Wednesday, July 22, 2009

Aku Mengebom Maka Aku Ada

UNGKAPAN paling terkenal dari filsuf abad pertengahan Rene Descartes adalah cogito ergo sum yang berarti aku berpikir maka aku ada. Dalam konteks keindonesiaan dan situasi global kini, ungkapan itu bisa diplesetkan menjadi aku membom maka aku ada.
Itulah yang mungkin menjadi adagium kaum teroris. Mereka memang ingin menunjukkan keberadaan mereka dengan teror-teror ciptaan mereka, termasuk bom di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton, akhir pekan kemarin.

Jika selama ini tokoh teroris yang paling diburu di Indonesia adalah Noordin M Top, maka peledakan bom terakhir itu merupakan jawaban atas keberadaan Noordin. Dia ingin memperlihatkan pada aparat keamanan, walau dikejar ke pelosok, gunung, dan lembah, Noordin masih mampu beraksi. Sekaligus, bom itu adalah olok-olok atau alat untuk mengejek ketidakmampuan aparat menangkap Noordin M Top dan kawan-kawan.


Menciptakan teror dan ketakutan adalah tujuan utama teroris. Pemboman hanyalah salah satu bentuknya. Masih banyak cara lain untuk meneror, seperti penculikan, penyanderaan, perampokan, dan sebagainya. Namun bagi kelompok teroris lama ini, cara menciptakan ketakutan paling efektif adalah dengan meledakkan bom di sejumlah tempat strategis. Karena teroris di Indonesia adalah kaum yang kontra-Barat, maka tempat-tempat yang dibom pun merupakan simbol-simbol Barat.

Lihat saja jejak rangkaian kasus bom besar yang terkait dengan kelompok Azahari dan Noordin M Top di Indonesia sejak tahun 2000, semuanya terkait dengan simbol-simbol itu. Mulai gereja, gedung Bursa Efek Jakarta, gedung Kedutaaan Australia, Kafe Jimbaran dan Paddy's Cafe di Bali yang merupakan magnet bagi kaum bule penikmat dugem. Juga bom di Hotel JW Marriot I.

Efeknya sudah sangat jelas: Indonesia menjadi negara yang paling dihindari untuk dikunjungi karena menjadi sarang teroris dengan sasaran utama orang bule.
Khusus untuk ledakan bom paling anyar di Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton, komplotan teror ini betul-betul jitu membaca serta memanfaatkan situasi dan kondisi.

Indonesia baru saja usai menjalankan pesta demokrasi dengan hasil yang sudah diketahui bersama-sama. Namun pesta usai, bukan berarti semua pihak legawa menerima hasil pemilihan. Masih banyak pihak-pihak yang menggugat keabsahan pemilu.

Di sisi lain, aparat pun masih fokus pada pengamanan pemilu. Kemudian fokus sedikit beralih pada penegakan hukum di Papua yang kembali bergolak. Momen inilah yang digunakan teroris untuk beraksi. Seolah-olah, mereka memainkan pula isu politik, sehingga menebar saling curiga dan saling tuding, di antara kelompok penguasa dan lawannya.

Harus kita akui, kemampuan membangun jaringan para pelaku terorisme ini sangat baik. Mereka pun mampu membangunkan kembali sel-sel lama yang terkait dengan jaringan teroris. Dan yang lebih penting lagi, pelaku terorisme ini selalu saja berada satu langkah di depan aparat. Digerebek aparat, mereka sudah meninggalkan tempat persembunyian. Aparat mewaspadai cara-cara pengeboman klasik, mereka pakai metode baru.

Yang bisa kita lakukan adalah mengetuk hati nurani kaum teroris ini. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah kejahatan melawan kemanusiaan. Korban-korban yang jatuh adalah saudara mereka sendiri. Dan tindakan mereka, sesungguhnya adalah tindakan pengecut.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 21 Juli 2009.

Menikmati Pensiun

SEHARUSNYA masa pensiun merupakan masa istirahat, masa tenang, masa menikmati hasil kerja keras puluhan tahun. Menimang cucu, menghabiskan waktu dengan keluarga --hal yang dulu terampas saat jadwal padat mencekik--, mempersiapkan diri untuk menikmati sisa-sisa umur dan beribadah dengan tekun. Begitu gambaran ideal bagi seseorang yang memasuki masa pensiun.

Namun coba perhatikan hal sebaliknya terjadi pada sejumlah mantan pejabat negara, baik di pusat maupun daerah, baik sipil maupun militer. Contoh terdekat adalah mantan Gubernur Jabar Danny Setiawan. Setelah gagal menduduki kembali kursi Jabar Satu, Danny tak bisa hidup dengan tenang. Ia harus meringkuk di sel tahanan, karena terlibat kasus korupsi pengadaan alat berat. Danny pun mengembalikan sejumlah uang, nilainya miliaran rupiah, yang diduga bagian dari korupsi kepada negara melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Bola panas kasus ini juga tak hanya menimpa Danny. Dua mantan bawahannya, Wahyu Kurnia dan Ijudin Budhyana pun harus merasakan sel yang sama dengan mantan bosnya. Hukuman yang dijatuhkan pun sama: empat tahun penjara.

Lalu ada pun kasus korupsi dana pungutan di KBRI Cina. Ini melibatkan mantan Duta Besar Letjen (Purn) Kuntara. Tak tanggung-tanggung, Kuntara terancam hukuman penjara seumur hidup. Padahal sebagai mantan jenderal, mantan Pangkostrad, dia bisa menikmati masa pensiun dengan tenang. Bukan menghabiskannya di dalam tahanan. Begitu pula nasib mantan Kapolri Roesdihardjo yang juga harus meringkuk di tahanan, gara-gara kasus dugaan korupsi.

Jika melihat kondisi seperti ini, bakti mereka berpuluh-puluh tahun kepada negara tak berbekas sedikitpun. Nila setitik rusak susu sebelanga, begitu pepatah mengajarkan. Amal yang sedemikian lama dan banyak dikerjakan, tak mampu menghapus satu kesalahan besar yang dilakukan, justru di penghujung pengabdian.

Memang tidak ada gading yang tak retak. Artinya, semua gading pasti retak. Bisa jadi mereka terbawa suasana di dalam kekuasaan, hingga lengah, tak bisa meluruskan hal yang selama ini dianggap bengkok. Dan mereka membiarkan, bahkan menikmati hasil-hasil kecurangan untuk memperkaya diri sendiri.

Kini tinggal mereka yang menikmati pensiun di penjara untuk kembali merenungkan langkah hidup yang sudah dilakukan. Curahan hati lewat buku biografi --seperti banyak dilakukan mantan pejabat-- hanya sekadar keluh kesah yang tak akan berarti banyak bagi masyarakat yang sudah menganggap mereka sebagai bagian dari rezim korupsi.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi 1 Juli 2009.