MINGGU (31/8) sore, magrib tinggal beberapa saat lagi. Saya berdiri di dak rumah lantai dua. Tempatnya lebih tinggi dari rumah orang lain dan pandangan luas membentang. Saya menghadap ke arah matahari terbenam.
Di ufuk barat itulah, jika posisinya memungkinkan, juga kondisi alam mendukung, akan tampak bulan baru muncul. Hilal, begitu istilah ilmu Falak, sebagai penanda bergantinya bulan, dalam hal ini bulan Sya'ban ke Ramadan.
Pada waktu bersamaan, saya pastikan para ahli rukyat juga tengah memicingkan mata secara telanjang atau lewat teleskop mengamati tenggelamnya matahari dan munculnya bulan.
Sayang, mendung menyergap sehingga bulan muda tak tampak. Bada Isya, sidang Itsbat Depag menetapkan awal Ramadan adalah 1 September 2008, sama dengan penentuan lewat hisab. Biasanya memang begitu. Apabila hilal, bulan muda, tidak tampak atau terlihat, usia bulan digenapkan jadi 30 hari.
Di negera kita, persoalan penetapan awal Ramadan dan Lebaran selalu menjadi perdebatan. Sering kali, antara ormas, khusus NU dan Muhammadiyah, berbeda dalam hasil akhir. Sehingga hal itu pun membuat beda hari Lebaran.
Kebanyakan awal Ramadan selalu sama, tetapi saat Lebaran banyak yang berbeda. Kabarnya untuk tahun ini, awal dan akhir Ramadan akan sama. Ini bukan hasil kesepakatan, tapi karena alam mengatur demikian.
NU mendasarkan penetapan awal bulan pada rukyatul hilal, penglihatan visi bulan muda. Sementara Muhammadiyah berdasarkan hisab, perhitungan matematis astronomis. Dua-duanya memiliki landasan syar'i yang kuat.
Berhubung saya bukan ahli astronomi dan juga tak paham soal rukyat-hisab, saya tidak akan membahas panjang lebar soal itu. Dalam soal awal puasa dan Lebaran, saya berprinsip pemerintahlah yang harus menetapkan. Seperti halnya di negara-negara lain, bukan ormas atau lembaga masyarakat. Kalau pemerintah menetapkan hari H, ya ikut hari H.
No comments:
Post a Comment