SELAMA sepuluh hari, saya menjelajahi daerah Priangan, terutama Priangan Timur, yang dilanjutkan ke daerah Pantura. Daerah Priangan Timur itu melingkupi Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, lalu Kabupaten Ciamis, dan Kota Banjar. Sementara Pantura meliputi Kabupaten/Kota Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Total ada 7 daerah yang saya sambangi.
Tujuan tur kali ini bukan jalan-jalan, tapi pemantauan Adipura tingkat Nasional. Saya tergabung dalam tim khusus Priangan Timur dan Pantura bersama Pak Asep Dakhyar dari BPLHD Jabar, Bu Irma Triastuti dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) ITB, dan Pak Wawan Rubianto dari Pusat Regional Jawa PPLH Yogyakarta.
Waktu pemantauan memang sangat sempit, 10 hari. Padahal standar untuk pemantauan bagi kota yang tergolong kota kecil adalah dua hari. Jadi harusnya 14 hari masa pemantauan. Karena banyak kendala teknis, baik di BPLHD Jabar maupun Kementerian Lingkungan Hidup, akhirnya hanya 10 hari waktu untuk memantau. Tentu saja tim harus bekerja cepat, berpindah dari satu kota ke kota lain dalam tempo paling lama 2 hari.
Obyek yang menjadi pemantauan tim Adipura sudah baku sejak tiga tahun lalu. Selain Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, sebagai komponen penyumbang nilai terbesar, obyek lainnya adalah rumah sakit, sekolah, perkantoran, pertokoan, taman dan hutan kota. Terus perairan, termasuk sungai dan saluran air, pasar dan sarana publik lainnya, seperti jalan dan stasiun KA atau pelabuhan laut.
Daerah pertama yang tim kunjungi adalah Singaparna. Karena tim berangkat siang, usai pembekalan, baru sore kami bisa memantau. Tempat pertama yang dipantau adalah TPA di daerah Salawu. Lalu masuk ke kota kecamatan Singaparna, memantau sekolah, Puskesmas, pasar, jalan arteri dan kolektor. Karena hari sudah gelap, pemantauan dihentikan. Dilanjutkan kembali keesokan harinya memantau pertokoan, perkantoran, taman kota dan seterusnya.
Usai pemantauan, tim tidak bisa berleha-leha. Karena tim harus memasukkan data penilaian dan juga foto-foto pantauan. Di sini yang paling krusial, karena menentukan nilai tidak sembarangan. Sering terjadi debat lebih dulu untuk menentukan kriteria yang pas dengan kenyataan di lapangan. Yang paling lama adalah memasukkan foto dan menamainya. Kebetulan saya pegang dua kamera digital, sementara Mas Wawan satu. Sehingga kami harus bergiliran untuk memasukkan foto ke laptop.
Begitulah. Dari satu kota, tim terus bergerak ke kota lainnya dengan aktivitas yang serupa. Memantau semua obyek, lalu menilai, dan memasukkan data. Singaparna, Ciamis, Banjar, lalu masuk Kuningan, ke Sumber Cirebon, Indramayu, dan terakhir di Majalengka, semua tak terlewat dipantau seteliti mungkin.
Cape, sudah pasti. Kalau fisik tidak kuat-kuat amat, rasanya mau tumbang saat itu juga. Saat pembekalan, Pak Setyo dari Pusreg Yogyakarta sudah mengingatkan, siapa yang merasa tidak fit, mundur saja dari tim ketimbang harus mundur di tengah jalan. Beruntung, tim kami tetap solid dan tetap sehat walafiat, hingga akhir pemantauan di Majalengka. Semua bersorak gembira begitu titik pantau terakhir selesai dinilai. Apalagi Mas Wawan, dia sudah satu bulan tidak pulang ke rumah, karena keliling Jawa Tengah, Jawa Timur, lalu kebagian juga memantau di Jabar bersama saya.
Oleh-olehnya? Ya muka jadi menghitam terbakar, karena selama pemantauan hujan tak turun, kecuali saat masuk Kota Majalengka, hujan turun sebentar. Matahari begitu terik menyengat, apalagi di Indramayu. Wah, kepanasan. Inginnya di dalam kamar ber-AC terus. Pulang ke rumah, langsung dipijat sama Bu Engkos, tetangga sebelah kampung, yang biasa mijat di rumah. (*)
No comments:
Post a Comment