GEGAP gempita pemilihan kepala daerah di sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Barat akan terus berlangsung hingga akhir tahun ini. Setelah Pemilihan Wali Kota Bandung usai, akan menyusul keramaian pesta demokrasi di Kabupaten Bogor, Garut, Subang, Cirebon, Ciamis, Banjar. Kuningan, dan Majalengka. Riuh rendah kampanye membuat perhatian masyarakat berpaling pada para kandidat yang akan berlaga. Walaupun ada juga janji untuk mengangkat derajat masyarakat dari lembah kemiskinan ke puncak kesejahteraan, kita tahu bersama itu hanyalah omong kosong belaka.
Coba kita tengokkan perhatian sejenak ke Kampung Cigaraksa, Desa Kaputihan, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya. Sudah sebulan terakhir ini, warga Cigaraksa mengonsumsi nasi oyek. Nasi oyek adalah nasi yang terbuat dari singkong. Singkong yang sudah dikupas, direndam semalaman dalam air garam. Setelah itu singkong diparut dan dijemur. Jika sudah kering, parutan singkong dicampur parutan kelapa. Barulah ditanak seperti halnya menanak nasi.
Rasa nasi Oyek ini tentu asin-asin gurih. Rasa gurih itu berasal dari parutan kelapa dan garam. Dan itu cukup untuk menenangkan gemeretuk bunyi perut yang keroncongan. Tapi warga yang tak biasa makan oyek, jangan harap bisa menikmatinya dengan nyaman. Hanya karena dibujuk saja, seorang anak akhirnya mau mengunyah gumpalan oyek ini.
Warga Cigaraksa tak mampu membeli beras sekalipun. Itu disebabkan daya beli yang begitu rendah, sehingga tak cukup untuk membeli bahan makanan pokok. Kekeringan yang menyergap di musim kemarau ini juga menyebabkan lahan mata pencaharian mereka menyusut. Tak ada lagi sawah yang bisa digarap. Tak heran, bertemu dengan nasi adalah hal yang paling mewah.
Keluarga Een adalah salah satu potret mikro warga Cigaraksa ini. Een mempunyai sebuah keluarga besar dengan sembilan orang anak. Dan anak bungsunya kini tergolek di ranjang rumah sakit karena menderita gizi buruk.
Inilah potret kemiskinan yang terpampang lebar di depan mata kita. Tapi kita terasa begitu jauh dari mereka. Kepedulian kita, bagi sebagian masyarakat yang peduli, ternyata tak menjangkau kehadiran warga miskin Cigaraksa ini. Sangat mungkin kepala daerah pun tak tahu ada warganya yang begitu menderita, nyaris kelaparan.
Seandainya Umar bin Khattab, khalifah kedua, masih hidup di tahun ini, dia pasti akan lintang pukang memikul karung-karung beras. Karena tak hanya satu rumah saja yang dihiasi jerit kelaparan penghuninya, tapi banyak rumah dan di banyak tempat.
Bagi warga Cigaraksa, republik ini ternyata tak mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Karena yang disejahterakan hanyalah segelintir elite-elite pemimpin beserta kaum komprador di lingkaran kekuasaan. Di atas penderitaan rakyat, singgasana pemimpin itu berdiri.
Mereka hanya bisa bertahan hidup di Republik Oyek. Republik yang hanya bisa menyuplai oyek-oyek ke piring-piring mereka. Nasib mereka sederajat dengan warga di pesisir utara yang makan nasi aking atau roti buluk, sekadar mengganjal perut.
Dibutuhkan sebuah gerakan kepedulian secara massal dan nyata, tak hanya seremonial, agar tidak muncul anak-anak generasi Oyek. Program-program kesejahteraan dari pemerintah dan segenap potensi lainnya harus lebih fokus dan tepat sasaran. Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, pemerintah dan kita yang secara ekonomi terbilang mampu sudah berlaku zalim.(*)
* Sorot, dimuat di Harian Pagi Tribun Jabar edisi Rabu 13 Agustus 2008.
No comments:
Post a Comment