Saturday, June 09, 2007

Kawah Putih




Kaka Bila, Teh Nurul, dan Mas Fathan mejeng di pinggir Kawah Putih. Indah bukan?

PERNAH menonton film My Heart yang dibintangi Acha Septriasa, Irwansyah, dan Nirina Zubir? Salah satu adegan di film itu berlokasi di Kawah Putih Ciwidey. Ya, tempat eksotis ini memang paling sering dijadikan tempat syuting film, video klip, atau wedding photo. Indah memang. Putih, karena kabut putih selalu turun ke kawah purba ini dan asap putih mengepul dari kawah ke udara. Tempat wisata di Bandung Selatan ini pula yang kami sekeluarga kunjungi, pekan lalu, walau tak lama, karena kabut dan hujan turun deras.
Saya hanya ingin bercerita bagaimana Kawah Putih ini terbentuk. Sekitar 46 km dari Bandung, terdapat sebuah gunung bernama Gunung Patuha, orang tua dahulu menyebutnya Gunung Sepuh. Ketinggian gunung itu mencapai 2.434 m dpl (dari permukaan laut). Gunung tersebut memiliki dua kawah, yaitu Kawah Saat dan Kawah Putih. Kawah Saat (Saat Bahasa Sunda, Indonesia= surut, menyurut) berada di puncak bagian barat, dan Kawah Putih berada di bawahnya pada ketinggian 2.194 m dpl. Kedua kawah tersebut terbentuk akibat letusan gunung, yang konon terjadi pada abad X dan XII.
Keberadaan Kawah Saat maupun Kawah Putih, semula tidak banyak diketahui orang, karena puncak Gunung Patuha oleh masyarakat setempat dianggap angker, sehingga tak seorangpun berani menjamahnya.
Misteri Kawah Putih dengan segala keeksotisannya baru terungkap pada tahun 1837 oleh seorang Belanda bernama Peter Junghuhn. Ingat nama Junghuhn tentu ingat Kina. Ya, benar dia adalah orang yang pertama kali menanam kina di Indonesia. Dia pula pemilik perkebunan teh di Priangan. Makam Junghuhn ada di Perkebunan Teh Malabar Pangalengan. Beberapa tahun lalu, saya dan teman-teman dari Tribun Jabar pernah menghabiskan malam di perkebunan Malabar ini.
Walau jalur ke kawah Putih sudah dibuka, tetap saja tidak banyak yang datang ke tempat ini. Seolah-olah keindahannya tetap tersembunyi. Baru setelah dikelola Perhutani, Kawah Putih mulai dikenal sebagai sebuah objek wisata yang indah di kawasan Ciwidey.

Selain panorama alamnya yang mempesona, Kawah Putih juga memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri, yang warna air danau kawahnya selalu berubah-ubah. Kadang-kadang berwarna hijau apel, bila terik matahari, dan yang paling sering dijumpai adalah berwarna putih disertai kabut tebal di atas permukaan kawah. Saat saya dan keluarga datang ke kawah ini, pekan lalu, air danau kawah berwarna putih. Dan benar, kabut mengapung perlahan di permukaan air.
selain permukaan kawahnya yang berwarna putih, pasir dan bebatuan di sekitar kawah pun didominasi warna putih. Dari sinilah, kawah itu diberi nama Kawah Putih.
Sejak melewati pintu masuk dan membayar tiket seharga Rp 6.000/orang, pesona alam wisata pengunjung sudah bisa merasakan pesona Kawah Putih. Sepanjang 5 kilometer menuju kawah, hutan tanaman Eucalyptus dan hutan alam dengan aneka ragam spesies hutan hujan tropis mewarnai pemandangan.
Saat ini di dekat pintu masuk ada arena ketangkasan ATV, motor beroda empat. Jalur motor gede ini berada di sebelah kanan menyusuri pohon-pohon pinus. Bagi mereka yang tidak membawa kendaraan sendiri, baik motor maupun mobil, untuk menuju kawah bisa menggunakan angkutan umum. Sayang, saya tidak tahu berapa ongkosnya. Mungkin Rp 5.000 per orang. Sementara kendaraan sekelas bus atau truk tidak bisa lanjut ke kawah, terpaksa harus parkir di lapangan parkir. Karena jalannya memang sempit dan menanjak.
Kalau mau ke Kawah Putih, sebaiknya sudah berada di ciwidey di bawah jam 09.00. Saat matahari naik, pemandangan di kawah tidak akan terhalang kabut. Selepas Lohor, kabut mulai turun dan menutupi kawah. Biasanya diiringi hujan.
Di dekat kawah, selain tempat parkir, juga ada warung-warung makan dan jagung bakar. Jadi tak perlu susah cari makan di sini. Juga ada kios pernak-pernik dan hiasan. Tapi sekarang ini, kebanyakan pernak-perniknya berbau Strawberry. Maklum saja, Ciwidey sedang booming strawberry petik sendiri. Kalau ada waktu, saya ingin jelajahi hutan-hutan di kawasan Ciwidey ini. Sudah lama tidak jarambah ke hutan. Sudah saatnya turun gunung lagi, menyusuri sungai, rawa, naik gunung, bermalam di hutan, menuruni lembah, rappeling, dan lain-lain. Badan rasanya jadi gampang sakit, karena tak dekat dengan alam lagi. Mungkin tahun depan... (*)

1 comment:

Didin Handiman said...

Junghun kuburan nya di Lembang Mas, bukan di perkebunan Malabar, sorry just mengingatkan gpp khan

salam kenal