Monday, August 25, 2014

Asal Usul Leuwigajah (Seri Sejarah Cimahi)

MENGAPA ada nama Leuwigajah di Cimahi? Apa dulu memang pernah hidup Gajah di Cimahi, terus mandi di Leuwi? Begitu pertanyaan beberapa kawan soal toponimi atau asal usul nama Leuwigajah.
 

Sebelum mengupas nama Leuwigajah, perlu diketahui sebelumnya, bahwa binatang Gajah sudah lama hidup di tanah Sunda. Gajah purba pernah hidup di Tatar Sunda sekitar 35 ribu tahun yang lalu. Fosilnya ditemukan di Rancamalang, Kabupaten Bandung. Juga ditemukan di Baribis Majalengka, Cibinong Bogor, Cikamurang, dan Tambakan Subang.
 

 Lalu memasuki fase sejarah, di zaman kerajaan Tarumanagara, abad ke 4 Masehi hingga 7 Masehi, binatang Gajah pun familiar dan dikenal masyarakat. Salah satu buktinya adalah Prasasti Kebon Kopi peninggalan raja termasyhur Tarumanagara, Maharaja Purnawarman, yang ditemukan di kebun kopi milik Jonathan Rig di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
 

Selain tulisan beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, pada prasasti itu, terdapat lukisan tapak kaki gajah. Tulisan prasasti itu berbunyi "jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam" (Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa). Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra, dewa perang dan penguasa guntur.
 

Kekuatan binatang gajah ini juga menjadi inspirasi pemberian nama. Misalnya saja, Prabu Gajah Agung, raja Sumedanglarang, keturunan Prabu Tajimalela. Nama lahirnya adalah Atmabrata, namun saat jeneng jadi raja menggantikan kakaknya, Prabu Lembu Agung, ia memakai nama nobat Prabu Gajah Agung. Kini nama Prabu Gajah Agung diabadikan sebagai nama jalan di Sumedang kota.
 

 Selain nama Gajah, untuk menyebut binatang besar itu, masyarakat pun mengenal nama Liman, berasal dari bahasa Sanskerta. Liman pun dipakai sebagai nama orang. Misalnya, Rajaputera Suraliman, adalah raja kedua Kerajaan Kendan di Nagreg. Lalu ada pula nama Liman Sanjaya. Dalam Babad Limbangan, disebutkan, Liman Sanjaya adalah putra dari Prabu Siliwangi hasil perkawinannya dengan Nyi Putri Limbangan, anak Sunan Rumenggong. Ia menjadi Prabu di Kerajaan Dayeuh Luhur atau Dayeuh Manggung.
Nama Liman dijadikan pula sebagai nama tempat, yaitu Palimanan. Malah di Cirebon pun, ada nama Pagajahan. Konon, diberi nama Pagajahan, karena banyak terdapat gajah-gajah pemberian dari negeri asing kepada Cirebon. Nama gajah juga dikenal dalam carita pantun Sunda. Seperti Gajah Lumantung. Gajah Lumantung adalah nama seorang raja di daerah yang disebut Pasir Batang Lembur Tengah.
 

 Nah soal Leuwigajah, memang benar berasal dari cerita gajah yang mandi, lebih tepat, dimandikan di leuwi. Leuwi adalah kosakata bahasa Sunda. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira sama artinya dengan Lubuk.
Berdasarkan Babad Batulayang, seperti yang dikutip dalam buku Sejarah Cimahi, dulu Dalem Batulayang, yaitu Dalem Abdul Rohman, ditugaskan membantu VOC di Palembang. Jabatan Dalem Batulayang lalu diserahkan kepada adiknya. Tahun 1770, Abdul Rohman kembali pulang ke Batulayang, sambil membawa oleh-oleh berupa seekor gajah besar.
 

Karena itu pula, Abdul Rohman dikenal sebagai Dalem Gajah. Selama gajah itu hidup, selalu dimandikan di sebuah Leuwi atau lubuk di daerah Cimahi Selatan. Akhirnya, tempat itu pun dikenal sebagai Leuwigajah.
Dalem Batulayang tinggal di daerah Kabupaten Bandung, tepatnya di Kecamatan
Kutawaringin. Karena gajah dari Palembang itu berkandang di sana, kampung itu pun dikenal pula sebagai Kampung Gajah. Lama-kelamaan, namanya bertambah menjadi Kampung Gajah Mekar dan Kampung Gajah Eretan.
 

Makam Dalem Abdul Rahman atau Dalem Gajah bisa ditemukan di Kampung Bojong Laja, Kutawaringin. Di Kampung Gajah Eretan, juga terdapat situs makam Eyang Dalem Gajah. Bisa jadi ini petilasannya. Lalu, masih di Kutawaringin, juga ada makam Eyang Gajah Palembang. Apakah makam terakhir ini adalah makam sang gajah? Patut ditelusuri!. (mac)

Monday, August 18, 2014

Mudik Lebaran 1435H: Pengalaman Pertama (1)

TIGA belas tahun saya menikah dengan istri saya, Eri Mulyani. Tapi baru tahun ini, saya bisa merasakan mudik Lebaran ke Magelang, Jawa Tengah. Maklum, saya tinggal di Cimahi dan kampung halaman saya di daerah Cihanjuang, Cimahi. Seperempat menit pakai motor, sudah tiba di tujuan. Jadi tidak seperti mudik orang lain ke tempat yang jauh.

Memang pergi ke Magelang, bukan kali ini saja. Sudah beberapa kali. Tapi bukan di saat mudik. Biasanya, berlibur ke sana, ketika libur akhir tahun. Atau dua bulan setelah Lebaran. Jadi aura lebarannya sudah hilang.

Nah, Lebaran 28 Juli lalu, kami sekeluarga besar, secara berombongan, pulang kampung dan mudik ke Dusun Bumen, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tak hanya: saya, istri saya, dua anak saya, Nabila dan Namira, bapak dan ibu mertua yang mudik. Keluarga kakak ipar saya dari Tangerang, Mas Nur, serta Mas Rohman juga ikut barengan mudik. Jadilah, tiga mobil berkonvoi menuju Jawa Tengah.

Hanya saja, ketiga mobil ini berbeda tujuan. Mobil sedan Honda yang disopiri Mas Rohman hanya bareng sampai pintu tol Cileunyi, Lepas tol, mobil sudah belok ke arah Sumedang menuju Pantura. Karena Mas Rohman dan keluarga akan mudik ke Salatiga. Sementara Mas Nur, akan mudik ke Purwokerto. Tapi sebelumnya, akan mampir dulu ke Borobudur, mengantar Mbah Uti yang ikut mobil Avanza Mas Nur.

Seperti biasa, saya pakai Avanza rentalan. Tentu sopirnya adalah Pak Asep. Sopir yang sejak tujuh tahun lalu menyertai ke mana pun kami pergi ke luar kota. Pertama kali bekerja sama dengan Pak Asep ini, ya saat liburan ke Borobudur.(Baca juga : Tour of Borobudur).

Hanya satu keluarga yang ditinggal di Cimahi. Keluarga Mas Rikhan. Maklum, kakak paling tua itu mau pulang ke Sukabumi. Namun sebelumnya, selama seminggu lebih, menunggu rumah dulu yang ditinggal kami.

Saya memilih berangkat mudik selepas salat Ied, Senin 28 Juli. Alasannya, hari itu, puncak mudik sudah lewat. Hari Sabtu dan Minggu sebelumnya adalah puncak mudik. Dengan perkiraan, kemungkinan macet jalur selatan hanya di seputar Nagreg. Itu pun karena dipenuhi pemudik lokal, yang mau ke Garut dan Tasik saja.

Alasan lainnya, karena berangkat sebelum tanggal itu tidak mungkin. Bisnis istri saya, jualan Baju Enggal, yang tengah pameran di Citylink, baru tutup pada Minggu 27 Juli malam. Pas saat malam takbiran. Jadi hanya Senin selepasi Ied saja, satu-satunya pilihan untuk waktu berangkat.

Setelah molor sejam setengah dari waktu yang direncanakan, akhirnya jam 11.30, tiga mobil pun konvoi keluar dari Kampus Unjani menuju Jalan Tol Cileunyi. Untuk selanjutnya, melaju di jalur selatan menuju Magelang. Magelang, Here We Come! (bersambung)

Friday, August 15, 2014

Tantangan untuk Pramuka

KEMARIN, 14 Agustus 2014, merupakan Peringatan HUT ke-53 Pramuka. Momentum peringatan kali ini bersamaan dengan pemberlakuan Pramuka sebagai ekstakurikuler wajib di sekolah-sekolah dalam Kurikulum 2013 mulai tahun ajaran 2014-2015.

Kita tahu, bahwa Gerakan Pramuka memiliki misi edukasi dan pembentukan karakter serta pembinaan moral dalam kegiatan-kegiatannya. Itu pula salah satu alasan Pramuka dijadikan sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah.

Namanya wajib dan memaksa, mau tidak mau, suka tidak suka, seluruh pelajar, mulai tingkatan SD hingga SMA, harus mengikuti kegiatan Pramuka. Setidaknya, dalam satu minggu, pelajar berpakaian seragam cokelat-cokelat khas Pramuka.

Sangat mungkin tidak seluruh pelajar suka dengan kegiatan Pramuka. Boleh jadi, masih banyak yang beranggapan bahwa Pramuka itu kuno, ketinggalan zaman, kegiatannya kemping dan nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya.

Bisa jadi anggapan itu tidak salah seluruhnya. Justru di situlah tantangannya. Gerakan Pramuka harus mampu membongkar paradigma lama kegiatan kepramukaan dan menampilkan wajah baru yang sesuai dengan tuntutan zaman. Era globalisasi dan teknologi yang deras menjerat generasi muda saat ini harus bisa dibaca dan dijawab Gerakan Pramuka dalam aplikasi kegiatannya.

Jelas kita tidak bisa menghindar dari kondisi kekinian, ketika anak-anak remaja lebih akrab dengan teman di dunia mayanya ketimbang di dunia nyata. Ketika anak-anak SD sudah biasa selfie dan mengunggahnya ke media sosial. Ketika generasi muda lebih familiar dengan dunia teknologi ketimbang bermain di alam. Dan ketika nilai-nilai moral kian tergerus dan terdegradasi. Ketika mereka, anak-anak muda itu, kian permisif, tak sungkan lagi berpacaran di tempat umum, sudah biasa mengakses pornografi, bahkan melakukan tindakan asusila. Ketika narkotika menjadi pelarian anak-anak muda. Ketika tawuran menjadi solusi pelepas emosi kaum pelajar. Ketika geng motor menjadi wadah berorganisasi dan berekspresi generasi muda.

Tengok hasil survei sebuah lembaga di awal tahun 2014, 54 persen remaja di Kota Bandung mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual. Dibandingkan dengan tiga kota lainnya, Bandung paling tinggi. Jakarta "hanya" 51 persen. Surabaya, 47 persen remaja yang disurvei mengaku pernah berhubungan seks. Hanya Medan yang mengalahkan Jakarta dengan 52 persen remaja yang tak lagi tuna seks.

Inilah realita sebenarnya di tengah generasi muda saat ini. Dan kondisi seperti itulah yang harus dijalani Gerakan Pramuka, yang digadang-gadang sebagai lokomotif pembangunan sikap, mental, dan moral generasi muda menghadapi globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta pesatnya perkembangan media baru.

Sungguh tak ringan tugas dan tantangan yang dihadapi Gerakan Pramuka. Dibutuhkan kerja sama yang kuat antara Gerakan Pramuka sebagai organisasi informal, pemerintah, dan masyarakat. Tak kalah penting adalah dibutuhkan pembina dan pelatih yang tangguh, mumpuni, untuk bisa membangun generasi muda yang tangguh pula. Bagaimanapun, tanpa dukungan semua pihak, keinginan menjadikan Gerakan Pramuka sebagai garda terdepan pendidikan informal yang positif dan benteng nasionalisme  generasi muda akan sia-sia belaka.

Kita berharap pada tahun-tahun yang akan datang, dari rahim Gerakan Pramuka, akan lahir generasi yang kuat kepemimpinannya, mandiri, memiliki rasa kebersamaan dan sosial yang tinggi, cinta terhadap alam dan manusia, serta mampu menjadi contoh terbaik di tengah masyarakat. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 15 Agustus 2014.

Wednesday, July 09, 2014

Presiden Baru

HARI ini, Rabu 9 Juli 2014, adalah hari-hari yang dinanti-nantikan. Inilah hari yang akan mencatatkan sejarah, lahirnya seorang pemimpin baru di Indonesia.  Pemilihan presiden kali ini sungguh berbeda dengan pemilihan sebelum-sebelumnya. Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkompetisi, membuat masyarakat betul-betul terbelah dua. Pemilihan presiden kali ini pun menguras emosi, menguji kesabaran. Bayangkan, hingga detik-detik akhir menjelang pemungutan suara, kampanye gelap, fitnah, isu-isu negatif, masih terus saja berseliweran, terutama di ruang maya.

Kita sudah lelah dengan segala kampanye yang menghalalkan segala cara. Kampanye yang bisa memutus tali silaturahmi diantara tetangga, saudara, bahkan suami istri. Tak heran, banyak orang yang ingin 9 Julli segera berlalu, agar keadaan tenteram dan damai kembali. Kita melihat, perbedaan pilihan bukan dimaknai sebagai sebuah rahmat atau berkah, tapi benar-benar dimaknai sebagai pihak yang berseberangan atau musuh. Padahal, tentu yang kita inginkan bersama, kompetisi ini hanyalah sebuah ikhtiar kita untuk mencari pemimpin yang terbaik untuk bangsa ini.

Harus diakui, persaingan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan Joko Widodo- Jusuf Kalla terasa sengit. Kalkulasi survei beberapa hari menjelang pemilihan, menunjukkan beda suara antara keduanya sangat tipis. Potensi konflik pun muncul dan, walau tak diharapkan, bisa saja pecah.

Di tengah kondisi yang memanas itu, ekspektasi atau harapan masyarakat pada kedua pasangan capres-cawapres memang sangat tinggi. Itu terlihat dari kegairahan masyarakat menanti debat antarcapres-cawapres. Walau debat itu tidak mengeksplorasi banyak isu, tapi masyarakat menunggu betul . Ini sebuah harapan baru lagi meningkatnya tingkat kesadaran berdemokrasi di tengah masyarakat. Bahwa masyarakat mulai menunjukkan sikap peduli terhadap pemilihan presiden, dan berupaya untuk menjadikan kampanye termasuk debat sebagai salah satu referensi untuk menentukan pilihan secara logis dan rasional.

Tak membutuhkan waktu lama untuk melihat datangnya presiden baru Indonesia. Rabu siang ini atau paling lambat Rabu sore, hasil perhitungan cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei, sudah bisa menghitung siapa yang akan menjadi presiden Indonesia untuk lima tahun mendatang. Keakuratan hitung cepat dalam beberapa pemilihan sebelumnya jarang meleset jauh, sehingga masyarakat pun bisa dengan cepat mengetahui sang pemimpin baru Indonesia.

Siapa pun yang terpilih menjadi presiden Indonesia, masyarakat menginginkan, dia benar- benar mampu membawa perubahan untuk Indonesia. Mampu membuat Indonesia menjadi sebuah bangsa dan negara yang sejahtera, disegani bangsa lain, dan berbuat banyak untuk perdamaian dunia. Kata sejahtera ibarat mantera yang telah lama dirapalkan, selalu didengungkan setiap saat, tapi kenyataannya tak pernah hadir bersama masyarakat.

Kita merindukan pemimpin yang benar-benar bisa melayani rakyatnya. Pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tapi mampu melaksanakan seluruh amanahnya dengan baik. Pemimpin yang benar-benar dicintai dan mencintai rakyat.  Selamat datang presiden baru Indonesia!. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 9 Juli 2014.

Thursday, May 29, 2014

Mengejar Indeks Kebahagiaan

WALI Kota Bandung, Ridwan Kamil, terus menggadang-gadang soal peningkatan indeks kebahagiaan masyarakat Kota Bandung. Bagi Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, kemajuan suatu kota tak hanya diukur oleh peningkatan ekonomi semata, tapi juga ditilik dari kebahagiaan setiap warga penghuni kota.

Bisa jadi keinginan Emil ini sejalan dengan apa yang sudah dilakukan Perserikatan Bangsa- bangsa (PBB). PBB menetapkan setiap 20 Maret sebagai hari bahagia sedunia. Bahkan setiap tahun, ada pemeringkatan negara-negara penduduknya paling bahagia di dunia.

Tahun 2012 lalu, dalam laporan bertajuk World Happiness Report, PBB menetapkan Denmark sebagai negara paling bahagia di dunia. Apa sebabnya? Ternyata sepele saja. Karena Denmark memiliki banyak tempat wisata yang sangat luar biasa, satu di antaranya adalah taman paling tua, Tivoli Gardens. Lalu ada Norwegia di peringkat kedua. Apa pasal penduduk Norwegia paling bahagia di dunia? Ternyata sepele juga penyebabnya. Makan malam di ibukota Norwegia, Oslo merupakan salah satu pemicu senyum di wajah para penduduknya.

Maka Emil pun mendorong sejumlah program perkotaan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan indeks kebahagiaan ini. Di antaranya penataan taman-taman kota, penyelenggaraan culinary night di sejumlah kecamatan, penyelenggaraan berbagai festival unik, penggunaan pendopo Kota Bandung secara gratis untuk warga yang akan menikah, dan urban farming alias pertanian kota.

Semua kegiatan itu ditujukan agar warga Bandung bisa lebih sering tersenyum, banyak bersilaturahmi dengan sesama warga, sehingga warga bisa lepas dari stres dan kepenatan hidup yang mendera setiap hari. Jika ini dilakukan konsisten, bukan hal mustahil, Kota Bandung bakal memiliki indeks kebahagiaan tinggi, karena warganya mudah senyum, selalu menyapa, santun, dan tak kenal stres.

Tapi ada elemen penting lain pembentuk indeks kebahagiaan yang tak boleh dilupakan, yaitu rasa aman dan keamanan. Tidak mungkin indeks kebahagiaan ini terwujud atau meningkat, apabila setiap warga tidak memiliki rasa aman dan nyaman dalam aktivitas sehari-hari. Tanpa keamanan dan rasa aman di tengah masyarakat, tak akan pernah muncul kebahagiaan itu.

Terlebih jika melihat aksi-aksi kejahatan yang terjadi di Kota Bandung belakangan ini, rasa aman itu seolah sirna. Pembunuhan terjadi di perumahan mewah, minimarket tak luput dari tangan si jahat, dan perampokan bisa terjadi di siang bolong di tengah suasana ramai jalan Kota Bandung.

Ini yang menjadi pekerjaan rumah aparat kepolisian dan keamanan, Wali Kota Bandung, dan masyarakat sendiri. Bahwa menciptakan keamanan itu bukanlah tugas kepolisian semata. Tapi dituntut pula peran serta masyarakat untuk mengantisipasi, bahkan menangani, beragam kejahatan di tengah masyarakat.

Kehadiran Brigadir RW, yaitu anggota kepolisian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di tingkat RW, harus benar-benar memberikan keamanan di hati masyarakat. Itu pun harus pula didukung masyarakat, dengan sebuah sistem keamanan yang juga berbasis RT/RW, sehingga akan paripurnalah sistem keamanan yang melindungi masyarakat Kota Bandung.

Kita berharap, berawal dari keamanan, rasa aman, dan nyaman yang diwujudkan secara bergotong royong oleh masyarakat serta aparat pemerintahan dan keamanan, bakal mendorong masyarakat untuk merasa bahagia, sehingga indeks kebahagiaan itu pun akan meningkat. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 28 Mei 2014.

Tuesday, May 20, 2014

Ada Gajah Mada di Cimahi (Seri Sejarah Cimahi)

MENGAPA jalan di samping Mesjid ABRI Kota Cimahi ini diberi nama Jalan Taman Gajah Mada? Bukankah, konon katanya, pascaPerang Bubat, tabu ada nama-nama berbau Majapahit, apalagi Gajah Mada di Tatar Sunda? Sebagaimana halnya tidak ada nama Jalan Pajajaran atau Siliwangi di daerah Jawa.

Tapi ternyata di Cimahi, mitos itu dipatahkan secara sederhana. Petinggi ABRI ketika itu tinggal beri nama Taman Gajah Mada, orang lalu lebih suka menyingkat menjadi Gama saja, dan tak ada masalah apapun. Nama Gama lalu beken sebagai klub basket di Cimahi. 

Saya menduga penamaan jalan ini bersamaan dengan peresmian Masjid ABRI sekitar April 1976. Mengapa tidak langsung Jalan Gajah Mada, tapi pakai Taman? Kata Taman ini saya kira untuk mengingatkan orang bahwa dulu kawasan Masjid ABRi itu merupakan sebuah taman yang disebut Wilhelmina Park. 

Lalu mengapa Gajah Mada? Lagi-lagi saya menduga, karena di "kompleks" Masjid ABRI itu banyak anggota ABRI/TNI yang berdinas di POM AD. Bukankah nama lambang POM AD adalah Panji Gajah Mada? Di lambangnya pun jelas tertera nama Gajah Mada. 

Ternyata dugaan saya ada betulnya. Seorang teman di Grup FB, Tjimahi Heritages, Kang Bambang Sutisno, menuturkan, bahwa orang tuanya adalah seorang pensiunan dari POM ABRI yang tinggal di Asrama Sub Den POM. Dan di setiap rumah asrama tersebut, ada lambang Gajah Mada sebagai lambang POM ABRI.

Menurut Kang Bambang, keluarganya pertama kali tinggal di jln T.GajahMada sekitar tahun 1974. Ketika itu, masih berupa taman, tapi tidak terawat. Tamannya dikelilingi oleh pohon perdu yang daunnya bergelombang dan berwarna merah dan hijau sampai akhirnya tahun 1975 dibangun masjid ABRI. Entah sejak kapan nama taman itu menjadi taman Gajahmada dan jalan disekelilingnya juga dinamakan jalan Taman Gajahmada..Untuk menghindari prokontra nama jalan, makanya namanya bukan Jalan Gajah Mada tapi Jalan Taman Gajah Mada. 

Adakah cerita sejarah yang lain terkait Jalan Taman Gajah Mada?. (*)

Monday, May 19, 2014

Kejahatan di Sekitar Kita

INDONESIA memang bukan negara maju, karena itu tingkat kejahatan pun masih sangat tinggi. Teorinya, semakin maju sebuah negara, maka tingkat kemakmuran dan pendidikan makin tinggi, serta tingkat kejahatan berbanding terbalik, akan semakin rendah.

Berhubung Indonesia masih tergolong negara berkembang, kejahatan merebak di mana- mana. Dan semakin hari, semakin mengkhawatirkan. Mengapa? Kejahatan tidak mengenal waktu, tempat, dan relasi. Orang yang dikenal atau dekat sekali pun bisa menjadi pelaku kejahatan.

Dalam rentang waktu satu minggu terakhir ini, terjadi dua peristiwa pembunuhan sadis. Akhir pekan lalu, dua pasangan suami istri, pensiunan Disperindag Jabar, ditemukan tak bernyawa di Pandeglang.
Keduanya sudah dilaporkan hilang oleh pihak keluarga ke polisi. Saat ada penemuan dua mayat di Banten, ternyata itu jenazah Didi Harsoadi (59) dan Anggi Anggraini (51), warga Batununggal. Pelaku, sebanyak tiga orang, sudah ditangkap polisi, dan mereka mengaku sebagai orang suruhan. Belum diketahui motif kejadian itu.

Lalu awal pekan ini, ditemukan pula tiga mayat, dua di antaranya di dalam karung, di bawah jembatan. Dua mayat ditemukan di daerah Cidaun, satu lagi di perbatasan Cianjur- Garut. Ternyata, mereka adalah kakak beradik Raziv Rizal Sidiq (22) dan Rivan Cipta Pamungkas (10), beserta pembantu di rumah, Yati (30). Belum diketahui siapa pelaku dan apa motifnya. Dugaannya, pelaku adalah orang dekat dan kenal dengan korban.

Masih di pekan ini, muncul berita tentang pelecehan seksual terhadap anak TK di Jakarta Internasional School (JIS). Pelaku adalah petugas kebersihan alih daya. Anak TK berusia enam tahun itu beberapa kali menjai korban pelecehan. Padahal, JIS merupakan sekolah yang menerapkan sistem pengamanan dan keamanan tinggi.

Belum lagi dengan kasus-kasus kejahatan lainnya yang juga muncul di sepanjang pekan ini, seperti trafiking dan pemerkosaan. Rata-rata pelaku pun adalah orang yang dikenal oleh korban.

Apa yang harus kita lakukan menyaksikan tindak kejahatan terjadi di sekitar kita? Masyarakat tidak mungkin hanya memasrahkan persoalan keamanan ini kepada pihak kepolisian, karena terbatasnya daya jangkau ke masyarakat.

Di sinilah perlunya self defense, pertahanan yang dibangun oleh masyarakat sendiri. Kita tidak tahu, kapan pelaku kejahatan akan bertindak. Kita tidak tahu, di mana para bandit mengintai kita.
Mungkin pelajaran bela diri pencak silat sejak sekolah dasar bisa menjadi awal dari kekuatan self defense itu. Anak-anak dibiasakan untuk bisa membela diri dan memberikan perlawanan ketika pelaku kejahatan beraksi. Tentu ini pun berlaku bagi orang-orang dewasa, karena kejahatan tak kenal usia.

Kemudian, peran orang tua pun sangat besar. Mengapa? Karena anak-anak itu rentan dan merupakan sasaran empuk dunia kriminalitas. Merekalah yang paling sering menjadi korban pornografi anak, perdagangan manusia, dan pelecehan seksual.

Karena itu, kehadiran orang tua dalam keseharian anak-anak menjadi sangat penting, agar mereka merasa aman dan nyaman. Dampingi anak-anak saat belajar. Jadilah teman curhat yang baik untuk anak-anak. Dari situ, segala persoalan tidak akan pernah ditutup-tutupi. Waspadalah, kejahatan berada di sekitar kita. (*)
Sorot, dimuat di Harian Tribun Jabar edisi 17 April 2014,

Koalisi Berebut Kursi

ADAGIUM politik "tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi" benar adanya. Tengok kasak-kusuk koalisi partai politik pascapenetapan hasil pemilu legislatif hari-hari ini. Partai yang kemarin-kemarin bergandeng akrab, hari ini bisa bertentangan. Sebaliknya, partai yang dulu berseberangan, sekarang bisa enak makan siang bersama.

Apakah yang mempersatukan atau memisahkan mereka? Ideologikah? Bukan. Yang mempersatukan dan memisahkan partai politik ini adalah kepentingan. Semua ditentukan oleh satu kepentingan, yaitu merebut kursi presiden yang bakal ditinggalkan SBY.

Lihat drama yang tak dramatis namun berbalur tangis dari PPP. Ketika Ketua Umum mereka, Suryadharma Ali menyatakan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden, kubu lain langsung sewot. Saling pecat pun terjadi. Ketua memecat wakil ketua dan sekretarisnya, lalu wakil ketua memecat ketuanya. Lalu semua kembali rujuk dan menggelar rapat pimpinan nasional untuk menentukan dukungan. Ternyata tak jauh juga, dukungan itu tetap jatuh ke Prabowo.

Memang hanya sosok Prabowo dan Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjadi aktor terpenting calon presiden. Partai politik di luar Gerindra dan PDIP, minus Partai Golkar dan Demokrat, semua menyorot ke dua sosok ini. PKB dan Nasdem sudah merapat ke Jokowi. Kabarnya PKS, PAN, dan Hanura sudah siap berlabuh ke pangkuan Prabowo. Lantas di mana gerangan posisi Golkar dan Demokrat?

Patut dicermati, sebagai partai politik tertua yang sudah makan asam garam mengarungi politik Indonesia, Golkar tak pernah "terkalahkan". Boleh saja dalam pemilu legislatif, Golkar hanya jadi nomor dua. Tengok sejak Reformasi 1998 bergulir, Golkar tak pernah lepas dari lengan pemerintah yang berkuasa. Tak sekali pun partai berlambang pohon beringin itu menjadi partai di luar pemerintahan. Bagaimana carut marutnya kabinet koalisi pelangi, Golkar pasti ada di dalamnya. Golkar selalu selamat.

Jika koalisi hanya mempertandingkan dua pasang kandidat, Prabowo dan cawapresnya serta Jokowi dan cawapresnya, tak salah jika Arbi Sanit, pengamat politik UI, mengatakan, pemenangnya kemungkinan besar adalah Jokowi. Apabila Prabowo jadi menggandeng Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, kekuatan keduanya tidak akan mampu menandingi Jokowi. Terlebih jika Jokowi jadi menggandeng Abraham Samad atau Jusuf Kalla.

Artinya, sinyal-sinyal yang dipancarkan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk merapat ke PDIP adalah visi yang jauh ke depan, dengan mengorbankan keinginan Ical, sekaligus menjaga tradisi berada dalam lingkar kekuasaan.

Lalu kemana gerangan Demokrat akan berlabuh? Hambatan psikologis terbesar tentu akan muncul jika bergabung dengan PDIP. Lebih memungkinkan apabila Demokrat bergabung dengan Gerindra, walau harus memendam keinginan untuk mengajukan cawapres.

Tapi menjadi oposisi pun bukanlah hal buruk. Terlebih jika Demokrat benar-benar mampu mengkritisi dan mengevaluasi pemerintahan yang akan datang, bukan mustahil itu jadi modal besar untuk kembali berkuasa pada 2019 nanti.

Lalu di mana posisi rakyat, pemilik sesungguhnya kedaulatan ketika omong-omong koalisi ini diperbincangkan? Nanti, tunggu giliran, kalau kursi presiden sudah ada yang mendudukinya, baru rakyat diperhatikan. Sekarang, kita jadi penonton yang baik saja dulu. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu (14/5).

Thursday, April 10, 2014

Ternyata Cuma 4 Caleg DPR RI yang Saya Kenal

SEHARI menjelang pemilihan umum legislatif, Rabu 9 April, saya masih belum memutuskan untuk memilih atau tidak. Tapi niat untuk mengakhiri masa panjang Golput itu sudah ada. Hanya masih bingung, siapa yang berhak mendapat coblosan saya. Saya perhatikan di lini massa Facebook atau Twitter, rupanya banyak yang senasib dengan saya. Mereka kebingunan hendak memilih siapa atau partai apa.



Kemudian saya pun sedikit menjelajah di beberapa situs yang memajang para caleg dan kurikulum vitaenya.
Dari daftar Caleg yang saya peroleh di KPU dan jariungu.com, untuk Caleg DPR RI daerah pemilihan I (Kota Cimahi-Bandung), tempat saya memilih, ada 83 orang caleg. Saya mencoba mengerucutkan daftar caleg itu melalui kriteria sangat sederhana: TAHU dan KENAL.

 Ternyata dari 83 orang itu, hanya ada 27 orang yang saya tahu (minimal saya pernah membaca nama ybs): Ricky Achmad Soebagja (Nasdem), DG Nayoan, Ikin Sodikin (PKB), Ledia Hanifa, Arif Minardi, Achmad Zulkarnaen (PKS), Ketut Sustiawan, Dedy Djamaludin Malik, Junico BP Siahaan (PDIP), Happy Bone, Popong Otje Djundjunan, Muhammad Egi, Aat Safa'at Hodijat, Dina Wahyuningrum (Golkar), D Sodik Mudjahid, Nanang Sudjana, Bucky Wikagoe (Gerindra), Agung Budi Santoso, Daday Hudaya, Sugianto Nangolah (Demokrat), Mariana Gandakusumah, Juniarso Ridwan, Rimba Dirgantara Drajat, Clara Sinta (PAN), M Itoc Tochija (PPP), Moh Arief Soeditomo (Hanura), dan Abidin (PKPI).

Saya mengerucutkan lagi atau menyeleksi dari nama-nama yang saya tahu itu dengan kriteria Kenal. Kenal di sini dalam artian, pernah berinteraksi (wawancara, komunikasi, ngobrol, kongkow, dll). Maka jumlah caleg yang saya kenal hanya empat orang, yaitu Ledia Hanifa, Arif Minardi, D Sodik Mujahid, dan Itoc Tochija.

Bu Ledia saya kenal saat beliau berkunjung ke kantor saya, beberapa tahun lalu, memberi kartu nama dan beberapa kali mengirim rilis berita.

Pak Arif Minardi saya kenal saat beliau jadi Ketua SPFKK PTDI. Ketika itu, pegawai PTDI yang di-PHK menggelar demo besar-besaran menuntut pesangon dll. Saya tidak yakin, Pak Arif mengenal saya, karena saking banyaknya wartawan yang berkomunikasi dengan beliau ketika itu.

Pak Sodik Mujahid, saya kenal karena beliau adalah pembimbing umrah saya. Dulu pernah menjadi anggota DPRD Jabar dan Direktur Pusdai. Sekarang pimpinan Darul Hikam Dago.

Pa Itoc, saya kenal karena beliau adalah mantan Wali Kota Cimahi. Kenal pertama Pa Itoc saat beliau pertama kali pindah dari Bogor, menjadi penjabat Wali Kota Cimahi. Setelah itu lama tak berinteraksi, karena saya pindah daerah liputan. Namun informasi tentang Pak Itoc tetap mengalir. Begitu pula informasi tentang saya, mungkin mengalir juga ke Pak Itoc. Karena pernah bertemu di beberapa acara, sempat bertegur sapa: Masih di Radar? Eh di Tribun? Kemudian pernah bertemu secara formal menghadap Pak Itoc saat menemani pimpinan kantor tempat saya bekerja dan pengurus IKA SMAN 2 Cimahi untuk audiensi. Interaksi terakhir adalah ketika Pak Itoc mengundang saya dan istri saya, lebih tepatnya mengundang istri saya, untuk hadir pada pernikahan putrinya di Pusdai.

Apakah informasi di atas cukup memadai untuk dijadikan alasan memilih seseorang? Tentu belum. Karena kriteria yang dipakai sangat-sangat sederhana: TAHU dan KENAL saja. Masih harus ada penggalian lebih dalam untuk melihat rekam jejak dari orang-orang yang saya tahu dan kenal ini. ‪#‎asajangarrekmilihteeeeh‬....(*)

Thursday, April 03, 2014

Mengapa Sulit Membangun Jembatan?

CIBALONG adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Garut. Jaraknya sekitar 100 km dari pusat kota Garut, ke arah selatan, sebelah timur Sayang Heulang. Kecamatan ini melingkupi kawasan hutan terkenal, Hutan Sancang, di pesisir pantai selatan. Kecamatan ini dilalui dua sungai besar, Cibaluk dan Cimerak.

Dua sungai inilah yang selama ini menjadi potensi sekaligus kendala dalam membangun wilayah pelosok Garut selatan ini. Namun yang lebih banyak dikabarkan terkait sungai dan Cibalong adalah justru kendalanya. Tengok saja, beberapa kali surat kabar ini mengangkat isu tentang pelajar-pelajar tsanawiyah atau SMP dari beberapa desa di Cibalong yang kesulitan untuk mencapai lokasi sekolah, karena jembatan ambruk atau memang tidak ada jembatan.

Mereka terpaksa mengarungi sungai berarus deras dengan lebar antara 40 meter sampai 70 meter. Apabila ketinggian air mencapai dua meter, bisa dipastikan para pelajar itu tidak akan pergi ke sekolah atau menginap di sekolah.

Jembatan menjadi sarana vital di Kecamatan Cibalong untuk menghubungkan satu desa dengan desa lainnya. Jembatan pula yang menghubungkan desa-desa dengan pusat kecamatan. Tentu ini berkaitan erat dengan kehidupan ekonomi masyarakat Cibalong yang didominasi petani. Mereka menjual hasil bumi ke pusat kecamatan.

Sayangnya, puluhan tahun sudah negeri ini merdeka, kehadiran jembatan yang kokoh kuat seolah hanya mimpi. Selama ini, jembatan utama berupa jembatan bailey yang terbuat dari rangka baja dan dasar jembatan berupa kayu. Itu pun ambruk ambruk karena dimakan usia dan telah rusak. Pernah pula ada jembatan gantung, namun sejak 1971 warga tak pernah memakainya lagi karena rusak dan lapuk.

Tentu wajar jika muncul pertanyaan, mengapa sulit membangun jembatan yang kokoh dan kuat di daerah ini? Apakah karena Cibalong merupakan daerah pelosok dan terpencil, sehingga dipandang remeh dan sebelah mata? Atau hal itu membuktikan bahwa selama ini kue pembangunan memang hanya berputar di pusat-pusat kekuasaan dan yang menikmatinya pun hanyalah lingkaran-lingkaran penguasa?

Tak habis pikir, berkali-kali bupati yang memimpin Garut berganti, tapi daerah di selatan ini tak pernah menjadi prioritas pembangunan. Bukankah anggaran pembangunan pun tidak hanya berasal dari daerah sendiri, tapi bisa mengajukan, alih-alih meminta, ke tingkat provinsi dan pusat.

Sepinya perhatian dari pusat kekuasaan semakin memperkuat keyakinan, bahwa berpisahnya Garut Selatan dari Kabupaten Garut menjadi kabupaten sendiri adalah sebuah keniscayaan. Tentu dengan tujuan, agar tidak lagi daerah-daerah yang sulit dijangkau, daerah yang tak tersentuh pembangunan. Agar masyarat pun merasakan kehadiran pemerintah, setidaknya dengan pembangunan infrastruktur yang lebih bagus dan pelayanan yang berkualitas. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi 3 April 2014.

Gunung Padakasih Memprihatinkan.

GUNUNG Padakasih. Gunung ini berada di perbatasan Cimahi dengan Batujajar. Tak heran, orang Cimahi atau Batujajar sangat mengenal gunung ini. Ketinggian asal gunung ini sekitar 946 meter.

 Gunung Padakasih dilihat dari Google Maps 2014.

Berjejer bersama gunung-gunung kecil lainnya, membentuk rangkaian gunung di sebelah barat dan selatan Cimahi. Kadang-kadang, orang suka salah menunjuk Gunung Padakasih sebagai Gunung Lagadar. Padahal, keduanya berada di dua tempat berbeda. Gunung Lagadar berada di Cikuya, Nanjung. 
 Gunung Padang diliha dari arah Perumahan Sanghyang Pancanaka.

Kondisi Gunung Padakasih sangat memprihatinkan. Puncaknya sudah habis terpapas cabikan alat berat Beckhoe. Sejak lama, batu andesit Gunung Padakasih ditambang. Tidak akan lama lagi, gunung ini hanya tinggal nama. Padakasih.

Kalau menurut teman saya, Kang Deni Suwarja, yang orang Batujajar, pemilik pertambangan pasir batu itu pernah bilang: Kalau Padakasih tidak ditambang, tidak akan ada Jalan tol Padaleunyi. Mungkin memang benar, bahwa material batu pasir dari Gunung Padakasih itu digunakan untuk mengurug, mengecor, dan membangun jalan tol. 

Lalu kenapa setelah pembangunan jalan tol selesai, pengerukan dan penambangan masih terus berlangsung. Dan pertanyaan besarnya: Kok bisa yah, sebuah gunung dimiliki seseorang?. Bukankah gunung termasuk lahan yang dimiliki negara?. Kalo bisa begitu mah, saya juga mau ngaku sebagai pemilik Gunung Burangrang saja, hehe.(*)

Saturday, March 22, 2014

Hotel Rustoord Tjimindi (Seri Sejarah Cimahi)

HOTEL Rustoord, Tjimindi 2 April 1937. Sekelompok remaja berpose di kolam renang Hotel Rustoord. Ada beberapa foto lain dari kolam renang hotel ini. Hanya foto kolam renang, tapi tidak ada foto bentuk bangunan hotel Rustoord ini.

Kemungkinan besar lokasi hotel ini ada di antara PNC, perumahan, lahan Tuan Doosman, dan lahan kosong yang sekarang akan dijadikan dealer. Selain di Cimindi, Hotel Rustoord juga ada di Linggarjati, Kuningan, yang sekarang menjadi museum Perjanjian Linggardjati. Kemudian ada pula Hotel Rustoord di Padang. (*)

Kampanye Sunyi

EMPAT hari sudah kampanye partai politik pemilihan legislatif berlangsung. Adakah gaungnya dirasakan oleh masyarakat? Sepertinya tidak, atau mungkin belum. Indikasinya mudah. Dalam setiap kampanye tatap muka, terutama yang dilakukan partai dan caleg di tingkat kota atau kabupaten, hanya sedikit warga yang hadir. Kebanyakan yang datang adalah kader dan simpatisan partai.

Kampanye terbuka di lapangan-lapangan yang menjadi jatah partai pun ternyata bukan lagi arena yang menarik untuk didatangi. Di Kota Bandung, Kota Cimahi, bahkan mungkin di berbagai kota lainnya, kampanye dengan mendatangkan massa banyak dan penyanyi dangdut mulai ditinggalkan. Paling-paling, massa banyak akan dihadirkan ketika partai menggelar kampanye akbar tingkat nasional.

Kini, partai atau caleg pun lebih memilih jalan sunyi, kampanye secara gerilya, door to door, dari rumah ke rumah, agar warga bersimpati dan kemudian tergerak untuk memilih mereka. Cara seperti itu diyakini lebih efektif dan irit biaya, ketimbang kampanye panggung terbuka.  Apakah kampanye model seperti ini yang juga dilakukan secara instan akan menggerakkan rakyat untuk datang ke tempat pemilihan suara? Belum tentu juga.

Kita harus ingat, bahwa waktu kampanye yang resmi kurang dari satu bulan. Padahal, sesungguhnya ada waktu kampanye yang lebih lama yang bisa dimanfaatkan, yaitu sejak Pemilu 2009 usai dan para wakil rakyat duduk di kursi parlemen.

Rentang waktu lima tahun itulah sejatinya kampanye yang paling efektif dan melekat dalam ingatan masyarakat. Ketika kader-kader partai bekerja untuk kepentingan masyarakat. Ketika masyarakat dirundung bencana alam dan mereka hadir tanpa pamrih, terjun di garda terdepan.

Ketika para anggota dewan turun ke tengah masyarakat membela kepentingan rakyat atau berjuang di parlemen untuk menggolkan peraturan daerah yang prorakyat, di situlah sebetulnya kampanye itu sudah berlangsung.

Tanpa perlu menyebutkan partai asal, aksi kader-kader partai itu akan diingat dan menetap dalam memori masyarakat. Tak perlu bersusah payah selama satu bulan blusukan dan menghambur-hamburkan isi kantong dan tabungan, kampanye itu berjalan secara alamiah.

Namun jika yang didengar atau dilihat masyarakat selama lima tahun terakhir ini hanyalah berita korupsi dan suap sogok, yang melibatkan anggota dewan, jangan salahkan apabila kampanye hari ini tidak akan berbekas sama sekali. Ibarat air di daun talas, kegiatan blusukan, kukurusukan, yang dilakukan para calon anggota legislatif hanya numpang lewat. Diingat sekejap saja, untuk kemudian dilupakan.

Masyarakat kita semakin berpengalaman dan cerdas menghadapi rutinitas pemilu ini. Puluhan tahun ditempa dunia demokrasi melalui pemilu demi pemilu dengan beragam partai politik yang datang dan pergi, masyarakat tahu siapa dan kapan mereka akan menentukan pilihannya.

Masyarakat tak bisa lagi ditipu, dibodohi, dan diiming-imingi dengan janji yang hanya manis di mulut, tapi pahit dalam kenyataan. Masyarakat tahu, mana calon anggota legislatif yang mendadak dermawan dan mana yang tanpa pamrih. Mereka sudah merekam jejak caleg yang tiba-tiba berjiwa sosial, ngedadak someah. Mereka catat dalam hati, siapa saja orang-orang yang bekerja dalam kesunyian untuk masyarakat.

Pada saatnya nanti, 9 April yang akan datang, masyarakat sudah tahu apa keputusan hatinya, untuk memilih siapa atau pun tidak memilih siapa-siapa. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar, edisi Kamis 20 Maret 2014.

Saturday, March 01, 2014

Selamatkan Stadion Sangkuriang


ISU soal alih fungsi Stadion Sangkuriang di Kota Cimahi, menjadi mal bernuansa olahraga (sport centre), sebenarnya sudah bergulir sejak tahun lalu. Rencana makin terbuka, ketika Tribun menurunkan liputan khusus tentang Stadion Sangkuriang Jadi Mal, Desember 2013.

Reaksi masyarakat Cimahi atas rencana pembangunan sport centre mall di lahan Stadion Siliwangi meledak di pertengahan Februari ini. Itu terjadi setelah muncul pernyataan penegasan dari Direktur PD Jati Mandiri, Maktal Nugraha, bahwa di lahan Stadion Sangkuriang akan dibangun mal berlantai enam.
Selain area belanja, mal itu juga akan mengakomodasi konsep community centre, olahraga seperti atletik dan bela diri, namun bakal menghilangkan sepak bola. Alasan sepak bola dihilangkan dari kawasan Sangkuriang, karena persepakbolaan Kota Cimahi tidak berprestasi.
Walau pun punya tiga belas lapangan sepak bola di seantero Cimahi, kata Maktal, prestasinya minim. Lebih jauh lagi, lanjut Maktal, lapang sepak bola bukan dihilangkan, tapi bakal dipindahkan ke lahan milik Pemkot di daerah Cileuweung, Cipageran.

Tentu bukan sekadar pemindahan lahan sepak bola yang dipersoalkan masyarakat Cimahi. Pembangunan mal itu sendiri merupakan masalah. Mengapa? Karena mal-mal yang ada di Cimahi pun tidak optimal. Cimahi Mall, misalnya, sampai kini kios-kios belum juga bisa dipenuhi para pelaku usaha. Apalagi Pasar Atas Baru, ibarat gedung hantu yang dibiarkan tak berpenghuni.

Persoalan lain, PD Jati Mandiri selaku pengelola aset Kota Cimahi, memiliki catatan buruk dalam hal pengelolaan dan manajemen. Kasus pembangunan Pusat Niaga Cibeureum sampai kini tak jelas juntrungannya. Saat peletakan batu pertama oleh Menteri BUMN, Dahlan Iskan, terasa seperti sebuah seremoni megah dan menawan. Alih-alih beres, PNC kini mangkrak, kios-kios belum jadi, para konsumen pun menagih kembali investasi mereka.

Dari sisi historis, jejak Stadion Sangkuriang ini terentang sejak pascakemerdekaan. Dari semula lapang di pinggiran kebun bambu, kemudian warga mewakafkannya untuk dijadikan stadion. Dan jadilah Stadion Sangkuriang pada 1974, stadion yang pernah menjadi kebanggaan warga Kabupaten Bandung saat Persikab masih berjaya.

Harus diakui, prestasi sepak bola Cimahi tidak mencorong atau tidak ada. Tapi ketiadaan prestasi itu harus dilihat sebagai bagian dari kelalaian Pemerintah Kota Cimahi dalam hal pembinaan olahraga. Bagaimana mungkin bisa berprestasi jika sarananya saja tidak dirawat? Bahkan kondisi stadion terkesan dibiarkan menjadi bobrok, karena anggaran perawatan stadion tak pernah diajukan.

Gelombang penolakan sangat keras terjadi di dunia maya. Tanda pagar atau hashtag #savestadionsangkuriang terus berseliweran sebagai bentuk dukungan di jejaring sosial, baik Facebook maupun Twitter. Tentu jangan meremehkan warga dunia maya. Kasus Prita Mulyasari, contohnya. Dukungan terhadap Prita itu muncul pertama kali dari ranah dunia maya.

Jika penolakan atas rencana alih fungsi ini menjadi masif, bukan hal mustahil menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial di ranah nyata untuk bersama-sama menolak rencana pembangunan Stadion Sangkuriang menjadi mal. Kita bisa mengambil contoh kasus rencana pembangunan kondominium, hotel, dan restoran di kawasan Babakan Siliwangi, Bandung. Bertahun-tahun didemo dan diprotes, akhirnya nota kesepahaman antara Pemkot Bandung dan pihak pengembang bisa dibatalkan. Artinya, ini bisa dijadikan semacam yurisprudensi bahwa kebijakan yang tidak prorakyat, apabila ditolak oleh rakyat, ternyata bisa batal.

Sebetulnya, dengan merenovasi dan mempercantik kembali Stadion Sangkuriang, itu sudah cukup. Apabila Pemkot Cimahi keberatan dengan dana renovasi yang bisa puluhan miliar, tentu bisa disiasati dengan penganggaran selama beberapa tahun anggaran.

Belajarlah dari pengalaman, bahwa keberadaan mal tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Mengutip kembali ungkapan Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa, bahwa makin banyak jumlah mal, makin sakitlah kota tersebut. Karena pembangunan mal dipastikan telah memangkas ruang publik. Ataukah Cimahi memang kota yang sedang sakit? (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar,  Sabtu 22 Februari 2014.

Saturday, February 15, 2014

Penjiplakan

PLAGIAT, plagiarisme, atau penjiplakan terhadap sebuah karya ilmiah merupakan kejahatan besar dalam dunia pendidikan. Disebut kejahatan, karena plagiat merusak tatanan dan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah yang menjadi karya puncak seorang akademisi.

Karena itu, kita merasa prihatin sekaligus miris mendengar kabar dugaan penjiplakan yang dilakukan Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM) Dr dr Felix Kasim MKes terhadap karya ilmiah berupa skripsi milik mahasiswanya. Prihatin karena masih saja terjadi kasus penjiplakan dan miris karena yang diduga melakukannya justru orang nomor satu di institusi pendidikan tinggi.

Bagaimana mungkin seorang dosen senior yang menjadi pejabat tinggi bisa dengan enaknya mengambil mentah-mentah karya hasil penelitian mahasiswanya dan mengalihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, tanpa sedikit pun memberi ruang untuk menyebutkan sumber tulisan. Tentu ini menjadi pertanyaan besar, karena dosesn senior ini seolah-olah menafikan dan bahkan tidak menghargai hasil karya orang lain, walaupun itu mahasiswanya.

Penelitian strata satu itu jelas membutuhkan waktu, menghabiskan biaya, dan menguras emosi. Namun sama sekali tak ada penghargaan yang diberikan atas kerja keras dan susah payah itu dalam karya dosen senior ini. Kasus ini memang sudah ditangani pihak Senat dan kabarnya, Yayasan juga sudah turun tangan. Kabar terakhir, kasus ini masih dalam proses penyelidikan.

Persoalannya, kasus ini ternyata membawa dampak kurang menyenangkan terhadap dosen- dosen di universitas yang sama. Pihak Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) melalui Kopertis IV Jabar-Banten kabarnya memberikan sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat terhadap seluruh dosen selama satu tahun. Tentu ini cukup menyesakkan, karena mereka yang tidak tahu menahu dengan penjiplakan itu, mereka yang jujur dalam menjalankan kaidah-kaidah ilmiah, mereka yang menjunjung tinggi integritas dan etika, mereka yang sudah susah payah mengajar dan melakukan penelitian, terkena imbasnya.

Penyelesaian secara internal antara dua pihak, penjiplak dan pemilik karya yang dijiplak, pun sesungguhnya tidak elok dan menjadi preseden buruk. Seolah-olah tindakan penjiplakan bisa diselesaikan "secara baik-baik" dan damai. Lebih jauhnya lagi, penjiplakan seolah bisa menjadi "legal", siapa pun bisa menjiplak karya orang lain, karena penyelesaiannya bisa secara internal dan baik-baik.

Kita mungkin masih ingat, kasus penjiplakan yang dilakukan seorang guru besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Anak Agung Banyu Perwita, beberapa tahun lalu. Kasus ini mencuat setelah diberitakan The Jakarta Post. Acungan jempol untuk Unpar karena langsung melakukan verifikasi dan mengusut kasus dugaan penjiplakan.

Senat Unpar pun bersidang dan memberhentikan Banyu sebagai dosen. Bahkan gelar Profesor yang disandang dosen muda itu pun dicopot. Secara institusi, pihak Yayasan Unpar pun meminta maaf kepada publik, walau penjiplakan ini dilakukan dosen secara individu.

Berkaca pada sikap legawa yang dilakukan Unpar, semestinya hal yang sama pun dilakukan pihak UKM. Biarkan kasus itu terbuka, jangan ditutup-tutupi. Tentu bukan dengan tujuan menjelek-jelekkan institusi pendidikannya, tapi menjadi sebuah pembelajaran bagi siapa pun, khususnya para akademisi. Integritas, baik individu maupun institusi, menjadi taruhannya tatkala bertindak lancung. Sebagai pendidik, harus tentu ada kesepadanan dan kesamaan antara apa yang diajarkan dengan apa yang dikerjakan. Ucap itu harus seirama dengan lampahnya. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 6 Februari 2014.

Friday, February 14, 2014

Beragam Kisah tentang Gunung Bohong (Seri Sejarah Cimahi)

FOTO di atas ini Gunung Bohong di tahun 1895. Tidak diketahui dari arah mana foto ini diambil. Mungkin dari arah Contong, atau dari Tipar. Bagaimanakah gunung atau bukit ini bisa dinamakan Gunung Bohong? Tidak ada kisah, cerita, sasakala, asal usul, atau toponomi Gunung Bohong yang jelas.

Ada yang bilang, disebut Gunung Bohong karena bukit itu membentuk gunung seperti pada umumnya, namun berukuran kecil, sehingga diberi nama Gunung Bohong alias bukan gunung tapi bukit.

Ada pula yang bercerita bahwa Gunung Bohong ini berkaitan dengan kisah Sangkuriang. Syahdan, ketika Dayang Sumbi ditinggal pergi anaknya, Sangkuriang, yang diusirnya, rupanya ia merasa rindu. Dayang Sumbi lalu memutuskan untuk mencari Sangkuriang. Ia berjalan ke arah timur lalu berjumpa dengan Raja Jin di Gunung Halimun.

Setelah belajar bermacam-macam ilmu, Dayang Sumbi disuruh Raja Jin untuk berangkat ke daerah sebelah barat, hingga akhirnya ia menemukan sebuah tempat yang dinamakan Gunung Bohong. Di bukit kecil inilah, Dayang Sumbi menetap dan merasa betah. Konon, di Gunung inipula, Sangkuriang yang juga berkelana, akhirnya bertemu dengan Dayang Sumbi. Tapi dalam kisah ini juga tidak disebutkan asal-usul nama Gunung Bohong. Tiba-tiba saja, sudah ada daerah bernama Gunung Bohong. 

Hasil penelusuran saya dari sejumlah sumber Belanda, ada sebuah cerita yang mungkin bisa menjelaskan nama Gunung Bohong. Cerita ini dituliskan oleh Rudy Doornbos. Rudy adalah orang Belanda kelahiran Cimahi tahun 1925. Ayahnya, Peter Doornbos adalah perwira muda lulusan Koninkijke Militaire Akademie, Breda, yang ditugaskan ke Indonesia. Peter bertemu dengan Yvonne, lalu menikah di Bogor. 

Selanjutnya, Peter bertugas di Cimahi. Di kota garnisun inilah Rudy dilahirkan. Keluarga Doornbos tinggal di Wilhelmina Park no 27. Wilhelmina Park ini sekarang menjadi Taman Gajah Mada. Sepertinya di komplek kecil itulah, keluarga Doornbos tinggal. Saat umurnya 7 tahun, Rudy mendapat hadiah sepeda dari ayahnya. 

Nah dengan sepeda itulah, Rudy bersama teman-temannya main ke Gunung Bohong. Rudy sering bertanya-tanya kepada pembantunya di rumah, mengapa gunung itu disebut Lying Mountain? Ternyata jawabannya terdapat di puncak Gunung Bohong. Gunung ini punya tiga puncak. Tinggi masing-masing puncak, hanya beda selisih sedikit. Sehingga ketika seseorang mendaki Gunung ini dan menganggap telah sampai di puncaknya, ternyata masih ada puncak di depannya. Kemudian ketika dia mencapai puncak kedua, ternyata, masih ada lagi puncak di depannya!. 

Bisa dibayangkan, bagaimana Gunung ini telah "membohongi" para pendaki. Dikira sudah mencapai puncak tertinggi, ternyata belum. Dari puncak yang paling tinggi itulah, Rudy bisa menyaksikan pemandangan Cimahi. Begitulah secuil informasi yang dituliskan Rudy Doornbos, tentang asal usul Gunung Bohong atau istilah dia, Lying Mountain. Ternyata begitu yah, beragam kisah, cerita, sasakala, tentang Gunung Bohong ini. Bagaimana kebenarannya, belum ada yang tahu. Wallahu a'lam bishshawab...