Wednesday, May 16, 2007

Pendidikan, Kunci Reformasi

SELASA siang, saya buru-buru ke kantin dekat kantor. Biasa, sarapan pagi. Selama di Batam ini, saya tidak pernah sarapan pagi yang benar-benar pagi. Paling pagi, yah jam 11.00. Jadi makan di kantin saat jam istirahat, itulah sarapan pagi.
Rupanya di meja bawah pohon, sudah ada Patrick, anak sirkulasi Tribun Batam. Patrick ini sempat sekolah di Bandung lho. SMA 3 Bandung. Ciee, pinter berarti dia. SMA paling top di Bandung, siapa yang gak kabita buat masuk ke SMA di Jalan Belitung ini. Patrick ini angkatan 97-an, lulus tahun 1999. Waktu di Bandung, dia tinggal di daerah Jalan Riau. Cuma lulus dari SMA 3, dia pindah ke Jakarta dan dia kuliah di Trisakti. Dia bilang sih,"Gak selalu, anak SMA 3 itu pintar dan masuk universitas negeri," katanya merendah. Sampai sekarang dia bisa ngobrol berbahasa Sunda, dan ingat tempat-tempat di Bandung.
Saya pun duduk di dekat dia. Tak lama datang beberapa kawan yang lain. Ada Mbah Roso, lalu Mas Yon Daryono, Redaktur Kota. Setelah makan selesai, kita pun ngobrol ngalor ngidul. Namun lama kelamaan, jadi serius juga nih perbincangan. Akhirnya cuma bertiga yang terlibat pembicaraan ini.
Awalanya, obrolan berkisar tentang kabar Koran Sindo mau ekspansi ke Riau. Tentu ini kabar yang harus disikapi serius. Bagaimanapun, bagi kami Sindo ini koran dengan kekuatan uang yang tak terbatas. Apapun bisa dia lakukan, seperti halnya terbit dua kali sehari. Pagi dan Sore.
Kami tidak ingin cerita Tribun Jabar yang wartawannya banyak menclok ke Sindo, terjadi di sini. Tapi ya itu, kita sadar benar, kalau sudah bicara kesejahteraan, orang punya hak untuk memilih.

Darisana obrolan terus berkembang jadi ke masalah Cendana, yang kemungkinan bakal bangkit lagi menyongsong 2009. Lalu dikaitkan dengan kondisi sekarang, yang rasa-rasanya belum begitu banyak perubahan.
Masuklah obrolan itu ke topik soal pendidikan. Ramai kami mengeluarkan pendapat soal pendidikan di tanah air ini. Kalau saya berpendapat, kesalahan mendasar dari negeri ini adalah saat Reformasi 1998, tidak menyentuh atau bahkan mengesampingkan masalah pendidikan. Yang jadi fokus adalah Reformasi Politik. Tidak ada satupun yang saat itu teriak,"Ganti Sistem Pendidikan Kita!!". Baru sekarang terasa, pendidikan kita tertinggal jauh. Dibanding dengan Malaysia dan Singapura, kita keteteran. Padahal, dulu mereka itu belajar pada Indonesia.
Tengoklah berapa banyak pakar-pakar, ahli-ahli, peneliti potensial, yang lebih memilih mencurahkan dan mengamalkan ilmu di luar negeri. Karena di dalam negeri ini, tidak ada penghargaan yang layak terhadap keilmuan, terhadap pendidikan, terhadap mereka yang susah payah mencari ilmu hingga ke Negerai Cina.
Untuk bisa 20 persen saja anggaran pendidikan, sulitnya minta ampun. Coba kalau peluang Reformasi itu kita gunakan untuk merombak total sistem pendidikan kita, fokus di situ, rasanya kita tidak akan tertinggal jauh. Kualitas SDM kita akan jauh meningkat.
Lalu saya memberi contoh, bagaimana Jepang saat Restorasi Meiji. Mereka benar-benar memanfaatkan peluang itu untuk memajukan bangsa mereka dari sisi pendidikan. Mereka serap segala macam ilmu dari luar, lalu diamalkan di negeri Sakura. Hasilnya luar biasa. Mereka jadi negara maju. Walau sempat dihajar bom Atom, cuma butuh beberapa tahun untuk bangkit lagi dan menjadi Naga Dunia.
Mas Yon pun setuju dengan pendapat ini. Ia mengilustrasikan, seandainya ada seorang anak Jepang dan anak Indonesia yang lahir bersamaan. Lalu anak Indonesia ini sejak kecil hingga dewasa diberi pendidikan seperti halnya orang Jepang mendapat pendidikan, hasilnya akan sama. Minimalnya, tidak tertinggal jauh banget. Itu bisa terjadi, kalau lingkungannya memang sudah sedemikian rupa menunjang pendidikan anak.
Lalu Patrick menyela," Lha di kita ini, sistem pendidikannya masih otak kiri yang digenjot, bukan otak kanan. Makanya hasil yang menjadi tujuan, nilai terus yang dikejar, sementara yang terkait otak kanan, seperti logika penalaran, itu tidak pernah diajarkan sejak awal". Paradigma itu yang harus diubah, bahwa pendidikan bukanlah mencetak hasil. Dia hanya menjadi penunjang seseorang untuk menggapai masa depannya.
Patrick cerita, kalau mencontoh sistem pendidikan di Amerika, semuanya sudah serba fokus, spesifikasi. Dari kecil, potensi anak sudah disalurkan. Dia senangnya ke tehnik, pasti sekolah tingginya pun pendidikan tehnik, dan dia nanti akan bekerja di bidang tehnik. Ditanya soal sosial, dia angkat tangan. Tapi tanya soal tehnik, dia menguasai betul. Begitu pula dengan anak sosial, dia menyerah kalau ditanya soal tehnik. Tapi jangan pernah ditanya masalah sosial, pasti ngelotok luar dalam.
Kata Patrick, pendidikan di Indonesia itu tidak fokus, semua hal dipelajari. Kita tidak tahu anak mau jadi apa. Karena tidak pernah disalurkan. Bisa jadi belajar tehnik, eh nyemplung ke sosial, dan sebaliknya. Tahu segala hal, tapi tidak mendalam.
Saya lalu menggarisbawahi persoalan penghargaan terhadap keilmuan yang masih sangat rendah di Indonesia. Semua tahu, di Indonesia itu sebenarnya banyak sekali orang-orang pintar, tak kalah dengan mereka yang di Jepang, Eropa, dan Amerika. Bahkan banyak peneliti kita yang sukses menemukan hal baru. Bukankah ada astronom asal Indonesia yang menemukan planet-planet baru. Lalu berapa banyak peneliti kita yang hasil penelitiannya diklaim milik Jepang, gara-gara dia pakai fasilitas laboratorium di Jepang sana.
Nah, penghargaan terhadap mereka ini tidak ada. Begitu balik ke Indonesia setelah cari ilmu di luar, pasti yang didapat kekecewaan. Tidak ada fasilitas penunjang, tidak ada penghargaan secara ekonomis terhadap mereka. Kalau sudah urusan perut, jelas yang dituju pasti yang lebih besar, jadi wajar kalau mereka migrasi ke luar.
Tengok lagi kasus IPTN atau PTDI. Mas Yon masih ingat, waktu peluncuran perdana CN 235 disiarkan di televisi. Kita bangga bener, itu pesawat pertama buatan kita. Lalu ada rencana CN berapa lagi yang lebih canggih. Tapi akhirnya bablas. Krisis menjungkirbalikkan semua itu. Lha orang-orang pinter pembuat pesawat itu pada kemana? Saya juga masih ingat, tetangga saya dulu di Cimahi, itu orang IPTN. Dia ahli Cassa. Pernah disekolahkan ke Spanyol untuk alih teknologi Cassa dan diterapkan saat pembuatan CN 235. Sekarang, kemana tuh orang? Apalagi PTDI-nya sudah amburadul begitu. Banyak pula yang nyeberang ke Malaysia. Karena di sana lebih baik.
Bla bla bla, kami ngobrol panjang lebar lagi, sampai tak terasa jam menunjukkan pukul 14.00. Wah, rame nian ini obrolan. Mungkin nanti bisa disambung. Intinya, kita kecewa dengan kondisi negara saat ini. Karena tidak memperhitungkan soal pendidikan ini, kita sekarang yang harus menangggung. Kebodohan dan pemiskinan menjadi cerita sehari-hari bangsa ini. Kisah anak SD belajar di kandang ayam seperti di Cipatat Kabupaten Bandung masih akan terus menghiasi dunia pendidikan kita. Sampai-sampai Mas Yon sedikit mengkhayal. "Ada gak yah Pemda yang berani menganggarkan APBDnya 30 persen saja, tidak perlu 50 persen hanya 30 persen saja, untuk pendidikan. Kalau ada itu luar biasa," katanya menutup obrolan. (*)

No comments: