Tuesday, October 03, 2017

BANYAK JALAN KE CURUG MALELA.

NAMA Curug Malela sudah lama saya dengar, mengisi pikiran jarambah saya.Beberapa kali ada acara jelajah, geotrek, jarambah ke curug yang dijuluki Little Niagara ini, saya tak berkesempatan mengikutinya. Baru Minggu 24 September 2017, saya bisa menjejakkan kaki di bawah air terjun di Kecamatan Rongga Kabupaten Bandung Barat.

Sebenarnya, daerah Gunung Halu, Rongga serta Cipongkor dan sekitarnya bukanlah daerah yang asing bagi saya. Sejak tahun 2000, saya liputan di daerah ini. Dulu termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Sejak zaman naik bus Madonna dan rekan-rekannya, hingga naik sepeda motor. 
 

Pernah suatu ketika, mungkin tahun 2003, saya meliput peristiwa longsor di Rongga. Sepeda motor baru 3 bulan nyicil. Masih gres. Dari daerah Cicadas Rongga, saya naik motor memboncengkan Kades Cicadas. Lokasi longsor, sebuah pesantren, yang dihajar tebing runtuh. Jalan masuknya jangan ditanya: Rusak berat. Jalan tanah berbatu besar, aspal sudah menghilang entah kemana. Atau memang tak pernah diaspal. 

Ke Rongga saja butuh berjam-jam dari Cimahi. Dari Cicadas ke lokasi butuh 3 jam, baru sampai ke TKP. Itu pun ditambah dengan jalan kaki, karena motor tidak bisa masuk. Waktu pulang ke Bandung, motor terasa tak enak. Rupanya, pedal bengkok menghajar batu-batu. 

Tapi saat peliputan di sana, saya tak pernah dikabari soal Curug Malela. Padahal dekat dari kantor Desa Cicadas. Asli. Sampai tahun 2008, baru nama Curug Malela mencuat. Ketika Dede Yusuf, wagub Jabar ketika itu, mempromosikan Malela dan mengupayakan perbaikan infrastruktur di sana.

Rute normal menuju Curug Malela adalah melewati jalan utama dari Cililin ke Gunung Halu. Dari Cimahi melewati Batujajar-Cililin-Sindangkerta-Gunung Halu-Rongga-Malela. Nah saat jelajah kemarin, bersama teman-teman dari Urang Bandung Barat, kami memilih jalur tak biasa. 

Pukul 07.30, kami berkumpul di depan sebuah bengkel dekat Kota Baru Parahyangan, Padalarang. Satu per satu berkumpul. Saya sendiri gak ada yang kenal. Jam 08.00, baru Rudy Praja, junior saya di Jayawijaya dan SMAN 2 Cimahi, datang. Lalu beberapa junior lainnya, Andri Adityawarman dan teman-teman seangkatannya di 97, datang. 

Jam 08.30, kami pun konvoi motor, sendirian atau boncengan. Jalur yang dipilih dari Kota Baru ke Saguling Rajamandala. Dari bendungan, kami mengarah ke Cipongkor-Gunung Karang-Gunung Halu-Rongga. Istirahat sebentara di bendungan, kami lanjut ke jalan tembus Cipongkor.

Jalur yang mulus baru dihotmix seharusnya dari Cipongkor ke Cibitung tembus Rongga. Tapi kami bablas ke Gunung Karang. Itu jalur wooow sekali. Setelah mengaspal di jalanan yang mulus, kami harus menghadapi jalan yang rusak, menyisakan batu-batu. Gilanya, kondisi rusak itu dalam posisi menanjak.
 
Sempat bingung ini ada di daerah mana. Akhirnya di setiap pertigaan, atau jika kebetulan bertemu warga, kami selalu bertanya arah ke Rongga. Jalur yg kami lewati sangat sempit. Kiri kanan sawah atau sebelah kiri jurang kanan tebing. Masuk ke sebuah desa, kalau tak salah Cikawung, jalan sdh lumayan. Baru beberapa bulan dicor beton. Tapi duillleh itu tanjakannya gak ku ku. Gigi 1 aja nyaris tepar.
 
Setelah 4 jam 30 menit atau tepat pukul 13.00, baru kami tiba di pelataran parkir Curug Malela. Kami melepas lelah sambil makan siang. Jam 14 kurang baru jalan kaki ke curug yang disebut little niagara itu. Jalan setapaknya sebagian sudah pakai pavingblock. Bahkan pake pagar besi untuk pegangan. Sebagian lagi tentu saja jalan tanah yang lengket di sepatu.
 
Fasilitas sekarang sdh lumayan. Musala dan WC tersedia.  Beberapa warung makan juga ada. Kalo gak kuat jalan kaki, bisa pake ojek ke dekat air terjun. Yap, karena ada jalur khusus motor di samping jalan pavingblock. Katanya bekas lomba motorcross beberapa bulan lalu. Jam 16.00 kami pun pulang. Dan selamat sampai di rumah. (*)

Friday, March 03, 2017

Kisah Raja Salman

KUNJUNGAN kenegaraan Raja Arab Saudi, Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud (81) ke Indonesia menjadi pembicaraan di jagat nyata dan jagat maya selama seminggu terakhir ini. Bagaimana tidak, kunjungan selama sembilan hari, 1-9 Maret 2017, itu tergolong kunjungan kenegaraan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Kunjungan ini pun sangat bersejarah. Setelah 47 tahun lalu, Raja Faisal dengan rombongan kecilnya mengunjungi Jakarta, baru kemudian ada lagi Raja Arab yang datang ke Nusantara.
 

Kabarnya Raja Salman membawa serta rombongan sebanyak 1.500 orang, termasuk 25 pangeran dan 14 menteri, dan tentu saja para putri Arab yang cantik jelita. Tujuan mereka ke Indonesia bukan hanya urusan kenegaraan, tapi sekaligus berlibur di Pulau Bali. Tak pelak, kedatangan rombongan super jumbo ini membuat sibuk tuan rumah.
 


 Tentu saja kegaduhan pun, seperti biasa, terjadi di media sosial. Ada sanjungan, tak sedikit pula cibiran. Beragam gambar paradi atau meme pun bermunculan. Bahkan soal kehadiran pangeran-pangeran dan putri-putri Arab yang dikenal tampan dan cantik pun jadi bahasan khusus sejumlah media daring.
 

Lebih hebatnya lagi, baru beberapa menit Raja Salman turun dari pesawat di Bandara Halim Perdanakusumah, sudah muncul berseliweran fotonya bersalaman dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Entah siapa yang berkepentingan di situ.



Jika kita melihat kunjungan kenegaraan seperti ini, tentu tak ada makan siang yang gratis. Begitu pula Raja Salman. Ia datang ke Indonesia tidak dengan tangan hampa. Setidaknya, Raja Salman membawa serta rencana investasi yang konon nilainya mencapai 25 juta dollar AS. Lalu Raja Salman dan Presiden Joko Widodo pun berjabat tangan untuk menyepakati kerja sama di berbagai bidang. Kesepakatan itu antara lain soal wakaf dan urusan haji umrah. Lalu soal ekonomi berkaitan dengan kilang minyak di Cilacap. Selanjutnya tentang pariwisata dan tentu saja soal perlindungan warga negara Indonesia yang bermukim di Arab.
 

Jadi cukup banyak hal yang bermanfaat yang bisa dirasakan oleh Indonesia dari kunjungan Raja Salman ini. Jangan lupa, gelombang wisatawan Timur Tengah saat ini tengah menyerbu masuk Indonesia setelah Raja Salman dan keluarga besar memutuskan berlibur di Bali. 

Ini sungguh promosi pariwisata gratis yang dampaknya besar. Kita berharap tak hanya Bali yang bisa melejit menikmati kunjungan turis Arab, tapi berbagai tujuan wisata lainnya di Indonesia yang lebih cantik dari Bali juga terangkat dan bisa pula turut dipromosikan.
 

Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, kehadiran khadimul haramain, penjaga dua tanah haram, ini, tentu sangat bermakna. Perhatian yang diberikan Raja Salman semakin memperkuat hubungan emosional masyarakat muslim Indonesia dengan negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW itu. (*)

Saturday, February 18, 2017

Catatan 15 Februari

RABU, 15 Februari 2017, akan dicatat dalam sejarah sebagai pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak yang paling panas di Indonesia. Walaupun pilkada serentak ini berlangsung di 101 daerah, semua mata, terlebih media, lebih menyorot ke satu hotspot, yaitu DKI Jakarta.
 

Nama Basuki Tjahja Purnama atau Ahok menjadi magnet besar perhatian itu tertumpah ke ibukota negara. Persidangan yang tengah bergulir terkait dugaan penistaan agama, debat calon gubernur dan wakil gubernur yang mengobarkan "perang" di media sosial, lalu aksi- aksi umat Islam yang bersinggungan pula dengan persoalan kepemimpinan di Jakarta, membuat panas jagat politik Indonesia.
 

                                   Penghitungan suara di salah satu TPS saat pilkada Kota Cimahi
                                                       Sumber foto: Tribun Jabar/Zelphi.

Di hari-hari terakhir jelang pencoblosan, media sosial tetap melimpah-ruah dengan kampanye-kampanye hitam dari berbagai pihak. Entah memihak Agus Yudhoyono, Ahok, atapun Anies Baswedan. Pencoblosan bukan lagi sekadar pencoblosan biasa, tapi menjadi pertarungan iman. Itulah itu mengapa jagat maya dan jagat nyata benar-benar digoncang oleh isu-isu yang tersebar dari ibu kota republik ini.
 

Melihat eskalasi semacam ini, rasanya "perseteruan" politik ini tidak akan pudar walau pilkada usai. Kasus pemilihan presiden beberapa tahun lalu saja menyisakan kekecewaan bagi pendukung yang kalah. Apalagi ini, pemilihan gubernur Jakarta yang sudah membagi secara terang benderang dan diametral: kamu kubu si anu, kamu pilih si itu, kamu pilih si ini. Warga Cibaregbeg nun jauh di Cianjur saja serasa bakal ikut memilih gubernur DKI. Padahal KTP Jakarta pun tak punya. Itulah pengaruh media sosial yang meniadakan batas kewilayahan dan administrasi seseorang.
 

Pilkada serentak kali ini tercatat dalam sejarah juga karena ada calon wali kota yang terpaksa tak bisa meneruskan kampanye karena dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga seorang calon bupati di Buton yang ditahan KPK, lagi-lagi karena kasus korupsi dan suap. Walhasil, pilkada di Buton tinggal menyisakan satu calon wakil bupati saja, yang akan berhadapan dengan bubung kosong dalam pemilihan suara.
 

Tiga bulan terakhir ini, daya dan energi masyarakat habis tersedot oleh urusan politik. Tak ada habisnya orang membicarakan hal yang sama dari waktu ke waktu. Seolah hanya itulah urusan terpenting di muka bumi. Padahal persoalan keseharian saja membekap dan menunggu penyelesaian yang tuntas. Adakah calon pemimpin yang menjanjikan bisa menurunkan harga cabai kembali normal? Untuk hal kecil seperti itu saja, kita kelabakan, tak tahu harus berbuat apa.
 

Sudahlah, kita akhiri semua dagelan politik ini dengan akhir yang baik. Kita semua berharap, "perseteruan" itu tak berlarut-larut dan mendarah daging. Kita harus terus bergerak ke depan. Kalah hari ini, bukan berarti akhir dari segalanya. Menang hari ini pun bukan berarti bisa jemawa seenaknya. (*)

Friday, January 20, 2017

Kisah Lapangan di Cimahi


SETIAP pergi ke Pasar Antri Baru dari arah Dustira, tentu melewati markas Pusssen Arhanud. Setiap itu pula teringat, dulu tempat itu adalah Lapangan Sriwijaya yang penuh kenangan.


Bermain bola, upacara 17 Agustus, latihan baris-baris berbaris, atau mabal alias bolos sekolah, tempatnya ya di Lapangan Sriwijaya ini. Tempat pacaran? So pasti itu mah, tiap lewat lapangan rumput hijau nan luas itu pasti bisa menyaksikan pasangan yang lagi asyik dengan dunianya.



Tempat berkelahi? Mantaap, itu lapangan menyediakan lahan sangat lega buat berduel atau berkelahi keroyokan. Mau kejar-kejaran, koprol keliling lapangan, silakan asal kuat.





Saya masih ingat, saat SD tahun 80-an, beberapa kali berolahraga di Lapangan Sriwijaya. Dari Tagog, saya dan rekan-rekan satu SD (jadi 6 kelas), jalan kaki ke Sriwiaya. Tujuannya berolahraga bersama sambil piknik. Tak heran, tas gendong kami penuh dengan bekal makanan dan air minum.



Jadi pasti banyak kenangan lain yang bisa diceritakan dari satu Lapangan Sriwijaya ini. Ya hanya kenangan, karena wujud lapangan itu sudah sirna, hanya tertinggal di ingatan.



Perkembangan Cimahi menjadi kota membuat lahan semakin sempit. Lapangan-lapangan pun menjadi korban. Kini wujudnya berganti rupa menjadi rumah atau perkantoran.



Ini beberapa lapangan yang saya ingat pernah ada di Cimahi.

1. Lapangan Bonlap. Inilah lapangan legendaris untuk para pemain bola cilik di Cimahi. Di era 80-an, di lapangan Kebon Kalapa Pojok ini setiap tahun digelar pertandingan sepak bola antar klub di Cimahi.

Waktu SD kelas 6, saya pernah ikut berkompetisi di lapangan ini. Waktu itu saya memperkuat klub Angkasa, gabungan siswa-siswa SD Sukamanah I dan Cibabat. Pemain yang boleh bertanding adalah pemain dengan tinggi maksimal 150 cm. Jadi ukurannya adalah tinggi badan. Kadang-kadang ada pemain yang ketinggian, lalu memendek-mendekkan diri biar lolos di palang pengukur.

Lalu saat SMP pun saya ikut pula berkompetisi di lapangan Bonlap ini. Kali ini saya memperkuat tim Liga Buana, timnya anak-anak SMP 3 Cimahi plus. Plus karena kami menggaet juga pemain dari luar, yaitu Aldi, kakaknya Coni Dio, sebagai striker. Nama klub ini terinspirasi nama-nama toko olahraga di Jalan Gandawijaya.

Saya tidak tahu kapan terakhir digelar kompetisi bola di lapangan Bonlap. Waktu saya SMA, tahun 90-an, lapangan ini masih ada dan sering dipakai untuk panggung musik 17-an. Saya pertama kali nonton Jamrock, cikal bakal Jamrud, ya di lapangan ini.

Beberapa hari lalu saya lewat Jalan Kebon Kalapa, lapangan ini sudah hilang, berganti jadi rumah dan bengkel.



2. Lapangan Sosial. Lapangan sepakbola ini disebut Lapang Sosial karena memang milik Dinas Sosial di Cibabat, persis di samping Polres Cimahi. Pernah saya sekali diajak main di turnamen bola Kapolres Cup. Waktu itu bersama klub Gita Utama. Lagi-lagi main bersama Aldi, kakak Coni Dio. Sekarang lapangan ini sudah beralih rupa menjadi Kantor Dinsos Jabar.



3. Lapangan Kebon Kembang. Ini sebuah lapang kecil, sedikit lebih besar dari lapangan voli, di daerah Kebon Kembang. Saya pernah main di sini, waktu itu turnamen Hayam Cup. Hanya saya lupa PS apa yang saya perkuat.



4. Lapangan samping Mesjid Agung Cimahi Utara. Ini tempat saya bermain setiap sore. Kalau tidak bermain bola ya main sepeda atau nonton orang main voli. Sekali waktu digelar turnamen sepakbola untuk anak-anak. Saya memperkuat PS Martas, barisan anak-anak dari Gang Martasim Prapatan Cihanjuang, tempat kakek nenek saya tinggal. Saat ini bangunan rumah besar mengganti wujud lapangan itu.



5. Lapangan Kebon Jeruk Sukajaya. Ini sebetulnya lahan bekas kebun Jeruk di daerah Sukajaya Cibabat, persis di belakang RSUD Cibabat. Ada beberapa kavling kecil yang sering dipakai untuk bermain bola atau bermain voli. Saya bergabung dengan PS Persas (Persatuan Sepakbola Anak-anak Sukajaya), tapi belum pernah bertanding di turnamen bola. Sekarang lapangan ini sudah berubah menjadi perumahan dan permukiman.



6. Lapangan Krida Cimahi Selatan. Ini lapangan sepakbola di dekat Baros. Saya belum pernah bermain bola di lapangan ini. Hanya pernah ikut jalan sehat yang start dan finishnya di lapangan ini. Kini lapangan ini tinggal cerita, berubah menjadi kawasan Technopark Cimahi.



7. Lapangan Kebon Manggu, Kompleks Pemda Cisangkan Hilir. Saya beberapa kali main sepakbola di lapangan ini. Karena diajak teman yang tinggal di sini. Waktu itu memperkuat tim ekskul Sepak bola SMP melawan PS Pemda junior. Tempo hari saya menjenguk teman yang sakit di daerah Kebon Manggu. Saya celingukan mencari lapangan itu, tapi nihil. Ternyata sudah berubah menjadi belantara rumah. Selain di lapang besar Kebon Manggu, saya pun pernah main juga di lapangan bola samping Tempat latihan Menembak Cisangkan. Lapangannya lebih kecil, tapi cukup buat berlari dan menendang bola.



8. Lapang sepakbola Panembakan Gunung Bohong. Lapangan bolanya saat ini memang masih ada, tapi berbeda tampilan setelah dirombak Brigif. Sekali-kalinya main di lapangan ini melawan kesebelasan anak-anak Gunung Bohong. Kebetulan ada teman SMP yang tinggal di Gunung Bohong dan mengajak main bola.



9. Lapangan Gamblok, Ciuyah. Ini salah satu lapangan yang pernah didatangi untuk berolahraga sekaligus piknik saat saya SD. Dari Tagog, lagi-lagi kami berjalan kaki berombongan, konvoi berbaris dua-dua menyusuri Margaluyu-Kandang Uncal-Ciawitali hingga Ciuyah. Beberapa waktu lalu bersepeda ke daerah Ciuyah, sengaja mencari lapangan itu. Tapi tak menemukan. "Lapangna tos janten perumahan, Cep," begitu kata seorang warga.



Itulah beberapa lapangan yang dulu pernah ada dan kini tinggal kenangan. Kalau lapangan punya militer, jangan ditanya, pasti terawat dan masih eksis. Contohnya Lapangan Rajawali atau Lapangan Arhanud, tempat saya berlatih bola saat SMP. Belum lagi lapangan-lapangan di beberapa pusdik, pasti masih mulus.



Masih banyak atau ada lapangan-lapangan, lahan terbuka, yang sudah berubah wujud di Cimahi. Entah jadi rumah, kantor, atau gedung. Ayo ceritakan kisah kalian tentang lapangan-lapangan di Cimahi. (*)

Saturday, January 07, 2017

TUAN WOUTERS

MINGGU kemarin, ayah saya berkunjung ke rumah. Seperti biasa, mampir sebentar setelah jalan sehat di Brigif. Selalu jalan kaki dari Cigugur menuju arah mana pun. Dalam setiap obrolan kami, tentu saja cerita-cerita tentang Tjimahi masa silam selalu diperbincangkan.
 

Bapak saya bukan orang asli Tjimahi. Ia datang dari Tasikmalaya pada tahun 1955-an, untuk menjadi santri di Pesantren Hegarmanah dan madrasah ustad Ingin di Sentral Cibabat. Usianya kini sudah 71 tahun. Itu berdasarkan KTP. Padahal ia masih ingat waktu Jepang datang ke Tasikmalaya. Itu berarti, bapak saya lahir sebelum 1942 dan usianya sangat mungkin lebih dari usia di KTP.

Obrolan kemarin mengupas soal kondisi Tjibabat, khususnya Sukajaya. Bapak saya bercerita, bahwa rumah besar dan tua di belakang Yogya Dept Store Cibabat yang ditinggali Tante Mumu itu dulunya ditinggali Tuan Wouters, seorang pengusaha peternakan.
 

Sukajaya kata bapak saya, dulunya hamparan kebun rumput untuk memasok pakan ternak sapi dan babi milik Tuan Wouters. Sementara di sebelah utaranya, tepat di belakang RS Cibabat adalah kebun jeruk. 

Sayangnya tidak ada keturunan tuan Wouters yang tinggal di Cimahi setelah tahun 60-an. Semua meninggalkan Indonesia, kembali ke tanah leluhur mereka, Belanda. Tante Mumu mendapatkan rumah peninggalan Tuan Wouters itu dari proses jual beli.
 

Penasaran dengan nama Wouters, saya mencari-cari di buku telepon jaman Belanda. Voila! Eh Eureka. Ternyata ada nama JH Wouters beralamat di Tjibabat. Dan persis, dia seorang pengusaha peternakan susu dan juga budidaya bunga.
 

Di buku telepon itu juga tertulis nama pengusaha peternakan sapi lainnya di Cimahi, yaitu J Timmermans Veldizcht. Tapi tidak tahu, lokasi peternakannya di sebelah mana. Dan tentu saja tercatat nama pengusaha besar peternakan sapi di Lembang, PA Ursone, pemasok susu ke BMC dan seantero Bandung. (*)