Tuesday, September 28, 2010

Jangan Cuma Ikrar di Mulut

SEBUAH pernyataan keras disampaikan Wali Kota Bandung Dada Rosada terkait geng motor. Dada mewacanakan pembubaran kelompok bermotor yang meresahkan wacana. Menurut Dada, sebuah partai politik atau organisasi kemasyarakatan pun bisa dibubarkan oleh pemerintah, apalagi sebuah geng motor.

Pernyataan Dada ini menyikapi munculnya kembali aksi-aksi kekerasan yang ditimbulkan anggota geng motor di Kota Bandung. Keprihatinan orang nomor satu di Bandung itu pantas mengemuka, karena aksi-aksi geng motor itu sudah meresahkan dan merugikan masyarakat.

Seharusnya hal tidak terjadi, jika mereka yang pernah berkomitmen untuk tidak melakukan kekerasan benar-benar bisa melaksanakannya di lapangan. Karena kita tahu, pekan lalu, sejumlah pengurus pengurus komunitas otomotif, pimpinan geng motor, dan pejabat kepolisian, di hadapan wartawan menyatakan ikrar tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan negatif. Selain itu, mereka pun tidak ingin lagi disebut geng motor. Pernyataan komitmen bersama itu dilakukan beberapa hari sebelum digelarnya ajang jambore otomotif di Subang. Ironisnya, justru di ajang itulah, terjadi keributan antara dua geng motor yang sebelumnya sudah berikrar.


Di situlah persoalannya jika komitmen bersama hanya menjadi milik elite, sementara akar rumput tak pernah mendapat informasi yang jelas. Mungkin ada persoalan komunikasi, sehingga ikrar dan komitmen itu tidak menyentuh anggota terbawah. Tapi sangat mungkin pula, jika kekerasan sudah mendarah daging dalam diri mereka, sehingga tak bisa menghilangkan begitu saja dalam waktu satu dua hari.

Yang patut diingat, bahwa ikrar itu tidak hanya diucapkan di mulut saja, tapi juga ditanamkan dalam hati dan kemudian diikuti dengan tindakan. Jika masyarakat diminta tidak menyebut lagi kelompok bermotor yang sering melakukan perusakan sebagai geng motor, tentunya harus diiringi pula dengan komitmen dari kelompok tersebut bahwa mereka benar-benar tidak pernah bersikap dan beraksi seperti geng.

Kita menyadari benar, bahwa mengubah sesuatu memang tidak bisa dilakukan sekejap dan semudah membalikkan tangan. Tapi tetap harus ada upaya serius dari aparat berwenang untuk menanganinya.

Jikalau Wagub Jabar Dede Yusuf meminta anggota geng motor masuk ke Pramuka, itu hanya salah satu cara penanganan yang ditawarkan pemerintah daerah. Karena yang lebih penting adalah adanya pembinaan secara intensif dari aparat berwenang, baik kepolisian maupun pemerintah daerah, agar anggota geng motor ini benar-benar bisa memegang teguh komitmen dan bisa meredam keinginan untuk selalu melakukan kekerasan kepada kelompok yang lain.(*)
Sorot, Dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar Edisi Selasa 28 September 2010.

Monday, September 20, 2010

Pelesiran Dewan

ANGGARAN untuk studi banding bagi anggota DPR tahun ini ternyata naik 700 persen dibanding lima tahun sebelumnya. Dengan anggaran sebesar Rp 162,9 miliar, bandingkan dengan anggaran sebesar Rp 23,6 miliar pada tahun 2005, para wakil rakyat itu bisa melancong ke Prancis, Jerman, Norwegia, Belanda, Jepang, Korea Selatan, bahkan ke
Maroko dan Afrika Selatan di benua hitam.

Judul kunjungannya memang keren-keren. Studi banding program kerja parlemen, studi banding untuk RUU Perumahan, studi banding Panja RUU Kepramukaan, dan sebagainya. Tergantung dari aturan apa yang akan dikaji dan dibandingkan dengan negara lain oleh wakil rakyat.

Tapi apa yang dibandingkan tak selalu berbekas pada output. Memang belum pernah ada studi secara khusus yang menelaah bahwa kunjungan wakil rakyat yang mengatasnamakan studi banding itu sia-sia belaka. Tapi manfaat yang terasa dari kunjungan itu pun tak lebih besar, kalau tidak dibilang minim. Alih-alih bermanfaat, yang terjadi adalah pemborosan uang negara yang notabene adalah uang rakyat.


Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa saat studi banding atau kunjungan itu, para wakil rakyat banyak yang membawa serta anggota keluarga, minimal istrinya. Dan yang lebih menyedihkan, biasanya kunjungan secara resmi hanya memakan waktu singkat, tapi plesirannya lebih banyak dan lebih lama ketimbang kunjungan.

Mungkin kita masih ingat dengan tragedi di Bunaken, beberapa waktu lalu, saat anggota dewan melakukan kunjungan kerja ke Gorontalo. Salah satu korban perahu tenggelam adalah istri anggota DPR. Beberapa tahun lalu, sempat pula heboh, anggota DPR yang kunjungan ke Jerman tertangkap kamera tengah shopping di pusat perbelanjaan di sana.

Selain itu, kebanyakan hal yang akan dikaji para wakil rakyat itu pun sebenarnya bisa diperoleh melalui internet atau mengirim surat secara resmi antarparlemen. Di sisi lain, kegiatan kunjungan itu menjadi hal yang ditunggu-tunggu wakil rakyat.
Karena tentu biaya dinasnya sangat menggiurkan. Untuk sekali jalan ke luar negeri saja, Sekretariat DPR menyiapkan dana Rp 1,7 miliar. Tinggal hitung berapa uang saku dan akomodasi untuk masing-masing anggota dewan plus ongkos terbang. Dan itu tak hanya di DPR, di DPRD pun begitu. Kunjungan kerja menjadi semacam tambahan pundi di luar gaji resmi.

Padahal jika dewan, juga eksekutif, bisa mengefisienkan anggaran kunjung ke luar negeri, bisa menghemat triliunan rupiah. Nilai rupiah yang jika dibelanjakan mungkin bisa menambah pesawat Sukhoi dan persenjataan TNI lainnya.

Tapi dikritik habis berkali-kali pun, Dewan tetap bergeming dan pandai berkelit. Mereka berlindung di balik undang-undang yang memperbolehkan wakil rakyat berkunjung ke luar negeri. Undang-undang pun tak menyebutkan larangan wakil rakyat membawa keluarga saat kunjungan itu.

Tengok pernyataan Ketua DPR RI Marzuki Alie yang justru mengeluhkan kurangnya uang saku saat kunjungan ke luar negeri. "...Mereka dapat uang harian, mereka dapat uang transport. Kadang kala uang harian itu tidak cukup bayar hotel dan makan, khususnya kalau kunjungan itu dilakukan di negara maju seperti Eropa dan Jepang".

Tentu setiap orang bisa menilai apa saja karya nyata para wakil rakyat ini. Apakah pascaplesiran itu para wakil rakyat sering menyampaikan hasil kunjungan dan implementasinya ke dalam subjek yang tengah dikaji? Rasanya jarang mendengar hal seperti itu.

Seperti halnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang sering memonitor soal anggaran, seperti TII, masyarakat luas pun harus berani memantau wakil rakyat mereka. Jangan biarkan wakil rakyat yang bekerja atas nama rakyat justru menghambur-hambur uang rakyat. Masyarakat harus menagih janji mereka yang duduk di kursi dewan untuk bekerja sepenuhnya demi kemaslahatan dan kesejahteraan masyakarat.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Sabtu 18 September 2010.

Ketika Gembira dan Sedih Bercampur

TAK pernah ada perasaan kegembiraan dan kesedihan yang bercampur-baur kecuali saat Ramadan berakhir. Kegembiraan datang, karena ujian yang penuh dengan godaan untuk mencapai derajat takwa selama satu bulan penuh telah selesai. Sementara kesedihan merayapi hati disebabkan bulan agung yang penuh berkah itu betul-betul meninggalkan kita.

Kapan lagi kita punya kesempatan mereguk kenikmatan salat malam dan tadarus Alquran secara rutin, selain di bulan Ramadan. Bukankah di hari-hari biasa di luar Ramadan, ibadah-ibadah sunnah itu tak rajin kita kerjakan? Hanya karena "paksaan" Ramadan, maka yang sunnah pun seakan menjadi wajib. Dan itu sepadan dengan nilai pahalanya. Pahala ibadah yang sunnah disamakan dengan nilai pahala wajib. Yang wajib, tentu berlipat-lipat ganda lagi pahalanya dibandingkan dengan hari-hari biasa.

Sungguh luar biasa sesungguhnya jamuan yang disajikan Allah Swt di bulan agung ini. Tak pernah ada "obral" pahala selain di bulan Ramadan. Tak pernah ada "sale habis-habisan" tobat, kecuali hanya di bulan Ramadan.

Apakah kita sudah memanfaatkan peluang menambah pundi-pundi amal dan bekal selama Ramadan yang tinggal menyisakan dua hari terakhir ini? Jawabannya kembali pada diri masing-masing. Karena diri sendirilah yang merasakan perbedaan antara Ramadan tahun lalu dengan tahun sekarang.

Sebelum pulang ke kampung yang sesungguhnya, yaitu kampung akhirat, mumpung masih diberi kesempatan seluas-luasnya menyelami Ramadan, kita manfaatkan dua hari terakhir di bulan Ramadan ini sebagai hari terbaik dan terindah sepanjang hidup kita.

Karena kita tidak pernah tahu, apakah bisa berjumpa kembali dengan Ramadan di tahun depan. Apakah kali ini menjadi Ramadan terakhir untuk kita. Atau, mungkin menjadi Ramadan terakhir di lingkungan kita yang sekarang. Kita tidak pernah tahu akan rencana- rencana-Nya. Karena itu, penting sekali untuk meresapi kedalaman pesan Ramadan kali ini - entah yang terakhir atau bukan - untuk memaksimalkan pelaksanaan seluruh amaliyah dan berbuat kebajikan dengan sekeliling kita.

Harapan kita semua, di Ramadan ini kita bisa jadi pemenang sesungguhnya. Bukan pemenang karena tamat berpuasa atau khatam Alquran, tapi pemenang sejati menjadi insan kamil, insan sempurna karena berhasil meraih gelar takwa.

Semoga kita terlahir fitri kembali, bersih suci seperti bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.(*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 8 September 2010.