TIGA minggu sudah, pembangunan rumah tahap dua berjalan. Yap, setelah istirahat tiga minggu menunggu cor beton kering dan para tukang kumpul, pengerjaan pun dimulai lagi. Fokus pekerjaan kali ini ada di lantai dua. Pemasangan bata, cor dak beton, dan atap.
Bagi kami, inilah masa-masa kritis yang harus dijalani. Kenapa kritis, tentu ini berkaitan dengan keuangan. Uang hasil pinjaman ke bank, yang bunganya setengah lebih besar dari seluruh pinjaman, itu tak cukup untuk merampungkan rumah kami.
Sebenarnya saya tidak khawatir. Kerjakan saja semua sampai uang habis, selesai. Hanya selesainya ini sampai dimana, itu yang jadi pertanyaan. Saya perkirakan, sampai akhir Agustus, mudah-mudahan rumah sudah bisa ditutupi genting. Beruntung, genting sudah dipesan, tinggal dikirim. Dan saya pun memasang target tak muluk-muluk.
Bagi saya itu yang paling penting. Karena bukan rumah, kalau tidak beratap dan bergenting. Jadi semua uang yang tersisa dikerahkan ke sana. Bagaimana dengan yang lainnya? Itu tergantung kondisi. Kalau memang ada sisa, ya untuk biaya tembok saja. Diplester bagian yang penting dulu, mungkin bagian dalam, khususnya ruang tamu.
Yang jadi kekhawatiran, kalau uangnya tidak cukup untuk membuat atap sekalipun. Ini bisa terjadi, karena harga-harga serba mahal. Contohnya saja kebutuhan untuk cor dak beton, saya perkirakan, besi yang ada cukup untuk beton atap musala, balkon dan kamar mandi. Ternyata tidak. Mesti beli lagi besi yang jumlahnya juga lumayan banyak. Huh, harganya ini yang enggak tanggung-tanggung. Naik berlipat-lipat dari sebelumnya sejak kenaikan harga BBM.
Melihat kondisi semacam ini, saya selalu mengingatkan kepada Bu Eri dan anak-anak supaya mengencangkan ikat pinggang lebih kencang lagi. Jajan dikurangi, barang yang tidak perlu tidak usah dibeli, adik tidak usah pakai pampers lagi, jatah susu Adik kalau bisa dikurangi saja, dan lain-lain. Setidaknya, pengeluaran bisa sedikitnya dan bisa nambah-nambah untuk rumah. "Ingat, mau rumah mau jajan?" begitu kata saya setiap kali Kaka minta jajan. Biasanya Kaka langsung menjawab, "Mau rumah".
Tapi beberapa hari lalu, Bu Eri dan saya kena "smash" Kaka. Tanpa sepengetahuan saya, rupanya Bu Eri membelikan saya HP baru. HP saya yang lama sebenarnya masih bisa dipakai. Hanya layarnya tertutupi warna hitam dan buram. Untuk membaca dan mengirim SMS sudah sulit, karena tidak terbaca. Untuk menelepon pun kadang susah, karena keypadnya sudah dol.
Padahal saya sudah mewanti-wanti tidak usah beli HP. Biar pakai yang lama saja, toh masih bisa untuk menelepon dan menerima telepon. Mungkin Bu Eri suka memerhatikan saya kalau lihat iklan HP di koran. "Nah ini nih murah, lumayan bisa internetan, ada musicplayernya, bla bla...," komen saya setiap melihat iklan produk HP. Tapi tetap saja, saat ditanya mau HP baru, saya menggeleng. "Gak usah, pakai ini saja, sudah cukup kok".
Nah, rupanya Kaka melihat kardus kecil wadah HP tergeletak di dekat televisi. Rupanya kata-kata saya menyerap betul di otaknya. Dia ingat kalau ayah-ibunyanya sering bilang agar hemat. Begitu bertemu ibunya, Kaka langsung bilang, "Mau rumah mau Handphone". Tentu jawaban Bu Eri pun belepotan. Kena deh dikick sama anak...Ha ha ha.(*)
No comments:
Post a Comment