BEGINILAH kalau bekerja di koran yang tak kenal tanggal merah, kecuali Idul Fitri. Libur pun tetap terbit, nonstop, tak terkecuali saat Idul Adha, seperti saat ini. Rabu (19/12) adalah malam takbiran. Besok pagi, salat Id. Lalu potong kurban. Tapi sampai jam 23.30 ini, saat mesjid di belakang kantor riuh dengan suara takbir, saya masih berkutat mengoreksi halaman terakhir, halaman 1.
Koran Tribun memang menerapkan sistem terbit nonstop sejak awal berdiri. Kalau di Bandung, boleh lah kita bangga sebagai pelopor koran nonstop. Karena kompetitor utama, Pikiran Rakyat, sampai sekarang tidak berniat nonstop.
Sebagai prajurit, saya siap saja, mau terbit kapan juga. Tapi kalau sampai Idul Fitri tetap terbit juga, nah itu baru KAMALINAAN...Teungteuingeun we, tetep terbit mah, saha nu rek maca koran wayah kitu..
Lepas tengah malam, baru koran kelar. Semua PDF sudah dikirim ke Percetakan Kompas di Rancaekek. Tinggal lelah saja yang tersisa. Bersiap pulang ke rumah. Melipat jas hujan yang masih lembab, bekas tadi sore kehujanan.
Tukang nasi goreng yang biasanya menarik minat, tak sekalipun dilirik. Karena hati sudah ingin segera tiba di rumah. Istirahat, selonjoran badan. Tapi jarak masih membentang, antara Bandung dengan Cimahi. Kurang lebih 15 km, hingga sampai rumah, di sudut Cimahi sana.
Suara takbir masih terus bergema. Sesekali saya pun turut mengumandangkan takbir, perlahan. Saya ingat, sejak jadi wartawan, tujuh tahun lalu, tak pernah sekalipun saya ikut takbiran di mesjid lagi. Seperti dulu, ketika masih berkumpul di Cibabat. Ketika masih semangat pulang ke Cimahi dari Jatinangor. Sesudah kerja, banyak yang berubah. Waktu, yang sebetulnya masih banyak luang, terasa serba tak cukup. Sampai takbiran pun hanya bisa di jalan, di rumah, di tempat salat.
Ah, Cimahi masih jauh...(*)
No comments:
Post a Comment