Saturday, May 26, 2007

Family Gathering

SABTU ini seharusnya hari menggembirakan bagi saya. Bagaimana tidak, ide dan rencana saya untuk menggelar Family Gathering Redaksi Tribun Jabar akhirnya bisa terlaksana juga, setelah terkatung-katung setahun lamanya.
Nah persoalannya, saya tidak bisa berbagi atau merasakan kebahagiaan teman-teman yang sekarang tengah berkumpul bersama seluruh keluarga (anak istri/suami) di Kebun Binatang Bandung. Saya masih di BATAM!.
Saya cuma bisa membayangkan Kang Janu bawa istri dan dua anaknya. Lalu Opin bawa si kecil yang baru 4 bulan. Dedi, Ricky, Fatimah, dan lain-lain bisa berkumpul dan mengenalkan anak-anak, suami dan istri mereka. Ah lagi-lagi saya cuma bisa mimpi.
Opin, sapaan akrab Arief Permadi, Redaktur Daerah Tribun Jabar, pagi tadi langsung menelepon dari Bonbin. "Woi, kadieu atauh, kumpul kabeh di dieu. Jeung barudak-barudakna. Resep siah," seru Opin. Saya hanya bisa tertawa, getir. "Atuh padahal mah minggu hareup we gathering nah, tungguan urang balik ka Bandung," kata saya. "Salam nya ka barudak, tong poho kirim foto-foto nya. Urang hayang ningali," kata saya lagi.

Rencana family gathering itu sudah lama dibicarakan. Terutama setelah acara terakhir di Alam Sejuk Lembang. Redaksi sudah beberapa kali menggelar acara keluar, tapi tidak pernah melibatkan keluarga. Saat di Lembang, saya dan Dicky Gondrong yang mengkoordinir acara. Mulai sewa tempat, survei lokasi acara, bikin acara, bikin jalur, sampai mendirikan tenda, saya dan Dicky, dibantu anak-anak Lembang yang menyiapkannya. Pokoknya teman-teman Redaksi tinggal datang, ikuti acara, hepi-hepi, pulang.
Lantas terpikir untuk melibatkan keluarga dalam acara-acara di kantor. Saya ngobrol-ngobrol dengan Bu Iya dan beberapa teman lain, ternyata mereka setuju.
Apalagi rencana saya, acara itu tidak hanya untuk redaksi, tapi seluruh Tribun Jabar. Selama ini, acara keluar hanya bisa dinikmati per bagian saja. Tidak pernah bisa bareng. Dan memang rasanya sulit sekali mewujudkan itu. Karena Tribun Jabar tidak mengenal kata libur. Saat ada libur panjang di akhir pekan, Redaksi dan Sirkulasi tetap bekerja, karena koran tetap terbit. Sementara bagian lain, seperti Iklan, Keuangan, Umum, PSDM, libur. Jadi susah nyambungnya.
Tapi dalam pemikiran saya, kalau semua bisa dikompromikan dan diusahakan betul-betul, rasanya bakal ada titik temu juga untuk mencari waktu yang tepat. Namun rupanya mencari titik temu itu sampai setahun ini saja belum juga ketemu. Sampai akhirnya Redaksi menggelar Family Gathering, hari ini.
Mengapa Family Gathering? Rasanya semua sepakat, bahwa keluarga juga sebenarnya bagian dari perusahaan. Bagaimanapun juga, keluarga memiliki andil untuk mendorong kepala keluarga atau ibu untuk bekerja lebih keras lagi dan penuh semangat. Coba bayangkan, jika di rumah ada masalah, saya yakin akan terbawa pula ke tempat pekerjaan. Walaupun sudah mencoba bersikap profesional, misalkan, berupaya memilah ini persoalan kantor, ini persoalan pribadi, tapi tetap saja bakal ada pengaruhnya pada ritme kerja.
Saat di rumah tidak ada masalah, keluarga mendorong kita untuk bekerja keras, rasanya bekerja pun tidak akan ada masalah. Semua serba ringan, tidak terbebani apapun. Berbeda jika dari rumah saja, sudah menanggung omelan, misalnya dari istri atau keluhan anak-anak, sepanjang menuju kantor pun, kepala sudah pening dengan persoalan di rumah. Sampai kantor, yang ada hanyalah tenaga sisa. Lha kalau tenaga sisa, mau bekerja maksimal juga sulit.
Saya ingat cerita teman saya, Adityas Annas Azhari, Redaktur Nasional Tribun Jabar. Awal tahun ini dia berkesempatan pergi ke Jepang dan bermukim di sana selama 1,5 bulan atas undangan PWI-nya Jepang. Selama itu, Adit atau Aa, sapaan dia, merasakan bagaimana perusahaan-perusahaan di Jepang begitu menghargai keluarga karyawan. Bagi mereka, keluarga itu sama dengan karyawan dan itu aset yang tak ternilai. Seorang karyawan bisa memberikan hasil yang maksimal kepada perusahaan, kalau didukung penuh keluarga, disupport sedemikian rupa.
Nah kalau di kita, khususnya di Bandung, terbalik. Karyawan itu bukan aset, jadi tidak usah dipelihara. Keluarga, apalagi, tidak ada urusan dengan perusahaan. Selama tidak menghasilkan keuntungan atau mendatangkan uang, ya tidak berurusan. Ada karyawan yang keluar, perusahaan senang saja, karena mengurangi pengeluaran. Karyawan yang ada tidak dipelihara sebagai sumber daya manusia yang seharusnya justru menjadi ujung tombak untuk membesarkan perusahaan.
Sudahlah, saya tidak mau cerita soal itu. Saya sudah tak sabar menunggu tanggal 31 Mei, cepat pulang ke rumah. Ambil cuti dulu seminggu, baru bertempur kembali untuk Tribun Jabar. (*)

No comments: