Ini rumah Pak Jayin di Suruh, Salatiga
TAK hanya berkutat di Borobudur, kami sekeluarga pun bersilaturahmi ke saudara-saudara di luar Magelang. Jumat (26/10), kami meluncur ke Salatiga menuju rumah Pak Jayin, orang tuanya Mbak Ani, atau besannya Mbak Kakung. Lokasi rumah Pak Jayin berada di daerah Suruh, sebelah timut Terminal Tingkir Salatiga.
Jarak Magelang-Salatiga, kira-kira sektar 65 km. Kami mengambil jalur via Kopeng. Kopeng ini daerah di ketinggian, mirip Cisarua Lembang, atau Puncak Bogor. Kiri kanan jalan penduduk menanam sayuran. Lalu tanaman hias pun banyak. Mirip Cihideung Parongpong, kalau di Bandung. Hanya memang jalur via Kopeng ini berbelok-belok. Tak heran, Mbak Bad pun dibuat puyeng dan masuk angin.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, beberapa saat sebelum azan Jumatan, kami tiba di rumah Pak Jayin ini. Kedatangan kami sudah dinanti-nanti. Karena Mbak Ani sudah mengabari Pak Jayin, kami bakal mampir ke Salatiga. Lalu saya, Mbah Kakung, Mas Hasyim, dan Kang Asep, salat Jumatan dulu di mesjid besar yang belum selesai dibangun.
Mesjid ini berada di sebelah timur rumah Pak Jayin. Kalau sudah jadi, saya yakin mesjid ini megah. Konstruksinya saja beton, dengan beberapa pilar di dalam. Lalu kubah bulat berukuran besar. Katanya biaya pembangunan sudah menghabiskan 800 juta. Diperkirakan sampai selesai habis duit 1,6 miliar. Namun kata Pak Jayin, panitia pembangunan tidak terlalu kesulitan. Pasalnya, desa Suruh ini punya warga andalan, yang sekarang menjadi anggota DPR RI dan DPRD Provinsi Jateng, dari PPP. Dari saku merekalah, paling banyak mengucur dana pembangunan mesjid besar ini.
Usai Jumatan, kita pun makan siang dan istirahat. Sementara Kaka senang main ayun-ayunan di samping rumah. Kebetulan ada pohon cukup besar dan kuat, sehingga bisa untuk ayun-ayunan. Di pinggir rumah Pak Jayin ini ada kolam lele dan kebun Salak. Sayang, saat itu, salaknya belum besar-besar.
Kaka Bila main ayunan di samping rumah Pak Jayin
Jelang sore, kami pamit pulang. Jalur pulang pun kembali lewat Kopeng, karena lebih dekat, ketimbang lewat Ambarawa. Setelah Salatiga, rencananya, Sabtu (27/10), kami akan ke Parangtritis. Tapi Kaka sakit panas. Mungkin kecapean main terus.
Akhirnya rencana pun diubah, tidak jadi ke Parangtritis, tapi sampai Yogyakarta saja. Kita silaturahmi ke Mbak Siyah dan Mas Slamet. Ini saudara sepupu Bu Eri, anaknya Bude. Nah, kalau ke Yogya, ya sekalian belanja oleh-oleh. Apalagi kalau bukan Bakpia Pathuk dan Dagadu. Berhubung "umat" yang harus dioleh-olehi banyak, kita pun memborong Bakpia dan makanan lainnya.
Sebelum beli bakpia, kita mampir dulu ke Dagadu di Pakuningratan. Pilih-pilih baju Dagadu yang asli. Soalnya merek Dagadu itu sudah banyak yang membajak. Mending sedikit mahal, tapi asli, langsung dari pabriknya.
Beres dari "Matamu" alias Dagadu, baru kita beli Bakpia. Kita pilih Bakpia 75, karena katanya sih ini yang paling enak. Di sepanjang jalur itu, ada beberapa bakpia. Ada 25, 125, ada juga bakpia 21. Tapi begitulah, kalau sudah jadi komoditi wisata, harga bakpia jadi mahal.
Beruntung, kita diantar Mbak Siyah. Dia tahu celah untuk beli Bakpia. Kalau pembeli diantar oleh guide, biasanya guide juga dapat persenan. Rp 2.000 per dus Bakpia. Lumayan kan. Tapi karena beli banyak, jatuhnya mahal juga. Akhirnya kita beli Bakpia, di pusat pembuatannya di belakang Bakpia 75. Masuknya lewat gang sempit di pinggir Bakpia 75. Soal harga jangan tanya, murah pisan. Jika beli di depan Bakpia 75, satu dus harganya Rp 15 ribu atau Rp 14 ribu, di sini harganya cuma Rp 9.000.
Nah ini konter penjualan Bakpia 75
Soal rasa, hampir sama, karena produsen di belakang ini juga masok bakpia ke toko-toko Bakpia 75. Jadilah, kita borong bakpia murah meriah itu. Kalau mau rada keren, tinggal ganti kemasan dus saja. Pakai Bakpia 75. Gitu lho... (*)
No comments:
Post a Comment