KAMIS (25/11). Seharian itu kami sekeluarga bersilaturahmi ke saudara-saudara di Borobudur. Beruntung kami memakai mobil rental, jadi tidak susah untuk bepergian. Jarak antara Kampung Bumen, yang menjadi "basecamp" kami, dengan Janan sekitar 4 kilometer. Jalan kecil di pinggir Candi Borobudur, paling sering kami lalui karena itulah jalan tercepat ke Janan atau ke Bumen.
Mentari sore di balik stupa
Kami keliling menemui para pinisepuh di Borobudur. Silaturahmi ke rumah para Pakde dan Bule di Janan. Rumah Pakde Tir sekarang pindah ke belakang. Rumah di depan, pinggir jalan Borobudur, ditempati Mas Adib, anaknya. Setelah bertemu keluarga Janan, kami pun bersiap-siap wisata ke Candi Borobudur. Jaraknya cuma 100 meter pinggir kanan rumah Mas Adib. Sebenarnya agak malas juga sih ke candi, tapi rasanya tidak afdal kalau pulang kampung tidak sempat ke Borobudur. Begitu kata Bu Eri.
Kami sudah ditunggu Mas Anas. Dia suami Mbak Bib, sepupu Bu Eri. Mas Anas bertugas di hotel komplek Borobudur. Sementara Mbak Bib di bagian tiketing. Jadi mereka inilah jalan masuk ke Borobodur secara gratis.
Kaka Bila akrab sama patung Budha
Mobil Avanza masuk lewat gate menuju Hotel. Dari tempat parkir, masuk ke pelataran Candi. Sebelum mendaki puncak stupa, kami naik kereta keliling candi dulu. Toh gratis ini, he he... Puas berkeliling, barulah kami naik seundak demi seundak candi terbesar di Asia Tenggara ini. Kaka Bila yang paling semangat untuk mencapai puncak. Sementara Bu Eri menunggu di undakan pertama, karena capai dan menggendong Adik yang tidur.
Saya ingat-ingat lupa cerita soal Borobudur ini. Dulu pernah belajar mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia (SKI). Buku pegangannya karangan R Soekmono. Kalau tidak salah, Borobudur didirikan oleh Wangsa Syailendra, sekitar abad 8 M. Tujuh undakan menuju puncak dengan stupa terbesar itu bukan tidak berarti apapun. Itu me- nunjukkan fase kehidupan. Bagian kaki merupakan Kamadatu, kehidupan duniawi yang penuh dengan nafsu. Lalu undakan 2-4 adalah Rupadatu. Artinya dunia yang sudah membebaskan diri dari nafsu, tapi masih terikat rupa dan bentuk. Lalu tingkat lima sampai tujuh merupakan Arupadatu, pembebasan dari rupa tanpa bentuk, bebas dari segala keinginan, tapi belum sempurna. Karena kesempurnaannya harus menempuh Stupa terbesar, yang polos tanpa relief.
Kaka, Mbah Uti (kiri), dan Bude Bad, berpose di depan stupa terbesar. Saking besarnya, puncak stupa tak terlihat.
Oh iya setiap tingkat, terutama di bagian Rupadatu, selalu dihiasi relief-relief. Kabarnya relief itu menggambarkan cerita-cerita, seperti Ramayana atau Kamawibhangga. Tapi mana yang Ramayana, mana yang Kamawibhangga, terus terang, saya enggak tahu dan tidak memerhatikan. (*)
No comments:
Post a Comment