DUHAI istriku, tak terasa setahun sudah bertambah perjalanan kita di dunia ini. Kita tiba dan berjumpa kembali dengan bulan yang dinantikan, Ramadan. Bulan yang dirindukan alam semesta akan kehadirannya yang membawa rahmat, berkah, ampunan, dan janji kembali ke fitrah bagi mereka yang takwa.
Masih ingatkah istriku, setahun lalu aku pun menuliskan hal yang sama untuk menyambut Ramadan ini. Tak ingat? Coba klik di sini, pasti kau jumpai tulisanku itu. Tentu tak ingin kujadikan tulisan-tulisan ini hanya sekadar seremoni penyambutan tanpa makna. Sekadar lewat, tanpa ada yang tertinggal di jiwa kita. Kuingin, tulisan-tulisan ini menjadi penyemangat kita untuk berbuat lebih baik, beramal lebih ikhlas, beribadah lebih taat,
Sambutlah kedatangan Ramadan ini, istriku. Sambut dengan lebih bergairah, karena kondisi kita saat ini. Bukankah kita tengah merajut mimpi membangun sebuah rumah dari hasil keringat kita sendiri dan, tentu, meminjam kesana kemari? Di saat keadaan keuangan kita kembang kempis, di sanalah letak pintu kegairahan itu. Puasalah yang menjadi tempat kita berdiam dari keinginan-keinginan duniawi yang berlebihan. Puasalah yang membatasi syahwat ingin memiliki.
Biarlah keinginan itu hanya sekadar keinginan yang melintas saja di pikiran kita. Bukan menjadi tujuan utama hidup ini. Karena yang jadi keinginan utama kita bukanlah itu. Tapi lebih dekat dengan Allah, agar keluarga ini mencapai titik kulminasinya, mawaddah wa rahmah. Jikalah seseorang sudah dekat dengan Allah dan merasakan kehadiranNYA di setiap denyut nadi, tak mungkin ada yang bisa menghalangi kehendak Allah. Apapun yang kita inginkan, Allah dengan mudah bisa mewujudkannya untuk kita. Itu buah dari sebuah kedekatan, istriku. Dan Allah lebih tahu kapan buah itu dipetik dan diberikan untuk kita. Karena itu tak perlu meminta, karena jika sudah waktunya, haqqul yakin, keinginan itu bisa mewujud.
Harus kuakui aku bukanlah imam terbaik yang mampu memandu perahu ini sesuai alur keilahian. Memainkan nada dan irama hidup dalam langgam sunnah Rasul. Sangat jauh, istriku, sangat jauh. Sungguh tidak mudah membawa jiwa-jiwa dalam biduk ini menuju hal yang diinginkan. Tapi semua itu berproses, istriku, dan itulah yang harus ditempuh. Proses itu yang akan membuat kita bisa mencapai derajat tertinggi di hadapan Allah.
Bersyukurlah, karena umur kita masih bisa mencapai Ramadan tahun ini. Dengan segala kerendahan hati, itulah yang menunjukkan Allah masih sayang pada kita. Padahal kita tahu, sepanjang tahun ini berapa banyak dosa yang sudah kita perbuat. Kesalahan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Duh, nikmat Allah mana lagi yang harus kita ingkari? Begitu berlimpah nikmat Allah, tapi kita masih saja jauh dari nilai-nilai Illahi.
Mudah-mudahan Ramadan kali ini menjadi bekal dan landasan kita untuk belajar Islam, Iman, dan Ihsan dengan lebih baik lagi. Bukankah anak kita sering berteriak-teriak 165, 165 Yes. 165 adalah simbolisasi Ihsan, Iman, dan Islam, istriku. Jika kita sudah beriman dan berislam dengan benar, tentu keyakinan bahwa setiap langkah hidup tak akan luput dari pandangan Allah tidak akan lepas dari jiwa kita. Untuk menyegarkan kembali ingatan tentang bagaimana persiapan menyambut Ramadan, bisa diklik di sini.
No comments:
Post a Comment