Thursday, June 21, 2007

IPDN Lagi, Lagi-lagi IPDN


RABU (20/6) malam sekitar jam 20.00, HP saya berdering tanda pesan masuk. Saya yang masih berkutat di depan komputer di kantor, menengok sejenak. "Dari Kang Dedi Sumedang,ada apa nih," pikir saya. Saya buka SMS-nya. Weleh ini sih berita bagus. SMS itu berbunyi: Ada muda praja asal Riau dirawat di RS spesial mata Cicendo Bandung. Kaloh bertanggung jawab terhadap kemungkinan butanya mata praja yang jumat kemarin dipukul pengasuh. Ortu dilobi spy tdk keberatan & mau atur damai dengan IPDN. Tks. (sms dari Andi Asikin).
Wah IPDN bikin kasus lagi nih. Belum juga selesai kasus Cliff Muntu, eh ada lagi. Memang mesti dibubarkan tuh IPDN. Tak lama berselang, datang sms serupa dari Krisna, Korlip Tribun, yang mengirim dari Benua Eropa sana. Kebetulan Krisna sedang muhibah ke beberapa negara Eropa, di antaranya Jerman, Prancis, Belanda, dengan Pemkot Bandung. Berarti info kasus IPDN terbaru ini sudah menyebar ke Eropa. He he he
Sumber info tetap sama, Andi Asikin. Saya tahu dia ini mantan pengasuh STPDN/IPDN yang masih punya idealisme. Dan sekarang sudah tidak jadi pengasuh lagi, namun jadi dosen IPDN. Saya sampaikan info itu pada Manprod, Kang Cecep, dan Redpel Mbak Hasanah. Rupanya mereka juga menerima sms yang sama.
Segera saja saya luncurkan wartawan berangkat ke RS Cicendo. Okto yang saya order ke sana. Lalu untuk memperjelas info, kita kontak Pak Inu Kencana. Rupanya dosen vokal yang heboh dengan bukunya "IPDN Undercover" ini sedang ada di Surabaya. Dia tidak tahu kejadian itu, tapi sudah menerima laporannya.
Akhirnya untuk mengkonfirmasi kebenaran kasus itu, saya coba kontak Plt Rektor IPDN, Johanis Kaloh. Karena orang penting dan paling sering dikontak, nomor HP-nya terpampang di komputer dekat telepon. Saya bel beberapa kali, mailbox terus. Saya coba lagi, terus redial nomornya, siapa tahu lagi sibuk.
Eh, masuk juga. Dan Pak Kaloh yang mengangkat. Langsung saja saya tanya tentang kasus itu. Apa jawabannya. "Ya saya sudah menerima laporan, ada praja yang sakit dan sekarang sedang diurus. Tapi saya belum tahu bagaimana kronologi sebenarnya. Juga belum tahu benar tidaknya pengasuh yang memukul. Saya lagi di Jakarta, jadi besok saja ya penjelasannya lebih rinci di kampus," kata Kaloh, tergesa-gesa, sambil menutup telepon. Hah apapun omongannya, yang penting dia ngomong. Tulis saja seadanya dia ngomong, itu pun sudah konfirmasi.

Nama praja yang jadi korban kali ini adalah Yogi Riyadi, muda praja asal kontingen Riau. Kabarnya dia dipukul pengasuh, sehingga mengenai matanya dan harus dioperasi. Bahkan Yogi ini terancam buta.
Setelah konfirmasi itu, tinggal menunggu wartawan datang dari lapangan. Di tengah menunggu itulah, telepon krang kring dari Warta Kota Jakarta meminta dikirim berita itu. Mungkin lebih dari 10 kali, Kang Tatang, Redpel Warkot, menelepon menanyakan Kang Cecep. Karena kita pun sama-sama menunggu wartawan, ya susah. Waktu dia telepon lagi, akhirnya saya yang mengangkat. "Kang, wartawannya masih di lapangan, tunggu aja deh bentar lagi. Paling juga ini konfirmasi dari Rektor IPDN, tulis aja lah, separagraf paling juga. Oke Kang yah, tunggu deh," cerocos saya. Akhirnya Kang Tatang pun tak nelepon lagi, menunggu kiriman berita saja, tentu dengan hati empot-empotan, soalnya Deadline Warkot lebih cepat, sementara waktu menunjukkan jam 23.00.
Kasus IPDN semacam ini mengingatkan saya pada persinggungan pertama dengan STPDN enam tahun lalu. Waktu itu seorang muda praja, Eri Rahman, menjadi korban pertama STPDN yang berhasil diekspos besar-besar oleh media. Metro Bandung, cikal bakal Tribun Jabar, leading dalam pemberitaan kasus ini. Saya bersama sohib saya, Isni Indiarti (hengkang ke Sindo, sekarang di Jurnal Indonesia) yang bahu-membahu membongkar kasus kekerasan ini. Saya sampai dikejar-kejar praja di dalam kampus STPDN, saat investigasi. Waktu itu, nama Pak Inu sebagai informan STPDN belum muncul. Informan di dalam IPDN adalah Pak Priyo. Dia orang ITB yang diperbantukan di STPDN. Saat itu dialah informan terbaik, dan selalu menghubungi kita kalau ada kasus di STPDN. Sayangnya sekarang dia melempem, kalah oleh keberanian Pak Inu.
Sebenarnya ada rasa tidak enak juga saat investigasi soal STPDN ini. Bagaimana tidak, teman-teman saya banyak di STPDN. Bahkan sahabat saya, Pak Dadan Ahmad Muharam, adalah lulusan terbaik kedua STPDN 1995. Sekarang dia jadi Camat di Cianjur. Dari cerita-cerita Pak Dadan, saya tahu, anak-anak STPDN sudah biasa digulung. Itu istilah untuk pemukulan. Pak Dadan ini dikenal dengan sebutan Si Batu, karena perutnya keras, tak mempan dipukul. He he he dia memang berguru dulu sebelum masuk STPDN, tertipu deh itu senior praja. Pak Dadan pun menjadi narasumber saya yang menjelaskan adanya tindak kekerasan di sTPDN. Tapi ya fakta adalah fakta, teman adalah teman. Kalau memang faktanya ada pemukulan, ya sebut saja ada pemukulan, tak perlu ditutup-tutupi.
Setelah kasus Eri Rahman ini, STPDN semakin heboh. Kali ini kasus Utari, praja perempuan yang aborsi dan tewas di rumah Bidan. Lagi-lagi saya yang meliput kasus ini. Mayat Utari ditemukan di daerah Ngamprah, hendak dibawa pacarnya, juga seorang praja, untuk dikuburkan. Untung keburu ketahuan warga dan polisi. Kapolsek Padalarang waktu itu, Iptu Mulyadi, langsung kontak saya. "Ni ada praja bikin ulah lagi," kata Pak Mulyadi, yang akrab dengan saya. Dia memang sudah menganggap saya sebagai adik. Sekarang dia tugas di Polwiltabes Bandung, dengan pangkat AKP sebagai Kanit Intel.
Ya itulah STPDN, sekarang IPDN. Tak pernah lepas dari masalah yang bikin heboh publik. Dan mereka tak pernah berkaca pada pengalaman. Karena korban-korban IPDN terus berjatuhan hingga sekarang ini. (*)

No comments: