Tuesday, June 19, 2007

Cita-cita

SETIAP orang punya mimpi dan cita-citanya sendiri. Cita-citanya itulah yang menjadi tujuan dan akan coba digapainya hingga terwujud. Waktu kecil, saya bercita-cita jadi seorang ajengan. Ajengan adalah kata dalam Bahasa Sunda untuk menyebut kiai atau ulama. Mengapa jadi Ajengan? Tentu karena lingkungan sekitar saya mendukung munculnya cita-cita itu.
Saya lahir dan besar di lingkungan yang dekat dengan pesantren. Walau tak seperti dua kakak saya yang menempuh pesantren secara formal, saya pun sempat menjadi
santri kalong. Santri kalong ini sebutan buat santri yang tidak menginap di kobong (asrama) dan hanya sewaktu-waktu datang ke pesantren saat ada pengajian. Beberapa pesantren pernah saya sambangi untuk mengaji kitab-kitab khusus, kitab kuning. Sementara sehari-hari saya mengaji dan berguru pada bapak saya, seorang santri tulen.
Namun cita-cita itu mulai surut sejak masuk bangku SMA, lalu kuliah. Cita-cita pun berubah ingin menjadi petani. Ini terjadi setelah saya berinteraksi secara intensif dengan para petani di Garut, Cimenyan, dan Cikuda Jatinangor. Saya waktu itu ingin membuktikan, kemiskinan tidaklah melekat pada petani. Petani pun bisa sukses, walau harus diakui, mereka ini memang orang-orang miskin, yang hanya menjadi petani penggarap. Padi hanya cukup untuk makan, tidak lebih. Padahal basis pendidikan saya bukanlah pertanian, tapi sejarah.

Namun Sejarah pula yang membukakan mata saya, bahwa petani memiliki peranan penting dalam sejarah bangsa ini. Sesungguhnya banyak gerakan-gerakan sosial yang digerakkan oleh petani dan dilatarbelakangi persoalan pertani. Contoh nyata adalah Pemberontakan Petani Banten 1888. Itulah yang ditulis begawan Sejarah, Sartono Kartodirdjo, dan menjadi masterpiece historiografi sejarah Indonesia. Sartono telah
membongkar penulisan sejarah yang hanya sejarah tok. Dia telah menerapkan pendekatan multidimensional, multikeilmuan, dan melarapkan konsep serta teori-teori ilmu sosial, dalam memandang suatu objek sejarah. Karena itu, pisau bedah sejarah
sangat tajam untuk menganalisis suatu peristiwa, karena dia kaya dengan ilmu penunjang lainnya.
Tak heran, saya pernah terjun menjadi petani jamur shitake. Pernah mengolah sampah menjadi pupuk, dll. Pengetahuannya saya peroleh secara otodidak. Sampai sekarang, cita-cita menjadi petani masih tetap ada. Bergelut dengan pena, berjibaku dengan
kata, bukan penghalang untuk melanjutkan cita-cita yang tertunda.
Pernah hal ini saya ungkapkan pada Bu Eri. "Kalau punya uang, kita beli tanah di daerah Cisarua atau Cikalong Wetan. Kita tanami dengan komoditas unggulan untuk diekspor. Kita bikin pupuk sendiri, bikin pembibitan sendiri, jangan tergantung pada produsen yang kapitalis itu," kata saya suatu hari.
Walau terasa sulit, saya mencoba kecil-kecilan mewujudkan cita-cita jadi petani dengan cara menanam sayuran di polybag. Lumayanlah, bisa untuk konsumsi di rumah.
Nah belakangan, cita-cita saya bertambah. Saya ingin memiliki perpustakaan umum yang dikelola oleh pribadi. Kenapa muncul keinginan seperti itu? Karena keprihatinan saya atas minat membaca masyarakat. Dan saya perhatikan di Cimahi belum ada Book Corner. Bayangan saya, kalau mengelola Book Corner, ke depannya bisa membuat Klab
Membaca atau Klab Menulis. Malahan saya pun bercita-cita pula punya Klab Wisata Sejarah, yang kerjanya ngajak bule tour keliling kota Cimahi atau Bandung buat bernostalgia. Ha ha ha...
Gak salah kan bercita-cita. Aa Gym juga bilang, kalau punya keinginan itu dimulai dari mimpi dulu. Mimpi punya pesantren, bekerja kerja, lalu terwujud pesantren. Gitu katanya...
Jadi sekarang menjadi seorang wartawan ini bukanlah cita-cita. Ini musibah bin kecelakaan. Tapi kecelakaan yang mengasyikkan. Saking asyiknya, sekalian saja terjun. Kuyup tak apa, asal hati senang. Ha ha ha ....(*)

No comments: