Monday, October 12, 2009

Menunggu Telepon SBY

HARI-hari ini, para petinggi partai politik pendukung koalisi besar dan juga beberapa praktisi profesional bakal panas dingin. Mereka dihinggapi penyakit H2C alias harap-harap cemas. Kabarnya, pada tanggal 16 dan 17 Oktober, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memanggil para calon menteri untuk mengisi jajaran kabinet SBY jilid II.

SBY dan Budiono dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pada 20 Oktober mendatang. Setelah itu, langkah pertama yang akan dilakukan SBY adalah mengumumkan jajaran menteri yang nama-namanya sudah dikantonginya dan saat ini tengah digodok matang.

Sejumlah partai telah menyodorkan nama-nama kader yang bakal menempati pos menteri. PKS kabarnya sudah punya jatah empat pos menteri, termasuk di dalamnya Presiden PKS Tifatul Sembiring dan mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

PKB menyiapkan empat nama untuk disodorkan. Selain nama Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar dan Sekjen Lukman Eddy, juga muncul nama Marwan Ja'far dan Helmy Faishal Zaini. Jangan ditanya lagi kader Partai Demokrat, tentu mereka yang paling banyak mendapat posisi menteri. PAN juga sudah menyiapkan Hatta Rajasa dan lainnya sebagai calon menteri yang disodorkan kepada SBY.

Kening SBY pasti berkerut memikirkan siapa yang pantas masuk dalam jajaran kabinet jilid II ini. Politik akomodasi yang diterapkan SBY mau tak mau akan menyulitkan untuk memilih orang yang berkompeten. Apalagi selain koalisi dan akomodasi, SBY pun memakai pertimbangan rekonsiliasi untuk menyusun kabinetnya.

Jika rekonsiliasi diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki kembali hubungan, tentu ini berkaitan dengan PDIP dan Partai Golkar yang menjadi seteru SBY saat pilpres lalu. Dengan politik rekonsiliasinya, SBY pun pasti akan mengambil menteri dari dua partai besar itu untuk mewujudkan stabilitas kabinetnya sekaligus stabilitas di parlemen.

Karena itu, rasanya sulit berharap kabinet SBY jilid II ini bakal diisi profesional. Terlalu riskan bagi SBY jika harus menyingkirkan orang partai dengan koalisi besarnya.

Dalam situasi seperti ini, mereka yang berharap pada jabatan dan kursi kekuasaan akan sangat rindu pada dering telepon yang datang dari Cikeas. Telepon dari SBY yang biasanya meminta kesediaan yang bersangkutan untuk menjadi menteri atau setidaknya meminta mereka datang lebih dulu ke Cikeas. Mungkin untuk diaudisi SBY terlebih dahulu, melihat kesanggupan dan komitmen calon menteri itu.

Satu yang harus diingatkan kepada para calon menteri ini, bahwa tidak ada yang nikmat dengan kekuasaan selama mereka tidak amanah dan berlaku zalim pada rakyat. Jika ingin membawa negeri ini pada kesejahteraan, berlakulah amanah. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Selasa 13 Oktober 2009.

Friday, October 02, 2009

Gampo


NEGERI ini ibarat tumbuh di atas agar-agar. Sebentar oleng ke kiri, sebentar ke kanan. Mudah diguncangkan. Bumi yang kita pijak ini memang terus bergerak. Lempengan demi lempengan bumi mendesak tak henti melontarkan energi yang tak terkira dahsyatnya.

Belum hilang dalam ingatan kita, kurang dari sebulan lalu, gempa mengentak bumi Pasundan. Masih terngiang di telinga kita, jerit tangis anak yang kehilangan ibu-bapaknya, ibu yang kehilangan bayinya, suami yang kehilangan istrinya dan, sebaliknya, istri yang kehilangan suami berikut anak-anak tercintanya.

Masih terekam jelas pula dalam benak kita, gempa menyebabkan bukit longsor, meluluhlantakkan permukiman warga di Cikangkareng, Cianjur, dan mengubur mereka yang tidak sempat lari.

Dan kini, bencana lebih dahsyat mendera Pariaman dan Padang di Sumatera Barat. Gampo, begitu orang Minang menyebutnya, nyaris meratakan dengan tanah kota asal para saudagar itu. Guncangan bumi itu menerbitkan rasa takut luar biasa, seperti kiamat hendak menjelang.

Orang yang berdagang meninggalkan jualannya, ibu-ibu lupa dengan anaknya yang biasa menggelendot, pekerja kantoran tak peduli lagi dengan segunung pekerjaannya. Mereka berlari kebingungan, tak tentu arah, hanya untuk menyelamatkan diri.

Persis seperti digambarkan Allah Swt dalam Alquran bahwa ketika sangkakala ditiup semua manusia berada dalam kebingungan. Dan ketika bumi diguncangkan, gunung-gunung terbang seperti anai-anai, manusia sudah tidak ingat lagi dengan urusannya.

Sesungguhnya penghuni negeri ini harus bersyukur menjadi orang Indonesia. Karena menjadi orang Indonesia berarti menjadi orang yang sabar, tawakal, dan beruntung. Berkali-kali dihantam musibah dan bencana, kita tetap tegar.

Gempa mereda, gunung meletus. Menyusul banjir bandang, lalu longsor. Tak hanya itu, pesawat jatuh dan kapal tenggelam pun susul-menyusul menjejali daftar musibah di negeri ini.

Semuanya itu menguji kesabaran dan keimanan kita. Kita yang lolos dari berbagai bencana sebenarnya sedang diuji, apakah kita peduli kepada saudara kita yang menjadi korban.

Bahwa musibah yang terjadi hanyalah sebuah tamparan kecil dari Tuhan agar kita kembali ke jalan yang benar. Tak heran, sering kali musibah menjadi sarana efektif untuk kian mendekatkan diri pada Allah Swt.

Karena kesabaran kita pula, maka kita termasuk orang yang beruntung. Mereka yang bersabar saat ditimpa musibah dan bencana itulah yang akan mendapat berkah yang sempurna, rahmat dan petunjuk dari Tuhan.

Dan kita pun beruntung karena bencana yang datang silih berganti itu sebenarnya mengingatkan kepada kita bahwa kematian begitu dekat, tak mengenal tempat dan waktu, tak kenal kaya dan miskin, penguasa jelata. Karena maut tak kenal ampun, kitalah yang harus bersiap menyongsongnya, agar hidup berakhir dengan indah, khusnul khotimah. Dari rentetan musibah ini, semoga kita mendapat hikmah dan rahmat Allah Swt. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Jumat 2 Oktober 2009.