Saturday, August 28, 2010

Janji Nagreg

SABTU (28/8) ini, rencananya jalur Lingkar Nagreg akan diujicobakan. Uji coba ini dipandang perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana kelayakan jalan baru ini, mengingat pengerjaannya belum tuntas 100 persen. Sementara pekan depan, arus mudik sudah dimulai.
Apabila memang layak dari sisi konstruksi dan juga keselamatan, tentu menjadi berita gembira bagi para pemudik. Karena mereka tidak akan dihadang kemacetan yang mengular di daerah ini. Namun jika tidak layak, konvoi pemudik dari arah Bandung dan arah Garut serta Tasikmalaya harus berjejalan di turunan dan tanjakan Pamucatan, Nagreg, daerah rawan macet dan mogok.

Persoalannya, layak atau tidak layak, Jalur Lingkar Nagreg ini akan tetap dipaksakan untuk digunakan, seperti ditegaskan Kepala Dishub Jabar Dicky Saromi. Risiko tentu saja pasti ada ketika memilih memaksakan operasional Lingkar Nagreg. Namun itulah yang ditempuh Dishub agar tidak terjadi kemacetan di jalur Nagreg.

Pilihan lanjutannya adalah menyeleksi jenis kendaraan yang bisa melalui jalur Lingkar Nagreg ini. Kendaraan-kendaraan berat pengangkut barang, kecuali sembako, dilarang melalui Nagreg. Sementara untuk pemudik motoris pun ada pilihan, memakai jalur Cijapati atau Wado.

Bertahun-tahun lamanya, persoalan kemacetan di Nagreg pada saat arus mudik dan balik Lebaran tak pernah terpecahkan. Berbagai cara dilakukan untuk mengurai kemacetan, tapi tetap saja, selalu berulang dan berulang, sehingga kemacetan di Nagreg menjadi sebuah tradisi.

Pernah muncul gagasan membuat jalan layang dari jalan rel kereta api ke Ciaro, tapi gagasan itu tertiup angin. Yang kemudian berjalan adalah proyek Jalan Lingkar Nagreg, pembuatan jalan baru di sebelah selatan jalur Nagreg.

Terobosan dengan membuat Lingkar Nagreg ini merupakan sebuah "revolusi" untuk memecahkan kemacetan abadi di Nagreg. Tak heran, pengerjaannya pun menjadi prioritas, terutama setelah disorot Presiden SBY saat mengunjungi Nagreg, tahun 2008.
Ketika itu dijanjikan, Lingkar Nagreg bisa dipakai pada saat arus mudik dan balik, dan dijamin tidak akan ada kemacetan. Namun begitulah, sampai setahun kemudian, tetap saja terjadi kemacetan saat arus mudik dan balik di jalur mudik selatan ini.

Tahun ini pun, beberapa bulan sebelum Ramadan tiba, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menjanjikan proyek Lingkar Nagreg akan tuntas sebelum Ramadan. Kenyataannya, sampai uji coba digelar, pengerjaan proyek prestisius ini belum tuntas seratus persen.

Tapi jika melihat kerja keras berbagai instansi yang terkait dengan proyek ini, rasanya kita punya harapan besar bahwa kemacetan di Nagreg tidak akan terjadi lagi. Jalan melingkar sepanjang 5,3 km itu menjadi solusi cespleng kemacetan Nagreg.

Kita berharap, arus mudik dan arus balik pada Lebaran kali ini akan berjalan lancar. Khususnya bagi pemudik yang memakai jalur selatan melalui Nagreg, bisa menikmati perjalanan ke kampung halaman secara tenang, damai, dan nyaman. Janji pemerintah bahwa Nagreg tidak akan macet bisa terwujud.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 28 Agustus 2010.

Monday, August 23, 2010

Politik Dinasti

KEMENANGAN yang sudah dalam genggaman tangan Anna Sophanah dan pasangannya, Supendi, pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Indramayu, mempertegas berlangsungnya politik dinasti di bumi Wiralodra itu.
-----------
Anna, yang juga istri Bupati Indramayu, Irianto MS Syafiuddin atau Yance, akan meneruskan jejak langkah sang suami, membangun Indramayu.
-----------
Di wilayah Jawa Barat, mungkin ini yang pertama kali terjadi, seorang istri bupati melanjutkan kepemimpinan suaminya. Sebelumnya di Bantul, Yogyakarta, Ida menggantikan posisi Idham Samawi, suaminya sebagai Bupati Bantul. Hal serupa terjadi pula hal di Kendal dan Kediri. Sementara di salah satu kabupaten di Papua, seorang istri bupati ternyata menjadi ketua DPRD setempat.

Jika melihat kecenderungan orang yang ingin terus merasakan nikmatnya kursi kekuasaan, model "pewarisan" kekuasaan seperti ini akan semakin marak. Tanda-tanda semacam itu sudah terlihat sejak pemilihan umum 2009, ketika anak, istri, menantu, dan kerabat lainnya dari penguasa, baik di pusat maupun daerah, baik eksekutif maupun legislatif, beramai-ramai menjadi anggota legislatif.

Sejatinya, tidak ada yang salah dengan politik dinasti. Kita mengenal betul nama klan-klan pemimpin terkemuka di dunia. Di AS ada klan Kennedy, di India ada Gandhi, di Filipina ada klan Aquino. Indonesia pun punya trah Soekarno. Darah biru kepemimpinan di keluarga- keluarga itu terus mengalir hingga beberapa generasi.

Namun patut dicermati, politik dinasti akan menjadi sebuah pisau berdarah sejarah apabila mereka mencederai nilai-nilai demokrasi dan tidak fair dalam proses berdemokrasi. Benar belaka bahwa siapa pun berhak untuk dipilih dan memilih, termasuk keluarga penguasa. Tapi apabila rotasi kepemimpinan hanya berputar di tingkat elite, hal itu jelas menutup peluang munculnya orang-orang terbaik di tengah masyarakat yang memiliki kompetensi kepemimpinan.

Selain itu, kecenderungan munculnya nepotisme sangat besar. Sangat sulit berlaku objektif apabila yang berkuasa adalah keluarga sendiri. Padahal kita mafhum, nepotisme dan kroni- kroninya adalah musuh bersama reformasi di negeri ini yang digulirkan para mahasiswa dua belas tahun lalu.

Tentu berbeda halnya apabila politik dinasti didasarkan pada kapabilitas. Berdarah biru, berpendidikan tinggi, memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni, dan mempunyai kapabilitas untuk memajukan demokrasi, tentu akan lebih menyempurnakan prasyarat seorang pemimpin.

Apa yang diungkapkan Presiden SBY saat menanggapi isu perpanjangan masa jabatan dan mengatakan mendukung munculnya kepemimpinan baru, yang bukan dari klan atau keluarganya, sangat relevan dengan kondisi riil politik di masyarakat saat ini. Dan salah satu cara untuk memotong kemunculan feodalisme gaya baru itu adalah dengan meningkatkan taraf pendidikan rakyat, sekaligus memperkuat pendidikan politik kepada rakyat.

Bagaimanapun, rakyatlah yang menentukan sepenuhnya siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dengan bekal pendidikan politik, rakyat bisa lebih rasional dalam memutuskan pilihannya sehingga kehidupan demokrasi di negeri ini pun akan lebih berkembang dan matang. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 20 Agustus 2010.

Wednesday, August 11, 2010

Ramadan yang Agung


SETAHUN telah berlalu, Ramadan kembali menghampiri kita. Bulan penuh rahmat, penuh ampunan ini, tak pernah lelah menyapa dan mengunjungi jiwa-jiwa yang penuh kesalahan dan dosa. Bersiap menyapu bersih segala kotoran dari diri manusia yang ikhlas dan mampu mencapai derajat takwa dengan puasa di bulan Ramadan.

Sesungguhnya, inilah salah satu nikmat yang diberikan Sang Pencipta kepada kita, masih diberi kesempatan menikmati hari-hari bersama Ramadan yang Agung.
Kabar gembira dari Ramadan tahun ini adalah penentuan awal atau hari pertama puasa yang tidak ada perbedaan di antara ormas-ormas Islam, pemerintah, ataupun perhitungan astronomi.

Hal yang sesungguhnya menjadi kerinduan setiap kaum muslimin, bisa bersama-sama menjalankan ibadah yang hanya Allah SWT saja yang menilainya itu secara serentak di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Kerinduan dan kegembiraan itu akan kian lengkap, apabila saat merayakan Hari Raya Idulfitri pun juga bersamaa, tidak ada perbedaan tanggal.


Beragam cara dilakukan untuk menyambut bulan suci ini. Bahkan sudah menjadi tradisi di dalam kehidupan sebagian besar masyarakat. Orang Sunda mengenalnya dengan sebutan munggahan.

Ada yang menyambutnya dengan makan bersama alias botram, atau di Cianjur disebut papajar. Ada pula yang mandi di kali atau curug, untuk membersihkan diri. Sementara warga Kampung Ciwindu, Sumedang, berkeramas memakai tanah porang sebagai simbol membersihkan diri.

Intinya satu, bahwa semua bersyukur dan menyambut gembira datangnya bulan Ramadan. Bersyukur bahwa tahun ini masih diberi kesempatan, diberi umur, untuk memasuki Ramadan dan beribadah dengan nilai pahala berlipat-lipat.

Tentu harapan kita semua, ibadah di bulan Ramadan kali ini jauh lebih baik dibanding Ramadan tahun lalu dan hari-hari biasa. Sangat merugi bila ibadah yang kita lakukan tak jauh beda dengan hari di luar Ramadan. Seolah kita tak merasakan keagungan Ramadan ini, terasa hambar karena ibadah kita menjadi ritual yang sama dari tahun ke tahun atau sekadar seremoni.

Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menyemarakkan Ramadan dengan ibadah yang kualitasnya nomor satu. Dan hasil dari ibadah itu terlihat pada sebelas bulan selepas Ramadan. Marhaban ya Ramadan.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 11 Agustus 2010.

Monday, August 02, 2010

Suara Pong

AKSI Pong Harjatmo naik ke atap Gedung DPR/MPR RI akhir pekan kemarin membuat kehebohan di tengah para koboi Senayan. Tentu, pro-kontra pun bermunculan mengomentari tingkah aktor senior itu.

Pong tidaklah mencorat-coret. Ia hanya menulisi punggung "Gedung Kura-kura" DPR/MPR RI dengan tulisan yang rapi dan jelas. Tulisan itu adalah "jujur, adil, tegas".
Pong tidaklah ompong, dan bukan pula singa ompong yang menumpang ketenaran dengan aksi nekatnya itu. Apa yang dituliskan aktor yang beken di era tahun 80-an itu jelas bermakna mendalam bagi negeri ini.

Kita mesti mengakui tiga hal ini merupakan hal yang sulit kita temukan lagi dalam kehidupan, baik bernegara maupun bermasyarakat. Jujur dan adil sudah menjadi barang antik yang tenggelam dan harus dicari di dalam lumpur-lumpur hitam ketidakjujuran dan ketidakadilan. Ketegasan menjadi barang yang mahal karena segala sesuatu bisa diperjualbelikan, tak peduli lagi dengan komitmen, satu kata satu perbuatan.

Jujur, adil, dan tegas menjadi syarat yang paling sulit dipenuhi oleh para calon bupati, wali kota, dan gubernur. Di arena pemilihan kepala daerah atau calon presiden di ajang pilpres, ini syarat tak tertulis, tapi menjadi sandaran utama untuk mencari pemimpin yang baik. Tentu lebih mudah memenuhi syarat lulusan SMA atau sederajat, tidak cacat jasmani, dan lulus psikotes ketimbang mencari jujur dan adil.

Dalam khazanah Islam, kita mengenal khalifah kedua, Umar bin Khattab ra, sebagai pemimpin yang jujur dan adil. Dan sudah lama, Umar dikenal sebagai orang yang tegas, tak plin-plan, berani mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan sikapnya, tapi sangat mudah mengakui kesalahan ketika ia memang salah.

Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri, yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal.

Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan. Katanya, "Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan kalian lakukan?" Seorang laki-laki bangkit dan berkata, "Anda akan kami pancung." Umar berkata lagi untuk mengujinya, "Beranikah Anda mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?" "Ya, berani!" jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian orang itu dan berkata, "Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani itu di negeri kita ini sehingga bila aku menyeleweng mereka akan memperbaikiku."

Saking jujur, adil, tegas, dan juga sederhananya hidup Umar, Usman bin Affan pernah mengatakan, "Sesungguhnya sikapmu telah sangat memberatkan siapa pun khalifah penggantimu kelak."

Jadi, sesungguhnya, tiga kata yang ditulis Pong sangat kontekstual dalam kondisi saat ini, ketika rakyat tak bisa lagi menemukan keadilan dan kejujuran. Untuk memperoleh keadilan saja, seorang warga Malang harus berjalan kaki ke Istana Merdeka Jakarta guna menjumpai kepala negara. Dan itu pun tak kunjung bertemu.

Suara Pong harus diartikulasikan sebagai suara rakyat yang merindukan keteladanan pemimpin. Ada pemimpin saja, negeri ini sudah diacak-acak pornografi, demoralisasi, korupsi, kriminalisasi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Suarakan terus Jujur, Adil, dan Tegas, untuk mengingatkan para pengelola negeri ini.

Patut kita renungkan salah satu pidato Umar bin Khattab, suatu kali di hadapan para gubernur bawahannya, "Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda." (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 3 Agustus 2010.