SUASANA di dusun Bumen, sangat khas tipikal pedesaan Jawa. Rumah-rumah masih banyak yang memiliki halaman cukup luas dihiasi dengan pohon-pohon. Bentuk atap rumah masih banyak yang mempertahankan bentuk joglo. Sebagian masih ada yang berupa rumah panggung. Karena itu di bagian depan rumah, ada teras. Di Sunda, dinamakan golodog. Entah di Jawa, saya tidak sempat menanyakan apa sebutan teras di depan rumah.
Sementara rumah Mbah Buyut, sudah tergolong modern. Karena sudah dibeton dan dinding pakai bata merah. Atap pun bukan lagi Joglo. Tapi atap piramid lurus, tanpa ada talang ari. Ini memang rumah yang baru dibangun beberapa tahun lalu. Rumah lama, tepat di sisi rumah baru, sudah lapuk. Bentuknya memang masih Joglo. Karena takut ambruk, mungkin, rumah baru pun dibangun. Sedang rumah lama dipakai untuk semacam lumbung dan kandang ayam.
Yang mungkin susah ditemukan di Cimahi, Bandung, atau kota besar lainnya adalah peralatan di dapur atau pawon. Jangan harap menemukan kompor minyak di sini. Semua masih pakai tungku, anglo, atau orang Sunda bilang Hawu. Perapian. Jadi kayu bakar adalah bahan utama untuk bisa memasak. Di sini masih mungkin, karena masih banyak pepohonan, hutan masih lebat, tinggal mencari ke kebun dan ladang, pasti menemukan kayu bakar.
Rumpun bambu di dekat halaman samping rumah Mbah Buyut membuat adem suasana di rumah. Apalagi di belakang rumah, ada sungai kecil mengalir. Sungai yang biasa dijadikan tempat mandi, mencuci, dan juga kakus. He he, urusan yang satu ini memang sulit dihilangkan. Sudah terbiasa kali yah. Tapi di rumah SiMbah punya kakus kok. Jadi enggak perlu terjun ke sungai. Pura-pura berendam, padahal....
Memang saat kami mudik tempo hari, cuaca lagi panas. Hujan tidak turun selama berbulan-bulan. Tak heran, sungai di belakang rumah pun nyaris kering kerontang. Padahal, biasanya saat berkunjung ke sini, kami selalu menyempatkan untuk mandi di sungai. Wuihh, airnya segar. Terakhir saya dan Bu Eri ke sini, sekitar 3 tahun lalu. Waktu itu Kaka Bila masih umur 2 tahunan. Kami ajak dia untuk merasakan mandi di sungai. Tapi kemarin, itu cuma impian. Menengok ke sungai pun enggan, karena air tak mengalir lagi.
Ya, tidak ada yang berubah dari rumah Mbah Buyut yang juga ditempati keluarga Mas Hasyim, kakak sepupu Bu Eri. Yang berubah adalah aroma rumah yang agak bau, karena di samping rumah dekat pintu dapur, kini ada kandang sapi. Bau kotorannya jelas menyengat. Walau begitu, rumah ini tetap menawarkan kesejukan. Adem. Lebih dari itu penghuninya akur-akur. Kalau Kang Asep, sopir Avanza, bilang keluarga di sini mah akur, tidak pernah ada cekcok. Makan seadanya pun, bahagia saja. Masih bisa tertawa.
Mangan ora Mangan sing penting kumpul kabeh.
Ngomong soal makan ini, jadi ingat Mbah Buyut yang selalu menyuruh kita-kita ini makan. "Hei madhang sek, madhang sek," begitulah Mbah dengan suara khasnya, mengingatkan kita untuk makan.
Sejak tiba di Bumen Borobudur, setiap pagi saya harus membawa Adik keluar rumah. Berdiri dekat pintu dapur, dekat kandang sapi. Atau ke tengah halaman samping. Buat apa? Adik senang melihat ayam. Jadi setiap pagi, saya memberi makan ayam. Ketika ayam-ayam itu berkumpul, Adik berkerejet-kerejet ingin turun, ingin memegang ayam. Dan kebiasaan itu terbawa hingga pulang ke Cimahi. Setiap pagi, Adik inginnya ke luar rumah, melihat ayam. Padahal di rumah tidak ada ayam. Ada juga ayam tetangga yang jumlahnya beberapa gelintir. Karena setelah merebak flu burung, banyak ayam yang diberangus...(*)
No comments:
Post a Comment