Monday, June 25, 2007

Minggu Menjengkelkan: Polisi Gila

SEHARI setelah mengalami Sabtu menyebalkan, datang pula Minggu menjengkelkan. Dua hari ini memang penuh dengan kekesalan. Nah, kalau yang hari Minggu, terkait dengan berita. Jam 00.30, ada info masuk via SMS: Ada tiga penonton konser musik J Rocks dan Pas Band, yang mati saat keluar dari Stadion Sangkuriang, Cimahi, Sabtu (23/6) malam. Saya sudah di rumah, koran sudah cetak, tak mungkin lagi muat di koran.
Akhirnya saya order reporter Ferry yang pegang Cimahi untuk menindaklanjuti. Bu Eri, yang seharusnya libur pun, akhirnya turun ke lapangan, karena temannya di kepolisian tidak bisa dikontak.
Sejak pagi, Ferry sudah ada di lapangan Sangkuriang, lalu ke RS Cibabat, dan rumah
korban tewas di daerah Ciawitali Cimahi. Mereka ini berdesak-desakkan saat keluar
stadion, padahal pintu keluar sempit. Selain itu, massa di depan terhalang kendaraan yang parkir, sehingga mampat di pintu dan terjadi dorong-dorongan. Sejumlah penonton jatuh dan terinjak-injak. Pingsan, lalu dibawa ke rumah sakit, dan tewas di rumah sakit. Itu fakta yang berhasil dihimpun di lapangan.
Karena semua info sudah dibabat habis, tinggal dari kepolisian selaku penanggung jawab keamanan konser musik. O iya, konser itu dimulai pada pukul 7 malam, dan kelar 10.30 malam dengan Pas Band sebagai penyanyi terakhir.
Ini yang bikin mangkel bin jengkel. Kapolresta Cimahi, Wahyono, yang baru dua bulan menjabat, minta media massa tidak memberitakan kejadian itu. Istilahnya 86. Gila apa!!
Masa kejadian di ruang publik dengan korban tiga orang tewas harus ditutup-tutupi. Saat konfirmasi ke rumah Kapolresta, ada empat wartawan: Ferry dari Tribun, Bu Eri dari PR, Dadang dari Galamedia, dan Bu Amel. Semuanya diminta tidak memberitakan kejadian yang jelas mencoreng muka Kapolresta baru itu.
Namun setelah disebutkan bahwa informasi ini sudah menyebar kemana-mana, kantor pun sudah tahu, Kapolresta itu menawar,"Bagaimana kalau disebutkan pingsan saja, bukang meninggal?" Kurang ajar ni Kapolres, dia mau membohongi publik. Masa orang pingsan disolatkan dan dikuburkan. Tentu saja kita berargumen bahwa kita punya foto-foto saat korban disolatkan dan dimakamkan.
Walau didesak oleh wartawan, Kapolresta sableng itu tetap minta agar berita jangan
turun, kalaupun turun kecil saja, di halaman dalam, dan bahasanya diperhalus.
Permintaan gendeng yang tak mungkin kami luluskan Pak!

Saya yang mendapat informasi soal Kapolresta itu setelah ditelepon Bu Eri. Bu Eri minta maaf, karena pagi-pagi meninggalkan saya dan anak-anak untuk mengejar berita heboh ini. Dan lebih heboh lagi, waktu cerita soal Kapolres.
Saya pun kontan mencak-mencak. Sisa-sisa kekesalan karena Flexi, sehari sebelumnya,
langsung membuncah lagi. Dan saya tumpahkan pada reporter saya. "Kamu jangan takut diancam Kapolres. Kita punya fakta kuat, buat apa takut. Tidak ada celah bagi dia untuk menggugat. Bahkan kita bisa menggugat balik, karena dia telah membohongi publik, menghalangi kerja wartawan mendapatkan informasi yang sebenarnya," kata saya waktu Ferry datang ke kantor. "Beritakan semua apa adanya. Fakta adalah fakta, tidak bisa diubah. Apapun yang terjadi, A adalah A. Mati ya Mati, tidak bisa jadi
pingsan," tandas saya.
"Kang, katanya Kapolres mau ke kantor sini. Mungkin mau ngomongin berita ini," kata Ferry. "O iya sekalian saja, kalau ke datang ke sini, kita sikat," tegas saya.
Sore, sekitar jam 17.00, Ferry menyodorkan HP-nya. "Kasat telepon," katanya berbisik. "Oh.." saya langsung sambar HP Ferry. "Saya Ahmad Zubair, Kasat Narkoba, saya ingin berkunjung ke Tribun," ujar seseorang di ujung telepon. "Oh dengan senang hati Pak, silakan saya tunggu," jawab saya.
Jam 18.15, datang Pak Ahmad Zubair dan ajudannya, Wawan. Ia diterima di ruang rapat.
Hadir dalam pertemuan itu, Redpel Hasanah, Manprod Kang Cecep, saya, dan Ferry.
Secara terus terang, Pak Zubair menyebutkan ia membawa amanat Kapolres untuk disampaikan kepada Tribun, terkait pemberitaan kejadian tewasnya tiga penonton konser musik.
Pak Zubair mengawalinya dengan meminta agar berita itu diperhalus. Diperhalus itu, jangan disebut meninggal, tapi pingsan saja. Itu permintaan Kapolres, kata Pak Zubair. Lalu soal waktu meninggal, Kapolres minta agar disebut Minggu pagi saja, sekitar jam 09.00. Jangan dibilang Minggu dini hari atau Sabtu malam. Kepala saya jadi panas mendengar celotehan Pak Zubair yang menyampaikan pesan Kapolres.
"Kurang ajar bener ni Kapolres, memang harus diberi pelajaran," gerutu saya dalam hati.
Redpel Mbak Hasanah yang menjelaskan tentang sikap Tribun. Jelas menolak toh!! Fakta adalah Fakta, tak bisa diganggu gugat. Mungkin pembahasaan bisa diperhalus, tapi fakta tak bisa diganti. Malam menjadi pagi, mati menjadi tewas, dll.
Ke sana ke mari pembicaraan, dua pihak tetap seperti itu. Polisi minta "tolong dibantu" agar pemberitaan tidak mencuat, kita pun bertahan pada fakta yang kita temukan di lapangan.
Saya pun angkat bicara pada pertemuan itu, terkait dengan sikap Kapolres yang ingin menutup kasus. "Sampaikan pada Kapolres, kalau saja tadi siang, Kapolres bisa
bersikap diplomatis, menerangkan bahwa konser itu sebenarnya berlangsung lancar, aman, apalagi pengamanan maksimal, hanya saja saat usai pertunjukan, penonton berdesakan ingin pulang lebih dulu dan tidak bisa ditangani,dan itu di luar kemampuan kita, persoalan ini selesai, tak perlu bapak-bapak ini roadshow ke
koran-koran untuk menutup berita," kata saya dan bla-bla lainnya tentang sikap kapolres.
Pak Zubair pun lalu bilang,"Saya sudah menyampaikan apa pesan Kapolres. Tidak ada
lagi tanggungan pada diri saya, dan tidak berdosa. Saya tinggal laporkan saja apa yang menjadi pembicaraan di sini," kata Pak Zubair.
Namun tak lama, Kapolres Cimahi, Wahyono, mengontak Zubair. Lewat HPnya Pak Zubair,
Wahyono menyampaikan permintaan serupa. Yang lagi-lagi kita tolak.
Akhirnya, karena Pak Zubair juga mau roadshow ke PR dan Galamedia untuk maksud yang sama, usai sudah pertemuan.
Nah di akhir pertemuan ini, Pak Zubair sambil lalu menyimpan map merah di meja. "Ini ada titipan dari Pak Kapolres," katanya. Ha ha ha, kami sudah tahu model amplop kayak begini. Terang saja kami menolak. Map itu langsung Kang Cecep dan Mbak Hasanah
kembalikan ke tangan Pak Zubair.
Saya sendiri langsung ngeloyor ke ruang redaksi dan berbusa-busa menceritakan
pertemuan tadi kepada teman-teman. Tentu dengan nada kesal dan jengkel, dan sedikit
marah. Polisi itu menganggap kita ini bisa dibeli dengan uang. Entah berapa rupiah yang tertulis di cheque itu. Tapi pasti, berapapun nilainya tidak akan menggoyahkan sikap kami untuk menyampaikan kebenaran itu apa adanya.
Camkan itu!! (*)

No comments: