Saturday, February 15, 2014

Penjiplakan

PLAGIAT, plagiarisme, atau penjiplakan terhadap sebuah karya ilmiah merupakan kejahatan besar dalam dunia pendidikan. Disebut kejahatan, karena plagiat merusak tatanan dan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah yang menjadi karya puncak seorang akademisi.

Karena itu, kita merasa prihatin sekaligus miris mendengar kabar dugaan penjiplakan yang dilakukan Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM) Dr dr Felix Kasim MKes terhadap karya ilmiah berupa skripsi milik mahasiswanya. Prihatin karena masih saja terjadi kasus penjiplakan dan miris karena yang diduga melakukannya justru orang nomor satu di institusi pendidikan tinggi.

Bagaimana mungkin seorang dosen senior yang menjadi pejabat tinggi bisa dengan enaknya mengambil mentah-mentah karya hasil penelitian mahasiswanya dan mengalihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, tanpa sedikit pun memberi ruang untuk menyebutkan sumber tulisan. Tentu ini menjadi pertanyaan besar, karena dosesn senior ini seolah-olah menafikan dan bahkan tidak menghargai hasil karya orang lain, walaupun itu mahasiswanya.

Penelitian strata satu itu jelas membutuhkan waktu, menghabiskan biaya, dan menguras emosi. Namun sama sekali tak ada penghargaan yang diberikan atas kerja keras dan susah payah itu dalam karya dosen senior ini. Kasus ini memang sudah ditangani pihak Senat dan kabarnya, Yayasan juga sudah turun tangan. Kabar terakhir, kasus ini masih dalam proses penyelidikan.

Persoalannya, kasus ini ternyata membawa dampak kurang menyenangkan terhadap dosen- dosen di universitas yang sama. Pihak Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) melalui Kopertis IV Jabar-Banten kabarnya memberikan sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat terhadap seluruh dosen selama satu tahun. Tentu ini cukup menyesakkan, karena mereka yang tidak tahu menahu dengan penjiplakan itu, mereka yang jujur dalam menjalankan kaidah-kaidah ilmiah, mereka yang menjunjung tinggi integritas dan etika, mereka yang sudah susah payah mengajar dan melakukan penelitian, terkena imbasnya.

Penyelesaian secara internal antara dua pihak, penjiplak dan pemilik karya yang dijiplak, pun sesungguhnya tidak elok dan menjadi preseden buruk. Seolah-olah tindakan penjiplakan bisa diselesaikan "secara baik-baik" dan damai. Lebih jauhnya lagi, penjiplakan seolah bisa menjadi "legal", siapa pun bisa menjiplak karya orang lain, karena penyelesaiannya bisa secara internal dan baik-baik.

Kita mungkin masih ingat, kasus penjiplakan yang dilakukan seorang guru besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Anak Agung Banyu Perwita, beberapa tahun lalu. Kasus ini mencuat setelah diberitakan The Jakarta Post. Acungan jempol untuk Unpar karena langsung melakukan verifikasi dan mengusut kasus dugaan penjiplakan.

Senat Unpar pun bersidang dan memberhentikan Banyu sebagai dosen. Bahkan gelar Profesor yang disandang dosen muda itu pun dicopot. Secara institusi, pihak Yayasan Unpar pun meminta maaf kepada publik, walau penjiplakan ini dilakukan dosen secara individu.

Berkaca pada sikap legawa yang dilakukan Unpar, semestinya hal yang sama pun dilakukan pihak UKM. Biarkan kasus itu terbuka, jangan ditutup-tutupi. Tentu bukan dengan tujuan menjelek-jelekkan institusi pendidikannya, tapi menjadi sebuah pembelajaran bagi siapa pun, khususnya para akademisi. Integritas, baik individu maupun institusi, menjadi taruhannya tatkala bertindak lancung. Sebagai pendidik, harus tentu ada kesepadanan dan kesamaan antara apa yang diajarkan dengan apa yang dikerjakan. Ucap itu harus seirama dengan lampahnya. (*)
Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Kamis 6 Februari 2014.

Friday, February 14, 2014

Beragam Kisah tentang Gunung Bohong (Seri Sejarah Cimahi)

FOTO di atas ini Gunung Bohong di tahun 1895. Tidak diketahui dari arah mana foto ini diambil. Mungkin dari arah Contong, atau dari Tipar. Bagaimanakah gunung atau bukit ini bisa dinamakan Gunung Bohong? Tidak ada kisah, cerita, sasakala, asal usul, atau toponomi Gunung Bohong yang jelas.

Ada yang bilang, disebut Gunung Bohong karena bukit itu membentuk gunung seperti pada umumnya, namun berukuran kecil, sehingga diberi nama Gunung Bohong alias bukan gunung tapi bukit.

Ada pula yang bercerita bahwa Gunung Bohong ini berkaitan dengan kisah Sangkuriang. Syahdan, ketika Dayang Sumbi ditinggal pergi anaknya, Sangkuriang, yang diusirnya, rupanya ia merasa rindu. Dayang Sumbi lalu memutuskan untuk mencari Sangkuriang. Ia berjalan ke arah timur lalu berjumpa dengan Raja Jin di Gunung Halimun.

Setelah belajar bermacam-macam ilmu, Dayang Sumbi disuruh Raja Jin untuk berangkat ke daerah sebelah barat, hingga akhirnya ia menemukan sebuah tempat yang dinamakan Gunung Bohong. Di bukit kecil inilah, Dayang Sumbi menetap dan merasa betah. Konon, di Gunung inipula, Sangkuriang yang juga berkelana, akhirnya bertemu dengan Dayang Sumbi. Tapi dalam kisah ini juga tidak disebutkan asal-usul nama Gunung Bohong. Tiba-tiba saja, sudah ada daerah bernama Gunung Bohong. 

Hasil penelusuran saya dari sejumlah sumber Belanda, ada sebuah cerita yang mungkin bisa menjelaskan nama Gunung Bohong. Cerita ini dituliskan oleh Rudy Doornbos. Rudy adalah orang Belanda kelahiran Cimahi tahun 1925. Ayahnya, Peter Doornbos adalah perwira muda lulusan Koninkijke Militaire Akademie, Breda, yang ditugaskan ke Indonesia. Peter bertemu dengan Yvonne, lalu menikah di Bogor. 

Selanjutnya, Peter bertugas di Cimahi. Di kota garnisun inilah Rudy dilahirkan. Keluarga Doornbos tinggal di Wilhelmina Park no 27. Wilhelmina Park ini sekarang menjadi Taman Gajah Mada. Sepertinya di komplek kecil itulah, keluarga Doornbos tinggal. Saat umurnya 7 tahun, Rudy mendapat hadiah sepeda dari ayahnya. 

Nah dengan sepeda itulah, Rudy bersama teman-temannya main ke Gunung Bohong. Rudy sering bertanya-tanya kepada pembantunya di rumah, mengapa gunung itu disebut Lying Mountain? Ternyata jawabannya terdapat di puncak Gunung Bohong. Gunung ini punya tiga puncak. Tinggi masing-masing puncak, hanya beda selisih sedikit. Sehingga ketika seseorang mendaki Gunung ini dan menganggap telah sampai di puncaknya, ternyata masih ada puncak di depannya. Kemudian ketika dia mencapai puncak kedua, ternyata, masih ada lagi puncak di depannya!. 

Bisa dibayangkan, bagaimana Gunung ini telah "membohongi" para pendaki. Dikira sudah mencapai puncak tertinggi, ternyata belum. Dari puncak yang paling tinggi itulah, Rudy bisa menyaksikan pemandangan Cimahi. Begitulah secuil informasi yang dituliskan Rudy Doornbos, tentang asal usul Gunung Bohong atau istilah dia, Lying Mountain. Ternyata begitu yah, beragam kisah, cerita, sasakala, tentang Gunung Bohong ini. Bagaimana kebenarannya, belum ada yang tahu. Wallahu a'lam bishshawab...