Thursday, August 21, 2008

RS Dustira: Mitos, Horor, dan Sejarah (Seri Sejarah Cimahi)

SUDAH lama saya mencari-cari bahan atau referensi tentang Dustira. Dustira adalah nama rumah sakit militer di Cimahi. Berada tak jauh dari rumah saya. Beberapa kali saya googling, tak ada hasil. Dan membuat saya makin penasaran dengan rumah sakit tua itu.

Yang saya tahu pasti, rumah sakit itu dibangun pada 1887. Itu tertera pada pintu gerbangnya yang gagah: Anno 1887. Awalnya namanya tentu bukan Dustira, karena dibangun di zaman kolonial Belanda. Pembangunannya tentu bersamaan dengan pembangunan fasilitas militer lainnya di Cimahi jadul. Sudah jadi cerita umum, Cimahi memang dipersiapkan Belanda sebagai kota militer penyangga Bandung saat Gubernur Jenderal berniat memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.

Mengapa saya penasaran dengan asal-usul Dustira? Teman saya, Dore, pernah bercerita soal rumah sakit ini. Kebetulan bapaknya, kerja puluhan tahun di rumah sakit itu. Dustira adalah nama seorang dokter di zaman kemerdekaan. Yang menggiriskan, cerita Dore belasan tahun lalu itu, Dustira meninggal karena bunuh
diri. Hah, benarkah cerita itu?

Cerita tentang akhir hidup Dustira itu yang terus berputar di kepala saya sampai sekarang. Semua serba blank. Patung dada di depan aula sebelah barat yang saya kira Dustira, ternyata bukan. Itu aalah patung dada Singawinata,kepala RS Dustira pertama setelah diserahkan dari Belanda ke tangan Indonesia.

Tak hanya soal kisah akhir hidup Dustira yang mengundang penasaran, rumah sakit ini pun sejak lama diketahui memiliki cerita-cerita horor. Maklum, peninggalan Belanda. Masih menurut cerita Dore, kejadian ini menimpa bapaknya main tenis meja di aula bersama beberapa rekannya. Saat asyik-asyiknya main, tiba-tiba saja ngabelegedeg (apa
tuh..kira-kira artinya muncul secara mendadak), ada sosok tubuh jangkung dan bule melintas di depan mereka. Wah, saat nulis soal ini bulu kuduk saya ikutan merinding. Sontak saja mereka berhenti bermain, melotot melihat si jangkung bule itu melenggang seperti orang, eh hantu, tak punya dosa. Jangan ditanya bagaimana akhirnya, karena mereka langsung kocar kacir tak karuan menyelamatkan muka biar tidak dibilang
penakut.

Ada pula cerita suster jaga malam yang bertemu seorang perempuan berambut pirang di dekat lorong ruang perawatan. Tempat itu berada di sebelah timur, dekat ke tempat penampungan air. Sang suster mengira si wanita berambut pirang itu adalah pasien. Namun begitu melihat si wanita itu berjalan ke arah tempat air dan menghilang, sang suster langsung syok. Mungkin itu hantu Noni-noni Belanda yang pernah dirawat
di situ. Ah, benar atau tidak cerita itu, saya tidak tahu. Namanya juga cerita, dongeng.

Sampai akhirnya saya membaca tulisan dosen saya, Prof Dr Nina Herlina Lubis di Pikiran Rakyat, pagi tadi. Bu Nina menulis soal peranan dokter dalam perjuangan kemerdekaan dan satu yang dibahas agak mendalam adalah Dustira. Bagaimana sejarah rumah sakit militer dan siapakah dr Dustira ini?

Dalam tulisan Bu Nina disebutkan, Rumah Sakit Militer Cimahi didirikan pada 1887. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang.

Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai NICA. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah kerajaan Belanda (1949), Militaire Hospital diserahkan Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol dr Rd K Singawinata. Sejak saat itu, namanya diubah menjadi RS Territorium III dan Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit.

Pada Mei 1956, dalam rangka HUT Territorium III/Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya.

Dustira dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1919 sebagai anak Rd S Prawiraamidjaya. Pendidikan yang ditempuhnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), lima tahun di Bandung. Selanjutnya ia menempuh pendididikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, di zaman Jepang disebut Ika Daigaku).

Pada 1945, semua mahasiswa tingkat akhir Ika Daigaku, termasuk Dustira, menyatakan ingin turut berjuang di front Surabaya yang sedang bergolak. Namun keinginan itu ditolak dan mereka diperintahkan menunggu perkembangan selanjutnya. Para mahasiswa tingkat akhir itu lulus dan diberikan ijazah dokter, lalu dilatih kemiliteran di Tasikmalaya sekitar dua minggu.

Selesai pendidikan kemiliteran, dr Dustira ditugaskan ke Resimen 9 Divisi Siliwangi yang menguasai front Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Waktu itu, semua serba kekurangan, baik personel maupun obat-obatan. Dustira berusaha siang malam menolong korban peperangan di front.

Melihatnya banyaknya korban yang jatuh, baik sipil maupun pejuang, Dustira merasa sedih, karena tidak bisa memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api di Padalarang dengan korban ratusan penumpang, Dustira berusaha menolong, namun obat-obatan terbatas. Melihat begitu banyak korban, tanpa dapat
memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr Dustira.

Akhirnya karena kelelahan fisik dan mental, dr Dutira jatuh sakit. Ia dirawat di
RS Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia di meninggal dan dikebumikan di Pemakaman Umum Astanaanyar. Pada 8 Maret 1973, kerangkanya dipindahkan ke TMP Cikutra Bandung.

Begitulah cuplikan tulisan artikel Bu Nina. Itu fakta sejarah, walau saya tidak tahu dari mana sumber tulisan itu karena Bu Nina tidak mencantumkannya. Jika fakta itu kita kaitkan dengan cerita teman saya yang menyebutkan Dustira meninggal secara mengenaskan, rasanya kok ada persinggungan di situ. Bu Nina menuliskan Dustira mengalami tekanan mental yang luar biasa. Ini berasal dari perasaannya yang begitu welas asih, melihat korban perang bergelimpangan namun tak mampu menolong secara maksimal.

Kelelahan fisik dan mental itu membuat Dustira sakit. Sayang tidak disebutkan, bagaimana Dustira meninggal. Apakah saat terbaring tidur di ruang perawatan, atau bagaimana. Apakah kemudian cerita Dore itu yang benar? Ketika sakit, mungkin di puncak rasa putus asa tidak bisa menolong orang, Dustira memutuskan mengakhiri hidup sendiri? Wallahu a'lam.(*)

8 comments:

bunnyatax said...

mangstabb

Arif Transfer Factor said...

perjuangan dan kebaikan hati dr. dustira sangat mengharukan.

oh ya, blh tolong informasinya
saya mendapat alamat rs dustira ini dgn versi yg berbeda, salah satu sumber menyatakan lokasi di cimahi utara dan selatan, mungkin anda bisa bantu untuk alamat yg lebih valid. trimakah

KELUARGA MAC said...
This comment has been removed by the author.
KELUARGA MAC said...

Secara geografis dan administratif, RS Dustira ini berada di Kecamatan Cimahi Tengah. Bukan di Cimahi Utara.

Unknown said...

bisa minta alamat website y rumah sakit dustira??terima kasih

indro said...

Bapak saya Dr. Agusni dulu kepala rumah sakit dustira. Kami tinggal di jl setasiun D-15. Suatu malam tilpon berdering dan setelah diangkat ada suara orang merintih dan minta tolong terus hilang suaranya. Besok pagi nya bapak dapat laporan dari kamar mayat, ada kiriman jenazah tadi malam orang bunuh diri. Bapak baru sadar kalau yg menilpon malam itu rupanya orang yg mati itu, tapi bagaimana mau menolong karena tilponnya putus.
Indropo Agusni - Surabaya.

Urban said...

Hadeh, hehe

Unknown said...

Yang lebih seremnya itu di asrama/barak para calon akper,