Thursday, May 29, 2014

Mengejar Indeks Kebahagiaan

WALI Kota Bandung, Ridwan Kamil, terus menggadang-gadang soal peningkatan indeks kebahagiaan masyarakat Kota Bandung. Bagi Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, kemajuan suatu kota tak hanya diukur oleh peningkatan ekonomi semata, tapi juga ditilik dari kebahagiaan setiap warga penghuni kota.

Bisa jadi keinginan Emil ini sejalan dengan apa yang sudah dilakukan Perserikatan Bangsa- bangsa (PBB). PBB menetapkan setiap 20 Maret sebagai hari bahagia sedunia. Bahkan setiap tahun, ada pemeringkatan negara-negara penduduknya paling bahagia di dunia.

Tahun 2012 lalu, dalam laporan bertajuk World Happiness Report, PBB menetapkan Denmark sebagai negara paling bahagia di dunia. Apa sebabnya? Ternyata sepele saja. Karena Denmark memiliki banyak tempat wisata yang sangat luar biasa, satu di antaranya adalah taman paling tua, Tivoli Gardens. Lalu ada Norwegia di peringkat kedua. Apa pasal penduduk Norwegia paling bahagia di dunia? Ternyata sepele juga penyebabnya. Makan malam di ibukota Norwegia, Oslo merupakan salah satu pemicu senyum di wajah para penduduknya.

Maka Emil pun mendorong sejumlah program perkotaan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan indeks kebahagiaan ini. Di antaranya penataan taman-taman kota, penyelenggaraan culinary night di sejumlah kecamatan, penyelenggaraan berbagai festival unik, penggunaan pendopo Kota Bandung secara gratis untuk warga yang akan menikah, dan urban farming alias pertanian kota.

Semua kegiatan itu ditujukan agar warga Bandung bisa lebih sering tersenyum, banyak bersilaturahmi dengan sesama warga, sehingga warga bisa lepas dari stres dan kepenatan hidup yang mendera setiap hari. Jika ini dilakukan konsisten, bukan hal mustahil, Kota Bandung bakal memiliki indeks kebahagiaan tinggi, karena warganya mudah senyum, selalu menyapa, santun, dan tak kenal stres.

Tapi ada elemen penting lain pembentuk indeks kebahagiaan yang tak boleh dilupakan, yaitu rasa aman dan keamanan. Tidak mungkin indeks kebahagiaan ini terwujud atau meningkat, apabila setiap warga tidak memiliki rasa aman dan nyaman dalam aktivitas sehari-hari. Tanpa keamanan dan rasa aman di tengah masyarakat, tak akan pernah muncul kebahagiaan itu.

Terlebih jika melihat aksi-aksi kejahatan yang terjadi di Kota Bandung belakangan ini, rasa aman itu seolah sirna. Pembunuhan terjadi di perumahan mewah, minimarket tak luput dari tangan si jahat, dan perampokan bisa terjadi di siang bolong di tengah suasana ramai jalan Kota Bandung.

Ini yang menjadi pekerjaan rumah aparat kepolisian dan keamanan, Wali Kota Bandung, dan masyarakat sendiri. Bahwa menciptakan keamanan itu bukanlah tugas kepolisian semata. Tapi dituntut pula peran serta masyarakat untuk mengantisipasi, bahkan menangani, beragam kejahatan di tengah masyarakat.

Kehadiran Brigadir RW, yaitu anggota kepolisian yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di tingkat RW, harus benar-benar memberikan keamanan di hati masyarakat. Itu pun harus pula didukung masyarakat, dengan sebuah sistem keamanan yang juga berbasis RT/RW, sehingga akan paripurnalah sistem keamanan yang melindungi masyarakat Kota Bandung.

Kita berharap, berawal dari keamanan, rasa aman, dan nyaman yang diwujudkan secara bergotong royong oleh masyarakat serta aparat pemerintahan dan keamanan, bakal mendorong masyarakat untuk merasa bahagia, sehingga indeks kebahagiaan itu pun akan meningkat. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 28 Mei 2014.

Tuesday, May 20, 2014

Ada Gajah Mada di Cimahi (Seri Sejarah Cimahi)

MENGAPA jalan di samping Mesjid ABRI Kota Cimahi ini diberi nama Jalan Taman Gajah Mada? Bukankah, konon katanya, pascaPerang Bubat, tabu ada nama-nama berbau Majapahit, apalagi Gajah Mada di Tatar Sunda? Sebagaimana halnya tidak ada nama Jalan Pajajaran atau Siliwangi di daerah Jawa.

Tapi ternyata di Cimahi, mitos itu dipatahkan secara sederhana. Petinggi ABRI ketika itu tinggal beri nama Taman Gajah Mada, orang lalu lebih suka menyingkat menjadi Gama saja, dan tak ada masalah apapun. Nama Gama lalu beken sebagai klub basket di Cimahi. 

Saya menduga penamaan jalan ini bersamaan dengan peresmian Masjid ABRI sekitar April 1976. Mengapa tidak langsung Jalan Gajah Mada, tapi pakai Taman? Kata Taman ini saya kira untuk mengingatkan orang bahwa dulu kawasan Masjid ABRi itu merupakan sebuah taman yang disebut Wilhelmina Park. 

Lalu mengapa Gajah Mada? Lagi-lagi saya menduga, karena di "kompleks" Masjid ABRI itu banyak anggota ABRI/TNI yang berdinas di POM AD. Bukankah nama lambang POM AD adalah Panji Gajah Mada? Di lambangnya pun jelas tertera nama Gajah Mada. 

Ternyata dugaan saya ada betulnya. Seorang teman di Grup FB, Tjimahi Heritages, Kang Bambang Sutisno, menuturkan, bahwa orang tuanya adalah seorang pensiunan dari POM ABRI yang tinggal di Asrama Sub Den POM. Dan di setiap rumah asrama tersebut, ada lambang Gajah Mada sebagai lambang POM ABRI.

Menurut Kang Bambang, keluarganya pertama kali tinggal di jln T.GajahMada sekitar tahun 1974. Ketika itu, masih berupa taman, tapi tidak terawat. Tamannya dikelilingi oleh pohon perdu yang daunnya bergelombang dan berwarna merah dan hijau sampai akhirnya tahun 1975 dibangun masjid ABRI. Entah sejak kapan nama taman itu menjadi taman Gajahmada dan jalan disekelilingnya juga dinamakan jalan Taman Gajahmada..Untuk menghindari prokontra nama jalan, makanya namanya bukan Jalan Gajah Mada tapi Jalan Taman Gajah Mada. 

Adakah cerita sejarah yang lain terkait Jalan Taman Gajah Mada?. (*)

Monday, May 19, 2014

Kejahatan di Sekitar Kita

INDONESIA memang bukan negara maju, karena itu tingkat kejahatan pun masih sangat tinggi. Teorinya, semakin maju sebuah negara, maka tingkat kemakmuran dan pendidikan makin tinggi, serta tingkat kejahatan berbanding terbalik, akan semakin rendah.

Berhubung Indonesia masih tergolong negara berkembang, kejahatan merebak di mana- mana. Dan semakin hari, semakin mengkhawatirkan. Mengapa? Kejahatan tidak mengenal waktu, tempat, dan relasi. Orang yang dikenal atau dekat sekali pun bisa menjadi pelaku kejahatan.

Dalam rentang waktu satu minggu terakhir ini, terjadi dua peristiwa pembunuhan sadis. Akhir pekan lalu, dua pasangan suami istri, pensiunan Disperindag Jabar, ditemukan tak bernyawa di Pandeglang.
Keduanya sudah dilaporkan hilang oleh pihak keluarga ke polisi. Saat ada penemuan dua mayat di Banten, ternyata itu jenazah Didi Harsoadi (59) dan Anggi Anggraini (51), warga Batununggal. Pelaku, sebanyak tiga orang, sudah ditangkap polisi, dan mereka mengaku sebagai orang suruhan. Belum diketahui motif kejadian itu.

Lalu awal pekan ini, ditemukan pula tiga mayat, dua di antaranya di dalam karung, di bawah jembatan. Dua mayat ditemukan di daerah Cidaun, satu lagi di perbatasan Cianjur- Garut. Ternyata, mereka adalah kakak beradik Raziv Rizal Sidiq (22) dan Rivan Cipta Pamungkas (10), beserta pembantu di rumah, Yati (30). Belum diketahui siapa pelaku dan apa motifnya. Dugaannya, pelaku adalah orang dekat dan kenal dengan korban.

Masih di pekan ini, muncul berita tentang pelecehan seksual terhadap anak TK di Jakarta Internasional School (JIS). Pelaku adalah petugas kebersihan alih daya. Anak TK berusia enam tahun itu beberapa kali menjai korban pelecehan. Padahal, JIS merupakan sekolah yang menerapkan sistem pengamanan dan keamanan tinggi.

Belum lagi dengan kasus-kasus kejahatan lainnya yang juga muncul di sepanjang pekan ini, seperti trafiking dan pemerkosaan. Rata-rata pelaku pun adalah orang yang dikenal oleh korban.

Apa yang harus kita lakukan menyaksikan tindak kejahatan terjadi di sekitar kita? Masyarakat tidak mungkin hanya memasrahkan persoalan keamanan ini kepada pihak kepolisian, karena terbatasnya daya jangkau ke masyarakat.

Di sinilah perlunya self defense, pertahanan yang dibangun oleh masyarakat sendiri. Kita tidak tahu, kapan pelaku kejahatan akan bertindak. Kita tidak tahu, di mana para bandit mengintai kita.
Mungkin pelajaran bela diri pencak silat sejak sekolah dasar bisa menjadi awal dari kekuatan self defense itu. Anak-anak dibiasakan untuk bisa membela diri dan memberikan perlawanan ketika pelaku kejahatan beraksi. Tentu ini pun berlaku bagi orang-orang dewasa, karena kejahatan tak kenal usia.

Kemudian, peran orang tua pun sangat besar. Mengapa? Karena anak-anak itu rentan dan merupakan sasaran empuk dunia kriminalitas. Merekalah yang paling sering menjadi korban pornografi anak, perdagangan manusia, dan pelecehan seksual.

Karena itu, kehadiran orang tua dalam keseharian anak-anak menjadi sangat penting, agar mereka merasa aman dan nyaman. Dampingi anak-anak saat belajar. Jadilah teman curhat yang baik untuk anak-anak. Dari situ, segala persoalan tidak akan pernah ditutup-tutupi. Waspadalah, kejahatan berada di sekitar kita. (*)
Sorot, dimuat di Harian Tribun Jabar edisi 17 April 2014,

Koalisi Berebut Kursi

ADAGIUM politik "tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi" benar adanya. Tengok kasak-kusuk koalisi partai politik pascapenetapan hasil pemilu legislatif hari-hari ini. Partai yang kemarin-kemarin bergandeng akrab, hari ini bisa bertentangan. Sebaliknya, partai yang dulu berseberangan, sekarang bisa enak makan siang bersama.

Apakah yang mempersatukan atau memisahkan mereka? Ideologikah? Bukan. Yang mempersatukan dan memisahkan partai politik ini adalah kepentingan. Semua ditentukan oleh satu kepentingan, yaitu merebut kursi presiden yang bakal ditinggalkan SBY.

Lihat drama yang tak dramatis namun berbalur tangis dari PPP. Ketika Ketua Umum mereka, Suryadharma Ali menyatakan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden, kubu lain langsung sewot. Saling pecat pun terjadi. Ketua memecat wakil ketua dan sekretarisnya, lalu wakil ketua memecat ketuanya. Lalu semua kembali rujuk dan menggelar rapat pimpinan nasional untuk menentukan dukungan. Ternyata tak jauh juga, dukungan itu tetap jatuh ke Prabowo.

Memang hanya sosok Prabowo dan Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjadi aktor terpenting calon presiden. Partai politik di luar Gerindra dan PDIP, minus Partai Golkar dan Demokrat, semua menyorot ke dua sosok ini. PKB dan Nasdem sudah merapat ke Jokowi. Kabarnya PKS, PAN, dan Hanura sudah siap berlabuh ke pangkuan Prabowo. Lantas di mana gerangan posisi Golkar dan Demokrat?

Patut dicermati, sebagai partai politik tertua yang sudah makan asam garam mengarungi politik Indonesia, Golkar tak pernah "terkalahkan". Boleh saja dalam pemilu legislatif, Golkar hanya jadi nomor dua. Tengok sejak Reformasi 1998 bergulir, Golkar tak pernah lepas dari lengan pemerintah yang berkuasa. Tak sekali pun partai berlambang pohon beringin itu menjadi partai di luar pemerintahan. Bagaimana carut marutnya kabinet koalisi pelangi, Golkar pasti ada di dalamnya. Golkar selalu selamat.

Jika koalisi hanya mempertandingkan dua pasang kandidat, Prabowo dan cawapresnya serta Jokowi dan cawapresnya, tak salah jika Arbi Sanit, pengamat politik UI, mengatakan, pemenangnya kemungkinan besar adalah Jokowi. Apabila Prabowo jadi menggandeng Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, kekuatan keduanya tidak akan mampu menandingi Jokowi. Terlebih jika Jokowi jadi menggandeng Abraham Samad atau Jusuf Kalla.

Artinya, sinyal-sinyal yang dipancarkan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk merapat ke PDIP adalah visi yang jauh ke depan, dengan mengorbankan keinginan Ical, sekaligus menjaga tradisi berada dalam lingkar kekuasaan.

Lalu kemana gerangan Demokrat akan berlabuh? Hambatan psikologis terbesar tentu akan muncul jika bergabung dengan PDIP. Lebih memungkinkan apabila Demokrat bergabung dengan Gerindra, walau harus memendam keinginan untuk mengajukan cawapres.

Tapi menjadi oposisi pun bukanlah hal buruk. Terlebih jika Demokrat benar-benar mampu mengkritisi dan mengevaluasi pemerintahan yang akan datang, bukan mustahil itu jadi modal besar untuk kembali berkuasa pada 2019 nanti.

Lalu di mana posisi rakyat, pemilik sesungguhnya kedaulatan ketika omong-omong koalisi ini diperbincangkan? Nanti, tunggu giliran, kalau kursi presiden sudah ada yang mendudukinya, baru rakyat diperhatikan. Sekarang, kita jadi penonton yang baik saja dulu. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu (14/5).