak Soeharto memperkirakan bahwa mereka tidak membayar pajak antara $ 2,5 milyar dan $ 10 milyar pada komisi  saja.  Sangat mungkin tidak ada perusahaan-perusahaan Soeharto telah membayar 10 persen dari kewajiban pajak yang sebenarnya," kataTeten Masduki, seorang anggota eksekutif Indonesian Corruption Watch, sebuah NGOs. "Dapatkah dibayangkan berapa besar pendapatan yang telah hilang?

"Kebanyakan orang Indonesia juga menyalahkan Suharto karena menciptakan iklim korupsi yang mempengaruhi seluruh perekonomian Indonesia. Bank Dunia memperkirakan bahwa sampai sebanyak 30% anggaran pembangunan di Indonesia selama dua dekade telah menguap karena korupsi yang meluas di lingkungan pegawai negeri dari atas sampai ke bawah. "Kalau anda tidak membayar suap, orang akan menganggap anda aneh", kata Edwin Soeryadjaya, Direktur perusahaan patungan telekomunikasi Indonesia-Amerika. "Sungguh sedih. Saya sampai tidak bisa bilang bahwa saya bangga menjadi orang Indonesia. Ini adalah satu dari negara paling korup di dunia". (*)

NB: Bahan tulisan ini didapat dari milis wartawanlingkungan. Masih banyak tulisan lanjutan, namun sangat panjang dan melelahkan yang membaca. Jadi cukup satu tulisan saja yang diposting. Mohon maklum.



Tuesday, January 15, 2008

15 Januari, 8 Tahun Lalu

HARI ini tanggal 15 Januari. Sebuah tanggal yang memiliki catatan mendalam dalam sejarah Indonesia era 70-an. Peristiwa 15 Januari atau Malari di Jakarta, saat terjadi demo menentang pemodal Jepang oleh mahasiswa. Demo itu berubah jadi huru-hara yang memorak-porandakan Jakarta. Jakarta terbakar. Dan tokoh-tokoh mahasiswa yang rajin demo saat itu, seperti Hariman Siregar pun harus masuk bui.
 
Diantara kumpulan wartawan yang bergaya saat lampu mati ini, tinggal 4 orang yang masih bertahan sampai sekarang.
15 Januari, 8 tahun lalu. Juga memiliki arti penting, bagi kami, para wartawan pelopor Harian Pagi Metro Bandung, yang sekarang memakai nama Tribun Jabar. Hari itulah, kami para calon wartawan berkumpul untuk pertama kalinya di kantor yang belum jadi di Jalan Malabar no 7, tetangga kantor sekarang.

Tertidur di depan komputer sering kami alami, karena kecapekan setelah meliput dan piket malam.
Hari itu, kami harus memutuskan, bergabung dengan media baru yang saat itu belum ketahuan namanya atau mengundurkan diri. Kami disodori surat pernyataan. Saya, sebagi newbie, newcomer, langsung teken-teken saja, tidak banyak pikir. Saya lupa lagi, ada berapa banyak saat itu calon wartawan yang hadir. Rasanya lebih dari 20 orang. Ada beberapa orang yang mengundurkan diri, begitu tahu syarat dalam surat pernyataan. Atau karena tidak sesuai gajinya.

Yang saya tahu, ada beberapa teman satu kampus yang hadir: Bang Kander, Irna, lalu belakangan saya lihat juga Robby Sanjaya. Saat itu, belum ada perkenalan. Baru esoknya, perjuangan pun dimulai. Kami memulai pelatihan sebagai calon wartawan sebuah koran yang belum ada wujud dan namanya. Namanya baru diketahui, saat bulan Februari, menjelang hari-hati terbit perdana. Dan 23 Februari, terbitlah koran Metro Bandung, koran nonstop pertama di Kota Bandung. Sampai kini, saya masih berlabuh di perahu ini. (*)

Soeharto dan Paman Gober

HARI-hari terakhir ini, sajian rata-rata media massa, itu-itu juga. Semua terfokus pada berita perkembangan kesehatan Soeharto, mantan presiden RI. Beritanya, kalau tidak gawat, ya kondisi Soeharto membaik. Itu terus berulang-ulang. Pagi sehat, sore kritis, malam gawat, subuh tenang, pagi kritis, siang bisa tidur, sore gawat lagi, malam membaik, pagi tenang.

Semua media massa, tak terkecuali mengikuti arus ini. Tidak ada satupun media yang tidak memantau perkembangan Sang Jenderal Besar ini. Sampai-sampai, reporter koran dan televisi bertahan di RSPP siang malam, hanya untuk mengetahui kondisi Soeharto. Hal sekecil apapun diberitakan. Orang menaruh karangan bunga pun jadi berita. Walah, apa Indonesia itu cuma Soeharto?

Saya sendiri tak terlalu peduli dengan berita Soeharto, saking eneknya. Cuma sesekali ikut ngobrol-ngobrol di rumah atau di kantor, pembicaraan tentang Soeharto. Semuanya membicarakan soal kekuatan Soeharto yang naik turun. Konon, kata orang-orang, Soeharto punya ilmu sehingga tidak mati-mati. Bahkan Bapak saya pun tadi pagi bilang, ini yang hidup sudah bukan Soeharto lagi, tapi ilmunya itu. "Kalau mau cepat mati, ya mesti dicabut dulu ilmunya itu, Pake daun kelor saja dibacakan Bismillah, biasa gak lama mati itu. Kasihan itu lama-lama kayak gitu," kata bapak dengan logat Jawa yang kental.

Di kantor lain lagi ceritanya, walau masih satu suara. Teman saya bilang, Soeharto itu punya jimat yang ditanam di punduk (belakang leher). Jimat itu semacam wesi kuning, keris kecil dari besi kuning gemerlap. Informasi ini, kata teman saya itu, didapat dari ustad yang pernah beberapa pengajian di rumah Soeharto di Cendana. "Katanya begitu, wesi kuning itu harus dicabut dulu, baru Soeharto bisa meninggal," kata teman saya itu.

Weleh-weleh, apa kata dunia? Saya hanya meyakini, setiap makhluk pasti akan merasakan mati. Apapun itu, siapapun dia, pasti akan menemui ajalnya. Kapanpun dimanapun.

Nah, kaitan Soeharto dengan Paman Gober, itu memang tidak langsung. Ini cerita saat penyerahan award Federasi Teater Indonesia, di Teater Studio, TIM Jakarta, Rabu (9/1). Selain sastrawan Putu Wijaya yang tampil luar biasa dengan monolognya, tampil juga Sang Presiden BBM, Si Butet Yogya, yang tampil membacakan cerita pendek (cerpen), juga luar biasa dan membuat gelak tawa.

"Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah," begitu Butet Kertaradjasa alias Si Butet Yogya tadi, membuka cerita.

Ratusan pengunjung tak sabar menunggu lanjutan cerita tersebut. Namun, umumnya, pengunjung sudah bisa menduga-duga siapa Paman Gober dan jalan cerita pendek yang ditulis Seno Gumira Ajidarma tahun 1994 itu.

Butet, yang dikenal sebagai seniman paling "rasional", membawakannya dengan cukup menghibur dan kocak. Apalagi ketika Paman Gober bicara, intonasi dan warna suara tokoh yang mirip dengan cerita imajinasi itu ia tirukan dengan sempurna. Penonton tergelak.

"Mestinya, bebek seumur saya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Ma(ng)kanya, ketika saya diminta menjadi Ketua Perkumpulan Unggas Kaya, saya merasa-kan kegetiran dalam hati saya, sampai berapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada bebek lain yang mampu menjadi ketua?"

Lalu Butet melanjutkan pembacaan, nada suara yang lain. "Kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, Pergulatan Batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan waj-ib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mengisahkan Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayur-an yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan."

Lagi-lagi gelak tawa penonton membahana di ruangan yang berkapasitas sekitar 250 orang itu. Cerita Kematian Paman Gober karangan Seno Gumira Ajidarma tahun 1994 itu dinilai Butet sangat pas dengan kondisi minggu-minggu ini. Adakah yang dimaksud Paman Gober oleh Butet itu Soeharto, ya tinggal Anda menilai sendiri. (*)

Sunday, January 13, 2008

1 Sura di Cireundeu

TAHUN Baru Islam bertepatan dengan 1 Muharam. Dalam tradisi Jawa, 1 Muharam dinamakan 1 Sura. Atau bahasa lisannya 1 Suro. Jika Islam menggunakan Hijriyah, maka tradisi Jawa menggunakan Saka sebagai tahun. Maka tahun 2008 ini bertepatan dengan 1429 Hijriyah dan 1941 Saka.

Persamaan antara Tahun Hijriyah dan Saka adalah sama-sama penanggalan Lunar atau memakai patokan peredaran bulan. Selain itu, patokan lainnya adalah 1 Muharam dalam Hijriyah. Tahun Saka Jawa resmi dipakai sejak zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram, menggantikan Saka Hindu.

Nah, Tahun baru Saka 1 Sura pun diperingati warga Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Cireundeu adalah kampung di balik TPA Leuwigajah. Sebuah kampung biasa, yang lalu berubah menjadi kampung adat, karena sebagian besar warganya memegang teguh ajaran
Agama Jawa Sunda yang dibawa Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan.

Selain itu, ciri unik warga Cireundeu adalah makanan pokoknya yang berupa singkong. Konon sejak 1924, mereka tidak pernah lagi memakan nasi beras. Tapi memakan nasi singkong.

1 Sura bagi warga Cireundeu, ibarat Lebaran. Sebelum tahun 2000-an, mereka selalu mengenakan pakaian baru. Namun beberapa tahun terakhir ini, adat mereka dilembagakan. Saat upacara adat, kaum lelaki mengenakan pakaian pangsi warna hitam, sementara kaum perempuan mengenakan kebaya atau pakaian warna putih.

Gunungan sesajen, berupa buah-buahan dan nasi singkong, tersaji di tengah reriungan warga di Balai Adat. Warga terpekur mendengarkan wejangan dari sesepuh Kampung Cireundeu, Abah Emen Sunarya. Tahun 2000-an, beberapa kali saya mewawancarai Abah Emen. Terkait adat istiadat Cireundeu, juga soal sampah di TPA Leuwigajah yang jelas mengganggu aktivitas warga. Itu jauh sebelum terjadi longsor sampah yang menewaskan seratus lebih warga sekitar TPA.

Kini keberadaan Kampung Cireundeu semakin terangkat sebagai sebuah kampung adat. Tak heran, setiap 1 Sura, kampung ini menjadi tujuan sejumlah peneliti untuk mengetahui ritual-ritual saat tahun baru. Saya pikir, kampung ini pun menjadi aset wisata untuk Kota Cimahi, yang jelas-jelas kering dengan daerah tujuan wisata. (*)

Thursday, January 10, 2008

Musikalisasi Puisi Sapardi Djoko Damono

Akulah si Telaga
Berlayarlah di atasnya
Berlayarlah menyibakkan riak riak kecil yang menggerakkan bunga bunga padma
Berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
Sesampai di seberang sana tinggalkan begitu saja.... perahumu
Biar aku yang menjaganya...

*****
BELAKANGAN ini saya suka mendengarkan musikalisasi puisi milik Sapardi Djoko Damono. Lewat speaker komputer di kantor, saya menikmati betul puisi Sapardi yang sederhana, romantis, dan menyentuh itu, yang dibawakan duo Ari dan Reda.

Kekuatan Sapardi memang terletak pada pilihan kata-kata yang sederhana, tapi bermakna dalam. Kok jadi kayak kritikus gini? Tapi sesungguhnya yang penting bagi saya, puisi yang diiringi musik ini enak terdengar di telinga. Harmonisasinya luar biasa.

Puisi Sapardi yang paling beken, tentu Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin. Tapi saya paling suka dengan puisi "Pada Suatu Hari Nanti". Bagi saya, puisi ini bernuansa gothic. Hitam, gelap. Berbicara tentang kematian, tapi dengan kelindan kata yang berbeda. Tak menunjukkan ketakutan terhadap maut. Nuansa gothic, sangat terasa saat puisi ini dimusikalisasikan. Ada backing vokal yang terasa seperti koor, menggema dan menggiriskan hati.
Coba simak puisinya:

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari

Puisi lain yang juga saya suka adalah "Akulah Si Telaga". Syairnya seperti tertulis di awal tulisan. Puisi Sapardi dekat dengan alam. Selain hujan dan gerimis, telaga, lalu bunga, burung, selembar daun, bintang, dan sebagainya. Hal yang sama saya kagumi dan sukai pula pada lagu-lagu Abah Iwan Abdurrahman. Tentang Abah Iwan, nanti saya tulis tersendiri.

Jangan lupakan juga lagu beken lainnya: Hati Selembar Daun, Buat Ning, Dalam Bis, Kuhentikan Hujan, Metamorfosis, Ketika Jari-jari Bunga Terbuka, dan Nokturno.

Sejujurnya, saat awal-awal kuliah dulu di Fakultas Sastra, saya tidak terlalu menyukai puisi. Namun hal itu berubah, ketika teman-teman Gelanggang Sastra Indonesia memusikalisasikan puisi-puisi Goenawan Muhammad (GM).

Baru saya ngeh, puisi memiliki kekuatan yang luar biasa. Dan ternyata enak didengar saat diiringi musik. Saya masih ingat, yang membuat musik untuk puisi GM adalah senior saya, Defri Maulana. Dia pentolah Padhyangan, kelompok parodi di Bandung. Berkat musikalisasi puisi pula, saya dan teman-teman bisa melancong ke UGM Yogyakarta. Konser di sana. Tapi bukan saya yang main, teman-teman saya itu. Saya sih penonton yang baik dan penyedia segala keperluan mereka. He he..
NB: Ada permintaan, agar lagu-lagu Sapardi yang dibawakan Ari-Reda ini bisa diunduh. Klik saja di masing-masing judul lagu di dalam tulisan di atas. Insya Allah, bisa didownload dan bisa dinikmati para penggemar lagu Sapardi. (*)

Tahun 2008: 3 Kali Tahun Hijriah

SELAMAT Tahun Baru 1429 Hijriah. Semoga kaum muslimin tak melupakan 1 Muharam ini sebagai tahun permulaan. Semoga pula tahun baru ini membawa semangat perubahan radikal dalam setiap sisi kehidupan kita. Jika tahun lalu, salat masih banyak bolongnya, mudah-mudahan tahun ini sudah terpenuhi semua plus salat sunatnya. Jikalau tahun lalu, puasa sunat jarang, yok kita mulai lagi puasa sunat. Senin-Kamis, dawud, pertengahan bulan 13,14, dan 15, dan sebagainya. Kalau tahun lalu kita jarang bersedekah, agak kikir bin pelit memberikan sebagian rezeki, yuk sekarang kita mulai untuk mengikhlaskan harga kita bagi kaum duafa.

Tahun 1429 Hijriyah ini bertepatan dengan Tahun 2008 Masehi. Ada yang unik dari tahun ini. Ternyata di satu tahun Masehi, kaum muslimin mengalami 3 kali tahun Hijriyah. Pertama, 10 hari lepas dari Januari adalah masih Tahun 1428 H. Lalu 10 Januari, kita masuk ke Tahun Baru 1429 Hijriyah. Coba tengok lagi kalender. Kapan Tahun Baru 1430 Hijriyah? Ternyata tanggal 29 Desember 2008. Berarti, kita memang mengalami tiga tahun Hijriyah di tahun 2008 Masehi ini.

Apa yang harus diperbuat saat Tahun Baru ini? Tentu kita harus mengenang kembali perjuangan Rasulullah Muhammad SAW. Beliaulah khatamannabiyyin, nabi penutup, bagi seluruh alam semesta yang membawa napas Islam untuk seluruh umat manusia. Tak cuma mengenang, yang paling penting adalah melanjutkan perjuangan Rasululllah.

Mengapa begitu? Karena kita tidak ingin menjadi buih di lautan, terapung dan terombang-ambing tak tentu arah. Sementara tujuan sudah dipancang sejak 14 abad lebih yang lalu.  
Kita lebih memilih menjadi orang aneh, orang asing, yang berbeda dari kebanyakan orang saat ini.  

Abd Allâh ibn Mas‘ûd meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: Islam muncul sebagai sesuatu yang dirasa asing, dan ia akan kembali dirasa asing seperti awal kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang dirasa asing. Al-Awzâ‘î berkata, “Itu tidak berarti Islam akan punah, tetapi itu berarti Ahlusunah akan kian menghilang hingga di sebuah negeri tersisa seorang saja yang menganutnya.” Beruntunglah, mereka yang dianggap asing, karena teguh memegang tali agama Allah SWT. Tak akan pernah sia-sia segala perbuatan mereka. (*)



Wednesday, January 09, 2008

Jadilah Telinga!

"...Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah putra putri dari kehidupan
yang merindukan dirinya sendiri,
Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.

Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu,
Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.

Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu".

Begitu ungkapan Khalil Gibran yang paling sering dikutip.
*****

Jadilah Kuping! Ini pernyataan ungkapan yang menyentil saya, dan mungkin, juga orangtua yang lain. Sebagai o-rangtua, selama ini, sadar atau tidak sadar, kita lebih banyak menjadi mulut atau bibir, saat berhadapan dengan anak-anak kita.

Coba bayangkan sebentar, benar tidak kita seperti itu? Bukankah nyaris setiap hari, mulut kita berbusa menasehati anak-anak. Terlebih kalau anak kita lagi meujeuhna oces. Motekar, kreatif. Pasti saja, ada yang membuat mulut gatal memberi omongan pada tingkah anak kita.

Padahal, menjadi orangtua seharusnya membuat diri kita semakin dewasa, bijak, dan berhati-hati. Mengapa begitu? Karena orangtua sudah melalui fase-fase kehidupan rada njelimet ketika harus "berjibaku" menyatukan dua jiwa, dua sifat, dua keinginan, dan
dua lainnya, dalam satu raga, keluarga. Perjalanan menyatukan dua jiwa itulah yang menjadi proses pendewasaan orangtua.

Kehadiran anak-anak tentu akan semakin membuat kita bijak dalam bersikap dan berhati-hati dalam bertindak. Mengapa demikian? Anak adalah cerminan dari orangtua. Sikap anak merupakan pantulan dari sikap orangtua. Anak memiliki sifat A, begitu pulalah orangtunya, kira-kira tidak jauh beda.

Dunia anak adalah dunia yang berbeda dengan orang dewasa. Saya yakin, kebanyakan orangtua memahami anak dengan kacamata orang dewasa. Kacamata yang kegedean untuk seorang bocah. Dan tentu tidak akan pas. Akhirnya, yang terjadi adalah pemaksaan dan
kungkungan terhadap jiwa si anak.

Ada dua kemungkinan yang terjadi pada mental dan sikap anak, jika ia mengalami paksaan dan kekangan: Menjadi Pemberontak atau Kuper sekalian dengan menyimpan api dalam sekam. Dua-duanya berbahaya.

Salah satu jalan menghindari hal itu adalah dengan menjadi kuping. Dengarkan apa yang menjadi keinginan anak, dengarkan isi hati mereka, cita-cita mereka, impian mereka. Dari situ, kita akan tahu bahwa dunia anak memang berbeda dengan orang dewasa.

Mereka punya hasrat tersendiri. Mungkin dari situ, kita bisa menentukan jalan terbaik, solusi, dari segala luapan energi anak kita. Tapi menjadi kuping bukanlah perkara mudah. Karena kita sudah lama terbiasa menjadi mulut atau bibir. Perintah ini, perintah itu, omong sana omong sini. Kalaupun belum mampu jadi kuping, setidaknya belajarlah menjadi kuping. (*)

Tuesday, January 08, 2008

Kaka Sudah Sembuh

KAKA Bila sudah bisa oces lagi. Ini pertanda, indikator Kaka sudah sembuh dari sakit demamnya selama seminggu penuh. Hasil cek darah di Lab Prodia menunjukkan darah Kaka normal. Trombosit oke, Leukosit cukup. Cuma kadar Hemoglobin yang rendah, persis seperti saya. Jadi intinya, kekhawatiran terkena DBD tidak terbukti.

Kalau begitu, Kaka sakit apa? Entahlah. Dokter juga tidak bisa memastikan. Saya sendiri curiga, bisa jadi itu gejala penyakit tipus. Soalnya demam berkepanjangan, di atas 39 derajat. Saat siang, suhu badan turun, saat malam naik lagi. Mungkin.

Sekarang teriakan Kaka terdengar kencang. Marah pun sudah bisa. Tertawa apalagi. Malahan tadi pagi, Kaka minta diperbolehkan naik sepeda. Tapi saya larang untuk sementara. "Besok saja oke? Kalau Kaka hari ini bisa makan 3 kali, terus obatnya habis semua. Besok boleh naik sepeda," kata saya.

Dia sempat merengut dan meminta "pertolongan" dari Bu Eri. Tapi jawabannya sama saja. "Besok yah, ibu kan libur. Kita main," kata Bu Eri.

Syukurlah, satu persatu orang-orang di rumah yang sakit, beranjak sembuh. Mbah Uti pun pagi tadi sudah "maksa" pergi belanja ke Pasar Baros. Padahal sudah diwanti-wanti jangan dulu pergi ke pasar. Nanti saja bulan depan. Tapi Mbah Uti "gatal" ingin belanja, aktivitas keseharian yang dilakoni Mbah Uti puluhan tahun. Tidak ke pasar dan bertemu para pedagang Cs-nya itu, seperti ada yang hilang.

Kini tinggal batuk-batuk saja terdengar di tengah rumah. Wajarlah, karena musim seperti ini penyakit batuk pilek gampang menyerang. Asal jangan penyakit berat saja. (*)

Monday, January 07, 2008

Tribun Jabar Online

SEJAK Kamis, 3 Januari 2008, kemarin, Harian Pagi Tribun Jabar, surat kabar di bawah payung Persda Network Kelompok Kompas Gramedia, meluncurkan situs online dan real time pertama di Jawa Barat. Alamat situsnya www.tribunjabar-online.com.

Situs ini mengup-date terus berita terkini di Kota Bandung dan sekitarnya, serta wilayah Jawa Barat lainnya, seperti Priangan dan Pantura, langsung dari lapangan. Juga ditambah berita-berita baru dari Jakarta yang dipasok teman-teman Persda Network.

Selama ini, situs-situs yang dimiliki surat kabar di Jabar hanya sekadar memajang berita hari sebelumnya yang sudah dicetak dan terbit. Karena itu, Tribun Jabar melangkah lebih maju dan ingin tampil beda dengan yang lainnya.

Ada kecenderungan, dalam beberapa tahun ke depan, situs koran semacam ini yang akan dicari. Tak hanya menyajikan berita "basi", tapi juga memanjakan pembaca dengan berita paling gres. Bukan bermaksud jadi portal berita, semisal detikcom atau okezone, tapi menawarkan nilai lebih pada pembaca koran yang akrab dengan internet.

Memang situs tribunjabar-online ini belum sempurna, butuh perbaikan di sana sini. Lagi pula, situs ini bukanlah situs Tribun Jabar yang sebenarnya. Ini situs percobaan. Karena situs yang "the real website", masih dalam proses desain. Jadi ini langkah ajaib untuk mendahului kompetitor di Jawa Barat. Apalagi, kabar burung terhembus, detikcom bakal memunculkan detikcom Bandung. Lalu koran lokal lain juga akan berlaku serupa.

Tanpa kerja keras teman-teman Redaksi dan IT, situs ini tidak akan pernah ada. Di tengah keterbatasan sarana dan personel, teman-teman berjibaku membangun situs ini. Hasilnya ya seperti saat ini. Mohon masukan, saran, dan kritik, atas situs ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua. (*)

About Mac

BANYAK orang yang bertanya, kenapa nama blog ini Mac? Lalu mengapa saya dipanggil Mac? Dan ada juga teman yang menduga blog ini merupakan blog Komputer Mac alias Macintosh. Sehingga saya sering ditanya seputar Macintosh. Yang saya sendiri tidak pernah tahu, seperti apa komputer Apple Macintosh itu.

Sangat panjang kalau cerita nama Mac. Hal itu sudah saya tuangkan dalam blog ini. Tepatnya, tulisan ketiga di blog ini. Tapi singkatnya begini. Mac adalah nama panggilan saya saat di SMA, dulu tahun 90-an. Terbawa ke bangku kuliah sampai sekarang.

Nama itu seakan mendapat pengesahan saat bekerja di Harian Pagi Metro Bandung, cikal bakal Tribun Jabar. Kode berita saya adalah mac. Tak heran, beberapa nama teman yang nge-link ke blog saya adalah para penggemar IT atau komputer mania. Tapi tak apa. Toh bertambah teman, sangat menyenangkan. Ketimbang bertambah musuh, menyusahkan. (*)

Saturday, January 05, 2008

Motor Tangguh Nyaris Keliling Dunia

TAK terasa, saya sudah memakai motor Honda Supra X selama 5 tahun. Motor ini motor cicilan. Sudah 2 tahun lalu lunas. Dibeli tak lama setelah menikah. Bahkan uang mukanya pun sebagian dari hasil amplop para undangan.

Waktu itu, saya dan Bu Eri berpikiran, kalau punya motor sendiri, akan lebih menghemat ongkos. Maklum, sebagai pengantin baru yang tinggal di Pondok Mertua Indah, karena gak sanggup ngontrak apalagi beli rumah sendiri, tentu harus dipikirkan soal ongkos ini.

Ini setelan saya kalau berangkat naik motor. Jaket kulit, pakai syal hitam, helm merah. sarung tangan hitam. Menggendong ransel hitam.
Sebelum menikah, saya bekerja pakai motor inventaris dari kantor. Itu didapat setelah setahun bekerja. Dan lama pemakaian pun kurang dari satu tahun, karena sudah ditarik kantor dan dipakai teman yang lain.

Setelah menikah, tentu ongkos pun harus dobel. Dan sepertinya lebih irit memakai motor. Tinggal saya saja yang harus jadi tukang ojek dulu mengantar Bu Eri ke tempat liputan. Lalu malamnya menjemput, pulang bareng-bareng.

19.000 kilmeter lagi, motor ini sudah keliling dunia
Nah, motor Honda Supra X bernomor polisi D 3792 TB ini didapat dari dealer di daerah Kopo. Kebetulan yang jadi salesnya teman. Jadi gak terlalu sulit untuk kredit. Padahal, konon, katanya dealer selalu menghindari memberi kredit pada orang yang memiliki pekerjaan sebagai pengacara, atau tentara, dan atau wartawan.

Takut saat kredit macet, tidak bisa menagih. Lawan pengacara, siapa berani. Apalagi tentara. Belum lagi wartawan, bisa-bisa terus ditagih, malah dimasukkan koran. Barangkali itu juga...
Lima tahun sudah berlalu, motor itu tetap awet dan tangguh. Pencatat kilometer motor itu menunjukkan angka 61.374,4 km. Kalau dihitung-hitung, itu sama dengan enam kali menyusuri jarak Sabang sampai Merauke. Atau hampir 3/4 jarak keliling dunia, yang 80 ribu km itu. Wuih, jauh banget...

Motor ini sudah jatuh bangun di berbagai tempat. Baru sebulan dipakai, motor ini sudah masuk bengkel karena pijakan gigi bengkok. Ceritanya, saya meliput kejadian longsor di daerah Rongga, Gunung Halu sebelah sana. Itu daerah tempat jin buang anak. Jauh banget, padahal masih di Kabupaten Bandung, tapi ujung paling barat daya.

Saat mau ke lokasi, saya bertemu Pak Kades. Saya lupa namanya. Dia mau ke sana juga dan membonceng. Karena namanya juga daerah kampung nun jauh di mata, belum tersentuh pembangunan, jalan pun masih berbatu-batu besar. Suatu ketika, bagian mesin motor menghantam keras batu yang menonjol, dan ternyata besi pijakan gigi dan rem, bengkok.

Pernah juga saya terjatuh di perempatan Jalan Braga, saat hujan deras, menghindari tabrakan dengan mobil Kijang. Sempat juga melanglang ke Garut, Cianjur, Ciater Subang, Gunung Tangkuban Perahu. Untungnya saya selalu menyervis motor ini setiap bulan.  Pokoknya, ini motor punya sejuta kenangan. (*)

Wednesday, January 02, 2008

Musim Banjir, Musim Penyakit

CUACA seolah tak ramah saat memasuki tahun 2008 ini. Matahari jarang menampakkan diri, sesering bulan lalu. Pagi selalu disambut kabut tebal. Lalu gerimis tipis pun membuyarkan sang kabut. Siang sedikit, gerimis berubah semakin deras. Hujan pun lebat mengguyur bumi. Tak selesai di siang hari. Malam pun disapa sang hujan. Menembus kedalaman akar-akar. Dingin menusuk tulang. Angin pun bertiup kencang.
*****

BEGITULAH kondisi Bandung dan sekitarnya. Hujan terus-menerus menyiram bumi. Banjir cileuncang bukan lagi berita. Tapi keseharian yang harus dilalui.  Di mana-mana memang terjadi banjir. Bojonegoro, Kudus, Ngawi, juga Jakarta. Tak ketinggalan daerah langganan banjir di Bandung Selatan, Baleendah dan sekitarnya.

Cuaca begitu lembab. Ini musim penyakit. Virus dan bakteri paling suka hidup di tempat yang lembab. Tengok saja jemuran pakaian. Tak pernah bisa kering sekali jemur. Harus berhari-hari, supaya betul-betul kering. Selama menunggu kering, tentu pakaian itu lembab. Tak enak baunya.

Virus dan bakteri pula yang kini menyerang keluarga saya. Sejak tiga hari sebelum tahun baru, Kaka diterjang demam hebat. Kemarin sempat reda dan menunjukkan tanda-tanda mau sembuh. Tapi hari ini, Kaka demam lagi. Tadi Bu Eri mengantar ke dokter. Besok harus ke lab untuk cek darah. Takut DBD, kata dokter.

Sebelum Kaka, adik yang lebih dulu sakit. Dia juga panas. Untung dengan obat dari Bidan, Adik langsung sembuh. Menyusul Kaka adalah Mbah Uti. Kondisi memang belum sembuh benar pascaoperasi pengangkatan IUD. Sekarang lagi batuk berat.

Tak terkecuali Bu Eri dan saya. Minimal kemarin-kemarin sempat diterjang demam ringan dan batuk. Waktu tahu gejala flu, saya hajar saja dengan obat flu lebih dulu. Juga obat batuk saya tenggak. Kalau tenggorokan tetap terasa gatal, saya alirkan ke tenggorokan air hangat --sedikit panas malah. Rasa gatal yang menggelitik langsung langsung. Sementara Bu Eri masih merasa pusing. Badan lemes. Mungkin kurang tidur waktu menjaga Kaka yang sering nangis dan mengigau saat sakit tempo hari. Sekarang, Fathan, anak Mas Rohman, juga lagi demam tinggi. Mungkin karena main terus dengan Kaka, jadi tertular.

Sehat itu memang mahal. Kalau sudah sakit, baru kita ingat minum vitamin atau makan yang benar. Pola kerja yang "aneh" membuat jadwal makan pun tak karuan. Seingatnya. Rencana mau olahraga, minimal jalan pagi, pun tinggal rencana. Semua kecapean, sehingga lebih menikmati meringkuk di tempat tidur ketimbang jalan pagi. Mudah-mudahan saja Kaka tidak kena DBD. Dan semua orang yang sedang sakit diberi kesembuhan. (*)

Tuesday, January 01, 2008

Taon Baroe: Hoejan sama Kembang Api

WADOEH, malam taon baroe kali ni saya mesti kedinginan akibat hoejan. Poelang ke roe-mah seoesai gawe beres, pas sebeloem tengah malam ganti taon. Di loear terdengar soe-ara-soeara itoe teroempet diboenyikan sama orang. Mereka keliling kota, pake sepedah atawa mobil, gimana poenyanya kendaraan.


Alun-alun Kota Bandung dipadati ribuan warga saat malam pergantian Tahun Baru 2008.
Karena hoejan rintik sudah reda, saya poetoeskan oentoek menerobos itoe keramaian. Tak dikira, Jalan Asia Afrika ditoetoep. Semoea kendaraan dibelokkan ke Jalan Lem-bong noejoe Ciateoel. Atawa bisa belok kanan ke Jalan Dalem Kaoem. Saya ambil jalan kanan. Hitoengannya, dari Dalem Kaoem, saya mo belok ke Jalan Pasoendan. Laloe tero-bos ke Gardoedjati temboes ke Pagarsih. Dari sito gampang saja, tinggal ke Soedir-man, laloe loeroes teroes ke Cimahi.

Tapi rencana tinggal rencana. Dalem Kaoem yang dekat dengan kawasan Aloen-aloen Ban-doeng, dipadati reboean manusa. Orang-orang semoea maoenya koempoel di pelataran Mas-jid Agoeng. Roepa-roepanya, di sana ada pesta kembang api. Ditembakkan dari atas ge-doeng BRI dan Palagoena. Itu ledakan kembang api, keras nian. Dan memang indah. Di langit yang gelap, terlihat hiasan warna-warni dari itoe kembang api yang meledak.

Macetlah soedah jalanan. Semoea orang bergembira, sambil menioep itoe teroempet. Tak lama, hoejan pun toeroen. Moela-moela rintik, gerimis. Lama kelamaan, hoejan deras. Saya menyesal tak pake itoe mantel hoejan sejak dari kantor. Koeyoep soedah jaket dan celana saya.

Pagi baru 1 Januari 2008
Oentoeng, coema setengah jam tertahan macet di Aloen-aloen. Setelah terobos sana terobos sini, saya bisa joega keloear dari Aloen-aloen. Lalu melajoe teroes ke arah Ciroyom. Berhenti sebentar oentoek memake itoe mantel hoejan. Loemayan, daripada
tidak pakai. Soealnya hoejan kian deras. Saya tancap gas saja teroes poelang ke roemah. Sesampenya di roema, ternyata istri saya joega baroe sampai di roema. Boe Eri baroe poelang melipoet acara itu taon baroe di Cimahi. Sama-sama koeyoep. (*)